Professional Documents
Culture Documents
Rawa El Amady
rawa@mailcity.com
ANALISA KEMAMPUAN
PROGRAM PERMBEDAYAAN DESA (PPD)
UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN
DI PROVINSI RIAU
Abstrak
ANALISA KEMAMPUAN
PROGRAM PERMBEDAYAAN DESA (PPD)
UNTUK MENANGGULANGI KEMISKINAN
DI PROVINSI RIAU
1. Latar Belakang
program. Untuk menganalisisnya digunakan analsis isi (contents analysis) yaitu konsep
program, pedoman umum, petunjuk teknis dan laporan program diverivikasi dengan
kondisi kemiskinan di Riau atau pencapaian yang diingin dari program ini. Untuk
memastikan analisis dokumentasi mempunyai korelasi dengan pencapaian program
maka diambil 6 desa sebagai sample masing-masing dua desa di setiap kabuapten/kota.
Penentuan desa sampling bersasarkan desa PPD yang dekat dengan Pekanbaru, dalam
hal ini Pekanbaru, Pelalawan dan Kampar, yaitu desa yang paling mudah dijangkau
dalam waktu yang terbatas. Adapun nama desa yang dipilih adalah Desa Koto Tuo dan
Desa Tanjung di Kecamatan XIII Kota Kampar Kabupaten Kampar, Desa Sungai
Pompa Air dan Desa Mandian Gadjah Kecamatan Bunut Kabupaten Pelalawan,
Kelurahan Muara Fajar dan Kelurahan Umban Sari Kecamatan Rumbai Kota
Pekanbaru. Di desa, peneliti hanya melakukan observasi, dan wawancara dengan
pendamping desa dan pengurus UED/K-SP serta wawancara dengan masyarakat secara
lepas, sample masyarakatnya tidak ditentukan hanya ingin mendapat opini umum saja.
2. Pembahasan Teoritis
Pembangungan pedesaan mestinya mengacu pada aspek sosial-ekonomi
pedesaan. Pembangunan yang mengabaikan aspek sosial-ekonomi pedesaan selama
terbukti gagal dan tidak berkelanjutan. Program-program tersebut hanya menjadi sarana
politis yang menguntungkan bagi kepentingan elit saja. Sebagaimana program yang
pernah dilaksanakan bank dunia, seperti Komuniti Development, Program Revolusi
Hijau, Program Pembangunan Desa Berhaluan Kemiskinan. Di Indonesia sejak zaman
krisis ekonomi telah diterapkan beberapa program pedesaan, mulai dari Inpres Desa
Tertinggal, hingga ke Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program-program
tersebut lebih mementingkan kepentingan politis dan kepentingan pemberi program
semata, mengabaikan apa sebenarnya yang menjadi permasalahan yang perlu
diselesaikan di desa.
Program pembangunan pedesaan UNESCO Community Development – CD
yang dijalan 1948 dan dinyatakan gagal tahun 1960-an. Kelemahan utama CD
bersumber dari hipotesisnya tentang masyarakat desa. CD melihat masyarakat desa
bersifat homogen, mempunyai kepentingan bersama dan mampu menyelesaikan
masalah secara bersama. Hipotesis ini berakibat keuntungan hanya dinikmati lapisan
masyarakat tertentu yang merupakan elit di desa karena kedudukannya yang mantap
atau pendatang yang sengaja mengikuti program tersebut. Mereka ini memang lapisan
petani progresif yang telah mempersiapkan perubahan. Sementara petani kecil, penyewa
dan buruh tani tidak mengalami perubahan yang berarti. Myrdal (1968) Hunt (1966)
menyebutkan bahwa program CD hanya menjadi alat pemerintah untuk menyalurkan
bantuan kepada yang tidak begitu miskin.
Kegagalan program CD ternyata masih diikuti pula kegagalan program
penggantinya yaitu revolusi hijau. Program Revolusi Hijau berkembang tahun 1960-an
dan dinyatakan gagal tahun 1970-an. Diantara kelemahan Revolusi Hijau kurang
mempertimbangkan aspek sosial, semata-mata pertimbangan ekonomi. Keuntungan
hanya diperoleh petani kaya yang dengan mudah mendapatkan teknologi pertanian
sedangkan petani kecil, penyewa tanah dan buruh tani tentu tidak dapat
memanfaatkannya. Selain itu, pendekatan ini mengabaikan dampak dari kemasukan
teknologi terhadap perubahan sosial di desa serta sempitnya pemahaman masyarakat
desa, sebagaimana pada program CD.
Kegagalan program revolusi hijau memaksa dunia internasional
mengembangkan Program Pembangunan Desa Berhaluan Kemiskinan. Program
pembangunan desa dikembangkan tahun tahun 1970 oleh seluruh lembaga bantuan
keuangan dunia, sebagai kritik terhadap program sebelumnya. Program ini menjadikan
petani kecil dan miskin sebagai sasaran utama pembangunan dengan melibatkan petani
secara aktif dalam pembangunan. Masyarakat desa diposisikan sebagai subjek yang
dinamis.
Ternyata melalui progam ini 50% dari seluruh program dinyatakan berhasil.
Namun demikian program ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu belum jelasnya
konsep petani kecil sehingga juga akan menguntungkan petani kaya yang progresif.
Selain itu, program ini hanya mengutamakan in-put tidak out-put dan semata-mata atas
pertimbangan pertumbuhan ekonomi, akibatnya program ini juga menyebabkan
perombakan pada struktur sosial.
Indonesia pernah menerapkan program IDT (inpres desa tertinggal), yang
tampaknya berpangkal pada konsep Pembangunan Pedesaan Berhaluan Kemiskian ini,
toh ternyata juga tidak berhasil. Begitu juga dengan Program Pengembangan Prasarana
Pedesaan (P2D) dan Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K), dan Pemberdayaan
Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Faktor kegagalannya hampir sama dengan faktor
semakin sulit perubahan terjadi. Karena perubahan bagi tauke adalah ancaman
kestabilan ekonomi, politik dan struktur sosial.
Konsumsi desa bercirikan pada kemampuan produksi atau jaminan pendapatan
untuk dikonsumsi. Kemampuan produksi adalah jumlah lahan yang bisa diolah secara
maksimal untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga melalui tenaga kerja tanpa bayar.
Sedangkan jaminan pendapatan untuk kelangsungan konsumsi rumah tangga adalah
menghutang. Institusi desa yang paling terkenal yang menjadi jaminan kelangsungan
konsumsi adalah tauke. Tauke ini adalah pedagang di desa yang menjamin
kelangsungan konsumsi.1
Tauke merupakan sumber over consumption, ketika produksi menurun
sementara konsumsi meningkat, petani sering mengabaikan hukum household utulity
maximisation. Konsumsi selalu saja dipenuhi melalui hutang, sementara produksi sangat
minim. Akibatnya seluruh produksi tahunan dan bulanan diserahkan semuanya ke tauke
untuk membayar hutang. Jika kondisi ini berlaku maka tingkat ketergantungan petani
tersebut akan semakin besar pada tauke, bahkan tauke bisa menjadi tuan bagi keluarga
tersebut.
Kondisi over consumption terjadi pada pertama, suatu massa tertentu terjadi
penurunan harga komoditas, atau terjadi persitiwa alam yang dipandang tidak lama atau
kepala rumah tangga sakit keras.
Kedua, hari-hari besar agama seperti hari raya Idul Fitri, Idul Adha, muharam
atau hari-hari besar adat. Pada hari itu semua masyarakat memaksimalkan konsumsi
untuk merayakan hari besar tersebut sampai tiga hari. Selain biaya untuk makan juga
pembelanjaan tahunan berupa pakaian dan penghiasan rumah.
Ketiga, perayaan perkawinan, kelahiran anak, tujuh bulanan, kematian dan
lainnya. Semua jenis perayaan ukuran jumlah konsumsi adalah kampung. Satu rumah
tangga menyediakan konsumsi untuk satu kampung. Sumber konsumsi tersebut
biasanya berasal dari harta kekayaan berupa tanah, kebun dan binatang ternak yang
dijual dan berhutang pada tauke dan juga pemberian dari anggota komunitasnya.
1
Hubungan penduduk dengan tauke yang sangat eksploitatif dalam hal produksi di mana tauke
mempunyai hak otoritatif untuk menentukan harga dalam membeli produksi petani, termasuk produksi
jasa yang tidak dibayar. Begitu juga tauke menentukan harga jual barang secara sepihak dan jauh lebih
mahal dari harga pasaran. Walaupun demikian hubungan tauke dengan penduduk sudah merupakan
hubungan sosial dan kekuasaan. Di mana penduduk miskin desa justeru merasa tauke adalah penyelamat
konsumsi rumah tangga, walaupun ditemukan juga tauke yang menolak memberi hutang kepala kliennya
sebelum adanya pengurangan hutang sebelumnya. Jika ini terjadi biasanya si klien akan mencari tauke
lain. Selain itu, peran tauke juga menjadi alat introdusir kebijakan negara kepada masyarakat
Keempat, ada sebagian kecil dari keluarga petani yang ingin memperbaiki hari
tuanya melalui pendidikan. Anak bagi keluarga desa adalah saving yang berguna di hari
tua. Anak yang sekolah memerlukan dana besar apalagi kalau sampai kuliah di
perguruan tinggi. Sumber biayanya kekayaan berupa tanah, kebun, ternak dan perhiasan
dan meminjam uang ke tauke.
Program Pemberdayaan Desa (PPD) semestinya secara filosofisnya mampu
menjawab permasalah over consumption (Konsumsi berlebih) sehingga secara perlahan
bisa melepaskan ketergantungan masyarakat desa dari tauke. Untuk itu PPD mau tidak
mau harus menyentuh pada tiga aspek penting di pedesaan, yaitu manusia,
pengembangan usaha dan kapasitas kelembagaan.
Aspek manusia meliputi perubahan pola pikir dari pemikiran ekonomi susbsisten
ke pemikiran ekonomi pasar, dari berproduksi untuk konsumsi menuju ke berproduksi
untuk peningkatan pendapatan. Maka diperlukan langkah-langkah pengembangan usaha
melalui penyediaan modal, pendampingan, pembentukan pasar dan kemampuan
menejerial. Langkah ini tidak mungkin bisa dilakukan sendiri-sendiri maka perlu
dilakukan secara bersama dengan membangun modal sosial melalui kelembagaan-
kelembagaan formal, informal dan kelompok sosial dan ekonomi yang ada di desa.
Selanjutnya diperlukan suatu kelembagaan ekonomi yang didukung oleh kelembagaan
formal dan informal desa. Untuk menghimpun langkah bersama tersebut diperlukan
sebuah lembaga ekonomi berbasis komunitas yang dikenal dengan lembaga keuangan
mikro. Agar kelembagaan formal dan non-formal mendukung langkah-langkah ini,
maka diperlukan pendampingan bagi perbaikan kelembagaan pedesaan tersebut.
Pintu masuk filosofi tersebut adalah melalui lembaga keuangan mikro atau yang
dikenal dalam program ini UED-SP (Usaha Ekonomi Desa – Simpan Pinjam).
Pemilihan lembaga keuangan mikro berdasarkan pertimbangan Pertama, lembaga
keuangan mikro berbasis komunitas yang sangat tergantung pada jumlah dan aktivitas
anggota. Di situ juga terbentuk kelembagaan yang bebasis komunitas yang membangun
kepercayaan keanggotan kelompok, sebagai fondasi awal membangun modal sosial.
Kedua, lembaga keuangan mikro merupakan satu unit ekonomi yang menuntut
pengeloaan oleh sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan sekaligus
memotivasi anggota masyarakat untuk memiliki kemampuan sumber daya manusia
yang baik agar pengembalian dana bisa tepat waktunya. Pada setiap lembaga keuangan
mikro terdapat 3 orang pengelola yang dilatih secara serius yang nanti diharapakan bisa
menelurkan ilmu kepada warga desa. Melalui program ini maka sudah dapat dipastikan
3 orang warga desa memiliki kemampuan pengeloaan lembaga keuangan mikro yang
memenuhi standard bank.
Ketiga, persyaratan sebuah lembaga keuangan mikro harus mempunyai standar
perbankan agar fungsinya sebagai lembaga keuagan mikro bisa mengakses ke berbagai
lembaga keuangan dan satuan kerja pemerintah serta pihak swasta. Tentu saja dalam hal
ini harus mempunyai badan hukum, sehat dan terakreditasi. Oleh sebab itu, masyarakat
yang terlibat pada lembaga keuangan ini juga harus mendapat legitimasi dari
kelembagaan desa, terutama legalitas asset sebagai penjaminan dan legalitas sebagai
warga. Oleh sebab itu, kelembagaan desa harus sehat dan berfungsi optimal agar
mampu dengan cepat melayani masyarakat dan memenuhi persyaratan dari lembaga
keuangan mikro.
Keempa, lembaga keuangan mikro sudah dipastikan akan mampu memberi
dukugan dan motivasi warga masyarakat untuk mengembangkan usaha ataupun
membuka usaha baru. lembaga keuangan mikro meminjam dana kepada masyarakat
untuk mengembankan usahanya, dan lembaga keuangan mikro juga bisa secara perlahan
memutuskan matarantai tengkulak dan tauke di pedesaan yang selama ini menjerat
leher warga desa. Lembaga keuangan mikro hendak berfungsi sebagai lembaga
perpanjangan kredit bank atau lembaga keuangan lainnya ke pada masyarakat dan
sekaligus sebagai sumber infomasi pasar bagi produksi masyarakat.
Pertimbangan-pertimbangan akademik yang mendorong dikembangkannya
lembaga keuangan mikro ditingkat pedesaan tidak dilepas dari beberapa hal yang
mendorong perubahan di tingkat pedesaan. Faktor utama dari kecenderungan perubahan
dipedesaan (Rawa 2004) adalah penetrasi perubahan yang tidak terkontrol dan mampu
merombak tatanan struktur sosial dan ekonomi pedesaan. Perubahan struktur sosial
menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur
sosial lama. Kemerdekaan untuk memiliki bebagai alternatif tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan cara pikir, budaya dan prilaku ekonomi.
Kehadiran kebun sawit, industri bubur kertas, imigrasi besar-besaran telah
merombak tatanan struktural lama. Perombakan struktural ini telah menyebabkan
perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti
oleh cara berpikir ekonomi. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara
berpikir masih ekonomi subsisten, ini terjadi karena tidak tampilnya negara untuk
mengantikan posisi tauke pada struktur yang berubah tersebut. Sementara untuk
memenuhi persyaratan pemikiran ekonomi pasar tidak tersedia sumber daya yang
memadai. Meraka terpaksa bekerja apa saja agar bisa makan hari ini, tetapi pada
beberapa daerah penelitian menunjukkan bahwa rakyat miskin sudah memiki rekening
di bank untuk menyimpan uang. Rekening bank ini sebagai petanda masuk rakyat
miskin pedesaan ke pemikiran ekonomi pasar.
Dalam situasi perubahan seperti ini peran lembaga keuangan mikro menjadi
sangat dominan, dimana posisi tauke secara perlahan tergeser, sementara lembaga
penjamin lainnya belum muncul. Jika tidak ada yang menggantikan psosisi tauke ini
maka secara perlahan akan terjadi kerawanan pangan.
Sementara pada masyarakat yang belum mengalami perubahan struktur sosial-
ekonomi pedesaan, lembaga keuangan mikro ditingkat pedesaan bisa menjadi lembaga
penyeimbang dari tauke yang bisa mengurangi tekanan penghisapan tauke kepada
masyarakat. Jika tidak tersedia lembaga penyeimbang ini maka petani akan membatasi
diri dan tetap bergantung pada tauke sebagai suatu sistem patron-klien. Artinya lembaga
keuangan mikro dipedesaan mampu menjadi pendorong bagi arah perubahan di
pedesaan untuk lepas dari struktur sosial-ekonomi yang menjerat tersebut.
Strategi yang dijalankan petani terhadap perubahan adalah melakukan empat
penyesuain diri berupa, pertama, pendalaman pada bentuk-bentuk setempat dari usaha
swadaya dalam bentuk pertukaran jenis tanaman ke peralihan padat karya dan peralihan
ketanaman komersial. Kedua, pengandalan dari sektor non pertanian, dalam bentuk
menyerbu ekonomi uang dengan pergi ke kota mencari serpihan ke kota. ketiga,
pengandalan pada bentuk patronase dan bantuan dukungan dari negara, berupa projek
negara berupa subsidi pangan dan bantuan untuk daerah yang tertimpa kelaparan.
Keempat, pengandalan pada struktur-struktur proteksi dan bantuan yang bersifat
keagamaan atau oposisi. PPD melalui lembaga keuangan mikro ingan tampil sebagai
dukungan patronase negara untuk mendorong petani-petani menghadapi perubahan.
2
Bagian ini diringkas dari Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis Program Pemberayaan Desa 2005
Struktur koordinasi di Desa/ kelurahan Ketua BPD (desa) dan satu orang tokoh
melakukan Pengawasan Umum ditetapkan melalui SK Bupati/Walikota dimana Camat
sebagai pembina koordinasi. Di Kabupaten/Kota Bupati/Wali Kota Penanggungjawab
Kegiatan PPD di kabupaten/kota ditetapkan melalui SK Bupati/Wali Kota. Di provinsi,
Gubernur Riau Penanggungjawab Kegiatan PPD di Provinsi dan Tim Koordinasi
Pembinaan dan Pengendalian PPD ditetapkan melalui SK Gubernur Riau.
Grafik 1 Strukur Pengelolaan PPD
Penanggungjawab
(Gubernur Riau)
Tim Pengarah
Fasilitator Program
Provinsi
Ketua Pelaksana
Leader (Ka. BPPM Prov.) Team
Spesialis
Sekretariat Prov.
Asisten Spesialis
Tim Koordinasi Kab/Kota
Penanggungjawab
(Bupati/Walikota)
Tim Pengarah
Fasilitator Program
Kabupaten/Kota
Ketua Pelaksana
Koordinator Daerah
(Ka. BPPM/PMD atau
(Korda)
sebutan lainnya di
Kab/Kota)
Sekretariat Kab/Kota
Camat
Pendamping Otoritas
Desa BPD/PU Kades/Lurah
Rekening DUD
Kader Pembangunan
Masyarakat (KPM) Pengelola UED-SP Tim
MASYARAKAT
2.2. Alur
Adapun alur dari dari program ini dimulai dengan melakukan sosialisasi
bertujuan untuk menjamin pemahaman mekanisme dan tujuan program dilaksanakan
Penanggungjawab Pelaksana Program di provinsi dan kabupaten. Sistem pengendalian
program dilakukan melalui rapat koordinasi 3 (tiga) bulan sekali yang melibatkan
satuan kerja terkait. Sedangkan progres program dipantau melalui koordinasi setiap
bulan mulai dari desa, kabupaten dan provinsi. Perencanaan pembangunan
desa/kelurahan melibatkan berbagai sektor dilakukan melalui musyawarah disemua
tingkat yang dituangkan dalam Rencana Jangka Menengah (RJM) dan Rencana
Pembangunan Tahunan Desa/Kelurahan (RPTD/K). Kegiatan ekonomi produktif siklus
usaha maksimal 18 bulan dilaksanakan langsung oleh masyarakat desa/kelurahan.
Rekrutmen
& Pelatihan Musyawarah Pelatihan
Lokakarya Lokakarya Pengelola UED-SP &
Fasilitator Desa/Kel (MDI)
Provinsi Kab/Kota KPM
Program
Penulisan Usulan
Pembentukan
Tim Verifikasi
Verifikasi Usulan
Dokumen Musyawarah
Musrenbang
Kecamatan RPTD/K & Desa/Kel
RJM (MD) II
Musrenbang Pencairan
Kab/Kota Dana Usaha Desa
Musrenbang
Provinsi Musyawarah Desa/Kel
Realisasi
Angsuran
Usulan
Pinjaman
Evaluasi
2.3. Strategi
Dalam mewujudkan visi dan misi program maka strategi yang digunakan adalah;
1. Pemberdayaan Masyarakat
2. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat
3. Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Adapun pendekatan yang dilakukan dalam mendukung strategi tersebut adalah :
a. Pemihakan kepada kelompok masyarakat miskin dan marjinal
b.Otonomi dan desentralisasi, dimana masyarakat mendapatkan kesempatan,
kepercayaan dan kewenangan yang lebih luas untuk mengelola kegiatan
pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
pemanfaatan serta pelestarian dan pengembangannya;
c. Partisipatif, dimana masyarakat terlibat aktif dalam setiap tahapan kegiatan
d.Mendorong pengembangan potensi dan sumber daya lokal seoptimal mungkin
e. Keterpaduan pelaksanaan kegiatan, memiliki sinergi yang kuat dengan kegiatan
yang lain dalam rangka percepatan peningkatan kesejahteraan
2.4. Pendampingan
Pendampingan merupakan strategi pilihan dalam PPD yang diwujudkan dalam
bentuk pemberian pendampingan oleh tenaga profesional yang bertugas memfasilitasi
masyarakat dan aparat pemerintah dalam implementasi program. Untuk itu ditempatkan
Fasilitator Program yang berkedudukan di Provinsi, Koordinator Daerah yang
berkedudukan di Kabupaten/Kota, Pendamping Desa di desa/kelurahan. Disamping itu
disetiap desa/kelurahan akan dipilih warga tempatan sebagai Kader Pembangunan
Masyarakat.
Secara Umum tugas utama Fasilitator Program adalah sebagai penanggung jawab
dalam memberikan pembimbingan dan pembinaan serta pembelajaran kepada Kader
Pembangunan Masyarakat, Pengelola UED- SP dalam bentuk pelatihan, Rapat
Koordinasi Bulanan, in Service Training (IST) serta On the Job Training (OJT) di
lapangan.
Tugas utama Pendamping Desa/Kelurahan adalah membantu masyarakat dalam
meningkatkan kapasitas, memfasilitasi pertemuan dan bertanggungjawab dalam
melaksanakan kegiatan ditingkat Desa/Kelurahan. Kegiatan dimaksud bukan saja
kegiatan PPD, tetapi juga sinergi dengan program-program pembangunan lain yang
masuk ke desa lokasi tugasnya. Untuk itu koordinasi dengan Dinas dan Instansi terkait
serta dunia usaha perlu dilakukan.
Tugas utama Kader Pembangunan Masyarakat sebagai pendamping masyarakat
adalah memberikan pembelajaran dan kesadaran kepada masyarakat untuk mengenali
dirinya sendiri, menggali potensi dan kemampuan yang mereka miliki, mengidentifikasi
berbagai kendala dan kelemahan yang menjadi penghambat, serta merumuskan rencana
dan alternative pemecahan masalah yang perlu mereka ambil.
Para Kader Pembangunan Masyarakat harus dapat memberikan informasi dan
wawasan kepada masyarakat agar dalam menentukan pilihan kegiatan, utamanya
kegiatan yang mempunyai hubungan dan menyentuh langsung kepada penyediaan akses
ekonomi dari masyarakat miskin di desa/kelurahan. Jangan sampai terjadi justru para
“tengkulak”, “tuan tanah”, atau kelompok-kelompok masyarakat yang sudah relatif
mapan yang dapat memanfaatkan secara langsung hasil kegiatan PPD.
Strategi pendampingan ini diberikan dalam jangka waktu tertentu artinya, bahwa
pendampingan kepada masyarakat tidak bisa dilakukan secara terus menerus sepanjang
masa, tetapi dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan
ketersediaan biaya dan perkiraan kemampuan masyarakat untuk mandiri. Pendampingan
memang tidak diciptakan untuk ketergantungan, tetapi justru diharapkan dapat
mempercepat proses kemandirian masyarakat.
b. UED-SP dikelola oleh 3 orang pengelola yang terdiri dari Ketua, Tata Usaha dan
Kasir dan dalam Perkembangannya dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan;
Aparatur Desa/Kelurahan, Ketua dan Anggota BPD tidak dapat dipilih sebagai
Pengelola UED-SP.
Graf 3 :MEKANISME PENYALURAN DANA
2.8. Agunan
Keamanan agunan menjadi tanggung jawab Pengelola UED-SP;
1. Pengelola UED-SP wajib menyediakan tempat penyimpanan dokumen
agunan, biaya yang timbul dibebankan pada dana operasional UED-SP
dan atau dana operasional desa;
2. Letak agunan dibolehkan diluar desa, dengan syarat biaya pemeriksaan
ditanggung calon peminjam;
3. Pengelola UED-SP wajib membuat daftar inventaris agunan dan dipegang
oleh Pengelola UED-SP dan Pemerintahan Desa;
4. Agunan dalam bentuk barang bergerak yang dapat diterima adalah berupa
kendaraan roda empat, roda dua yang mempunyai nilai ekonomi dengan
menyerahkan surat Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB);
5. Nilai agunan barang bergerak dihitung pada akhir jatuh tempo
6. Besarnya nilai pinjaman dengan agunan barang bergerak adalah
maksimal 70% dari nilai agunan yang dihitung pada akhir
peminjaman/akhir jatuh tempo;
7. Besarnya nilai pinjaman dengan agunan barang tidak bergerak adalah
maksimal 80% dari nilai agunan;
8. Penetapan nilai agunan dilakukan oleh Tim Verifikasi berdasarkan
kriteria yang berlaku dilingkungan masyarakat setempat;
9. Mekanisme peminjaman BPKB yang diagunkan untuk kegiatan
perpanjangan STNK dan pembayaran pajak, harus dinyatakan secara
tertulis antara Peminjam dengan Pengelola UED-SP yang diketahui oleh
Pemegang Otoritas Desa/Kelurahan dan setelah itu harus dikembalikan
paling lambat 1 hari setelah pengurusan.
berdasarkan kesepakatan tersebut diatas harus tertuang dalam Berita Acara Musyawarah
Desa/Kelurahan dan ditetapkan dengan Keputusan Desa/Kelurahan.’’
3. Implementasi
Terhitung sejak tahun 2005, PPD telah melaksanakan program di 48 desa
dengan biaya penguliran mencapai 21 milyar rupiah. Dana tersebut merupakan dana
sharing antara Provinsi Riau dengan Kabupaten/kota, dimana 11 Milyar rupiah
merupakan dana dari Provinsi Riau, 10 milyar rupiah dana dari kabupaten/kota.
Sedangkan dana menejemen pengeloaaan berasal dari dana Provinsi Riau yang
mencapai 8 Milyar rupiah lebih. Adapun perkembangan jumlah desa dan fasilitator
program dapat dilihat pada tabel berikur:
Tabel ini mengambarkan pertambahan jumlah desa yang menjadi program dari
48 desa tahun 2005 naik menjadi 107 desa tahun 2006, serta menejemen pengelolaan
program ini yang dilaksanakan secara independen. Jumlah desa yang baru mencapai 107
ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah desa di Riau yang mencapai
1400. Memerlukan waktu 9 tahun lagi agar seluruh desa bisa menjadi program PPD.
Desa-desa pada umumnya merupakan desa yang tidak termasuk desa miskin dimana
rata-rata kemiskinan di desa tersebut dibawah 10% dari seluruh jumlah penduduk desa.
Salah satu perangkat monitoring dan evaluasi dari Program Pemberdayaan Desa
(PPD) adalah dilaksanakannya audit internal untuk mengetahui tingkat pencapaian
indikator program. Fasilitator Program sendiri telah melaksanakan audit untuk tahun
pertama pada akhir tahun 2005. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
Gambaran hasil audit ini sangat mengembirakan karena pencapaian out put
program ternyata sangat baik terutama dalam hal pengembalian pinjaman berikut:
Tabel diatas memberi gambaran bahwa makin kecil campur tangan fasilitator
program dan satuan kerja pemerintah semakin kecil pencapaiannya. Aspek
pemberdayaan mendapat penilaian yang cukup tinggi karena pelakunya ada di fasilitator
program. Begitu juga pengembangan usaha dimana peran pajabat pemerintah dalam
membentuk UED-SP dan campur tangan fasilitator program juga masih sangat tinggi.
Sementara pengembangan kelembagaan menurun jauh sampai 10 digit karena
menyangkut pengemban UED-SP yang pengelolanya berada ditangan masyarakat. Ini
mengambarkan bahwa program ini masih sangat didominasi proses mobilisasi dari
pengelola daripada inisiatif dari masyarakat.
Lemahnya inisiatif ini tentu saja karena paradigma pemerintah dan masyarakat
masih menganggap program ini sebagai program yang muncul dari pemerintah yang
dipandang sebagai proyek semata. Pemerintah campur sampai ke pembentukan UED-
SP, begitu juga minat masyarakat menjadi anggota UED/K – SP masih berdasarkan
karena ingin meminjam dana belum atas kesadaran kesadaran membangun kelompok.
Jadi prinsip belajar dari kearifan lokal untuk membangun nilai kebersamaan belum
dimulai pada program ini.
Secara khusus laporan hasil uadit ini memberi catatan penting untuk melengkapi
catatan keberhasilan yang dikemukan diatas, sebagai berikut:
“Pada