You are on page 1of 13

PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DARI SUDUT PANDANG


AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE

Latar Belakang Strategi Pengembangan Wilayah dalam perspektif Development from


Below

Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada kekuatan ekonomi dan
sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat top-down.
Mekanisme pola ketergantungan (dependency) serta struktur hubungan produksi dan distribusi
yang berbeda antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem integrasi
pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses
‘penjalaran’ atau yang dikenal dengan trickling down effects.
Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah core dan periphery
(kesenjangan wilayah), Myrdall (1957), Hirschman (1958), dan Friedmann (1966),
mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan terkait dengan basis ekonomi dunia
yang tidak seimbang akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas
pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi atau backwash effect. Dan kedua, leakage
atas pemanfaatan sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis (core atau
leading region) maupun negara lain.
Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk menstimulate keterkaitan ekonomi
antara industri-industri di pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan opurtunitas yang
dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan
teknologi oleh core dan periphery. Sehingga gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital,
tenaga kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan ( growth pole )
sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi, wilayah periphery
makin tertinggal.
Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi lokal akan
meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori Development From Below
mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk
bagi pemenuhan konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri
padat karya skala kecil. Atau secara ekstrem dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat Hirschman
(1957), bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat dilakukan dengan
melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah,
usaha internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-elemen produksi (sumber
daya maupun investasi) dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap
sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan
bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut.

Konsep Pemikiran Development from Below


Proses internalisasi potensi lokal wilayah merupakan awal bagaimana suatu wilayah
dapat berkembang. Menurut perspektif teori ini, terdapat berbagai strategi pendekatan
pengembangan wilayah, yaitu pendekatan pengembangan territorial, fungsional, dan
pendekatan agropolitan. Secara umum pendekatan- pendekatan tersebut memfokuskan pada
upaya melepaskan diri dari ketergantungan terhadap wilayah pusat.

Perbandingan pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan konsep Development from


Below.
1. Hubungan (linkage) dengan Wilayah Lain
Pengembangan territorial memiliki keterkaitan terbesar terhadap wilayah lain, dalam hal ini
wilayah yang secara fungsional hirarkhinya lebih tinggi dari wilayah tersebut, sehingga
setiap perubahan yang terjadi di wilayah luar akan turut mempengaruhi perkembangan
internal region. Sedangkan pendekatan pengembangan Agropolitan meniadakan sama sekali
linkage dengan region lain. Dalam hal ini berarti wilayah tersebut berkembang secara
independen tanpa mempengaruhi dan dipengaruhi oleh region lain.
2. Kemungkinan Wilayah Penerapan
Pengembangan territorial dan fungsional tidak mensyaratkan secara tegas potensi tertentu
yang harus dimiliki oleh suatu wilayah. Sementara itu pendekatan pengembangan agropolitan
secara tegas mensyarakatkan potensi sumber daya alam yang tinggi, terutama bagi negara-
negara yang tertinggal pembangunannya (negara dunia ketiga).
3. Perhatian atas Aspek Penunjang

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

Territorial dan fungsional terlampau fokus kepada upaya mengembangkan wilayah tanpa
mempersiapkan infrastruktur lain yang mendukung sektor tertentu yang akan dikembangkan.
Agropolitan mempersiapkan secara matang aspek-aspek lain yang akan menunjang sektor
yang dikembangkan. Misalnya untuk suatu distrik agropolitan yang berbasis sektor pertanian,
maka akan ditunjang pula dengan sektor industri yang menghasilkan alat-alat pertanian;
perdagangan yaitu perdagangan yang memasarkan hasil-hasil industri dan pertanian itu; dan
sektor jasa lainnya yang secara keseluruhan menunjang berkembanganya sektor pertanian.
4. Sistem Manajemen
Dalam pengembangan territorial, keterkaitan antara pusat dan pinggiran dimanifestasikan
dengan sistem birokrasi desentralisasi dan dekonsentrasi yang masih memungkinkan adanya
interaksi kontrol-pertanggungjawaban antara pusat dengan daerah. Sementara itu agropolitan
distrik mempunyai wewenang penuh untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alamnya.
Pada bagian lain, pendekatan pengembangan fungsional lebih mengalami proses birokrasi
yang kompleks.
5. Tuntutan Adanya Leading Core
Pada konsepsi pengembangan agropolitan tidak dituntut adanya leading core, dalam artian
jika semua wilayah memiliki homogenitas dalam struktur perekonomian, konsepsi ini dapat
dikembangkan. Namun, dalam pengembangan teritorial dan fungsional, mekanisme
pengembangan wilayah dapat terjadi jika sudah terdapat leading core dalam sistem
perwilayahannya.

Agropolitan dan Selecive Spatial Closure Sebagai Konsep Pengembangan Wilayah

Agropolitan District Growth : Suatu Kebijakan ‘Tertutup’ Dalam Strategi Pengembangan


Wilayah
Pada dasarnya konsep pengembangan wilayah Agropolitan (Friedmann dan Douglass,
1976) berawal dari tingkat perkembangan yang berbeda dan keterkaitan yang tidak simetris
yang mengarah pada terjadinya leakage sehingga menyebabkan terjadinya distorsi antara rural
dan urban. Pengembangan rural yang berkelanjutan dengan basis pemenuhan kebutuhan dasar
merupakan salah satu saran dari pendekatan Agropolitan.

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

Oleh karena itu dibentuk unit- unit rural- urban yang independen di dalam satu “Agropolitan
District”. Hubungan rural- urban dalam district tersebut didasarkan pada keterkaitan yang saling
menguntungkan, serta kesamaan peran dalam interaksi skala territorial yang terkecil. Persepsi ini
didukung oleh Taylor (1979) yang mengatakan bahwa dalam konteks ini ukuran kota yang kecil
akan mengurangi terjadinya leakage dari wilayah agraris yang muncul akibat adanya keterkaitan
antar wilayah. Karakteristik- karakteristik dari unit- unit Agropolitan (prasyarat) yang dapat
dijadikan sebagai dasar asumsi pengembangan teori ini adalah :
1. Ukuran wilayah yang relatif kecil
2. Lokasi; terletak di hinterland negara- negara dunia ketiga
3. Kedaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi relatif identik secara keruangan.
4. Tingkat kemandirian tinggi yang didasarkan pada partisipasi aktif masyarakat serta
kerjasama di tingkat lokal termasuk di dalamnya pemenuhan kebutuhan dan pengambilan
keputusan oleh masyarakat lokal.
5. Diversifikasi lapangan pekerjaan baik pertanian maupun non-pertanian dengan penekanan
pada pertumbuhan industrialisasi rural area
6. Adanya fungsi industri di wilayah urban-rural yang terkait pada sumber daya dan struktur
ekonomi lokal
7. Adanya teknologi yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya lokal.
8. Jumlah penduduk berkisar antara 50.000 – 150.000
9. Pembatasan jarak antar unit yang memungkinkan terjadinya kecenderungan commuting.
Upaya menghindari ketergantungan (berupa impor faktor produksi ataupun barang-
barang kebutuhan dasar – basic needs) antara periphery dengan core region diwujudkan melalui
tindakan atau strategi pengembangan dalam menutup peluang terjadinya interaksi dengan hal-
hal sbb :
♦ Adanya pengendalian ketat terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini dilakukan
dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya terhadap sektor yang dapat meningkatkan
kualitas lokal secara kontinyu, dan menjadi basis ekonomi yang permanen, yang
dimungkinkan untuk sektor yang memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbarui
(renewable resources). Bentuk perhatian lebihnya adalah dengan menyediakan fasilitas
training bagi tenaga kerjanya, pemberian subsidi, dan akses perkreditan. Sementara itu bagi
sektor lainnya akan dikembangkan ke arah yang mendukung sektor utama di atas.

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

♦ Meminimasi hubungan fisik antara core region dan periphery region. Dalam hal ini
berarti pembangunan jaringan infrastruktur yang menghubungkan kedua region tersebut
tidak diperhatikan dan titik berat pembangunan infrastruktur jaringan jalan difokuskan di
dalam wilayah itu sendiri.
♦ Adanya kebersediaan pelaku ekonomi, dalam hal ini pemilik modal untuk selalu
menginvestasikan modalnya di wilayah sendiri meskipun rate of return wilayah lain nilainya
lebih besar.
♦ Adanya populasi yang homogen, mengingat fondasi dari agropolitan development adalah
kebudayaan asli masyarakat setempat maka wilayah tersebut mungkin akan menerapkan
kebijakan ketat atas arus migrasi masuk.
♦ Pembangunan infrastruktur lain dan pengembangan sektor lain yang menunjang
pertumbuhan sektor utama. Dengan syarat, keterkaitan antar sektor- sektor tersebut berada
pada satu wilayah agropolitan district.

Pengembangan perencanaan pengembangan wilayah Agropolitan diarahkan pada strategi


yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kondisi tertentu dan keuntungan dari ‘penutupan’
wilayah, yaitu:
1. Menginternalkan efek multiplier dan pengaruh- pengaruh eksternal melalui penekanan pada
keterkaitan lokal dan fungsi yang saling melengkapi antara pertanian dan industri sehingga
akan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
2. Kebijaksanaan penyamarataan kepemilikan aset produktif diantaranya, lahan, modal, dan
public goods, serta kebijaksanaan redistribusi pendapatan.

Regional leakage dan ‘Bottom-Up Strategies’: Menuju Strategi Selective Spatial Closure

Konsepsi pengembangan wilayah selective spatial closure ( Stohr dan Todtling, Some
Anti-Thesis to Current Regional Development Doctrine,1979) merupakan aplikasi pendekatan
yang bersifat teritorial dan fungsional dari Development From Below yang secara essensial

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

didasarkan pada pemanfaatan sumber daya wilayah yang terintegrasi pada skala keruangan yang
berbeda dan merupakan aplikasi bentuk pengembangan yang ditujukan umumnya pada wilayah
yang terbelakang ( periphery ) akibat implementasi serta pengaruh dari polarisasi wilayah ( Lo
dan Salih, 1981). Inti dari konsep, yang pada dasarnya harus disesuaikan dengan latar belakang
dan kondisi wilayah tersebut, adalah adanya kontrol aliran faktor produksi atau kontrol
hubungan eksternal yang bersifat merugikan terhadap pengembangan wilayah. Pengembangan
yang berbasiskan teritorial ini, tetap akan memenuhi eksternal demand dan memanfaatkan
sumber daya ekternal (dari luar wilayahnya), dengan pertimbangan bahwa tingkat pemenuhan
dan pemanfaatan tersebut tidak mengurangi tingkat utilitas dari kebutuhan dasar masyarakat
lokal serta mobilisasi sumber daya wilayah yang tersedia.
Pengendalian tersebut berkaitan dengan adanya fenomena ketergantungan (dependensi)
antara wilayah periphery dengan core, maupun bentuk dependency yang berakar dari hierarki
sistem perekonomian dunia. Ketergantungan ini terwujudkan dengan adanya beberapa sektor
impor maupun ekspor yang secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan wilayah tersebut.
Konkritnya, semakin banyak sektor impor maka semakin besar ketergantungan wilayah
periphery terhadap wilayah core ataupun terhadap ruang lingkup linkage skala ekonomi yang
lebih luas. Sedangkan kinerja sektor ekspor yang berlebihan berpengaruh secara langsung pada
ketersediaan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan lokal, dan hal ini dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk dari backwash effect akibat pengaruh pola dependency ekonomi.
Selective spatial closure berusaha memilah dengan mempertimbangkan tingkat
kemampuan atau kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap perkembangan wilayah itu
(periphery). Dalam artian, meskipun sektor yang terpilih untuk dikembangkan tersebut memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan terjadinya proporsi leakages ( dengan pertimbangan tidak
besar pengaruhnya terhadap mobilitas lokal sumber daya wilayah ), tetapi secara fungsional
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dan
membangkitkan efek mulitiplier lokal karena keterkaitannya yang tinggi, sektor tersebut dapat
dimungkinkan menjadi sektor utama yang menumpu perkembangan wilayah. Seleksi lainnya
dilakukan dengan cara melihat potensi lokal yang mungkin dikembangkan dalam hal ini dengan
menilai kemungkinan pemanfaatan faktor produksi lokal yang dapat mensubstitusi faktor
produksi yang semula menjadi input bagi salah satu sektor di periphery dan input itu berasal dari
luar (core region).

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

Pada perspektif dependensi, ketergantungan wilayah periphery terhadap wilayah core


dapat dihilangkan dengan memutuskan sama sekali hubungan antar kedua wilayah tersebut.
Artinya jika suatu wilayah periphery ingin berkembang, wilayah tersebut harus memutuskan
semua hubungan dengan wilayah core. Perspektif ini berbeda dengan selective spatial closure,
dimana pada perspektif ini terjadi pemilihan hubungan, input maupun output faktor produksi.
Sebagai gambaran aplikasi konsep selective spatial closure, misalnya suatu wilayah
periphery memiliki tiga sektor pengembangan, yaitu pertanian, tekstil, dan sepatu. Ketiga sektor
tersebut memiliki hubungan dengan wilayah core. Dalam perspektif dependensi, jika wilayah
periphery ingin berkembang, maka wilayah tersebut harus memutuskan hubungan terhadap
wilayah core. Namun, teori selective spatial closure memilah- milah sektor yang paling besar
memberi kontribusi dan dapat membangkitkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut,
misalnya sektor tekstil; dengan keterkaitan sektor tersebut terhadap industri hulu dan hilir maka
sektor ini menjadi sektor utama pengembangan wilayah tersebut, walaupun terjadi leakage
dengan wilayah core.
Proses seleksi lainnya diilustrasikan melalui adanya suatu ‘pre-condition’. Misalnya,
sektor tekstil yang menjadi andalan perkembangan wilayah namun input produksinya berupa
kapital intensif yang berasal dari core region. Tindakan pemutusan hubungan dengan wilayah
pusat dapat dilakukan apabila terdapat faktor produksi yang mensubstitusi input produksi,
misalnya kapital intensif disubstitusi dengan labor intensif apabila wilayah ini mempunyai
tenaga kerja yang murah. Proses seleksi di atas kemudian ditindaklanjuti dengan
membandingkan tingkat kemampuan masing-masing sektor untuk men-generate perkembangan
wilayah.
Pada dasarnya, implementasi program di dalam kebijaksanaan selective spatial closure
didasarkan atas upaya meningkatkan taraf tingkat self sufficiency suatu wilayah, dengan
memandang peran dan posisinya di dalam kontelasi serta hierarki sistem perwilayahan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya perkembangan ataupun perubahan bentuk
pada sistem fiskal dan transfer sumber daya (Lo dan Salih, 1981), dengan fokus utama dimana
wilayah tersebut dapat menerima beberapa pengaruh dorongan pertumbuhan dari basis ekspor
melalui ‘filter’ strategi small open model economy guna menghindari ketergantungan terhadap
sistem perekonomian nasional maupun internasional (Fei dan Ranis, 1973).

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

Integrasi keruangan nasional kerap dinilai sebagai suatu langkah pengembangan yang
positif. Namun dari sudut pandang penganut paham selective spatial closure, hal ini akan men-
create bentuk-bentuk linkages proses produksi yang pada akhirnya akan merugikan wilayah
yang ‘terisap’. Karena itu langkah awal yang perlu dipersiapkan di dalam membentuk pondasi
wilayah yang kuat adalah perbaikan struktur keterkaitan hubungan perekonomian, yang dilandasi
‘interrelasi yang seimbang’ antara core dan periphery serta perbaikan struktur perekonomian
wilayahnya.
Hubungan struktural dalam lingkup internasional secara langsung maupun tidak akan
mempengaruhi pemilihan kebijakan di wilayah yang lingkupnya lebih kecil. (Lo dan Salih,
Blaikie). Dengan berdasarkan pemahaman tersebut berarti perbaikan struktur internal wilayah
(dalam skala nasional) untuk mencapai tingkat self-sufficient tidak akan efektif jika tidak disertai
dengan perbaikan hubungan eksternalnya dalam lingkup perekonomian internasional.
Langkah strategi pengembangan selanjutnya terletak pada faktor struktur kelembagaan,
yang mengarah pada tuntutan azas desentralisasi dimana fungsi pengambilan keputusan lokal
sangat essensial sifatnya. Tiga prasyarat keberhasilan strategi pengembangan selective spatial
closure menurut Boisier, adalah :
1. Pembentukan kelembagaan baru; hal ini mensyaratkan adanya sumber daya manusia yang
baru yang belum tentu ada di wilayah periphery sehingga jika pelaksanaan pembentukan
institusi ini berhasil, diperlukan pendekatan metodologi dan teori baru yang diperoleh
melalui penambahan kuantitas sumber dayanya dan pelatihan tertentu.
2. Pemahaman yang meluas di tengah msyarakat setempat, mengenai tujuan dari setiap aktivitas
pembangunan, guna terciptanya tingkat kreativitas yang ditinggi di tengah masyarakat. Untuk
itu biasanya diperlukan suatu proyek perangsang kreativitas dari pemerintah yang masih
bernuansa top-down.
3. Membangkitkan hasil nyata dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini sebenarnya
cukup berat untuk dipenuhi sebab strategi ini memerlukan transformasi struktural yang besar,
seperti land reform, yang seringkali menimbulkan efek terhambatnya proses produksi.

Beberapa Kritik Terhadap Konsep Agropolitan dan Selective Spatial Closure

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

Kritik dan Evaluasi Perspektif Agropolitan


Secara umum, konsep pengembangan agropolitan dinilai terlalu utopian. Hal ini terlihat dalam
asumsi- asumsi yang mendasarinya. Berikut ini dijabarkan beberapa kritik terhadap
asumsi- asumsi tersebut :
♦ Salah satu asumsi konsep pengembangan Agropolitan adalah keberadaan penduduk yang
homogen/ identik. Aplikasinya berarti wilayah tersebut berhak memilah- milah penduduk
yang tinggal di region tersebut. Dalam lingkup yang sesungguhnya, proses pemilahan itu
sulit, bahkan hampir tidak mungkin, untuk dapat diwujudkan.
♦ Kritik lainnya adalah adanya asumsi bahwa terdapat kebersediaan individu (pelaku investasi)
wilayah lokal untuk selalu menginvestasikan modalnya di lokal wilayah tersebut. Hal ini
tidak mungkin terjadi dalam pengembangan wilayah yang sesungguhnya, dimana setiap
investor akan mempertimbangkan aspek skala ekonomi yaitu menempatkan investasi di
wilayah yang memiliki rate of return lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, dalam hal ini
berarti tidak selalu wilayah lokal yang menjadi pilihan investasi jika wilayah lokal tersebut
tidak memiliki rate of return yang menunjang perhitungan aspek skala ekonomi.
♦ Kritik lain diajukan oleh seorang ahli, Forkenbrock, yang berpendapat bahwa wilayah
Agropolitan akan sulit berkembang karena tingkat aksesibilitas yang rendah. Wilayah
Agropolitan pada konsepnya memang tidak mengembangkan infrastruktur ekternal, hal ini
akan mengurangi tingkat aksesibilitasnya terhadap wilayah lain, sehingga wilayah ini akan
sulit berkembang.
♦ Adanya asumsi kontrol terhadap sumber daya, yaitu sumber daya yang memiliki kontribusi
terbesar terhadap pertumbuhan wilayah akan difasilitasi dengan berbagai insentif sedangkan
sebaliknya, sumber daya yang lain dibiarkan tidak berkembang. Sedangkan dalam
pertimbangan pemilihan investasi ditinjau keterkaitan antar sektor, dalam hal ini berarti
seorang investor akan menanamkan modalnya dengan melihat keterkaitan dengan sumber
daya lain yang mungkin terdapat di wilayah lain. Jika demikian berarti telah terjadi leakage,
sedangkan hal ini tidak diperbolehkan dalam konsep pengembangan wilayah Agropolitan.
♦ Terkait dengan teori dependensi, timbul argumen bahwa proses internalisasi, peningkatan
akses menuju pengembangan sumber daya, dan keuntungan tidak mungkin dapat dicapai
dalam kondisi terjadinya proses polarisasi dalam skala nasional dan internasional.

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

♦ Argumentasi kedua, maksimasi keuntungan spread effect tidak mungkin dapat dicapai
seluruhnya hanya dengan melalui kegiatan ekonomi lokal dikarenakan adanya keterbatasan
kekuatan dan daya saing ekonomi lokal tersebut.
♦ Beberapa kendala yang timbul dalam implementasi kebijakan perkembangan wilayah
Agropolitan diantaranya : (Lo dan Salih, 1981)
1. Adanya penetrasi kekuatan internasional dan antar wilayah terhadap ekonomi wilayah
yang melemahkan posisi dan daya saing dari produsen lokal.
2. Tidak adanya keinginan untuk mendesentralisasikan proses pengambilan keputusan di
tingkat pemerintah lokal.
3. Keterbatasan kualitas sumber daya pengambil keputusan di tingkat lokal.
4. Tidak adanya keseimbangan aset dan distribusi pendapatan
5. Adanya berbagai kelas dalam masyarakat lokal yang kemudian mengacu pada perbedaan
akses secara sosial dan politik.

Kritik dan Evaluasi Perspektif Selective Spatial Closure


Selective Spatial Closure pada pendekatan tertentu serupa dengan konsep Agropolitan. Hal
yang membedakan dan menjadi karakteristik perspektif ini bahwa wilayah masih membuka diri
untuk melayani permintaan luar serta di dalam memanfaatkan sumber daya dari luar (small open
economy). Kritik yang muncul sehubungan dengan hal tersebut adalah :
1. Berkaitan dengan teori dependensi bahwa suatu wilayah, dalam konstelasinya yang lebih
luas jika sudah membuka diri terhadap sistem perekonomian dunia luar pada kenyataannya
akan sulit untuk melepaskan diri dari pola keterkaitan tersebut, sehingga tahapan proses
penyeleksian sebenarnya tidak rasional karena wilayah lokal akan terus bergantung pada
wilayah lain yang tingkat pertumbuhannya relatif lebih cepat. Satu- satunya kemungkinan
untuk melepaskan diri adalah dengan memutuskan hubungan dengan wilayah luar.
2. Proses small open economy akan membuka kemungkinan berpindahnya sumber daya
manusia lokal ke wilayah lain yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat, hal ini dikarenakan
adanya daya tarik yang lebih tinggi (tingkat upah, penyediaan fasilitas, dll), sehingga

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

pengembangan ekonomi lokal tidak dapat dicapai karena kurangnya sumber daya lokal yang
merupakan prasyarat berlangsungnya selective spatial closure.
3. Dalam tataran konsep pengembangan selective spatial closure proses pengendalian input-
output dan proses substitusi faktor produksi digambarkan sangat mudah. Dalam tataran
praktisnya, terdapat faktor lain yang dapat menghambat proses pengendalian tersebut,
misalnya adanya intervensi pemerintah berupa kontrol terhadap faktor produksi atau
penentuan alokasi faktor produksi.
4. Wilayah dikondisikan dengan situasi tertentu sehingga kondisi pasar persaingan sempurna,
dalam hal ini antara local market dan national and international market diabaikan, dengan
demikian berarti mekanisme pasar tidak berjalan.

KESIMPULAN
Dari berbagai kritik dan evaluasi terhadap asumsi, dan strategi pengembangan dapat dinilai
kelayakan implementasi kedua konsep pengembangan wilayah tersebut, yang

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

tentunya dengan mempertimbangkan kondisi atau faktor internal wilayah, struktur


permasalahan internal maupun eksternal yang melatarbelakangi. Kedua pendekatan
Development From Below ini pada satu sisi terasa kurang realistis dan tidak relevan
dengan pola perkembangan ‘global’ yang terjadi saat ini, serta cenderung lebih bersifat
disintegrasi, mengurangi bahkan melepaskan diri dari sistem ekonomi antar wilayah,
sistem dalam skala nasional maupun internasional. Namun di sisi lain, kedua
pendekatan ini di dalam konteks pemilihan alternatif strategi top-down atau bottom-up,
memberikan suatu keyakinan bahwa kesenjangan wilayah akan semakin konvergen jika
pembangunan dilakukan dengan berbasiskan pada kekuatan ekonomi dan partisipasi
lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Chen Lo, Fu and Kamal Salih, ‘Growth Poles, Agropolitan Development, and
Polarization Reversal: The Debate and Search for Alternatives’, in W.B. Stohr and
D.R.F. Taylor (eds), Development from Above or Below?.

Friedmann, J. and M. Douglass (1976), ‘Agropolitan Development: Towards a


New Strategy for Regional Planning in Asia.’

Stohr, W.B. (1981), ‘Development from Below: The Bottom-Up and Periphery-
Inward Development Paradigm’ in W.B. Stohr and D.R.F. Taylor (eds),
Development from Above or Below?.

Stohr, W.B and D.R.F Taylor (1981),’Development from Above or Below: Some
Conclusions’ in W.B. Stohr and D.R.F. Taylor (eds), Development from Above or
Below?.
Stohr, W.B. and F. Todtling (1977), ‘Spatial Equity-Some Anti-Theses to Current
Regional Development Doctrine.’ Papers of the Regional Science Association.

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH
PL-303/ PERENCANAAN WILAYAH

BAGAN ALIR STRATEGI


DEVELOPMENT PENGEMBANGAN WILAYAH
FROM ABOVE
INTEGRATED
HIERARCHY OF
REGIONAL SYSTEM
DEVELOPMENT
FROM BELOW

♦ TERITORIALLY PROVIDE
BASED- EXTERNAL
DEPENDENCY DEMAND
LINKAGE ; DEVELOPMENT UTILIZATION A
LEAKAGE EXTERNAL
REGIONAL ♦ INTERNALIZING RESOURCES
DISPARITIES RESOURCES

AGROPOLITAN –
DISTRICT GROWTH
ASUMPTIONS AND PRE-
CONDITIONS

DEV’T STRATEGY
CRITICS AND DEV’T
EVALUATION FEASIBILITY

PERSPEKTIF AGROPOLITAN DAN SELECTIVE SPATIAL CLOSURE 12


DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

You might also like