You are on page 1of 2

AYAH SIBURUK RUPA

Selama ini aku selalu berhasil melarang Ayah datang ke sekolah:


mengantar, menjemput, atau untuk keperluan lain. Tentu saja aku tidak
terang-terangan melarang. Aku punya cara supaya Ayah tidak merasa aku
larang ke sekolah. Seperti musim pengambilan rapor kemarin dulu,
misalnya.

“Ibu saja yang mengambil rapor, Yah. Ayah ‘kan capek,” kataku
ketika itu.

“Tapi besok ‘kan Sabtu. Ayah libur, tidak ke mana-mana.”

“Setiap hari Ayah ‘kan kerja, cuma libur hari Sabtu dan Minggu. Jadi,
Sabtu dan Minggu jatah Ayah duduk manis di rumah, baca-baca, nonton tivi,
atau siram-siram bunga. Tenang saja, Yah. Dijamin, pokoknya raporku
keren,” kataku mencoba ‘melarang’ Ayah ke sekolah.

“Oke, deh,” jawab Ayah dengan gayanya yang khas.

“Yes!” aku berteriak –dalam hati, tapi-- sambil mengepalkan tangan.

Kadang-kadang aku suka merasa berdosa karena sering menghalang-


halangi Ayah ke sekolah. Habis, aku harus bagaimana. Kalau Ayah ke
sekolah, semua temanku akan tahu penampilan ayahku tidak cool seperti
ayah mereka. Bukan karena tidak bisa berdandan, tapi karena Ayah memang
tidak menarik, baik wajah maupun postur tubuhnya. Sudah tidak tampan,
kurus pula.

You might also like