You are on page 1of 4

Delapan Tanda Orang Ikhlas

Dua Syarat Amal

dakwatuna.com – Amal yang kita lakukan akan diterima Allah jika memenuhi dua rukun.
Pertama, amal itu harus didasari oleh keikhlasan dan niat yang murni: hanya mengharap keridhaan
Allah swt. Kedua, amal perbuatan yang kita lakukan itu harus sesuai
dengan sunnah Nabi saw. Syarat pertama menyangkut masalah batin. Niat ikhlas artinya saat
melakukan amal perbuatan, batin kita harus benar-benar bersih. Rasulullah saw. bersabda, “Innamal
a’maalu bin-niyyaat, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (Bukhari dan Muslim)..
Berdasarkan hadits itu, maka diterima atau tidaknya suatu amal perbuatan yang kita lakukan oleh
Allah swt. sangat bergantung pada niat kita.

Sedangkan syarat yang kedua, harus sesuai dengan syariat Islam. Syarat ini menyangkut segi
lahiriah. Nabi saw. berkata, “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun,
barangsiapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak pernah kami diperintahkan, maka
perbuatan itu ditolak.” (Muslim). Tentang dua syarat tersebut, Allah swt. menerangkannya di
sejumlah ayat dalam Alquran. Di antaranya dua ayat ini. “Dan barangsiapa yang menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang kokoh….” (Luqman: 22). “Dan siapakah yang lebih baik
agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun
mengerjakan kebaikan….” (An-Nisa: 125)

Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di


atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang yang
dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan
serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Fudhail bin Iyadh pernah memberi komentar tentang
ayat 2 surat Al-Mulk, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, supaya Allah menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya.” Menurutnya, maksud “yang lebih baik amalnya” adalah amal
yang didasari keikhlasan dan sesuai dengan sunnah Nabi saw. Seseorang bertanya kepadanya, “Apa
yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal
yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah swt. Sebaliknya, amal yang
benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak diterima oleh Allah swt. Amal perbuatan itu baru
bisa diterima Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud ‘ikhlas’
adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah, dan yang dimaksud ‘benar’
adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw.” Setelah itu Fudhail bin Iyad
membacakan surat Al-Kahfi ayat 110, “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” Jadi, niat yang ikhlas saja belum menjamin amal
kita diterima oleh Allah swt., jika dilakukan tidak sesuai dengan apa yang digariskan syariat. Begitu
juga dengan perbuatan mulia, tidak diterima jika dilakukan dengan tujuan tidak mencari keridhaan
Allah swt.

Delapan Tanda Keikhlasan

Ada delapan tanda-tanda keikhlasan yang bisa kita gunakan untuk mengecek apakah rasa
ikhlas telah mengisi relung-relung hati kita. Kedelapan tanda itu adalah:

1. Keikhlasan hadir bila Anda takut akan popularitas


Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sedikit sekali kita melihat orang yang tidak
menyukai kedudukan dan jabatan. Seseorang bisa menahan diri dari makanan, minuman, dan
harta, namun ia tidak sanggup menahan diri dari iming-iming kedudukan. Bahkan, ia tidak
segan-segan merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Karena itu tak heran jika
para ulama salaf banyak menulis buku tentang larangan mencintai popularitas, jabatan, dan riya.
Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika Anda mampu untuk tidak dikenal oleh orang lain, maka
laksanakanlah. Anda tidak merugi sekiranya Anda tidak terkenal. Anda juga tidak merugi
sekiranya Anda tidak disanjung orang lain. Demikian pula, janganlah gusar jika Anda menjadi
orang yang tercela di mata manusia, tetapi menjadi manusia terpuji dan terhormat di sisi Allah.”
Meski demikian, ucapan para ulama tersebut bukan menyeru agar kita mengasingkan diri dari
khalayak ramai (uzlah). Ucapan itu adalah peringatan agar dalam mengarungi kehidupan kita
tidak terjebak pada jerat hawa nafsu ingin mendapat pujian manusia. Apalagi, para nabi dan
orang-orang saleh adalah orang-orang yang popular. Yang dilarang adalah meminta nama kita
dipopulerkan, meminta jabatan, dan sikap rakus pada kedudukan. Jika tanpa ambisi dan tanpa
meminta kita menjadi dikenal orang, itu tidak mengapa. Meskipun itu bisa menjadi malapetaka
bagi orang yang lemah dan tidak siap menghadapinya.
2. Ikhlas ada saat Anda mengakui bahwa diri Anda punya banyak kekurangan
Orang yang ikhlas selalu merasa dirinya memiliki banyak kekurangan. Ia merasa belum
maksimal dalam menjalankan segala kewajiban yang dibebankan Allah swt. Karena itu ia tidak
pernah merasa ujub dengan setiap kebaikan yang dikerjakannya. Sebaliknya, ia cemasi apa-apa
yang dilakukannya tidak diterima Allah swt. karena itu ia kerap menangis. Aisyah r.a. pernah
bertanya kepada Rasulullah saw. tentang maksud firman Allah: “Dan orang-ornag yang
mengeluarkan rezeki yang dikaruniai kepada mereka, sedang hati mereka takut bahwa mereka
akan kembali kepada Tuhan mereka.” Apakah mereka itu orang-orang yang mencuri, orang-
orang yang berzina, dan para peminum minuman keras, sedang mereka takut akan siksa dan
murka Allah ‘Azza wa jalla? Rasulullah saw. menjawab, “Bukan, wahai Putri Abu Bakar.
Mereka itu adalah orang-orang yang rajin shalat, berpuasa, dan sering bersedekah, sementera
mereka khawatir amal mereka tidak diterima. Mereka bergegas dalam menjalankan kebaikan
dan mereka orang-orang yang berlomba.” (Ahmad).
3. Keikhlasan hadir ketika Anda lebih cenderung untuk menyembunyikan amal kebajikan
Orang yang tulus adalah orang yang tidak ingin amal perbuatannya diketahui orang lain.
Ibarat pohon, mereka lebih senang menjadi akar yang tertutup tanah tapi menghidupi keseluruhan
pohon. Ibarat rumah, mereka pondasi yang berkalang tanah namun menopang keseluruhan
bangunan. Suatu hari Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Ia mendapati Mu’adz sedang
menangis di dekat makam Rasulullah saw. Umar menegurnya, “Mengapa kau menangis?”
Mu’adz menjawab, “Aku telah mendengar hadits dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,
‘Riya sekalipun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barang siapa memusuhi kekasih-kekasih
Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan
sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi
petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi)
4. Ikhlas ada saat Anda tak masalah ditempatkan sebagai pemimpin atau prajurit
Rasulullah saw. melukiskan tipe orang seperti ini dengan berkataan, “Beruntunglah
seorang hamba yang memegang tali kendali kudanya di jalan Allah sementara kepala dan
tumitnya berdebu. Apabila ia bertugas menjaga benteng pertahanan, ia benar-benar
menjaganya. Dan jika ia bertugas sebagai pemberi minuman, ia benar-benar melaksanakannya.”
Itulah yang terjadi pada diri Khalid bin Walid saat Khalifah Umar bin Khaththab
memberhentikannya dari jabatan panglima perang. Khalid tidak kecewa apalagi sakit hati. Sebab,
ia berjuang bukan untuk Umar, bukan pula untuk komandan barunya Abu Ubaidah. Khalid
berjuang untuk mendapat ridha Allah swt.
5. Keikhalasan ada ketika Anda mengutamakan keridhaan Allah daripada keridhaan manusia
Tidak sedikit manusia hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Bila orang itu
menuntun pada keridhaan Allah, sungguh kita sangat beruntung. Tapi tak jarang orang itu
memakai kekuasaannya untuk memaksa kita bermaksiat kepada Allah swt. Di sinilah keikhlasan
kita diuji. Memilih keridhaan Allah swt. atau keridhaan manusia yang mendominasi diri kita?
Pilihan kita seharusnya seperti pilihan Masyithoh si tukang sisir anak Fir’aun. Ia lebih memilih
keridhaan Allah daripada harus menyembah Fir’aun.
6. Ikhlas ada saat Anda cinta dan marah karena Allah
Adalah ikhlas saat Anda menyatakan cinta dan benci, memberi atau menolak, ridha dan
marah kepada seseorang atau sesuatu karena kecintaan Anda kepada Allah dan keinginan
membela agamaNya, bukan untuk kepentingan pribadi Anda. Sebaliknya, Allah swt. mencela
orang yang berbuat kebalikan dari itu. “Dan di antara mereka ada orang yang mencela tentang
(pembagian) zakat. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika
mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-
Taubah: 58)
7. Keikhalasan hadir saat Anda sabar terhadap panjangnya jalan
Keikhlasan Anda akan diuji oleh waktu. Sepanjang hidup Anda adalah ujian. Ketegaran
Anda untuk menegakkan kalimatNya di muka bumi meski tahu jalannya sangat jauh, sementara
hasilnya belum pasti dan kesulitan sudah di depan mata, amat sangat diuji. Hanya orang-orang
yang mengharap keridhaan Allah yang bisa tegar menempuh jalan panjang itu. Seperti Nabi Nuh
a.s. yang giat tanpa lelah selama 950 tahun berdakwah. Seperti Umar bin Khaththab yang berkata,
“Jika ada seribu mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada seratus
mujahid berjuang di medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada sepuluh mujahid berjuang di
medan juang, aku satu di antaranya. Jika ada satu mujahid berjuang di medan juang, itulah
aku!”
8. Ikhlas ada saat Anda merasa gembira jika kawan Anda memiliki kelebihan
Yang paling sulit adalah menerima orang lain memiliki kelebihan yang tidak kita miliki.
Apalagi orang itu junior kita. Hasad. Itulah sifat yang menutup keikhlasan hadir di relung hati
kita. Hanya orang yang ada sifat ikhlas dalam dirinya yang mau memberi kesempatan kepada
orang yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk mengambil bagian dari tanggung jawab
yang dipikulnya. Tanpa beban ia mempersilakan orang yang lebih baik dari dirinya untuk tampil
menggantikan dirinya. Tak ada rasa iri. Tak ada rasa dendam. Jika seorang leader, orang seperti
ini tidak segan-segan membagi tugas kepada siapapun yang dianggap punya kemampuan.

You might also like