Professional Documents
Culture Documents
“Selamat pagii..”, suara merdu itu menggema di ruangan tamu rumah kosku yang cukup
lapang.
Selanjutnya terdengar suara batuk yang panjang, yang dikeluarkan dari kerongkongan yang
sama.
Aku memandang si pemilik suara itu dengan rasa kasihan.
”Masih batuk Win?, kok kelihatannya semakin keras saja. Pergi ke dokter dong”.
Wiwin, si pemilik suara, hanya tersenyum manis. Dia membuka lemari es dan mengambil
sebotol air es, langsung diteguknya tanpa memakai gelas lagi.
”Enggak kok Mas No’, ini mah sudah mendingan. Kemarin aku sudah konsultasi ke dokter
katanya enggak apa-apa. Udah baik.”
Tetapi kata-katanya itu dilanjutkan lagi dengan batuk yang beruntun, membuatnya tersedak-
sedak dan terbungkuk-bungkuk.
Itulah si Wiwin, satu-satunya cewek di tempat kosku ini. Namaku Nano, dan bersama ketiga
kawanku (Dwi, Deni dan Atok) tinggal di rumah kost ini sudah semenjak dua tahun yang
lalu. Kami sama–sama kuliah di salah satu universitas swasta beken di Jakarta ini, dan rumah
kost ini kami pilih karena jaraknya yang sangat dekat dengan kampus. Selain harganya tidak
terlalu mahal, rumah ini lumayan luas dan terawat baik (ada satu pembantu yang datang pagi-
pagi untuk memasak, mencuci dan membersihkan rumah). Bagi kami, mahasiswa perantauan
yang tinggal sendiri di ibukota, kondisi ini cukuplah. Kami merasa nyaman dan kerasan di
rumah ini.
Hingga kemudian, datanglah si Wiwin. Wiwin adalah keponakan dari Ibu Hidayat, pemilik
rumah kost ini. Ayah dan ibunya tinggal di Bandung tetapi telah bercerai semenjak dia
berusia 5 tahun. Wiwin adalah anak tunggal, tampaknya perkembangan hidupnya menjadi
kacau setelah perceraian itu. Dia tinggal bersama ibunya (yang sudah kimpoi lagi dengan
duda beranak tiga), tetapi tampaknya sangat kurang mendapatkan kasih sayang. Dia
berkembang menjadi gadis super bandel yang semenjak SMP hidupnya lebih banyak
dihabiskan untuk berkeliaran pada malam hari bersama gengnya dari pada belajar, selalu
merokok seperti kereta api dan membuat berbagai ulah yang merepotkan orang tuanya.
Pada saat berumur 17 tahun, dia mendapatkan dua 'hadiah' sekaligus, hamil di luar nikah dan
dikeluarkan dari SMA nya karena kedapatan mengkonsumsi narkoba. Untung saja
kehamilannya dapat dihentikan dengan pengguguran kandungan, tetapi untuk persoalan
sekolah rupanya sudah tidak tertolong lagi. Si Wiwin sama sekali mogok tidak mau sekolah.
Dia memilih tinggal di rumah saja, dan meneruskan kegiatannya lontang-lantung bersama
gengnya dan terus memberikan kontribusinya terhadap pendapatan cukai negara dengan terus
menerus merokok, tidak henti-hentinya.
Orang tuanya tampaknya sudah angkat tangan betul-betul dengan ulah anak gadisnya itu,
sehingga sejak empat tahun yang lalu dia dipindahkan ke rumah Ibu Hidayat, bibinya yang
jauh lebih ketat dalam beragama (pak Hidayat mempunyai pesantren kecil yang dikelolanya
sendiri). Tetapi keluarga pak Hidayat yang alim inipun akhirnya angkat tangan terhadap ulah
bandel si Wiwin, terutama karena keberaniannya menggoda para santri yang masih muda dan
polos.
Akhirnya untuk mengurangi akibat buruk dari ulah begajulan keponakannya itu, pak Hidayat
menempatkan si Wiwin di rumahnya yang dijadikan rumah kosku ini. Si Wiwin (dengan
Itulah sekelumit kisah hidup si Wiwin, teman kost kami. Dan inilah sekelumit fakta lain
mengenai dia, dari segi fisik, si Wiwin (ini sungguhan) astaga-naga cantiknya.
Tubuh si Wiwin ini tinggi juga (+/- 168 cm), kulitnya putih mulus dengan rambut hitam
tebal, mata seperti kijang dan mulut super sensual dengan bibir agak tebal. Buah dadanya
berukuran 36 D (wuaah.., gede banget), dengan pinggul yang benar-benar membuat mata
setiap lelaki melotot memandangnya. Dan hebatnya, tubuh bahenol itu kalau di rumah sering
hanya ditutupi dengan selembar daster tipis yang hanya disangkutkan di bahu pemakainya
dengan dua utas tali kecil, sehingga keindahan punggung dan lengannya tampak dengan jelas
dan menjadi konsumsi gratis mata anak-anak kos.
Pokoknya, si Wiwin sungguh-sungguh top badannya. Lha, kenapa kami selama ini masih bisa
menahan diri, tidak menubruk tumpukan daging indah yang setiap hari melintas di hadapan
kami itu? Alasannya adalah, semenjak dia masuk ke rumah kost ini (kira-kira setahun yang
lalu), si Wiwin sudah disamber si Roni, salah seorang teman sekampusku, dan dengan bangga
diproklamasikan sebagai pacarnya. Mereka berkenalan ketika si Roni main ke tempat kost
kami, dan dalam waktu seminggu mereka sudah lengket seperti permen karet.
Kami sudah mengingatkan Roni mengenai kabar kabur si Wiwin yang tidak begitu baik dan
hobinya yang suka ngelayap dengan sembarang orang, tetapi teman kami itu tidak peduli.
Mereka berpacaran dengan bersemangat, dan hebatnya kami melihat bahwa si Wiwin yang
begajulan itu akhirnya tunduk juga. Dia sudah agak jarang pergi malam hari, kecuali diantar
si Roni. Kalau pacaran mereka juga lebih banyak duduk saja di bawah pohon jambu di
halaman rumah, sambil makan bakso yang sering lewat malam-malam. Sungguh romantis.
Nah, kira-kira dua bulan yang lalu, si Wiwin mulai sakit. Dia bilang tubuhnya sering lemas
dan panas, ditingkahi dengan sesak napas dan batuk yang tidak ada hentinya. Kamipun
dengan mudahnya memvonis, itu pasti akibat rokok yang tidak pernah lepas dari mulutnya.
Wiwin sering terbaring lemas di kamarnya, meringkuk di balik selimut tebal. Bapak dan Ibu
Hidayat sering menengoknya dan secara rutin membawanya ke dokter. Acara ke dokter ini
tampaknya semakin lama semakin sering, tetapi mereka sungguh tutup mulut mengenai apa
sakit si wiwin sebenarnya. Kalau ditanya pun, si Wiwin cuma menjawab, “Enggak tahu, TBC
‘kali..”, sambil mencibirkan bibirnya yang seksi.
Pada awal-awal sakitnya, Roni dengan rajin mengantar pacarnya itu ke rumah sakit. Hampir
tiap hari dia datang, memijiti si Wiwin dan memberinya obat. Sunguh pacar kelas satu. Tetapi
pada minggu-minggu terakhir ini, ada perkembangan drastis. Itu dimulai ketika suatu malam,
Roni berbicara serius dengan bapak dan Ibu Hidayat di halaman depan rumah. Waktu itu si
wiwin baru pulang dari dokter, sakitnya kumat dengan hebat dan dia meringkuk di kamarnya
dengan tubuh menggigil. Hampir satu jam tiga orang itu berbicara di depan rumah, dan
akhirnya si Roni masuk ke dalam dengan wajah yang sangat aneh, antara marah dan sedih,
matanya berkaca-kaca. Dia mendatangi kamar Wiwin tetapi tidak masuk ke dalamnya. Dia
hanya memandang tubuh pacarnya yang meringkuk di balik selimut dari balik kaca, berkali-
Dan ternyata itulah kali terakhir si Roni datang ke tempat kost kami. Waktu kami tanyakan ke
Wiwin, dengan santainya dia menjawab, ”Kami udahan kok.., putus! nggak cocok ‘kali.
Mana ada cowok macem Roni yang mau dengan cewek kaya gue“. Meskipun dinyatakan
dengan bercanda, ada nada kepedihan dalam suaranya. Waktu kami konfirmasikan ke Roni,
dia selalu mengelak. Waktu kami desak, ia hanya berkata pendek, ”Udahlah. Kami udah
putus. Nggak ada apa-apa lagi.” Tetapi pada akhir kalimatnya, ia memberikan peringatan
yang aneh, dengan suara bergetar, ”Kalian semua, jauhi si Wiwin itu. Dia sangat berbahaya.”
Dan tanpa menjelaskan lebih jauh maksudnya, si Roni cepat-cepat ngeloyor pergi.
*****
Nah, kembali ke depan, di pagi hari yang indah yang ditingkahi dengan batuk rutin dari si
cantik. Ketika Wiwin selesai dengan batuknya, muncullah ketiga teman kosku yang lain dari
kamar masing-masing. Ini hari minggu, jadi kami bangun telat banget. Si bibik pembantu
sudah selesai masak, mencuci dan membersihkan rumah, dan sekarang dia sudah pulang. Jam
menunjukkan pukul delapan pagi.
Walah, kami semua tersentak kaget. Jorok banget mulut cewek ini! Meskipun kami tahu si
wiwin ini cewek urakan, tetapi karena selama ini selalu menjaga jarak dengan dia maka kami
tidak tahu bahwa dia punya mulut secomberan itu.
Dwi tersedak-sedak minumnya, berusaha menjawab dengan tenang.
”Iya, waktu itu juga, tapi paling hebat waktuu...”, dia pura-pura mengingat lagi.
“Waktu kita main enam sembilan yach? waktu Mas jilatin memek saya dan waktu saya isep
kontol Mas yach?“, tanya Wiwin semakin menggoda.
Kami hampir pingsan mendengarnya. Blak-blakan banget! tetapi pada saat itu, nafsu kamipun
Si wiwin sekarang berdiri di depan kami (kami berempat sedang duduk menggelosor di
karpet, di depan TV). Dia memandang kami berganti-ganti dengan mata yang nakal.
”Teruuss.., bagaimana ini? Mas mau sebatas mimpi apa mau direalisasikan? Wiwin mau
loh!”, dia berkata dengan serius.
Dia menggoyang-goyangkan badannya mengikuti lagu dangdut dari TV, membuat buah
dadanya yang super besar bergerak-gerak menggairahkan.
Kini, Wiwin telah berdiri telanjang bulat di depan kami. Ternyata dia tidak memakai baju
dalam apapun. Dengan bebas kami melihat tubuhnya yang sangat bahenol, buah dadanya
yang berukuran 36 D tergantung bebas dengan puting cokelat kemerahan. Meskipun sangat
besar, buah dada itu tampak tidak melorot meskipun tidak disangga bra. Perutnya yang putih
mulus, pahanya yang jenjang, dan sekumpulan bulu lebat yang menutupi selangkangannya.
Bulu-bulu itu lebat sekali, sehingga aku tidak bisa melihat belahan kemaluannya sama sekali.
Aku menelan ludah. Ini mimpi apa beneran?
Wiwin berdiri dengan tetap memutar mutar badannya pelan ke kanan kiri, mengikuti musik di
televisi.
”Hayooo.., Wiwin sudah siap nih. Lihat dong badan Wiwin, nggak usah dibawa ke mimpi
segala macam. Mas-Mas kan tiap hari melotot melihat Wiwin kan? Nih dia, sekarang Wiwin
kasih gratis buat Mas-Mas.”
Dan sambil berbicara dia mulai melenggak-lenggok, seperti penari striptease (tukang
kelayapan macam dia pasti sudah tahu, apa malah dia pernah melakukan?).
Kedua tangannya menelusuri tubuhnya sendiri, dan meremas-remas buah dadanya yang
menggelembung. Disangganya buah dadanya dengan telapak tangannya, dan dengan gerakan
menggoda mendekatkan buah dadanya ke wajahku.
”Niih Mas Nano, nikmati deh..., ayoo, nggak usah malu-malu”.
Aku masih terdiam karena kaget dan terpesona. Tetapi kini puting buah dada Wiwin mulai
digesek-gesekkan ke wajahku, terasa hangat dan lembut.
Aku mendesah. Godaan ini terlalu besar untuk dilawan. Aku memilih untuk menyerah.
Kubuka mulutku, dan sekejap kemudian puting itu telah masuk ke mulutku. Kuhisap–hisap
dengan nikmat (dan memang sangat nikmat), mulutku mulai merambah dan menghisap lebih
banyak lagi bagian buah dada yang besar itu. Kudengar Wiwin mendesah-desah.
”Aahh..., enak Mas. Isep terus Mas..., auuuhh...”, sambil tangannya meremas dan menarik-
Ketika aku sedang asyik mengisap, kurasakan ada tubuh lain mendesak di sebelahku.
Ternyata si Dwi, dia mengikuti langkahku dengan mengisap buah dada kiri si Wiwin. Dengan
dua laki-laki yang menyusu dengan lahap itu, Wiwin tampak terangsang berat. Dia
mengerang-ngerang dan mendesah, kedua tangannya memegang kepala kami seakan kuatir
kami akan melepaskan hisapan kami.
Lima menit kami melakukan aktivitas kami, ketika aku merasa ada tubuh lain mendesak di
bawah kami. Ternyata Deni, menyungkupkan wajahnya ke selangkangan Wiwin yang
terbuka. Dengan ganas dia menjilat dan menghisap kemaluan Wiwin yang berbulu super
lebat itu, begitu hebatnya sehingga aku mendengar suara berkecipak dari mulutnya. Wiwin
semakin menggila. Digerak-gerakannya pinggulnya sehingga kemaluannya bergesekan
semakin keras ke mulut Deni. Kedua insan itu saling merenggut dan merengkuh, erangan dan
desahan keduanya terdengar saling bersahutan.
Tampaknya rangsangan yang dirasakan Wiwin lebih besar dari yang dapat ditahannya.
Kulihat dan kurasakan tubuh dan kakinya bergetar, tubuhnya semakin melengkung ke depan
dan akhirnya dia roboh..., kami bertiga (sambil tetap melanjutnya hisapan kami) menahan
tubuh itu dan dengan perlahan–lahan membaringkannya ke atas karpet. Kini dia tidur
telentang, tetap bergoyang-goyang menahan rangsangan jilatan dan hisapan kami.
Tiba-tiba Dwi melepaskan hisapannya pada puting dada Wiwin, dan menoleh ke Atok yang
masih duduk bengong di karpet.
”Ini Tok.., gantian lo yang ngisep. Enak bener rasanya. Kagak ada yang ngalahin“, katanya
sambil menjepit puting Wiwin dengan jari telunjuk dan jempolnya.
“Rasain deh.”
Atok (yang tampaknya juga sudah terangsang berat) segera menyerbu dan memasukkan buah
dada bahenol itu ke mulutnya hingga kembali terdengar suara berkecipak dan sedotan dari
mulutnya.
Kulirik ke bawah, tampak Deni tetap bersemangat menjilat dan mengisap kemaluan Wiwin
yang kini tampak sangat basah. Pinggul gadis itu tetap bergerak-gerak dengan liar
mengimbangi jilatan Deni, pahanya yang mulus terangkat ke atas dan menelikung kepala
Deni. Aku sungguh ingin merasakan memek si Wiwin, tetapi kutahan dahulu nafsuku. Aku
punya rencana lain.
Aku melepaskan hisapanku pada dada Wiwin, dan berdiri. Kulepaskan celana pendekku,
sehingga kini kemaluanku tampak tegak berdiri siap tempur. Kemudian aku merendahkan
tubuhku dan mendekatkan kemaluanku ke mulutnya.
”Isepin Win...”, kataku penuh nafsu, ”Kamu mau kan?”.
Tetapi pada saat itu kurasakan tangan Dwi menepis lenganku.
”Gua duluan, brengsek” katanya parau.
”Gua udah ngimpiin sejak semalem“, kulihat dia, ternyata Dwi sudah telanjang bulat dan juga
mengarahkan kemaluannya yang super besar (paling besar di antara kami bertiga) ke mulut
Wiwin.
Setelah seluruh maniku keluar, aku tetap menelungkup di atas kepala Wiwin dan kemaluanku
tetap berada di mulutnya. Meskipun senjataku terasa semakin mengecil, sepertinya Wiwin
enggan melepaskannya. Kurasakan sedotannya masih berlanjut dan lidahnya (yang kini terasa
sangat basah karena bercampur dengan air maniku) masih terus bermain menelusuri batang
kemaluanku. Tetapi kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Si Dwi yang sejak tadi dikocok-
kocok kemaluannya oleh Wiwin, tampaknya sudah tidak sabar lagi. Didorongnya tubuhku
sehingga hampir terjengkang ke kanan.
”Gantian lu, brengsek. Gua sudah nggak tahan.”
Dan tanpa basa basi lagi didorongnya kemaluannya ke mulut Wiwin yang setengah terbuka
dan masih belepotan air maniku.
Wiwin tampak sangat kewalahan dengan tindakan si Dwi yang tampak seperti kesetanan itu.
Temanku yang biasanya pendiam itu sungguh berubah menjadi mahluk yang liar dan ganas.
Digoyangkannya pinggulnya sekuat tenaga, tanpa memperhatikan apakah Wiwin tidak mati
tersedak karena ulahnya tersebut. Kulihat juga wajah Wiwin tampak menahan serangan itu,
mulutnya terbuka lebar disesaki oleh batang kemaluan Dwi yang super besar dan kudengar
gumamannya, “Mmmpph..., mppppff..”, dengan nada memprotes.
Aku yang sekarang duduk menggelesot di lantai karpet melihat adegan itu, dan kulihat juga si
Deni dan Atok juga menghentikan aktivitasnya dan memandang adegan ganas itu dengan
mulut melongo. Aku hampir saja akan mengingatkan si Dwi supaya tidak terlalu ganas
Kulihat wajah Wiwin memerah, matanya melotot dan karena dia dalam posisi telentang maka
tidak ada air mani yang lolos keluar dari kerongkongannya. Tampaknya dia sudah tidak kuat
lagi, dan didorongnya tubuh Dwi ke samping sehingga Dwi terguling di karpet. Wiwin
membalikkan tubuhnya, dan dengan napas tersengal-sengal menundukkan kepala dan
mengeluarkan sebagian mani di mulutnya ke karpet.
”Aduuh..., kalian keterlaluan deh. Kalo napsu ya napsu tapi inget dikit doong..., kan Wiwin
bisa mati kesedak. Hi, hi, hi..”.
Wah, aku kira dia akan marah tapinya malah terkikik-kikik ketawa. Dengan genit dicubitnya
si Dwi.
”Itu burung isinya berapa liter sih? bisa bikin anak sekampung beneran.”
Mendengar itu Dwi hanya diam saja. Napasnya masih tersengal-sengal.
Dengan gaya lemas si Wiwin berdiri dan berjalan gontai menuju kulkas. Diambilnya botol air
es dan diminumnya dengan gaya khasnya, langsung ditenggak tanpa pakai gelas lagi. Setelah
napasnya kembali teratur, dia memandang kami berempat yang masih duduk menggelosor di
karpet dengan pandangan lucu (ingat, dia masih telanjang bulat lho. Untung kaca jendela
masih tertutup gorden sehingga orang di jalan tidak bisa melihat tubuhnya yang bahenol).
“Udah puas nggaak..?” tanyanya lucu.
”Mas Dwi sama Mas Nano udah keluar simpenannya berliter-liter. Tapi Mas Deni dan Mas
Atok kan belum. Mau diterusin nggak?”, tanyanya sambil melihat kepada dua teman kami
itu.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan meskipun tidak berkata-kata keduanya tampak
sepakat. Mereka berdiri dan dengan secepat kilat menyerbu tubuh Wiwin yang masih berdiri
di sebelah kulkas. Deni memeluk dari depan, Atok dari belakang, keduanya dengan ganas
menciumi wajah dan leher Wiwin. Tangan mereka berebutan meremas buah dada dan
kemaluan Wiwin, sedemikian bernafsu dan kacaunya sehingga gadis itu (eh, memangnya dia
masih gadis?) menjerit dan tertawa terkikik-kikik.
”Hi, hi, hi.., aduuh..., berhenti dulu..., stoop dulu deeh..., kalo main yang lembut doong..”.
Dan dengan sekuat tenaga Wiwin melepaskan diri dari dekapan dua serigala kelaparan itu
dan berdiri agak menjauh.
”Udaah.., udaah..., kalian kayak orang belum pernah pegang badan cewek saja”, katanya
sambil tersedak-sedak ketawa.
”Buka dulu baju kalian dong. Baru kita main beneran. Ayo!”, perintahnya.
Deni dan Atok saling berpandangan, dan seperti dikomando mereka segera membuka baju
dan celananya. Hanya dalam hitungan detik keduanya sudah telanjang bulat, kulihat
kemaluan mereka mengacung ke atas karena sangat tegang. Namun keduanya tetap berdiri
diam, seakan menunggu komando dari Wiwin lagi.
Wiwin tersenyum senyum menandang dua jagoan itu, seperti gaya cewek yang lagi memilih-
milih barang di toko.
”Mmm..., lumayan juga kalian deh”, katanya sambil terus melihat keduanya berganti ganti.
”Bukan wajah dan tubuhnya lho..., kalau itu mah kalian nilainya cuman dapet lima setengah.
Tapi kontolnya itu lho.., sungguh menggairahkan.”
Dan sambil berkata begitu, didekatinya Deni dan Atok, dipegangnya batang kemaluan
Wiwin terkikik gembira dan segera melompat ke atas pinggul Deni. Jari telunjuk dan jari
tengah tangan kanannya membuka bibir kemaluannya, sedang tangan kirinya memegang
batang kemaluan Deni dan diarahkan ke lubang yang sudah terbuka itu.
”Masukkan kontolmu sayang, rasakan nikmatnya memek ini.”, desisnya (astaga, mulutnya
comberan banget!).
Direndahkannya tubuhnya, sehingga kepala kemaluan Deni mulai melesak ke dalam lubang
kemaluannya.
“Aahh...”, desahnya.
Aku sudah menduga kalau lubang memek si Wiwin ini pasti sudah agak longgar karena
terlalu banyak dipakai. Dan ternyata benar. Tanpa terlalu banyak usaha, batang kemaluan
Deni yang berukuran menengah itu langsung melesak seluruhnya ke dalam lubang kemaluan
Wiwin. Wiwin terkikik kecil dan akhirnya merebahkan tubuhnya ke atas tubuh Deni. Buah
dadanya yang super besar menggantung bebas, tangan Deni segera menyambut dan
meremasnya. Wiwin mendesah nikmat.
Lima menit adegan itu berlangsung, gerakan mereka semakin liar dan pinggul Wiwin
semakin keras bergerak, ke atas ke bawah dan ke kiri kanan. Desahan dan erangan mereka
terdengar semakin lama semakin keras. Tetapi tiba-tiba Wiwin mengentikan gerakannya.
Kepalanya menengok ke arah Atok yang masih berdiri tegak di sebelahnya.
”Aduuh, Mas Atok yang malang”, kata Wiwin dengan lucu.
”Masih nunggu giliran yach? Sini, masukin kontolmu ke Wiwin”, katanya lagi.
Tangan kanannya meraih pinggulnya dan membuka belahan pantatnya, ”Ayoo Mas,
cepetan”.
Wiwin terkikik senang, ”Gitu doong. Sekarang kita mulai main kuda-kudaan ini yah”,
katanya.
Dan dia segera mulai menggerak-gerakkan pantatnya lebih kuat lagi sehingga kemaluan Deni
semakin cepat keluar masuk lubangnya yang sudah tampak sangat basah. Ketiga orang di
depanku ini sudah tampak sangat kesetanan, terbenam nafsu yang luar biasa, sama sekali lupa
pada lingkungan sekitarnya. Sedemikian kuatnya mereka memompa, sehingga terdengar
suara berkecipak ketika cairan kemaluan Wiwin muncrat tertekan batang kemaluan Deni.
Sekali lagi posisi dudukku yang dekat dengan pinggul Wiwin menyebabkanku dapat melihat
dengan jelas bagaimana kedua batang kemaluan itu merojok-rojok kedua lubang di tubuh
Wiwin.
Sekali lagi, dalam kondisi yang sangat terangsang si Wiwin masih menyimpan kesadaran.
Sambil bertumpu pada kedua belah tangannya menahan tubuhnya yang semakin kuat
bergoyang-goyang ditekan goyangan si Atok dan Deni, wajahnya berpaling kepadaku yang
sedang duduk bengong memperhatikan.
Mulutnya tersenyum nakal, ”Mas Nano, mau diemut lagi nggak? Mulut Wiwin lagi kosong
nih. Yok sini...”, katanya sambil mengeluarkan lidahnya menggoda.
Aku, yang masih terpesona dengan segala keadaan yang serba tidak terduga ini, menggeleng.
”Nggak deh Win. Gua udah cukup duluan. Terusin aja sama sama si Atok dan Deni”, kataku.
Wiwin tertawa nakal, ”Wii.., diberi kesempatan kok malah nggak mau. Ya sudah”, katanya.
Ia berpaling ke Dwi, mungkin maksudnya menawarkan hal yang sama, tetapi tidak jadi ketika
melihat Dwi sudah tidur telentang dengan mata menerawang ke atas. Tampaknya dia sama
denganku, masih shock menghadapi segala kejadian yang begitu tiba-tiba ini.
Permainan ketiga orang di depanku tampak semakin memanas. Kulihat Atok semakin
melebarkan kedua kakinya, sehingga dia kini dalam posisi berdiri terkangkang lebar-lebar
dan semakin keras merojok-rojokkan batang kemaluannya ke lubang pantat Wiwin.
Demikian juga Deni dalam posisi telentang semakin kuat menggoyang pantatnya ke atas,
Tapi Wiwin segera memanggil, ”Eeh.., mau kemana Mas. Sini Wiwin bersihin kontol mas.
Lihat tuh, belepotan banget”, katanya.
Diraihnya kemaluan si Atok dan ditariknya ke arah mulutnya. Dengan paksa ditariknya
batang kemaluan yang sudah lemas itu dan segera dimasukkan ke mulutnya. Terdengar suara
seperti orang menyeruput air ketika ia menyedot dan membersihkan kemaluan Atok dengan
lidahnya.
Atok mendesah, ”Win, apa elo nggak jijik..., kan ini baru keluar dari lubang pantat kamu”,
katanya.
Kulihat Wiwin membelalakkan matanya, sekejap mengeluarkan kemaluan Atok dari
mulutnya.
”Jijik apaan.., wong napsu banget kok. Kalau udah main begini jangan omong soal jijik. Gua
aja pernah dikencingin kok. Malah nikmat banget”, katanya sambil mulai lagi mengulum
kemaluan Atok.
Temanku yang alim itu jadi diam saja.
Pada saat itu kulihat Deni semakin blingsatan gerakannya, napasnya semakin memburu dan
tangannya semakin ganas meremas buah dada Wiwin yang seperti balon.
”Win, cepetin goyangannya. Aku mau keluar”, erangnya.
Wiwin (sambil terus mengulum kemaluan Atok) semakin memperkuat goyangan pinggulnya,
dan akhirnya dia ikut menjerit.
”Aduuh, Mas Denii.., aku juga mau keluaar”.
Kulihat tubuhnya menegang, sebelum akhirnya melemah kembali. Kulihat ke arah
kemaluannya, tampak cairan membanjir keluar dari sela-sela kemaluan Deni dan bibir
kemaluan Wiwin. Campuran air kenikmatan kedua insan tersebut begitu banyak, mengalir ke
arah bola kemaluan Deni dan bercampur dengan air mani Atok.
Wiwin tampak sangat menikmati orgasme itu. Dia menelungkupkan badannya ke tubuh Deni,
matanya tertutup dan napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih meremas-remas
kemaluan Atok yang kini duduk di dekat kepala Wiwin. Deni memeluk tubuh bahenol yang
ada di atasnya itu.
”Kamu puas Win? Bagaimana pelayanan kami berempat?”
Wiwin mendesah puas, tetap menutup matanya.
”Asyiklah Mas, luar biasa kalian ini. Kalau tahu begini dari dulu aku nggak perlu bingung
cari-cari laki-laki pemuas napsu.”
Mulai hari itu, Wiwin menjadi “mainan” kami. Tidak peduli pagi, siang, sore atau malam,
setiap ada kesempatan kami selalu menggerayangi dan menikmati tubuhnya. Wiwin tidak
pernah mengeluh, tidak pernah menolak, bahkan anehnya dia tampak “setengah memaksa”
agar kita mau menikmati tubuhnya. Aku sadar dia ternyata ********* yang luar biasa, sangat
suka permainan oral (“main emut” istilah dia), dan tidak segan-segan melakukan segala cara
yang tidak lazim untuk memuaskan nafsu seks kami.
Kuliah kami jadi kacau balau, karena kami lebih suka tinggal di rumah dan melakukan pesta
seks dengan Wiwin daripada pergi ke kampus. Tidak ada rasa malu lagi bagi kami untuk
bersetubuh secara bergiliran (kadang-kadang Wiwin duduk di kursi dengan kaki terkangkang
di sandaran tangan kursi, dan kami bergiliran menyetubuhinya). Aku sudah mulai terbiasa
bangun pagi dengan “jam weker” si Wiwin (dia memang kalong, paling telat tidurnya dan
paling cepat bangunnya di antara kami). Caranya membangunkan kami adalah dengan
mengulum dan menarik-narik batang kemaluan kami secara bergantian, sampai kami bangun.
Kalau sudah begitu, siapa yang masih punya pikiran untuk ikut kuliah pagi?