You are on page 1of 12

Sejarah Teori

Teori Konvergensi Simbolik, diilhami oleh Bales lalu dikembangkan oleh


Ernest Bormann dengan kelompok mahasiswa dari Universitas Minnesota (1960-1970),
menemukan proses sharing fantasi. Jadi konsep Teori Konvergensi Simbolik adalah tema
fantasi. Tema fantasi adalah pesan yang didramatisi seperti permainan kata-kata, cerita,
analogi, dan pidato yang menghidupkan interaksi dalam kelompok. Tema fantasi juga
terfokus pada cerita suatu tokoh dengan karakter secara naratif. Setiap individu akan
saling berbagi fantasi karena kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisi
pesan memiliki kemampuan retoris yang baik. Suatu cerita, lelucon, atau permainan kata-
kata yang sering terjadi dalam suatu kelompok tampaknya tidak bermakna apa-apa.
Semuanya tidak memiliki efek dalam interaksi selanjutnya. Akan tetapi, kadang-kadang
salah seorang dari anggota kelompok mengambil pesan tersebut kemudian membumbui
cerita itu dan mungkin mendramatisi pesan dengan gaya cerita masing-masing. Dalam
teori konvergensi simbolik, partisipasi ini dikenal dengan rantai fantasi dan saat hal itu
terjadi, individu-individu tersebut telah berbagi kelompok fantasi. Symbolic Convergence
Theory (SCT) bisa juga disebut teori komunikasi umum. SCT menjelaskan bahwa
makna, emosi, nilai, dan motif untuk tindakan di retorika yang dibuat bersama oleh orang
yang mencoba untuk memahami dari pengalaman yang umum, seperti keragaman
kehidupan. Symbolic Convergence Theory adalah komunikasi umum teori karena
menjelaskan bahwa fantasi-chaining oleh masyarakat umum tentang sebuah pengalaman
yang memproduksi visi retorik dalam semua masyarakat.
SCT untuk pertama kalinya diuraikan oleh Bormannn dalam tulisannya yang
bertajuk “Fantasies and Rhetorical Vision: The Rhetorical Criticism of Social Reality”
yang diterbitkan dalam quartely journal of Speech tahun 1972. Sejak itu Bormann
menulis puluhan artikel dan laporan penelitian yang menggunakan SCT sebagai landasan
teoritisnya dan Fantasy Theme Analysis (FTA) sebagai metodenya dengan fokus pada
kohesivitas dan budaya kelompok, pengambilan keputusan dalam kelompok,
penyanderaan, kartun politik hingga kampanye politik.

1
Esensi Teori

Fungsi dari teori ini adalah menganalisa interaksi yang terjadi di dalam skala
kelompok kecil. Kelompok di sini dapat berupa kelompok sosial, kelompok tugas, atau
kelompok dalam sebuah pergaulan. Ernest G Bormann dalam Communication and
Organizations: an intepretive approach (Putnam and Pacanowsky, 1983: 110)
menjelaskan konvergensi simbolik akan menghasilkan tema-tema fantasi drama-drama
besar yang panjang dan rumit dari sebuah cerita yang dipaparkan visiretorik. Sebuah
visiretorik merupakan sebuah pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah
mungkin terjadi? Bentuk impian merupakan asumsi pengetahuan kelompok yang
didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas. Tema-tema fantasi dan visi
retorik terdiri atas karakter-karakter,alur cerita, skenario dan sanksi dari agen (induk
organisasi).Karakter dapat berupa pahlawan,penjahat,atau hanya tokoh pelengkap saja.
Alur cerita adalah aksi atau pengembangan cerita, sedangkan skenarionya merupakan
latar setting-an, termasuk lokasi pelengkap dalam lingkungan sosiokultural. Sanksi agen
adalah sumber yang melegitimasi cerita dan menjadi otoritas pada kredibilitas
cerita.Biasanya unsur ini diarahkan pada kepercayaan yang bersifat dogma. Sanksi agen
biasanya berupa komitmen pada keadilan, demokrasi, bahkan agama. Stephen W
Littlejohn dan Foss dalam Theories of Human Communication menambahkan bahwa
cerita atau tema- tema fantasi diciptakan melalui interaksi simbolik dalam kelompok
kecil dan kemudian dihubungkan dari satu orang ke orang lain dan dari satu kelompok ke
kelompok lain untuk menciptakan sebuah pandangan dunia yang terbagi (2008:165).
Dalam konvergensi simbolik dibutuhkan adanya visi retorik, saga, dan consciousness
sustaining. Jadi jelas dalam membuat konvergensi simbolik tidak perlu komunikasi besar-
besaran seperti layaknya promosi yang menghabiskan biaya. Cukup melalui kelompok
kecil yang memiliki kredibilitas menyebarkan informasi ke masyarakat. Dari sanalah
diciptakan cerita-cerita fantasi kenegaraan melalui sosok presiden, wakil presiden dan
pejabat pemerintah. Mereka harus membawa saga-saga dalam cerita.

2
Asumsi Teori
Bormann (1985) menyatakan bahwa teorinya dibangun dalam kerangka
paradigma Narratif yang meyakini bahwa manusia merupakan Homo Narrans yakni
makhluk yang saling bertukar cerita atau narasi untuk menggambarkan pengalaman dan
realitas sosialnya. Vasquez (Zeep, 2003) menjelaskan bahwa Homo Narrans merupakan
prinsip dasar bahwa manusia sebagai “social storytellers” yang berbagi fantasi dan
kemudian membangun kesadaran kelompok dan menciptakan realitas sosial. SCT
menegaskan bahwa solidaritas dan kohesivitas kelompok dapat dicapai melalui
kecakapan bersama dalam membaca dan menafsirkan tanda-tanda, kode-kode dan teks-
teks budaya. Hal ini membawa kepada terbentuknya realitas bersama (Shared reality).
Sebagai teori yang berparadigma narratif maka penelitian yang menerapkan
teori ini lebih mementingkan pengumpulan data interpretif ketimbang data kuantitatif
sebagaimana dikembangkan dalam teori berparadigma rasional. Karena sifatnya yang
demikian maka metode penelitian yang umumya digunakan dalam kerangka paradigrma
ini mencakup Studi kasus, analisis retoris atas catatan dan dokumen kelompok, serta
Analisis terhadap berbagai cerita yang berkembang didalam dan diantara anggota suatu
kelompok (Bormann, 1986).
Watson dan Hill (2000: 304-305) menjelaskan perbedaan paradigma rasional
dan naratif sebagai payung suatu teori komunikasi dengan membedakan pada keyakinan
tentang realitas. Menurut paradigma rasional realitas itu bersifat tunggal. Ada satu
kebenaran yang bersifat objektif yang dapat dijadikan pegangan untuk menilai atau
menguji satu argumentasi dan logika. Karena keyakinan yang seperti ini maka proponen
paradigma ini menganggap fantasi atau mitos sebagai sesuatu yang tidak benar, suatu
kebohongan belaka. Sebaliknya para pendukung paradigma naratif menganggap fantasi
adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh mereka fantasi tidak
diartikan sebagai kebohongan, melainkan sebagai tindakan sadar yang kreatif dan
imaginatif dalam memberikan makna terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Disini
fantasi memiliki nilai kebenarannya sendiri terggantung pada subyek yang
mempercayainya. Paradigma naratif berkeyakinan bahwa realitas itu bersifat majemuk
dan kebenaran dikonstruksi secara intersubjektif.

3
Bormann menyatakan bahwa Teori Konvergensi Simbolik adalah teori umum
(general theory) yang mengupas tentang fenomena pertukaran pesan yang memunculkan
kesadaran kelompok yang berimplikasi pada hadirnya makna, motif dan perasaan
bersama (Hirokawa dan Poole, 1986; 219). Penjelasan Bormann di atas tampaknya masih
agak sukar dicerna, tapi maksudnya sederhana saja yakni teori ini berusaha menerangkan
bagaimana orang-orang secara kolektif membangun kesadaran simbolik bersama melalui
suatu proses pertukaran pesan. Kesadaran simbolik yang terbangun dalam proses tersebut
kemudian menyediakan semacam makna, emosi, dan motif untuk bertindak bagi orang-
orang atau kumpulan orang yang terlibat didalamnya. Sekumpulan individu ini dapat
berasal dari kelompok orang yang telah saling mengenal dan berinteraksi dalam waktu
yang relatif lama atau orang-orang yang tidak saling mengenal dan memiliki cara
berbeda dalam menafsirkan lambang yang digunakan tapi mereka kemudian saling
berkomunikasi sehingga terjadi konvergensi yang pada gilirannya menciptakan realitas
simbolik bersama . Dengan demikian proses konvergensi dapat muncul bukan hanya
dalam kelompok kecil yang relatif saling mengenal, tapi juga dapat terjadi dalam rapat
akbar, atau saat seseorang mendengarkan ceramah atau ketika kita menikmati film dan
iklan politik ditelevisi.
Dalam teori ini, Bormann (1990:106) mengartikan istilah konvergensi
(convergence) sebagai suatu cara dimana dunia simbolik pribadi dari dua atau lebih
individu menjadi saling bertemu, saling mendekati satu sama lain atau kemudian saling
berhimpitan ( the way in which the private symbolic worlds of two or more people begin
come together or overlap). Sedangkan istilah simbolik sendiri terkait dengan
kecenderungan manusia untuk memberikan penafsiran dan menanamkan makna kepada
berbagai lambang, tanda, kejadian yang tengah dialami, atau bahkan tindakan yang
dilakukan manusia (Bormann, 1986: 221). Dalam kaitan ini Bormann juga menyatakan
bahwa manusia adalah symbol-users dalam arti bahwa manusia menggunakan symbol
dalam komunikasi secara umum dan dalam storytelling (bercerita). Lewat simbol-simbol
inilah manusia saling mempertemukan pikiran mereka.
Ketika kelompok berbagi simbol bersama , komunikasi menjadi lebih mudah
dan efisien. Disini Para ahli TKS mengasumsikan hadirnya semacam “a meeting of
mind’ atau perjumpaan pikiran (Infante.et.al., 1993:130). Ketika pikiran saling bertemu

4
maka orang mulai bergerak kearah penggunaan sistem simbol yang sama dan ini akan
meningkatkan saling pengertian diantara orang-orang yang terlibat. Saling pengertian
inilah yang kemudian menjadi dasar terciptanya kesadaran bersama serta kesamaan
pikiran dan perasaan tentang hal-hal yang diperbincangkan.

Dalam artikelnya berjudul “Symbolic Convergence Theory: A Communication


Formulation” (1985) Bormann menyebutkan tiga aspek atau struktur penting yang
membentuk bangunan teori ini yakni ; (1) Penemuan dan penataan bentuk dan pola
komunikasi yang berulang yang mengindikasikan hadirnya kesadaran bersama dalam
kelompok secara evolutif. (2) deskripsi tentang kecenderungan dinamis dalam sistem
komunikasi yang menerangkan mengapa kesadaran kelompok muncul, berlanjut,
menurun dan akhirnya menghilang, dan (3) faktor-faktor yang menerangkan mengapa
orang-orang terlibat dalam tindakan berbagi fantasi.
Disamping ketiga struktur pokok teori diatas, Bormann juga menyebutkan dua
asumsi pokok yang mendasari teori Konvergensi simbolik. Pertama, realitas diciptakan
melalui komunikasi. Dalam hal ini komunikasi menciptakan realitas melalui pengaitan
antara kata-kata yang digunakan dengan pengalaman atau pengetahuan yang diperoleh.
Sedangkan asumsi kedua menyatakan bahwa Makna individual terhadap simbol dapat
mengalami konvergensi (penyatuan) sehingga menjadi realitas bersama. Realitas dalam
teori ini dipandang sebagai susunan narasi atau cerita-cerita yang menerangkan
bagaimana sesuatu harus dipercayai oleh orang – orang yang terlibat didalamnya. Cerita
tersebut semula dibincangkan dalam kelompok dan kemudian disebarkan kelingkungan
masyarakat yang lebih luas. Menyertai kedua asumsi pokok diatas Bormann (1986) juga
menyebutkan enam asumsi epistemologis teori ini yakni (1) Makna, emosi dan motif
bertindak ada pada isi pesan yang ternyatakan dengan jelas, (2) Realitas diciptakan secara
simbolik, (3) Rantai fantasi menciptakan konvergensi simbolik dalam bentuk dramatistik,
(4), analisis tema fantasi adalah metode pokok dalam menangkap relitas simbolik, (5)
tema fantasi dapat terjadi dalam berbagai wacana yang dikembangkan dan terakhir (6)
terdapat tiga Visi analog Master yakni ; Righteous, social dan pragmatic

5
Konsep Teori
konsep Teori Konvergensi Simbolik adalah tema fantasi. Tema fantasi adalah
pesan yang didramatisi seperti permainan kata-kata, cerita, analogi, dan pidato yang
menghidupkan interaksi dalam kelompok. Tema fantasi juga terfokus pada cerita suatu
tokoh dengan karakter secara naratif. Setiap individu akan saling berbagi fantasi karena
kesamaan pengalaman atau karena orang yang mendramatisi pesan memiliki kemampuan
retoris yang baik. Suatu cerita, lelucon, atau permainan kata-kata yang sering terjadi
dalam suatu kelompok tampaknya tidak bermakna apa-apa. Semuanya tidak memiliki
efek dalam interaksi selanjutnya. Akan tetapi, kadang-kadang salah seorang dari anggota
kelompok mengambil pesan tersebut kemudian membumbui cerita itu dan mungkin
mendramatisi pesan dengan gaya cerita masing-masing. Dalam teori konvergensi
simbolik, partisipasi ini dikenal dengan rantai fantasi dan saat hal itu terjadi, individu-
individu tersebut telah berbagi kelompok fantasi.
Karena konsep fantasi menjadi kata kunci dalam teori ini maka Boorman
kemudian menyabut metode untuk mngoperasionalkan teorinya dengan istilah Fantasi
Theme Analysis (FTA) atau analisis tema fantasi. Untuk memahami FTA maka langkah
pertama yang perlu ditempuh adalah mmahami terlebih dahulu istilah-istilah kunci dalam
FTA yakni; Fantasy theme, Fantasi chain, Fantasy type, dan Rhetoical visions

Fantasy theme/Tema fantasi :


 Bormann mendefinisikan tema fantasi sebagai isi pesan yang didramatisasi yang
memicu rantai fantasi (the content of the dramatizing message that sparks the
fantasy chain).
 Menurut Miller (2002:231) konsep pokok dalam KTI adalah Fantasy theme (tema
fantasi) yng diartikanya sebaga dramatisasi pesan—dapat berupa lelucon, analogi,
permainan kata, cerita dan sebagainya—yang memompa semangat berinteraksi.
Dramatisasi pesan tidak terjadi dalam konteks tugas atau pekerjaan yang tengah
dihadapi. Dramatisasi pesan juga tidak terjdi padaperistiw yang berorientasi pada
“saat ini dan disini”. Segala tindakan komuniksi yang membicrakan bebagi
tindakan atau kegiatan yang tejadi pada saat peristiwa tersebut berlangsung
tidkalah memiliki mutn imaginatif. Pembicaraan tersebut bersifat nyata karena

6
berkaitan dengan aspek “kekinian dan disini” dan semata-mata membicarakan
tugas atau kegiatan yang tengah dihadapi kelompok. Lain halnya bila anda
memperbicangkn peristiwa yang terjadi diluar kelompok, atau membicarakan
peristiwa serupa yng dialami anggota kelompok pada masa lalu, atau berbicara
tentang sesuatu yag terkait dengan masa depan, maka itu dapat dikategorikan
sebagai fantasi. Misalnya konflik yang muncul dalam pertemuan kelompok
mungkin dilihat sebagai peristiwa dramatis, namun ini bukanlah dramatisasi pesan
atau tema fantasi karena karena hal itu terjadi dalam konteks “saat ini dan disini”,
sementara bila dalam kaitan tersebut kita bercerita tentang konflik yang pernah
terjadi pada masa lalu, atau bercerita tentang konflik dalam film Braveheart,
maka ini dapat dikategorikan sebagai fantasy theme.

Fantasi chain :
 Secara harfiah diartikan sebagai rantai Fantasi. Maksudnya ketika pesan yang
didramatisasi berhasil mendapat tanggapan dari partisipan komunikasi dan
akhirnya meningkatkan intensitas dan kegairahan partisipan dalam berbagi fantasi
yang bekembang maka terjadilah rantai fantasi. Ketika rantai fantasi tecipta
tempo percakapan menjadi meningkat, antusiasme partisipan muncul, dan terjadi
peningkatan rasa empati dan umpanbalik diantara partisipan komunikasi.
 Bomann (1990: 101-120) sendiri menggambarkan rantai fantasi ‘…as a series of
ideas that members link together like a play”.
 Rantai fantasi membawa partisipan yang saling berbagi cerita kedalam
konvergensi simbolik dan menciptakan landasan pengertian bersama dan
memampukan kelompok mencapai komunikasi yang empatik sekaligus terjadinya
a meeting of mind.

Fantasy type/Jenis fantasi:


 Bormann mengartikan konsep ini sebagai tema-tema fantasi yang berulang dan
dibicarakan pada sisuasi lain, dengan karakter lain dan latar yang lain namun
dengan alur cerita yang sama. Jika kerangka narasi (the narrative frame)nya sama
namun tokohnya, karakternya atau settingnya berbeda maka itu dapat

7
dikelompokkn dalam satu jenis fantasi yang sama. Sementara bila terdapat
beberpa tema fantasi atau kerangaka narasi yang berbeda maka berarti terdapat
beberapa jenis fantasi.
 Menurut Trenholm (1986) jenis fantasi adalah suatu kerangka narasi yang
bersifat umum yang terkait dengan pertanyaan atau masalah tertentu. Misalnya
pertanyaan; Anda tahu kan watak dekan kita? “Buat apa pake rapat segala toh
hasilnya kita udah tahu”
 orang-orang yang telah berinteraksi dalam waktu yang cukup lama biasanya telah
mengembangkan semacam symbolic Cue atau petunjuk simbolis yang biasanya
telah dipahami bersama. Symbolic cue ini biasanya menjadi inside joke (lelucon
yang dipahami oleh orang –orang yang terlibat dalam percakapan sebelumnya.
Kalau anda pernah berkumpul dengan kawan-kawan anda, dan tiba-tiba seseorang
berkomentar dengan mengatakan ‘sesuatu’ lalu yang lainnya tertawa terpingkal-
pingkal maka mereka terlibat dalam penggunaan symbolic cue. Sementara anda
sendiri yang tidak tertawa merasa orang luar yang tidak memahami petunjuk
simbolik tersebut
 Bormann (1990) juga membandingkan suatu tipe fantasi yang seringkali terulang
di dalam kultur sebuah kelompok. Partai politik di Amerika Serikat misalnya,
menjaga kesatuannya dengan suatu jenis fantasi yang sama. Anggota partai
Republik sering muncul dengan jenis impian dan pandangan yang sama mengenai
partai lawannya, yaitu suatu konsepsi bahwa partai Demokrat adalah partai yang
terlalu liberal, tidak bertanggungjawab secara fiskal, pencipta inflasi,
ketidakseimbangan anggaran serta kekacauan ekonomi. Partai Demokrat pada sisi
lain memandang partai Republik sebagai partai yang konservatif, digerakkan oleh
dan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan besar, serta tidak berpihak kepada
buruh dan rakyat miskin.

Rhetorical visions (Visi Retoris) :


 Diartikan sebagai sharing a fantasy theme and types across a wider community.
Disini tema-tema fantasi telah berkembang dan melebar keluar dari kelompok
yang mengembangkan fantasi tersebut pada awalnya. Karena perkembangan
tersebut maka tema-tema fantasi itu menjadi fantasi masyarakat luas dan

8
membentuk semacam Rhetorical Community.
 Dalam masa Orde Baru kita melihat betapa pemerintahan Soeharto secara efektif
dan sistematis berhasil menciptakan tema-tema fantasi yang kemudian menjadi
visi retoris pada masa itu sepeti “Suprsemar”, “Pancasila Sakti”, “Pembangunan”
atau visi retoris “Tinggal Landas” yag kemudian sing dipelesetkan menjadi
“Tinggal Kandas’ oleh kelompok masyarakat yang tidak tergabung dalam
Komunitas retoris ini.

Disamping keempat konsep kunci diatas, Bormann juga menjelaskan bahwa


dalam setiap analisis tema fantasi atau yang lebih luas lagi dalam visi retoris selalu
terdapat empat elemen pokok berikut; tokoh-tokoh yang terlibat (dramatis personae atau
character), alur cerita (plot line), latar (scene), dan agen penentu kebenaran cerita
(sanctioning agents). Tokoh pemeran dalam cerita tersebut dapat berupa pahlawan,
penjahat dan pemain pendukung lainnya. Sedangkan alur cerita merupakan rangkaian
cerita yang dikembangkan dan tindakan-tindakan apa yang dilakukan. Pada aspek Latar
tercakup didalamnya lokasi, berbagai peralatan atau perlengkapan yang terkait, serta
aspek sosio-kultural yang ada dalam latar terkait. Terakhir adalah sanctioning agents
yang berkitan dengan sumber-sumber yang akan melegitimasi kebenaran cerita. Sumber
tersebut dapat berupa tokoh agama yang membenarkan cerita itu secara keagamaan,
Seorang bapak Bangsa seperti Soekarno atau sumber-sumber nilai yang dapat dijadikan
patokan atau sandaran untuk membenarkan cerita yang dirangkai. Dalam kasus
kepemimpinan Nahdlatul Ulama (NU), kita sering melihat para pimpinan Tanfidziah
organisasi ini termasuk Gus Dur mencari legitimasi atas tema-tema fantasi yang
dikembangkannya dengan mengutip pendapat dan pesetujuan kelompok Kyai Langitan di
Tuban Jawa Timur
Keempat elemen pokok diatas yang dalam istilah Bormann (Morris & Buchanan,
2000) disebut dengan istilah Dramtistic Structural Elements memang terasa mirip dengan
elemen-elemen pokok dalam teori Dramatisme dari Kenneth Burke. Pada kenyataannya
memang demikian, Bahkan Morris dan Buchanan (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa
kajian-kajian komunikasi yang bersifat humanistik memang cenderung menggunakan
sudut pandang dramatistik. Empat tokoh terkemuka yang menerapkan sudut pandang ini

9
adalah Kenneth Burke, Erving Goffman, Walter Fisher dan Ernest Bormann. Keempat
tokoh ini, lanjut Morris dan Buchanan, menggunakan Dramatistic viewpoint dengan cara
berbeda. Burke misalnya memusatkan analisis dramatismenya pada elemen-elemen ; Act,
Agent, agency, Scene, dan purpose yang kesemuanya bermuara pada motif-motif yang
dilekatkan pada simbol-simbol yang digunakan. Fisher dalam narative paradigm
menekankan aspek koherensi naratif dan keakuratan naratif. Sedangkan Goffman
menekankan elemen-elemen ritual dalam interaksi sosial yang analisisnya meliputi aspek
Role enactment, places, scenes dan Facework. Bormann menggunakan sudut pandang
Dramatistik secara berbeda yakni dengan memusatkan perhatiannya kepada Pesan
sebagai unit analisisnya serta proses komunikasi diantara partisipan yang memunculkan
konvergensi fantasi, makna dan realitas simbolik diantara mereka. Jadi dalam perspektif
Bormann yang menjadi premis pokoknya adalah bagaimana orang –orang berbagi
realitas bersama.

Aplikasi Teori
Dilihat dari segi konteks komunikasi, SCT dianggap sebagai teori umum yang
dapat diterapkan dalam berbagai konteks komunikasi seperti Komunikasi antarpribadi,
kelompok, organisasi, publik, ataupun massa ( Salwen & Stack, 1996: 373, Wood, 2000,
Bormann, 1990). Sementara bila dilihat dari bidang spesialisasi komunikasi, Teori ini
dapat diterapkan dalam kegiatan komunikasi politik, keluarga, pendidikan, hingga
komunikasi pemasaran.
1. Dalam dunia politik Atau yang paling minim adalah tidak menggunakan hak suara
(golput) saat pemilu. Sikap apatis tersebut adalah bentuk penolakan yang paling
kentara oleh rakyat dalam menanggapi kondisi negara yang tidak jelas dengan dunia
politik yang bobrok. Padahal seharusnya,melalui berbagai pesta demokrasi, rakyat
dibuai dan diberikan fantasi-fantasi politik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pemilu politik, entah itu pemilu legislatif, presiden atau pemilihan kepala
daerah, merupakan momen penting di mana semua mata tertuju pada keriaan tersebut
dan panggung politik digelar dengan dramaturgi yang jelas dalam upaya
perbaikan,kemajuan, dan kesejahteraan rakyat. Kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Para politisi bukan menciptakan fantasi yang menyejukkan,malah memuakkan:

10
banyak kecurangan dalam kampanye,klaim tuntutan perhitungan suara ulang alasan
tidak fairsampai kepada tindakan-tindakan kriminal dalam pemilu.
2. Dalam dunia seni 
Bila kita menganggap fantasi itu ”omong kosong”,mungkin tidak akan ada karya-
karya sastra,musik,dan film yang mampu membuai dan menciptakan fantasi di benak
pemirsa,pendengar, dan pembaca.Berdasarkan insting sebagai organisme,manusia
akan selalu berusaha keluar, menghindar dari tekanan dan ancaman padadirinya.
Wajar bila ada tekanan dan impitan hidup yang kian berat,banyak orang yang
berusaha lari dari kenyataan yang ada. Sinetron (operasabun) merupakan media
murah meriah yang mampu mengisi khayalan-khayalan yang ada di benak orang.
Karena itu, terlepas pada adanya kepentingan ekonomi politik dan bias selebritas,
penulis begitu menghargai kehadiran sinetron dan film di masyarakat sebagai
penghibur dan penciptaan fantasi masyarakat. Teori ini termasuk kedalam ranah
Objektif karena orang lain atau manusia itu dianggap pasif dan dapat dikendalikan
atau diarahkan.

Studi Kasus

Film Horor Indonesia membuat orang berfantasi bahwa makhluk ghaib itu
berbentuk aneh tapi menyerupai manusia dan mengganggu manusia tergantung pada
perannya masing-masing. Tuyul adalah makhluk cebol dengan menggunakan kolor saja
dan perannya mencuri uang orang. Kuntilanak adalah hantu perempuan berambut
panjang dan menutupi mukanya dan tinggal di pepohonan. Pocong adalah mayat hidup
yang ikatan kafannya lupa dibuka saat sebelum kuburnya ditutup dan bergerak loncat-
loncat.
Fantasi manusia diisi oleh suatu pesan yang disajikan dengan dramatis, sehingga
membuat kerangka pikirannya meluas walaupun belum tentu benar adanya. Teori
konvergensi simbolik membuat tema fantasi dalam pikiran kita.

11
DAFTAR RUJUKAN

 http://pebatan.blogspot.com/2009/05/teori-konvergensi-simbolik-1.html

 Jurnal komunikasi

12

You might also like