Professional Documents
Culture Documents
“Sekiranya ada bagiku kekuasaan dalam urusan ini, sungguh aku akan
mengangkat al-Qasim ibn Muhammad menjadi khalifah” (Umar ibn Abdul Aziz)
Di atas itu semua, ia telah memasang mahkota takwa dan ilmu di atas kepalanya.
Apakah kamu mengira bahwa di atas kemuliaan ini ada kemuliaan lain yang orang-
orang saling berlomba-lomba untuk mendapatkannya?
Dialah al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar ash-Shiddiq, satu dari tujuh ahli fiqih
kota Madinah (al-Fuqaha’ as-Sab’ah)*...Penduduk zamannya yang paling afdlol dalam
hal ilmu...paling tajam akalnya dan paling wara’.
Maka, syahidlah khalifah yang ahli ibadah lagi zuhud yaitu Dzunnurrain sedangkan
tulang sulbinya condong ke depan mendekap al-Qur`an.
Dan bergolaklah perselisihan yang besar antara amirul mukminin Ali ibn Abi Thalib
dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan amir negeri Syam...
Kemudian, ia menemukan dirinya dipidahkan kali yang lain dari Mesir menuju
Madinah setelah para pembela Muawiyah menguasainya...dan ia telah menjadi anak
yatim yang ditinggal oleh kedua orang tuanya.
Al-Qasim menceritakan sendiri tentang perjalanan penuh derita ini dan yang
setelahnya. Ia menuturkan, “Ketika ayahku terbunuh di Mesir, datanglah pamanku
Abdurrahman ibn Abi Bakar, kemudian ia membawaku dan adik perempuanku...ia lalu
berangkat bersama kami menuju Madinah.
Belum lama kami sampai di Madinah, hingga bibiku ‘Aisyah RA datang kepada kami
dan membawa kami dari rumah pamanku menuju rumahnya...dan ia mendidik kami
di bawah asuhannya.
Aku tidak pernah melihat seorang ibu dan seorang ayah sekalipun yang lebih banyak
berbuat kebajikan dan tidak pula lebih banyak kasih sayangnya dari pada dia.
Ia menyuapi kami dengan tangannya dan ia tidak ikut makan bersama kami...apabila
ada sedikit makanan kami yang tersisa ia pun memakannya.
Ia tidak pernah berhenti menganjurkan kami atas kebaikan dan melatih kami
melakukannya...ia melarang kami dari kejahatan dan membawa kami untuk
meninggalkannya.
Pada suatu hari, ia memakaikan kami baju putih, lalu mendudukkan aku di salah satu
lututnya dan adik perempuanku di lutut yang lain.
Maka, aku tidak pernah melihat seorang laki-laki atau perempuan pun yang berbicara
sebelumnya dan tidak pula setelahnya yang lebih fasih lisanya dan lebih manis
ucapannya dari pada dia.
Hanya saja, anak “al-Bakriy” (dari keturunan Abu Bakar) ini, hatinya selalu
bergantung dengan rumah bibinya ‘Aisyah ummul mukminin RA...Di atas tanah
rumahnya yang harum dengan parfum-parfum nubuwwah ia telah tumbuh...Di bawah
asuhan shabatnya ia telah terdidik dan tumbuh...Dan dari kasih sayangnya yang
terpancar ia minum hingga puas.
Maka ia pun membagi waktunya antara (mengunjungi) rumah (bibi)nya dan rumah
pamannya.
Kenangan-kenangan rumah bibinya yang harum, jernih dan gemerlap selau hidup
dalam benaknya sepanjang hidup.
Kemudian meneteslah dua air mata besar di pipinya. Ia segera mengusapnya hingga
aku tidak melihatnya.
Dan adalah kepala Umar RA berada di sisi pinggang kakekku dekat dengan kaki Nabi
SAW.
Saat pemuda bakriy ini tumbuh dewasa, ia telah hafal kitab Allah AWJ.
Ia telah mengambil (belajar) hadits Rasulullah SAW dari bibinya apa-apa yang Allah
kehendaki untuk ia mengambilnya.
Sehingga ia meriwayatkan dari Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas,
Abdullah ibn az-Zubair...Abdullah ibn Ja’far, Abdullah ibn Khabbab, Rafi’ ibn Khudaij,
Aslam budak Umar ibn al-Khaththaab, serta yang lainnya dan yang lainnya.
Sehingga ia menjadi penduduk jamannya yang paling tahu tentang as-Sunnah (apa-
apa yang shahih dari Rasulullah SAW ).
Adalah seseorang tidak dianggap menjadi orang alim di sisi mereka hingga ia kokoh
dalam hal Sunnah.
Setelah perangkat ilmu pemuda bakriy ini menjadi sempurna, mulailah orang-orang
mendatanginya untuk mencari ilmu darinya dengan penuh antusias dan rasa rindu.
Dan ia pun mendatangi mereka memberikan ilmu kepada mereka dengan penuh
derma.
Ia mendatangi masjid Rasulullah SAW pada setiap pagi hari pada waktu yang tidak
pernah ia langgar...Ia shalat dua rakaat tahiyatul masjid.
Tidak berselang waktu yang lama sehingga al-Qasim ibn Muhammad dan anak
bibinya (dari pihak ibu) yaitu Salim ibn Abdullah ibn Umar telah menjadi dua imam
Madinah yang terpercaya. Dua penghulu yang ditaati dan dua orang yang didengar
ucapannya, walaupun wilayah dan kekuasaan tidak berada dalam genggaman kedua
tangannya.
Dan telah sampai dari ketinggian kedudukan keduanya di dalam jiwa, hingga para
khalifah Bani Umayyah dan para walinya tidaklah memutuskan suatu perkara penting
dari urusan Madinah kecuali dengan mengambil pendapat mereka berdua.
Di antaranya, bahwa al-Walid ibn Abdul Malik bertekad untuk meluaskan al-Haram
an-Nabawi yang mulia.
Dan ia tidak memiliki keluasan untuk merealisasikan angan-angannya yang mahal ini
kecuali dengan menghancurkan masjid yang lama dari keempat sisinya...dan
menghilangkan rumah-rumah istri Nabi SAW dan memasukkannya ke masjid.
Lantas ia menulis surat kepada Umar ibn Abdul Aziz gubernurnya atas kota Madinah,
ia berkata, “Aku berpendapat untuk meluaskan masjid Rasulullah SAW hingga
luasnya menjadi dua ratus hasta kali dua ratus hasta. Maka hancurkanlah keempat
temboknya dan masukkanlah kamar-kamar istri Nabi SAW ke dalamnya. Dan belilah
rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Dan majukanlah kiblatnya bila kamu mampu.
Dan sesungguhnya kamu mampu melakukannya karena kedudukan paman-
pamanmu ali al-Khaththaab (keluarga al-Khaththaab) dan kedudukan mereka dalam
hati manusia.
Umar ibn Abdul Aziz lalu mengundang al-Qasim ibn Muhammad dan Salim ibn
Abdullah serta sejumlah tokoh penduduk Madinah. Ia membacakan surat amirul
mukminin kepada mereka...mereka dibuat gembira dengan tekad khalifah dan
bersegera melaksanakannya.
Tatkala manusia melihat dua ‘alim Madinah dan dua imamnya yang besar bersegera
menghancurkan masjid dengan tangannya, mereka lantas bangkit bersama
keduanya secara bersama-sama. Dan melaksanakan isi surat amirul mukminin.
Dan adalah pada waktu itu, pasukan kaum muslimin yang mendapat kemenangan
mendobrak pintu-pintu benteng yang menguhubungkan ke kota Kostantinopel dan
menguasainya satu demi satu dengan kepemimpinan amir yang gagah berani yaitu
Maslamah ibn Abdul Malik ibn Marwan...dan itu adalah tamhid (pendahuluan dan
pengantar) untuk penaklukkan kota Kostantinopel itu senidri.
Tatkala raja Romawi mengetahui tekad amirul mukminin untuk meluskan masjid
nabawi yang mulia, ia ingin merayunya dan mendekat kepadanya dengan apa yang
ia senangi...
Ia (raja Romawi) lalu mengirim seratus ribu mitsqol (batu timbangan) dari emas dan
mengutus bersamanya seratus pekerja dari ahli bangunan yang paling mahir di
negeri Romawi.
Dan ia membekali para pekerja dengan empat puluh muatan dari al-fusaifisaa***...
Lalu al-Walid mengirim itu semua kepada Umar ibn Abdul Aziz guna membantunya
dalam membangun masjid...maka, Umar mendistribusikannya setelah
bermusyawarah dengan al-Qasim ibn Muhammad dan sahabatnya.
Al-Qasim ibn Muhammad adalah orang yang paling menyerupai kakeknya yaitu ash-
Shiddiq RA, hingga orang-orang berkata, “Abu Bakar tidak melahirkan seorang anak
yang lebih mirip dengannya dari pemuda ini.”
Suatu kali ia pernah terlihat di Mina. Dan para penduduk negeri dari orang-orang
yang berhaji ke baitullah mengerumuninya dari segala sisi dan menanyainya.
Ia menjawabi mereka dengan apa yang ia tahu, dan pada apa yang ia tidak tahu, ia
mengatakan, “Aku tidak tahu...aku tidak mengerti...aku tidak faham.” Mereka pun
dibuat heran dengannya.
Ia lalu berkata, “Aku tidak tahu seluruh apa yang kalian tanyakan...kalau aku
mengetahuinya, niscaya aku tidak akan menyembunyikannya...dan tidak halal bagiku
untuk menyembunyikannya. Dan (ketahuilah) seseorang hidup dalam keadaan bodoh
–setelah mengetahui hak Allah atasnya- adalah lebih baik baginya daripada ia
mengatakan apa yang ia tidak mengetahuinya.”
Pada suatu kali, ia diberi amanat untuk membagi zakat kepada para mustahiknya, ia
pun berijtihad semampunya, dan memberi setiap orang akan haknya. Hanya saja
salah seorang dari mereka tidak ridla dengan bagiannya yang telah diberikan
kepadanya.
Al-Qasim lalu mempercepat shalatnya dan menoleh ke arah anaknya seraya berkata,
“Wahai anakku, janganlah kamu berkata setelah hari ini apa yang kamu tidak tahu.”
Akan tetapi al-Qasim berkeinginan untuk mendidiknya dan menjaga lisannya dari
mengatakan sesuatu yang tidak ada faidahnya.
Al-Qasim ibn Muhammad telah diberi umur hingga lebih dari tujuh puluh dua tahun.
Akan tetapi matanya menjadi buta di saat ia berusia lanjut.
Pada akhir tahun dari kehidupannya, ia menuju ke Mekkah menginginkan haji...dan di
tengah perjalanan kematian menjemputnya.
Ketika ajalnya sudah dekat, ia menoleh kepada anaknya dan berkata, “Bila aku mati,
kafanilah aku dengan pakaianku yang aku shalat dengannya, yaitu
gamisku...sarungku...dan kainku...itu adalah kafan kakekmu Abu Bakar. Kemudian
ratakan kuburanku dan pulanglah kepada keluargamu. Dan hati-hatilah (janganlah
kamu) berdiri di atas kuburanku dan berkata, “Dahulu ia begini...dan dulu ia
begitu....”, karena aku bukanlah siapa-siapa”.
RUJUKAN
Sebagai tambahan tentang kisah al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar, lihat:
Hilyatul Auliyaa: 2/183
Shifatus shafwah (cet. Al-Halabiyah): 2/88
Tahdziibut Tahdziib: 8/333
Wifyaatul A’yaan oleh Ibn Khalqan: 4/59-60 dan (lihat footnote pada juz ke 8)
Ath-Thabaqatul Kubra oleh Ibn Sa’d: 5/187
CATATAN:
* Fuqoha Madinah yang tujuh mereka adalah: Said ibn al-Musayyab, Urwah ibn az-
Zubair, Abu Bakar ibn Abdurrahman al-Makhzuumi, Khaarijah ibn Zaid, Sulaiman ibn
Yasaar, Ubaidullah ibn Abdillah ibn Utbah dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar
** Antara kuburan Nabi SAW dan mimbarnya adalah tempat yang berkah, dimana
Nabi SAW bersabda, “Antara rumahku dan mimbarku ada Raudlah (taman/kebun) dari
taman-taman surga.” Dan rumah beliau telah menjadi kuburannya SAW
*** Al-Fusaifisaa adalah potongan kecil dari marmer yang berwarna indah,
sebagiannya disusun dengan yang lain dalam bentuk yang mengagumkan dan indah.
Dengannya tembok-tembok istana dihiasi
**** Kalimat ini diucapakan dalam konteks pujian dan pengagungan