Professional Documents
Culture Documents
Pendekatan konsep pengembangan wilayah yang berbasis pada kekuatan ekonomi dan
sumber daya lokal, merupakan suatu respon terhadap pendekatan yang bersifat top-down.
Mekanisme pola ketergantungan (dependency) serta struktur hubungan produksi dan distribusi
yang berbeda antara core dan periphery, yang sangat kontras dengan pemikiran sistem integrasi
pusat-pusat dalam suatu lingkup sistem jaringan, tidak memungkinkan terjadinya proses
‘penjalaran’ atau yang dikenal dengan trickling down effects.
Berkaitan dengan dependency serta distorsi yang terjadi antara wilayah core dan periphery
(kesenjangan wilayah), Myrdall (1957), Hirschman (1958), dan Friedmann (1966),
mengatakan bahwa ekonomi wilayah yang terintregasi dan terkait dengan basis ekonomi dunia
yang tidak seimbang akan menimbulkan dua kecenderungan fenomena. Pertama, aktivitas
pembangunan yang mengarah pada gejala polarisasi atau backwash effect. Dan kedua, leakage
atas pemanfaatan sumber daya vital suatu wilayah untuk kepentingan metropolis (core atau
leading region) maupun negara lain.
Permasalahan juga ditekankan pada kesulitan untuk menstimulate keterkaitan ekonomi
antara industri-industri di pusat dengan daerah belakangnya, serta ketimpangan opurtunitas yang
dimiliki dalam segi skala ekonomi, potensi perubahan struktur sumber daya manusia dan
teknologi oleh core dan periphery. Sehingga gejala yang umum terjadi adalah mobilitas kapital,
tenaga kerja dan sumber daya terakumulasi di kutub-kutub pertumbuhan ( growth pole )
sementara akibat pengaruh leakages eksternal maupun internal yang terjadi, wilayah periphery
makin tertinggal.
Bertolak dari konsepsi pemikiran bahwa leakages atas proses produksi lokal akan
meminimisasi pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut, teori Development From Below
mensyaratkan adanya suatu tahapan dalam internalisasi sumber daya untuk menghasilkan produk
bagi pemenuhan konsumsi masyarakat lokal, misalnya melalui cara pengembangan industri
padat karya skala kecil. Atau secara ekstrem dapat dikatakan melakukan perubahan di dalam
institusi dan keterkaitan hubungan struktur ekonomi. Hal ini didukung pendapat Hirschman
(1957), bahwa pengembangan wilayah atas suatu periphery hanya dapat dilakukan dengan
melindunginya dari pengaruh polarisasi wilayah. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi wilayah,
usaha internalisasi yang dilakukan dalam bentuk komponen elemen-elemen produksi (sumber
daya maupun investasi) dimaksudkan untuk memaksimalkan efek mulitiplier lokal terhadap
sektor-sektor perekonomian wilayah melalui kontrol backwash effects yang terjadi dengan
bertumpu pada karakter dasar wilayah tersebut.
Territorial dan fungsional terlampau fokus kepada upaya mengembangkan wilayah tanpa
mempersiapkan infrastruktur lain yang mendukung sektor tertentu yang akan dikembangkan.
Agropolitan mempersiapkan secara matang aspek-aspek lain yang akan menunjang sektor
yang dikembangkan. Misalnya untuk suatu distrik agropolitan yang berbasis sektor pertanian,
maka akan ditunjang pula dengan sektor industri yang menghasilkan alat-alat pertanian;
perdagangan yaitu perdagangan yang memasarkan hasil-hasil industri dan pertanian itu; dan
sektor jasa lainnya yang secara keseluruhan menunjang berkembanganya sektor pertanian.
4. Sistem Manajemen
Dalam pengembangan territorial, keterkaitan antara pusat dan pinggiran dimanifestasikan
dengan sistem birokrasi desentralisasi dan dekonsentrasi yang masih memungkinkan adanya
interaksi kontrol-pertanggungjawaban antara pusat dengan daerah. Sementara itu agropolitan
distrik mempunyai wewenang penuh untuk mengontrol pemanfaatan sumber daya alamnya.
Pada bagian lain, pendekatan pengembangan fungsional lebih mengalami proses birokrasi
yang kompleks.
5. Tuntutan Adanya Leading Core
Pada konsepsi pengembangan agropolitan tidak dituntut adanya leading core, dalam artian
jika semua wilayah memiliki homogenitas dalam struktur perekonomian, konsepsi ini dapat
dikembangkan. Namun, dalam pengembangan teritorial dan fungsional, mekanisme
pengembangan wilayah dapat terjadi jika sudah terdapat leading core dalam sistem
perwilayahannya.
Oleh karena itu dibentuk unit- unit rural- urban yang independen di dalam satu “Agropolitan
District”. Hubungan rural- urban dalam district tersebut didasarkan pada keterkaitan yang saling
menguntungkan, serta kesamaan peran dalam interaksi skala territorial yang terkecil. Persepsi ini
didukung oleh Taylor (1979) yang mengatakan bahwa dalam konteks ini ukuran kota yang kecil
akan mengurangi terjadinya leakage dari wilayah agraris yang muncul akibat adanya keterkaitan
antar wilayah. Karakteristik- karakteristik dari unit- unit Agropolitan (prasyarat) yang dapat
dijadikan sebagai dasar asumsi pengembangan teori ini adalah :
1. Ukuran wilayah yang relatif kecil
2. Lokasi; terletak di hinterland negara- negara dunia ketiga
3. Kedaan sosial-budaya, politik, dan ekonomi relatif identik secara keruangan.
4. Tingkat kemandirian tinggi yang didasarkan pada partisipasi aktif masyarakat serta
kerjasama di tingkat lokal termasuk di dalamnya pemenuhan kebutuhan dan pengambilan
keputusan oleh masyarakat lokal.
5. Diversifikasi lapangan pekerjaan baik pertanian maupun non-pertanian dengan penekanan
pada pertumbuhan industrialisasi rural area
6. Adanya fungsi industri di wilayah urban-rural yang terkait pada sumber daya dan struktur
ekonomi lokal
7. Adanya teknologi yang mengacu pada pemanfaatan sumber daya lokal.
8. Jumlah penduduk berkisar antara 50.000 – 150.000
9. Pembatasan jarak antar unit yang memungkinkan terjadinya kecenderungan commuting.
Upaya menghindari ketergantungan (berupa impor faktor produksi ataupun barang-
barang kebutuhan dasar – basic needs) antara periphery dengan core region diwujudkan melalui
tindakan atau strategi pengembangan dalam menutup peluang terjadinya interaksi dengan hal-
hal sbb :
♦ Adanya pengendalian ketat terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini dilakukan
dengan memberikan kesempatan sebesar-besarnya terhadap sektor yang dapat meningkatkan
kualitas lokal secara kontinyu, dan menjadi basis ekonomi yang permanen, yang
dimungkinkan untuk sektor yang memanfaatkan sumber daya yang dapat diperbarui
(renewable resources). Bentuk perhatian lebihnya adalah dengan menyediakan fasilitas
training bagi tenaga kerjanya, pemberian subsidi, dan akses perkreditan. Sementara itu bagi
sektor lainnya akan dikembangkan ke arah yang mendukung sektor utama di atas.
♦ Meminimasi hubungan fisik antara core region dan periphery region. Dalam hal ini
berarti pembangunan jaringan infrastruktur yang menghubungkan kedua region tersebut
tidak diperhatikan dan titik berat pembangunan infrastruktur jaringan jalan difokuskan di
dalam wilayah itu sendiri.
♦ Adanya kebersediaan pelaku ekonomi, dalam hal ini pemilik modal untuk selalu
menginvestasikan modalnya di wilayah sendiri meskipun rate of return wilayah lain nilainya
lebih besar.
♦ Adanya populasi yang homogen, mengingat fondasi dari agropolitan development adalah
kebudayaan asli masyarakat setempat maka wilayah tersebut mungkin akan menerapkan
kebijakan ketat atas arus migrasi masuk.
♦ Pembangunan infrastruktur lain dan pengembangan sektor lain yang menunjang
pertumbuhan sektor utama. Dengan syarat, keterkaitan antar sektor- sektor tersebut berada
pada satu wilayah agropolitan district.
Regional leakage dan ‘Bottom-Up Strategies’: Menuju Strategi Selective Spatial Closure
Konsepsi pengembangan wilayah selective spatial closure ( Stohr dan Todtling, Some
Anti-Thesis to Current Regional Development Doctrine,1979) merupakan aplikasi pendekatan
yang bersifat teritorial dan fungsional dari Development From Below yang secara essensial
didasarkan pada pemanfaatan sumber daya wilayah yang terintegrasi pada skala keruangan yang
berbeda dan merupakan aplikasi bentuk pengembangan yang ditujukan umumnya pada wilayah
yang terbelakang ( periphery ) akibat implementasi serta pengaruh dari polarisasi wilayah ( Lo
dan Salih, 1981). Inti dari konsep, yang pada dasarnya harus disesuaikan dengan latar belakang
dan kondisi wilayah tersebut, adalah adanya kontrol aliran faktor produksi atau kontrol
hubungan eksternal yang bersifat merugikan terhadap pengembangan wilayah. Pengembangan
yang berbasiskan teritorial ini, tetap akan memenuhi eksternal demand dan memanfaatkan
sumber daya ekternal (dari luar wilayahnya), dengan pertimbangan bahwa tingkat pemenuhan
dan pemanfaatan tersebut tidak mengurangi tingkat utilitas dari kebutuhan dasar masyarakat
lokal serta mobilisasi sumber daya wilayah yang tersedia.
Pengendalian tersebut berkaitan dengan adanya fenomena ketergantungan (dependensi)
antara wilayah periphery dengan core, maupun bentuk dependency yang berakar dari hierarki
sistem perekonomian dunia. Ketergantungan ini terwujudkan dengan adanya beberapa sektor
impor maupun ekspor yang secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan wilayah tersebut.
Konkritnya, semakin banyak sektor impor maka semakin besar ketergantungan wilayah
periphery terhadap wilayah core ataupun terhadap ruang lingkup linkage skala ekonomi yang
lebih luas. Sedangkan kinerja sektor ekspor yang berlebihan berpengaruh secara langsung pada
ketersediaan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan lokal, dan hal ini dapat dikatakan sebagai
suatu bentuk dari backwash effect akibat pengaruh pola dependency ekonomi.
Selective spatial closure berusaha memilah dengan mempertimbangkan tingkat
kemampuan atau kontribusi masing-masing sektor tersebut terhadap perkembangan wilayah itu
(periphery). Dalam artian, meskipun sektor yang terpilih untuk dikembangkan tersebut memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan terjadinya proporsi leakages ( dengan pertimbangan tidak
besar pengaruhnya terhadap mobilitas lokal sumber daya wilayah ), tetapi secara fungsional
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dan
membangkitkan efek mulitiplier lokal karena keterkaitannya yang tinggi, sektor tersebut dapat
dimungkinkan menjadi sektor utama yang menumpu perkembangan wilayah. Seleksi lainnya
dilakukan dengan cara melihat potensi lokal yang mungkin dikembangkan dalam hal ini dengan
menilai kemungkinan pemanfaatan faktor produksi lokal yang dapat mensubstitusi faktor
produksi yang semula menjadi input bagi salah satu sektor di periphery dan input itu berasal dari
luar (core region).
Integrasi keruangan nasional kerap dinilai sebagai suatu langkah pengembangan yang
positif. Namun dari sudut pandang penganut paham selective spatial closure, hal ini akan men-
create bentuk-bentuk linkages proses produksi yang pada akhirnya akan merugikan wilayah
yang ‘terisap’. Karena itu langkah awal yang perlu dipersiapkan di dalam membentuk pondasi
wilayah yang kuat adalah perbaikan struktur keterkaitan hubungan perekonomian, yang dilandasi
‘interrelasi yang seimbang’ antara core dan periphery serta perbaikan struktur perekonomian
wilayahnya.
Hubungan struktural dalam lingkup internasional secara langsung maupun tidak akan
mempengaruhi pemilihan kebijakan di wilayah yang lingkupnya lebih kecil. (Lo dan Salih,
Blaikie). Dengan berdasarkan pemahaman tersebut berarti perbaikan struktur internal wilayah
(dalam skala nasional) untuk mencapai tingkat self-sufficient tidak akan efektif jika tidak disertai
dengan perbaikan hubungan eksternalnya dalam lingkup perekonomian internasional.
Langkah strategi pengembangan selanjutnya terletak pada faktor struktur kelembagaan,
yang mengarah pada tuntutan azas desentralisasi dimana fungsi pengambilan keputusan lokal
sangat essensial sifatnya. Tiga prasyarat keberhasilan strategi pengembangan selective spatial
closure menurut Boisier, adalah :
1. Pembentukan kelembagaan baru; hal ini mensyaratkan adanya sumber daya manusia yang
baru yang belum tentu ada di wilayah periphery sehingga jika pelaksanaan pembentukan
institusi ini berhasil, diperlukan pendekatan metodologi dan teori baru yang diperoleh
melalui penambahan kuantitas sumber dayanya dan pelatihan tertentu.
2. Pemahaman yang meluas di tengah msyarakat setempat, mengenai tujuan dari setiap aktivitas
pembangunan, guna terciptanya tingkat kreativitas yang ditinggi di tengah masyarakat. Untuk
itu biasanya diperlukan suatu proyek perangsang kreativitas dari pemerintah yang masih
bernuansa top-down.
3. Membangkitkan hasil nyata dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Hal ini sebenarnya
cukup berat untuk dipenuhi sebab strategi ini memerlukan transformasi struktural yang besar,
seperti land reform, yang seringkali menimbulkan efek terhambatnya proses produksi.
♦ Argumentasi kedua, maksimasi keuntungan spread effect tidak mungkin dapat dicapai
seluruhnya hanya dengan melalui kegiatan ekonomi lokal dikarenakan adanya keterbatasan
kekuatan dan daya saing ekonomi lokal tersebut.
♦ Beberapa kendala yang timbul dalam implementasi kebijakan perkembangan wilayah
Agropolitan diantaranya : (Lo dan Salih, 1981)
1. Adanya penetrasi kekuatan internasional dan antar wilayah terhadap ekonomi wilayah
yang melemahkan posisi dan daya saing dari produsen lokal.
2. Tidak adanya keinginan untuk mendesentralisasikan proses pengambilan keputusan di
tingkat pemerintah lokal.
3. Keterbatasan kualitas sumber daya pengambil keputusan di tingkat lokal.
4. Tidak adanya keseimbangan aset dan distribusi pendapatan
5. Adanya berbagai kelas dalam masyarakat lokal yang kemudian mengacu pada perbedaan
akses secara sosial dan politik.
pengembangan ekonomi lokal tidak dapat dicapai karena kurangnya sumber daya lokal yang
merupakan prasyarat berlangsungnya selective spatial closure.
3. Dalam tataran konsep pengembangan selective spatial closure proses pengendalian input-
output dan proses substitusi faktor produksi digambarkan sangat mudah. Dalam tataran
praktisnya, terdapat faktor lain yang dapat menghambat proses pengendalian tersebut,
misalnya adanya intervensi pemerintah berupa kontrol terhadap faktor produksi atau
penentuan alokasi faktor produksi.
4. Wilayah dikondisikan dengan situasi tertentu sehingga kondisi pasar persaingan sempurna,
dalam hal ini antara local market dan national and international market diabaikan, dengan
demikian berarti mekanisme pasar tidak berjalan.
KESIMPULAN
Dari berbagai kritik dan evaluasi terhadap asumsi, dan strategi pengembangan dapat dinilai
kelayakan implementasi kedua konsep pengembangan wilayah tersebut, yang
DAFTAR PUSTAKA
Chen Lo, Fu and Kamal Salih, ‘Growth Poles, Agropolitan Development, and
Polarization Reversal: The Debate and Search for Alternatives’, in W.B. Stohr and
D.R.F. Taylor (eds), Development from Above or Below?.
Stohr, W.B. (1981), ‘Development from Below: The Bottom-Up and Periphery-
Inward Development Paradigm’ in W.B. Stohr and D.R.F. Taylor (eds),
Development from Above or Below?.
Stohr, W.B and D.R.F Taylor (1981),’Development from Above or Below: Some
Conclusions’ in W.B. Stohr and D.R.F. Taylor (eds), Development from Above or
Below?.
Stohr, W.B. and F. Todtling (1977), ‘Spatial Equity-Some Anti-Theses to Current
Regional Development Doctrine.’ Papers of the Regional Science Association.
♦ TERITORIALLY PROVIDE
BASED- EXTERNAL
DEPENDENCY DEMAND
LINKAGE ; DEVELOPMENT UTILIZATION A
LEAKAGE EXTERNAL
REGIONAL ♦ INTERNALIZING RESOURCES
DISPARITIES RESOURCES
AGROPOLITAN –
DISTRICT GROWTH
ASUMPTIONS AND PRE-
CONDITIONS
DEV’T STRATEGY
CRITICS AND DEV’T
EVALUATION FEASIBILITY