You are on page 1of 6

1. Apa sih sakinah itu?

Sederhananya, sakinah inilah yang menyebabkan pernikahan


disebut separo agama seseorang. Denganya seorang insan bisa mengoptimalkan
potensinya untuk menjadi ‘Abdullah (hamba Allah) dan khalifah (pengelola nikmat-
nikmat-NYA untuk kemaslahatan alam semesta)
2. Apa itu mawaddah?  Cinta yang erotis romantis . Bentuknya bisa ekspresi yang paling
batin sampai yang paling zahir, dari yang sifatnya emosional hingga seksual.
3. Apa itu rahmah? Ini juga Cinta lho, bukan sekedar kasih sayang. Cinta yang
bagaimana? Cinta yang seperti lagu :kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang
masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia. Inilah
cinta yang memberi (bukan meminta), berkorban (bukan menuntut), berinisiatif
(bukan menunggu), dan bersedia (bukan berharap-harap). Eric Fromm menyebutnya
cinta keibuan (Erich Fromm, The Art of Loving, halaman 82)

4 Kunci Rumah Tangga Harmonis


Oleh: Tim dakwatuna.com

Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi
sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang
indah dan serasi.

Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang
orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan
memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan
hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.

Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara
berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu
pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada
kelebihan dan kekurangan.

Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya
keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan
berjuta-juta lagu yang indah.

Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang
bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan
keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.

Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah
tangga.keempatnya adalah:

1. Jangan melihat ke belakang

Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima
aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.
Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret
ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan
berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.

Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari
masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar
pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.

2. Berpikir objektif

Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik
disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah
internal rumah tangga tidak secara utuh.

Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini
dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang
perlu dibenahi.

Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga
menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai
pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel,
materialistis, dan kurang pengertian.

Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua
pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan,
bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.

3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya

Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya,
mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada
bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.

Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali
mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah
pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.

Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat
ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar
biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan
pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau
melemahkan semangat untuk berubah.

4. Sertakan sakralitas berumah tangga


Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan
pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan.
Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.

Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik
masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah.
Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.

Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah,
masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata.
Insya Allah!

Pernikahan artinya menjalin kecintaan dan kerjasama, mendahulukan kepentingan orang lain
dan pengorbanan, ketentraman dan mawaddah, hubungan rohani yang mulia dan keterikatan
jasad yang disyari’atkan.

Pernikahan artinya rumah yang tiangnya adalah Adam dan Hawwa, dan dari keduanya
terbentuk keluarga-keluarga dan keturunan-keturunan, lalu rumah-rumah, lalu komunitas,
lalu muncul berbagai bangsa dan negara. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala
berfirman, artinya,
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah.” (al-Furqan:54).

Mushaharah yaitu hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh ikatan perkawinan, seperti
menantu, mertua, ipar, dan sebagainya.

Pernikahan adalah benteng yang dapat menekan kejalangan nafsu seksual seseorang,
mendorong keinginan syahwatnya, menjaga kemaluan dan kehormatannya serta
menghalanginya dari keterjerumusan ke dalam lubang-lubang maksiat dan sarang-sarang
perbuatan keji.

Kita melihat bagaimana al-Qur’an membangkitkan pada diri masing-masing pasangan suami-
istri suatu perasaan bahwa masing-masing mereka saling membutuhkan satu sama lain dan
saling menyempurnakan kekurangan.

Sesungguhnya wanita adalah ran ting dari laki-laki dan laki-laki adalah akar bagi wanita.
Karena itu, akar selalu membutuhkan ranting dan ran ting selalu membutuhkan akar.”
Mengenai hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan
istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (al-A’raf:189).

Yang dimaksud dengan diri yang satu adalah Adam dan yang dimaksud istrinya adalah
Hawwa. Karena itu, pernikahan menurut Islam bukan hanya sekedar menjaga keutuhan jenis
manusia saja, tetapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala
sebagaimana dalam firman-Nya, artinya,
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”(an-Nisa`:3)
Di bawah naungan ajaran Islam, kedua pasangan suami istri menjalani hidup mereka dalam
kesenyawaan dan kesatuan dalam segala hal; kesatuan perasaan, kesatuan hati dan dorongan,
kesatuan cita-cita dan tujuan akhir hidup dan lain-lain.

Di antara keagungan al-Qur’an dan kesempurnaannya, kita melihat semua makna tersebut,
baik yang sempat terhitung atau pun tidak, tercermin pada satu ayat al-Qur’an, yaitu:
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (al-
Baqarah:187)

Makna Sakinah, Mawaddah dan Rahmah

Al-Qur’an telah menggambarkan hubungan insting dan perasaan di antara kedua pasangan
suami-istri sebagai salah satu dari tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat yang tidak
terhingga dari-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman, artinya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)

Kecenderungan dan rasa tentram suami kepada istri dan kelengketan istri dengan suaminya
merupakan hal yang bersifat fitrah dan sesuai dengan instingnya. Ayat ini merupakan pondasi
kehidupan yang diliputi suasana perasaan yang demikian sejuk. Isteri ibarat tempat suami
bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan sesuap nasi, dan mencari
penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan, pada putaran akhirnya, semua
keletihannya itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang istri yang harus
menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria dan senyum. Ketika itulah, sang
suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih dan
tutur kata yang lembut.

Profil wanita shalihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi ketentraman
bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “Ketentraman (sakinah) itu.
Dan, agar suatu ketentraman dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa
kriteria, di antara yang terpenting; Pemiliknya merasa suka bila melihat padanya; Mampu
menjaga keluarga dan hartanya; Tidak membiarkan orang yang menentang nya tinggal
bersamanya.

Terkait dengan surat ar-Rûm, ayat 21 di atas, ada beberapa renungan:

Renungan Pertama. Abu al-Hasan al-Mawardy berkata mengenai makna, “Dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (ar-Rum:21). Di dalam ayat ini terdapat empat
pendapat:
Pertama, bahwa arti Mawaddah (rasa kasih) adalah al-Mahabbah (kecintaan) sedangkan arti
Rahmah (rasa sayang) adalah asy-Syafaqah (rasa kasihan).
Ke-dua, bahwa arti Mawaddah adalah al-Jimâ’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah al-
Walad (anak).
Ke-tiga, bahwa arti Mawaddah adalah mencintai orang besar (yang lebih tua) dan Rahmah
adalah welas asih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
Ke-empat, bahwa arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-
isteri. (al-Mawardy: an-Nukat Wa al-’Uyûn)
Ibn Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal
dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram kepadanya. Andaikata Dia
menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain
selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi
kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari,
bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis. Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya
kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan
menjadikan di antara sesama mereka rasa kasih (mawaddah), yakni cinta dan rasa sayang
(rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta
atau kasih terhadapnya hingga mendapat kan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh
kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain
sebagainya” (Tafsir Ibn Katsir)

Renungan ke Dua. Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri
adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami,
sedangkan laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (baca: al-
Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang
lain (istri,red). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi
tidak untuk memberhentikannya. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti
menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

Renungan ke Tiga. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan
bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka
menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’
yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-
hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya.”

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang
lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam
surat an-Nisâ`, ayat 34.

Renungan ke Empat. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati


pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi
sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu
mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat,
sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan
mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

Renungan ke Lima. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah subhanahu
wata’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya
kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada
keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlaku kanya dengan
lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau
isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah subhanahu wata’ala, tentu rasa
kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita
shalihah.”

Renungan ke Enam. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah
terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini
dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah radhiyallahu ‘anha, istri pertama
beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena beliau
sering mengingat kebaikan dan jasanya.

Semoga Allah subhanahu wata’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin rumah tangga
yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala
kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah
tangga beliau.

You might also like