You are on page 1of 24

MODEL PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA

A. Latar Belakang
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah menunjukkan
adanya degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan karakter dan kepribadian
Pancasila. Degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila sebagai inti atau core values dari
pembentukan karakter Pancasila tersebut tidak saja terjadi di kalangan masyarakat
awam tetapi juga sudah merambah ke kepribadian para profesional, tokoh
masyarakat, para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin
bangsa dan negara. Adalah wajar, bila banyak penilaian masyarakat internasional
yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia dan birokrasi
pemerintahan di Indonesia adalah birokrasi pemerintahan paling buruk kedua di
dunia. Belum lagi, banyak fakta lainnya yang menunjukkan bahwa degradasi nilai-
nilai dan moral Pancasila itu telah terjadi dari tingkat akar rumput hingga para
pemimpin bangsa. Kasus narkoba yang makin subur, pertikaian bersenjata antar
kelompok massa yang menjadi tontonan di televisi, kekerasan terhadap anak dan
perempuan, pornografi dan pornoaksi yang makin vulgar ditunjukkan oleh kalangan
muda hingga elit politik, hubungan seks bebas yang makin menjangkiti kalangan
generasi muda siswa dan mahasiswa, tindakan KKN di mana-mana, kasus mafia
hukum dan peradilan, gerakan terorisme oleh salah satu kelompok masyarakat
Indonesia sendiri, kasus money politics dalam pemilukada dan pemilu legislatif,
pencemaran dan kehancuran lingkungan ekologis, kompetisi antar kepentingan yang
makin tajam dan tidak fair, pameran kekayaan yang makin tajam antara kelompok
kaya dan kelompok miskin, kasus penggusuran kelompok miskin di kota-kota besar,
dan sulitnya menumbuhkan kepercayaan terhadap kejujuran masyarakat adalah
sedikit contoh kecil dari gunung es degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila telah
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dewasa
ini.

Proses degradasi nilai dan moral tersebut telah mengalami proses yang lama hingga
memunculkan karakter manusia Indonesia yang cenderung memiliki nilai-nilai yang
mengagungkan dan mengukur keberhasilan seseorang dari aspek kebendaan. Sebagai
contoh, perilaku korupsi bahkan dikatakan telah membudaya di Indonesia. Jika
pembudayaan nilai-nilai menyimpang tersebut pada dasarnya juga adalah hasil
proses pendidikan (karena pembudayaan tidak bisa dilepaskan dari pendidikan),
maka dapat dikatakan pula bahwa ada yang salah dalam proses pendidikan di negeri
ini dalam waktu yang lama sehingga melahirkan generasi masyarakat yang kurang
berkarakter Pancasila. Pendidikan di Indonesia ditengarai kurang berbasis pada
pendidikan karakter Pancasila, melainkan lebih mendominankan atau
menyombongkan pendidikan yang takabur pada keunggulan berpikir logika kognitif
belaka. Menurut Mahatma Gandhi pendidikan tanpa basis karakter adalah salah satu
dosa yang fatal. Theodore Roosevelt juga pernah menyatakan bahwa: “to educate a
person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman
mara-bahaya kepada masyarakat) (Russell T. Williams, 2010; Ratna Megawangi,
2010). Jelaslah bahwa pendidikan karakter itu sangat penting dan mendesak
dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia.

Bila diperhatikan dengan cermat, konstitusi Indonesia telah mengamanatkan


pentingnya pendidikan karakter, seperti bunyi pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Untuk
menjalankan amanah itu maka UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menetapkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara
yang demokratis dan bertanggungjawab. Salah satu pilar yang harus menjalankan
pendidikan karakter adalah perguruan tinggi.

Lembaga Pendidikan Tinggi atau Perguruan Tinggi harus ikut mengambil peran ikut
bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter
bangsa berbasis Pancasila dalam rangka memajukan keberadaban bangsa. Sesuai
dengan visi Kementerian Pendidikan Nasional yang tertuang dalamKerangka
Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) IV (2003-2010), maka
pendidikan tinggi di Indonesia diarahkan untuk mampu membentuk insan yang
berkarakter dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa. Kebijakan dasar untuk
mencapai visi tersebut adalah adanya kesadaran bahwa daya saing bangsa hanya
dapat dicapai dalam bingkai karakter bangsa dan peradaban yang kuat. Pendidikan
tinggi sebagai kelanjutan dan titik kulminasi proses pendidikan dalam jenjang
pendidikan formal jelas memiliki peran dan tanggung jawab dalam memantapkan
pembinaan karakter bangsa yang telah dibangun dan dikembangkan sejak pendidikan
dasar. Untuk itu pendidikan tinggi memiliki tanggung jawab untuk menghasilkan
sarjana yang memiliki pengetahuan yang kuat, memahami bagaimana menjadi
warganegara yang baik dan mampu memimpin kehidupan yang bermakna
(Brodjonegoro, S. S., 2003).

Salah satu sarana untuk mengimplementasikan pendidikan karakter adalah pada


kegiatan pembelajaran di kelas, dengan menjadikannya sebagai satu mata kuliah
tersendiri. Mata kuliah ini unik dalam arti berbeda dengan mata kuliah lain. Mata
kuliah ini berorientasi pada pengembangan karakter bagi mahasiswa dengan
menjadikan teladan dan berbuat sebagai basis perkuliahan.

Bila menggunakan terminologi standar kompetensi lulusan maka pendidikan karakter


di perguruan tinggi dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.

3. Kepekaan dan kepedulian sosial, bekerja sama dan gotong royong, serta bersatu
dalam keberagaman

4. Demokratis, bertanggung jawab, dan partisipatif.

5. Berorientasi hidup sehat, hemat, dan bersahaja

Dari standar kompetensi lulusan seperti di atas dapatlah kemudian dikembangkan


pada nilai-nilai yang lebih bersifat praksis antara lain sebagai berikut.

1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa


2. Menghargai kebebasan dan keberagaman beragama dan berkeyakinan kepada
Tuhan Yang Maha Esa

3. Toleransi dan saling menghormati terhadap sesama

4. Memajukan persaudaraan antar umat manusia

5. Kemampuan kerja sama dan cinta damai

6. Memajukan kehidupan berkelompok atau berorganisasi untuk menjalin


kerjasama saling menguntungkan

7. Kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif

8. Gemar membaca untuk mengembangkan wawasan

9. Kemampuan melakukan inkuiri dan pemecahan masalah secara bermakna

10. Kemampuan mengambil keputusan dengan benar, baik, dan bijaksana.

11. Menghargai dan mengembangkan seni dan keindahan

12. Mengembangkan motivasi berprestasi dan rasa percaya diri (self-


confidence)

13. Mandiri, memiliki etos kerja tinggi, mengembangkan semangat


kewirausahaan, dan berani mengambil resiko

14. Berdisiplin dan bertanggung jawab

15. Memiliki kemapuan kompetisi secara fair

16. Menjunjung persatuan dan kesatuan bangsa

17. Mengembangkan kepekaan sosial dan altruisme

18. Bersikap gotong royong

19. Memajukan semangat patriotisme dan kepahlawanan

20. Kesadaran nasionalisme dan dharma negara

21. Menghargai pluralisme dalam masyarakat

22. Kepedulian terhadap lingkungan


23. Menghargai, mencintai budaya dan mengembangkan produk bangsa
sendiri

24. Jujur dan cinta kebenaran

25. Menghargai budaya malu berbuat salah (dosa) sekecil apapundan


mengembangkan sikap anti korupsi

26. Mengembangkan semangat demokrasi, etika dialog, dan terbuka

27. Kemampuan berkomunikasi yang berpengaruh secara lisan dan


tertulis

28. Menghargai dan mematuhi norma-norma dan hukum

29. Menghargai hak golongan minoritas dan kesetaraan gender

30. Partisipatif dalam kehidupan masyarakat dan mempengaruhi


kebijakan publik

31. Hidup hemat dan bersahaja

32. Bertindak efektif dan efisien

33. Berorientasi hidup sehat baik secara fisik maupun mental

34. Mengakui dan menghormati keseimbangan hak dan kewajiban

35. Keseimbangan orientasi masa lalu, masa kini, dan masa depan

36. Hidup teratur, bersih, rapi, dan tepat waktu


Dalam menjalankan pendidikan karakter banyaknya perilaku atau nilai yang
dikembangkan bukanlah yang penting, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya
pembiasaan yang dapat dilakukan yang pada akhirnya akan membentuk karakter
yang kuat bagi siswa.

Nilai-nilai yang Dikembangkan


Nilai-nilaiyang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Program
Studi PPKN Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta dirumuskan
sebagai berikut.
1. Jujur
2. Terbuka
3. disiplin
4. Komitmen
5. Tanggung jawab
6. Menghargai dan menghormati
7. Berbagi

A. Konsep Karakter
Secara umum istilah “karakter” yang sering disamakan dengan istilah
“temperamen” ,”tabiat”, “watak” atau “akhlak” yang memberinya
sebuah definisi sesuatu yang menekankan unsur psikososial yang
dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Secara harfiah
menurut beberapa bahasa, karakter memiliki berbagai arti seperti :
“kharacter” (latin) berarti instrument of marking, “charessein” (Prancis)
berarti to engrove (mengukir), “watek” (Jawa) berarti ciri wanci; “watak”
(Indonesia) berarti sifat pembawaan yang mempengaruhi tingkah laku,
budi pekerti, tabiat, dan peringai. Dari sudut pandang behavioral yang
menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki sejak lahir, Sehingga Doni
Kusuma (2007:80) istilah karakter dianggap sebagai ciri atau karakteristik
atau gaya atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-
bentukan yang diterima dari lingkungan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1995:445), istilah “karakter”
berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain: tabiat, watak. Dalam istilah Inggris, karakter
berpadanan dengan “character” yang dalam Oxford Advace Learner’s
Dictionary of Current English (2000) dapat diartikan: (1) All the qualities and
features that make a person, groups of people, and places different from others
(semua baik kualitas maupun ciri-ciri yang membuat seseorang,
kelompok orang atau tempat berbeda dari yang lain); (2) the way the
something is, or a particular quality or peature that a thing, an event or a place has
(cara yang khas atau kekhasan yang dimiliki oleh sesuatu, peristiwa atau
tempat); (3) strong personal qualities such as the ability to deal with difficult or
dangerous situations (kualitas pribadi yang tangguh misalnya kemampuan
dalam menghadapi situasi yang sulit atau berbahaya); (4) the interesting or
unusual quality that a place or a person has (kualitas menarik dan luar biasa
yang dimiliki suatu tempat atau orang); (5) a person, particularly an
unpleasant or strange one (orang yang aneh atau tidak menyenangkan); (6)
an interesting or unusual person (orang yang menarik dan luar biasa); (7) the
opinion the people have of you, particularly of whether you can be trusted or relied
on (pendapat khalayak tentang anda, apakah anda dapat dipercaya). Dari
penjelasakan konsep karakter di atas, maka karakter pada nomor (5) dan
(6) lebih bersifat informal sedangkan nomor (7) mengandung pengertian
yang lebih bersifat formal.
Dalam pengertian harfiah, sebagian para ahli berpendapat bahwa
karakter mempunyai makna psikologis atau sifat kejiwaan karena terkait
dengan aspek kepribadian (personality). Akhlak atau budi pekerti, tabiat,
watak, atau sifat kualitas yang membedakan seseorang dari yang lain
atau kekhasan (particular quality) yang dapat menjadikan seseorang
terpercaya dari orang lain. Dari konteks inipun, karakter mengandung
unsur moral, sikap bahkan perilaku karena untuk menentukan apakah
seseorang memiliki akhlak atau budi pekerti yang baik, hanya akan
terungkap pada saat seseorang itu melakukan perbuatan atau perilaku
tertentu.
Karakter yang baik menurut Maxwell (2001) lebih dari sekedar perkataan,
melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan
anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran,
perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan
dibentuk dari kesulitan hidup.
Berkowitz (1998) menyatakan bahwa kebiasaan berbuat baik tidak selalu
menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar
(cognition) menghargai pentingnya nilai karakter (valuing). Karena mungkin
saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah,
bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika
seseorang berbuat jujur hal itu dilakukannya karena ia takut dinilai oleh
orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai
kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu dalam pendidikan karakter diperlukan
juga aspek perasaan (domein affection atau emosi). Memakai istilah Lickona
(1992) komponen ini dalam pendidikan karakter disebut “desiring the good”
atau keinginan untuk berbuat kebaikan. Menurut Lickona pendidikan
karakter yang baik dengan demikian harus melibatkan bukan saja aspek
“knowing the good” (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau
“loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu
semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh
sesuatu paham.
Menurut Q-Annes dan Hanbali (2008:1), bahwa karakter adalah lautan,
tak selemai dan tak dapat diintervensi. Hal ini memperkuat bahwa
karakter akan membedakan seseorang dengan orang lain. Dijelaskan
lebih lanjut oleh Q-Annes dan Hanbali bahwa orang yang memiliki
karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan
realitas yang telah ada begitu saja dari sono-nya, sementara, orang yang
memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan
kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya.
(2008:2)
Menurut Cronbach (Spriya; 2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa
perilaku bersifat amoral apabila pelaku tidak menyadari atau tidak peduli
dengan akibat dari tindakannya terhadap orang lain. Bayi yang belum
punya konsep tentang baik atau buruk adalal amoral. Sementara seorang
yang bijakdana (expendient) adalah juga berpusat ada dirinya namun
perilakunya jauh terkontrol. Ia tahu pentingnya memperhatikan reaksi
orang lain untuk mengenal lebih jauh lagi .
Menurut Sparks (Sapriya;2007, Kardiman, 2008:25) menyatakan bahwa
secara umum fungsi dari karakter adalah : (1) one’s sense of right and
wrong; (2) one’s standards of what is good and just; (3) one’s judgement of what
constitutes good and bad behavior. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa pada
esensinya ada dua dimensi karakter; one is focused on the individual’s
biliefs, amoral reseaning, and system of values; the other is focused on
the individual’s actions and conduct. Dimensi pertama adalah konsep
pengembangan karakter yang secara tradisional menjadi pendorong
pendidikan di Amerika Serikat sedangkan dimensi yang kedua adalah
konsep pendidikan moral yang dikenal selama tahun 1960-an dan 1970-
an. Namun di akui olehnya bahwa pengembangan karakter dan
pendidikan moral tidak sama karena nilai-nilai dan tingkat penalaran
moral seseorang merupakan pusat bagi konsep karakter. Dengan kata
lain, ada saling keterkatian antara pemikiran dan perbuatan, “that is,
individuals act in acdordance with their persepection, values and beliefs, and in turn,
the action and behaviors an individual chooses in resolving dilemas and making
decisions are manifestation of those perspections, values, and beliefs”.
Dalam National Conference on Character Bulding yang membahas The Need for
Character Education yang diselenggarakan oleh International Education
Foundation bekerjasama dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP dan
sejumlah LSM di Jakarta (2005:6) mempertanyakan : What is meant by
“character”? konferensi merumuskan pengertian karakter sebagai berikut:
Character has been defined as the inner disposition conductive to right
conduct. It is a person’s collection of attitudes and habits which enable
and facilitate moral action. It is the foundation for all activity in the
world; every task and every achievement bears the imprint of ones’s
character. Moreover, as we shall see, one result of attaining good
character is that individuals are able to love others well and become
more productive citizens. Good character is thus the foundatio for all
human endeavors.
Lebih lanjut, dalam dokumen konferensi tersebut dibahas pula perbedaan
pengertian antara personality dan character. “personality is unique. It varies
from person, as do talents and general abilities. Character, on the otehr hand, can
be shared by many people. It is composed of virtues that are universal”.(2000:6)
Uraian di atas memperjelas bahwa istilah personality menunjukkan
kekhasan atau ciri khas yang dimiliki oleh seseorang atau perseorangan,
karena aspek pembawaan atau bakat dan kemampuan umum sedangkan
istilah character menunjukkan kekhasan yang dimiliki sejumlah orang
termasuk kebajikan-kebajikan yang bersifat universal. Sehingga dapat
diilustrasikan mungkin saja seseorang personalitinya seorang periang
atau pendiam tetapi kedua personaliti tadi dapat memiliki karakter yang
sama seperti jujur, adil, ulet, pekerja keras, tanggung jawab, komitmet,
selalu berbagi, disiplin dan sebagainya karena karakter pada dasarnya
dimiliki oleh setiap orang.
Dijelaskan pula bahwa pada intinya, karakter yang baik berada tertanam
secara baik di dalam hati, yang disebut pula “moral heart” atau menurut
Agustian (2007:25) suara hati yang terletak pada god spot. Secara
khusus dinyatakan bahwa “heart is the source of the fundamental impulse for
relatedness. it is what motivates a person to yearn to the joy of loving and being
loved, the satisfaction of valuing and being valued” (National Conference on
Character Building, 2000: 6). Yang menjadi persoalan apakah karakter
tersebut terbangun atau tidak. Sehingga bagaimana untuk
membangunkan kembali karakter yang baik (good character) maka
Pendidikan karakter menjadi penting peranannya.

B. Konsep Karakter Bangsa


Para ahli (Margenthau, 1993; Devos, 1968) mendefinisikan karakter
bangsa dalam konteks negara-bangsa (nation-state) sebagai salah satu
unsur kekuatan nasional (national power) dalam politik antar bangsa.
DeVos (1968:14) mendefinisikan bahwa karakter bangsa sebagai berikut:
the term “National Charaacter” is used to described the enduring personality
characteristic and unicue life style found among the populations of particular
national states. Artinya, istilah karakter bangsa digunakan untuk
mendskripsikan ciri-ciri kepribadian yang tetap dan gaya hidup yang khas
yang ditemui pada penduduk negara bangsa tertentu. Karena terkait
dengan masalah kepribadian yang merupakan bagian dari aspek
kejiwaan maka diakui oleh Devos bahwa dalam konteks perilaku, karakter
bangsa dianggap sebagai istilah yang abstrak yang terikat oleh aspek
budaya dan termasuk dalam mekanisme psikologis yang menjadi
karakteristik masyarakat tertentu.
Lebih lanjut, DeVos (1968:14) menguraikan bahwa secara historis,
munculya kesadaran adanya perbedaan kebangsaan bermula di Eropa
“...the defferences between Danes and Sweden, between Belgians and Dutch,
between Germans and Italians, or even between northem and southerm Italians and
southern Belgians, or northen and southern Dutch”. Namun persepsi tentang
perbedaan perilaku yang menimbulkan kesan verbal yang berusaha
sungguh-sungguh mengkaji secara sistematis tentang persepsi
perbedaan dalam konfigurasi kepribadian, baru muncul tahun 1940-an.
Sejak saat itu, konfigurasi “personality” berhasil dirumuskan oleh para
antropolog bahkan dari pandangan budaya di luar Eropa.
Selama perang dunia II menurut sejumlah antropolog (Mead, 1953:
Kardiner. 1939: Devos, 1960: Hagen, 1962) perhatian terhadap adanya
perbedaan kepribadian antar bangsa yang disebabkan oleh perbedaan
budaya seiring dengan munculnya perbedaan pemahaman terhadap
konsep karakter bangsa di tengah masyarakat Barat. Lebih lanjut mereka
menyatakan bahwa analisis yang lebih sistematis tentang perbedaan
dalam “national character” dalam masyarakat Barat menimbulkan
pandangan-pandangan yang mengarah pada ketegangan secara perodik
dan kesalah pahaman antara anggota aliansi dan kelompok-kelompok
nasional yang bermusuhan. Pada masa perang, penelitian tentang
“national character” terutama pada wilayah pendudukan atau wilayah
jajahan tidak dapat dilakukan secara langsung sehingga Mead dan
Metraux (1953) menamakannya “the study of culture at a distance”
(dalam DeVos, 1968:15).
Pada dasarnya, kajian tentang “national character” berbeda-beda
tergantung pada pendekatan yang digunakan oleh penulis. Mead (1953),
pelopor yang gigih dalam mengkaji “national character” membedakan
tiga pendekatan. Pertama, the analisys of reletionshif between the basic learning
coomon to children with in a nation or culture and later characteristic witnessed in
the behavior of adults with in the same society artinya, pendekatan yang
menganalisis hubungan antara kebiasaan belajar anak-anak dalam suatu
bangsa atau budaya dengan karakteristik yang terlihat dalam perilaku
orang dewasa pada suatu masyarakat yang sama. Dalam pendekatan ini,
pengalaman anak yang sedang tumbuh menjadi fokus utama. Kedua,.
Societal studies of the pattern and stuctur of interversonal reletionshif. Artinya,
pendekatan dilakukan dengan cara mengkaji pola dan struktur hubungan
antar personal dalam masyarakat. Ada sanksi budaya dalam masyarakat
untuk memperkuat pola-pola perilaku dan ada konsistensi yang
diharapkan dalam konfigurasi budaya. Pembahas budaya dalam
pendekatan ini menjadi aspek kepribadian tertentu. Ketiga, studies
comprising simple comparative descriftion those cultural configuration which
distinguish one national unit from another, fifferent live styles and ways of loocking
at things are defined as part of national character. Artinya kajian yang meliputi
uraian komparatif tentang semua konfigurasi budaya yang membedakan
suatu budaya dari budaya lainnya, perbedaan gaya hidup dan cara
pandang tentang sesuatu ditentukan sebagai bagian dari “national
character”.
Kardiner (1939) mengembangkan konsep “basic personality”, ialah upaya
untuk mendefinisikan komponen-komponen dari pengintegrasian
kepribadian bersama yang dilakukan oleh sejumlah individu yang
memiliki pengalaman budaya yang sama. Pertimbangan penting dalam
mengkaji variabel “basic personality” adalah kedudukan atau keadaan
kehidupan orang tua dalam masyarakat. Perubahan dalam struktur
ekonomi sangat besar mempengaruhi pengalaman anak-anak dan dapat
mengubah keluarga inti, sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan
dalam “basic personality” (DeVos, 1968: 15-16).
Kajian lain terhadap karakter bangsa “concernedwith correlating the central
role of culturally prevalent chil-rearing practice with resultant personality modalities
found in the adults” (DeVos, 1968:16). Artinya pengkajian yang terkait
dengan hubungan dengan hubungan peran sentral budaya membesarkan
anak umumnya dengan dampaknya pada perasaan pribadi masa dewasa.
Melalui pendekatan ini dimungkinkan adanya pengkajian terhadap
perbedaan dalam kelompok etnis dan golongan dalam suatu bangsa.
dalam kaitan ini, ada upaya untuk mendeskripsikan praktek
membesarkan anak pada kelompok etnis dan golongan tertentu secara
sistematis.
Bentuk kajian selanjutnya dinamakan functional prerequities. Pendekatan
ini “...examine the basic personality traits that are necessary for at leasts a working
minority of individuals whitin a society to keep that society functioning on its own
terms. Maksudnya, pendekatan ini mengkaji sifat-sifat dasar kepribadian
yang diperlukan paling tida untuk kelompok pekerjaan minoritas dalam
masyarakat untuk mempertahankan bahwa masyarakat fungsional sesuai
dengan yang disyaratkan. Menurut Fromm (1941)(Dalam DeVos, 1968)
dalam masyarakat industri yang semakin birokratis dan standarisasi
dalam pekerjaan “...the personality traits of discipline, orderliness, and
functuality are necessary”. Sifat-sifat ini harus ada dalam masyarakat jika
masyarakat industri yang kompleks itu ingin berfungsi secara efektif.
Dilihat dari sudut pandang sosiopolitis, maka salah satu tujan pokok
kajian “national character” adalah mengkaji gejilak dalam struktur sosial
dan politik negara-negara modern. (DeVos, 1968: 16). Gejolak sosial ini
kerapkali muncul dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan
cepat. Beberapa kajian tentang “national character” berupaya
membedakan antara pola-pola masyarakat. Diantara orang yang
mengkaji secara khusus tentang karakter nasional pada suatu negara
antara lain : Barner (1948); Khatchatrian (2003); Antonov (2002).
Baner (1948) pernah menunjukkan teori sosial yang terjadi antara lit
politik di masyarakat Rusia dan sejumlah individu yang tidak terlibat
dalam keanggotaan partai komunis. Sedangkan Khatchatrian (2003)
sebagai seorang Rusia memberikan refleksi pikirnya tentang karakter
bangsa dengan menyatakan bahwa “each nation is unique and inimitable
phenomenon ever marked in nature, which represents itself unmeasured
value for the concrete nation as well as for the whole mankind”.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa suatu bangsa terbentuk dari sejumlah
orang yang memiliki kesamaan bahasa, musik, tarian, kebiasaan dan
tradisi khas yang dinamakan budaya bangsa yang merupakan karakter
bangsa sebagai aspek psikologis atau bidang inti manusia. Oleh karena
itu ia menegaskan bahwa
“National character belongs to any society distinguished historically and
geographically and it manifests itself through inducement, norms of
behaviour, measures, perceptions, the way of thinking, attitude to the
surroundings. And, I believe this is the real essence of nation. It is
something that differs one nation from the other.
Morgenthau (1963) memandang “national character” dalam konteks
politik internasional. National character merupakan salah satu dari tiga
faktor kualitatif sumber daya manusia yang menonjol sebagai kekuatan
nasional (national power), namun sulit dipahami dilihat drai ramalan
secara rasional dan pengaruhnya terhadap bobot sebuah bangsa dalam
skala politik internasional. Morgenthau yang mengkaji national character
sebagai pola budaya secara antropologis menganggap bahwa “certain
qualities of intellect and character occur more frequently and are more
highly valued in one nation than in another (1963:126). Kualitas suatu
bangsa ini membedakan dari kualitas bangsa lainnya dan menunjukkan
tingkat elastisitas yang tinggi untuk berubah.
Keterkaitan yang begitu besar antara National Character dan National
Power dalam konteks politik internasional ditegaskan oleh Morgenthau
(1963:130-131) sebagai berikut.
National character cannot fail to influence national power; for those who
act for the nation in peace and war, formulate, execute, and support its
policies, elect and are elected, mold public opinion, produce and
consume – all bear to a greate or lesser degree the imprint of those
intellectual and moral qualities which make up the national character.
Morgenthau (1963) menggambarkan sejumlah bangsa yang memiliki
character unggul yang membedakannya satu bangsa dari bangsa lain
sebagai berikut.
The “elementary force and persistence” of the Russians, the individual
initiative and inventiveness of the Americans, the undogmatic common
sense of the British, the discipline and thoroughness of the Germans
are some of the qualities which will manifest themselves, for better or
for worse, in all the individual and collective activities in which the
members of a nation may engage. (1963:131)
Sebagai akibat dari perbedaan dalam national character maka
pemerintah Jerman dan Rusia telah mampu membangun kebijakan luar
negeri yang tidak mungkin dicapai oleh Amerika serikat dan Inggris pada
waktu itu. “Antimiliterime, keengganan membangun tentara dan wajib
militer merupakan ciri-ciri permanen dari karakter bangsa Amerika dan
Inggris. Dengan demikian, karakter bangsa Jerman dan Rusia telah
memberikan keuntungan awal dalam membangun kekuatan karena
mereka dapat melakukan transfromasi pada masa damai dari bangsanya
menjadi instrumen untuk beperang. Oleh karena itu, Morgenthau
menegaskan lagi bahwa pengamat masalah internasional yang berusaha
mengkaji kekuatan bangsa yang berbeda harus mempertimbangkan
aspek national character walaupun kemungkinannya sulit mengkaji
secara benar tentang masalah yang begitu sukar dipahami (elusive) dan
tidak terlihat (intangible).
C. Konsep Pendidikan Karakter
Seperti di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa pendidikan karakter
memiliki peran penting untuk membangun karakter seseorang. Bukan
saja saat ini sejak 2500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa
tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat
seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1500
tahun yang lalu Muhammad SAW, Sang Nabi terakhir dalam ajaran Islam,
juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah
untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character)
dimana ajaran pertamanya adalan kejujuran (al-amien) serta bagaimana
dapat membangun karakter yang baik tersebut maka saat itu pula telah
di ajar bahwa manusia harus senantiasa mampu belajar (iqra) apakah
belajar dari ayat-ayat yang tertulis maupun ayat-ayat yang tidak tertulis.
Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan tujuan utama pendidikan
tetap pada wilayah serupa, yakni pembentukan kepribadian manusia
yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang mendunia seperti Klipatrick,
Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan kembali gaung yang
disuarakan Socrates dan Muhamad SAW, bahwa moral, akhlak atau
karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan.
Begitu juga dengan Marthin Luther King Jr. menyetujui pemikiran tersebut
dengan mengatakan, “Intelligence plus character, that is the true aim of
education”. Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari
pendidikan. Pakar pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, dengan tesis
pendidikan adalah pembudayaan, juga ingin menyampaikan hal yang
sama dengan tokoh-tokoh pendidikan di atas. Menurutnya, pendidikan
bermuara pada pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial
(transmission of cultural values and social norms). Sementara Mardiatmadja
menyebut pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam
memanusiakan manusia.
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh di atas ingin menunjukkan bahwa
pendidikan sebagai nilai universal kehidupan memiliki tujuan pokok yang
disepakati di setiap jaman, pada setiap kawasan, dan dalam semua
pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah
merubah manusia menjadi lebih baik dalam pengetahun, sikap dan
keterampilan. Bila pendidikan senyatanya bertujuan seluhur itu, lalu
bagaimana dengan implementasi dan realitas yang terjadi? Sejalankah
usaha-usaha pendidikan yang terjadi selama ini dengan tujuan matau
kulianya? Inilah yang mengusik banyak para pakar kelas dunia, sehingga
bermunculanlah berbagai tawaran pendidikan alternatif. Hal yang paling
menggelisahkan dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah
kenyataan bahwa kompetensi yang ditampilkan para siswa sebagai out
put pendidikan sangat kontradiktif dengan tujuan pendidikan.
Tak dapat dipungkiri, sekolah atau kampus memiliki pengaruh dan
dampak terhadap karakter siswa atau mahasiswa, baik disengaja maupun
tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk menyatakan bahwa sekolah
atau kampus mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan
pendidikan moral dan pembentukan karakter. Selanjutnya para pakar
pendidikan terutama pendidikan nilai, moral atau karakter, melihat hal itu
bukan sekedar tugas dan tanggung jawab tetapi juga merupakan suatu
usaha yang harus menjadi prioritas.
Sementara itu, Berkowitz dan Melinda menambahkan 3 alasan mendasar
lainnya. 1) Secara faktual, disadari atau tidak, disengaja atau tidak,
sekolah atau kampus berpengaruh terhadap karakter siswa atau
mahasiswa. 2) Secara politis, setiap negara mengharapkan warga negara
yang memiliki karakter positif. Banyak hal yang berkaitan dengan
kesuksesan pembangunan sebuah negara sangat bergantung pada
karakter bangsanya. Demokrasi yang diperjuangkan di banyak negara,
sukses dan gagalnya juga tergantung pada karakter warga negara. Di
sinilah, sekolah harus berkontribusi terhadap pembentukan karakter agar
bangsanya tetap survive. 3) Perkembangan mutakhir ternyata
menunjukkan bahwa pendidikan karakter yang efektif mampu mendorong
dan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan akademik sekolah atau
kampus. Dengan kata lain, pendidikan karakter juga dapat meningkatkan
pembelajaran. Dapat ditambahkan di sini, bahwa fenomena pengasuhan
dalam keluarga (parenting) sekarang ini banyak yang sudah menyalahi
peran utama keluarga sebagai media sosialisasi utama yang
mengenalkan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan kepada anak.
Bermunculannya tempat penitipan anak (child care) misalnya,
menunjukkan banyak keluarga yang sudah kehilangan waktu untuk
mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Argumen tajam lainnya disampaikan oleh Robert W. Howard. Menurutnya,
sekalipun perdebatan seputar tujuan pendidikan tidak pernah berakhir,
namun upaya mempersiapkan generasi baru dari warga negara
merupakan suatu tujuan yang telah disepakati. Kewarganegaraan ini
mempunyai dua dimensi politik dan sosial, yang keduanya menyatu dan
terlibat dengan isu-isu moral. Tidaklah mungkin meninggalkan isu-isu
moral ini di luar jangkauan sekolah. Sebagai konsekuensinya, pendidikan
moral haruslah menjadi salah satu dari dua tujuan umum pedidikan; yang
tujuan lainnya adalah mengajarkan kecerdasan dan kecakapan akademik
(teaching academic content and skills).
Argumen-argumen di atas dengan jelas menunjukkan bahwa sekolah
atau kampus tidak dapat menghindar dari pendidikan karakter. Sekolah
atau kampus pun tidak dapat mengupayakan dan menerapkannya
dengan tanpa kesungguhan. Sekolah atau kampus harus meyikapi
pendidikan karakter seserius sekolah menghadapi pendidikan akademik,
karena sekolah yang hanya mendidik pemikiran tanpa mendidik moral
adalah sekolah yang sedang mempersiapkan masyarakat yang
berbahaya. Kesimpulan serupa juga ditegaskan dalam Sister Mary Janet
dan Ralp G. Chamberlin. Menurutnya, sekolah atau kampus memiliki yang
sangat signifikan dalam mengajarkan moral dan nilai-nilai agama.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help
people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think
about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to
be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from
within”.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu
yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik.
Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup
keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal
terkait lainnya.
T. Ramli (2003)mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki
esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan
warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian
generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber
dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter
dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter
dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar
tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli,
dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah,
keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar
manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli,
jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun,
disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan
karakter di sekolah atau dikampus harus berpijak kepada nilai-nilai
karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang
lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat
relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah atau
kampus itu sendiri.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010),
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri
individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif,
afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural
(dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang
hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual
and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga
dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan
Karsa (Affective and Creativity development).
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang
berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan
pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan
klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan
pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias
(1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga,
yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi
tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan
secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

1. Arti Penting Pendidikan Karakter di LPTK


Bagaimana pendidikan karekter tersebut dilaksanakan tentunya itu
harus terintegralisasi terhadap semua mata pelajaran yang
ada,karena pendidikan karakter tidak pada tataran kognitif tetapi
harus masuk pada wilayah sikap dan perilaku/tindakan. Sehingga
semua guru memiliki tanggung jawab yang sama dalam upaya
membangun karakter siswa. Sangat tidak relevan apabila
pendidikan karakter diangkat menjadi suatu mata pelajaran khusus
dipersekolahan. Hal itu selain akan membebankan terhadap siswa
dengan bertambahnya mata pelajaran, juga dikhawatirkan
pendidikan karakter akan terjebak ke arah penguasaan kognitif
semata, sehingga tujuan dari pendidikan karakter tidak tercapai,
seperti pengalaman Pelaksanaan P-4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) pada jaman orde baru. Namun untuk
kepentingan metodological pedagogi, bagaimana membelajarkan
karakter yang terintergalisasi terhadap mata pelajaran maka
diperlukan pemahaman yang komprehensif dari semua calon guru.
Sehingga setiap guru atau calon guru semestinya menguasai
model, metode dan teknik pembelajaran sesuai dengan mata
pelajarannya dengan berbasiskan pengembangan karakter siswa.
Untuk itulah di tingkat Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan
yang akan menghasilkan tenaga-tenaga kependidikan dianggap
penting memiliki mata kuliah Pendidikan Karakter atau
Pembelajaran Pendidikan Karakter, berisi tentang selain
pemahaman karakter apa yang akan di bangun juga memberikan
keterampilan praktis bagaimana model, metode dan teknik
pembelajaran karakter yang terintegralisasi dengan mata pelajaran
masing-masing.
2. Kunci Sukses Pendidikan Karakter
a. Dari Knowing Menuju Doing
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa pendidikan
karakter bergerak dari knowing menuju doing atau acting.
William Kilpatrick menyebutkan salah satu penyebab
ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah
memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing)
adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan
(moral doing). Berangkat dari pemikiran ini maka kesuksesan
pendidikan karakter sangat bergantung pada ada tidaknya
knowing, loving, dan doing atau acting dalam penyelenggaraan
pendidikan karakter.
Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki enam unsur, yaitu
kesadaran moral (moral awareness), yaitu kesediaan seseorang
untuk menerima secara cerdas sesuatu yang seharusnya
dilakukan. pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral
values), yaitu mencakup pemahaman mengneai macam-macam
nilai moral seperti menghormati hak hidup, kebebasan,
tanggung jawab, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kesopanan
dan kedisiplinan. penentuan sudut pandang (perspective
taking), yaitu kemampuan menggunakan cara pandang orang
lain dalam melihat sesuatu. logika moral (moral reasoning),
adalah kemampuan individu untuk mencari jawaban atas
pertanyaan mengapa sesuatu dikatakan baik atau buruk.
keberanian mengambil menentukan sikap (decision making),
yaitu kemampuan individu untuk memilih alternatif yang paling
baik dari sekian banyak pilihan. dan pengenalan diri (self
knowledge), yaitu kemampan individu untuk menilai diri sendiri.
Keenam unsur adalah komponen-komponen yang harus
diajarkan untuk mengisi ranah kognitif mereka.
Selanjutnya Moral Loving atau Moral Feeling merupakan penguatan
aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter.
Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, percaya diri
(self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty),
cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self
control), kerendahan hati (humility).
Kata hati memiliki dua sisi yaitu mengetahui apa yang baik, dan
rasa wajib untuk mengerjakan yang baik itu. Penghargaan diri
adalah penilaian serta penghargaan terhadap diri kita sendiri.
Empati adalah penempatan diri kita pada posisi orang lain yang
merupakan aspek emosional dari “prespective taking”. Cinta
kebaikan merupakan unsur karakter yang paling tinggi yang
mencakup kemurnian rasa tertarik pada hal yang baik.
Pengendalian diri adalah kesadaran dan kesediaan untuk
menekan perasaannya sendiri agar tidak melahirkan perilaku
yang melebihi kewajaran. Sedang “humanity” merupakan aspek
emosi dari “selfknowledge” yang berbentuk keterbukaan yang
murni terhadap kebenaran dan kemampuan untu bertindak
mengoreksi kesalahan sendiri.
Setelah dua aspek tadi terwujud, maka Perilaku moral (Moral Acting)
sebagai outcome akan dengan mudah muncul baik berupa
competence, will, maupun habits.
Perilaku moral adalah hasil nyata dari penerapan pengetahuan dan
perasaan moral. Orang yang memiliki kualitas kecerdasan dan
perasaan moral yang baik akan kecenderungan menunjukkan
perilaku moral yang baik pula. Kemampuan moral adalah
kebiasaan untuk mewujudkan pengetahuan dan perasaan moral
dalam bentuk perilaku nyata. Kemauan moral adalah mobilisasi
energi atau daya dan tenaga untuk dapat melahirkan tindakan
atau erilaku moral. Sedangkan kebiasaan moral adalah
pengulangan secara sadar perwujudan pengetahuan dan
perasaan moral dalam bentuk perlaku moral yang terus
menerus.
Interelasi antara moral knowing, moral feeling dan moral doing,
digambarkan oleh Lickona sebagai berikut: lickona, 1992:Namun, merujuk
kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka
ketiga tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara yang logis, rasional dan
demokratis. Sehingga perilaku yang muncul benar-benar sebuah karakter bukan Moral Knowing : 1.Moral
awarness 2.Knowing moral values 3.Perspective-taking 4.Moral reasoning 5.Decision-making 6.Self-knowledge Moral Feeling:1.Conscience
2.Self-esteem3.Emphaty 4.Loving the good 5.Self-control 6.HumanityMoral Action:1.Competence 2.Will 3.Habit

Namun, merujuk kepada tesis Ratna Megawangi bahwa karakter


adalah tabiat yang langsung disetir dari otak, maka ketiga
tahapan tadi perlu disuguhkan kepada siswa melalui cara-cara
yang logis, rasional dan demokratis. Sehingga perilaku yang
muncul benar-benar sebuah karakter bukan topeng. Berkaitan
dengan hal ini, perkembangan pendidikan karakter di Amerika
Serikat telah sampai pada ikhtiar ini. Dalam sebuah situs
nasional karakter pendidikan di Amerika bahkan disiapkan
lesson plan untuk tiap bentuk karakter yang telah dirumuskan
dari mulai sekolah dasar sampai sekolah menengah.
b. Identifikasi Karakter
Pendidikan karakter tanpa identifikasi karakter hanya akan
menjadi sebuah perjalanan tanpa akhir, petualangan tanpa
peta. Organisasi manapun di dunia ini yang menaruh perhatian
besar terhadap pendidikan karakter selalu – dan seharusnya-
mampu mengidentifikasi karakter-karakter dasar yang akan
menjadi pilar perilaku individu. Indonesia Heritage Foundation
merumuskan sembilan karakter dasar yang menjadi tujuan
pendidikan karakter. Kesembilan karakter tersebut adalah; 1)
cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, 2) tanggung
jawab, disiplin dan mandiri, 3) jujur, 4) hormat dan santun, 5)
kasih sayang, peduli, dan kerja sama, 6) percaya diri, kreatif,
kerja keras dan pantang menyerah, 7) keadilan dan
kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan 9) toleransi, cinta
damai dan persatuan
Sementara Character Counts di Amerika mengidentfikasikan bahwa
karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; 1) dapat dipercaya
(trustworthiness), 2) rasa hormat dan perhatian (respect), 3)
tanggung jawab (responsibility), 4) jujur (fairness), 5) peduli
(caring), 6) kewarganegaraan (citizenship), 7) ketulusan
(honesty), berani (courage), 9) tekun (diligence) dan 10)
integritas Kemudian Ari Ginanjar Agustian dengan teori ESQ
menyodorkan pemikiran bahwa setiap karakter positif
sesungguhnya akan merujuk kepada sifat-sifat mulia Allah, yaitu
al-Asmâ al-Husnâ. Sifat-sifat dan nama-nama mulia Tuhan inilah
sumber inspirasi setiap karakter positif yang dirumuskan oleh
siapapun. Dari sekian banyak karakter yang bisa diteladani dari
nama-nama Allah itu, Ari merangkumnya dalam 7 karakter
dasar, yaitu jujur, tanggung jawab, disiplin, visioner, adil, peduli,
dan kerja sama.
Begitu pula Covey menawarkan 8 kebiasaan dalam
mengambangkan karakter, yakni: habit-1, Vision atau bersikap
proaktif (principles of personal), habit-2, memulai dengan akhir
dalam pikiran (principles of personal Leadershif), habit-3,
mendahulukan yang Utama (Principles of Personal
Management), habit-4, berpikir menang-menang (principles of
interpersonal Leadership), habit-5, berusaha mengerti terlebih
dahulu (Pathos) sebelum dimengerti (logos), (Principles of
Emphathetic Communication), habit-7, kebiasaa pembauran diri
(Principles of Balanced Self-Renewal), Habit-8, Menggali dan
menemukan potensi diri serta memberikan inspirasi kepada
orang lain untuk menemukan potensinya.
Begitu pula dengan pendidikan karakter yang dilakukan oleh
Universitas Negeri Jakarta mengidentifikasi karakter yang akan
di bangun dalam civitas akademika berupa 7 Kebiasaan, yaitu:
1) Kejujuran (fairness) ; 2) terbuka; 3) Disiplin; 4) Komitmen; 5)
tanggung Jawab (responsibility); 6) Menghargai/menghormati; 7)
Berbagi (caring)
Pembiasaan pertama, adalah kejujuran. Kejujuran adalah
kemampuan seseorang untuk menyatakan sesuatu yang benar
itu adalah benar dan yang salah itu adalah salah. Kejujuran
merupakan barang yang sangat mahal harganya dewasa ini
pada bangsa kita, karena apabila kita melihat kondisi bangsa
ini, konsep kejujuran ini seolah sirna, kita bisa melihat
bagaimana tindakan para koruptor dari pemerintahan tingkat
atas hingga pemerintahan di tingkat RT/RW seolah sangat sulit
untuk dihentikan. Begitupun ketidak jujuran di lingkungan
civitas akademika. Banyak mahasiswa bahwak dosen yang
melakukan plagiasi atau mencontek ketika ujian. Adapun
pembiasaan yang dilakukan adalah dengan stop mencontek,
stop plagiasi. Stop berbohong berani mengatakan apa adanya,
tanpa ditutup-tutupi, ditambah atau dikurangi. Kejujuran itu
adalah indah.
Pembiasaan kedua, yaitu terbuka. Keterbukaan adalah karakter di
mana seseorang terbuka, transparan dan tidak menutup-nutipi
sesuatu untuk kepentingan tertentu. Adapun perwujudannya
adalah dapat dengan pribadi yang bersikap adil, bersih, memiliki
wawasan luas, serta terbuka terhadap perubahan dan masukan.
Pembiasaan ketiga adalah disiplin. Disiplin adalah sikap diri untuk
selalu tepat waktu dan selalu mentaati aturan dengan
kesadaran yang tinggi dan tanggung jawab.
Pembiasaan keempat adalah komitmen. Komitmen dalam bahasa
sederhananya adalah memenuhi janji sesuai dengan hati nurani
yang luhur. Orang yang mempu berkomitmen adalah orang
yang dapat dipercaya, karena dirinya sudah memperlihatkan
tanggung jawab, jujur dan dapat diandalkan.
Pembiasaan kelima adalah tanggung jawab (responsibility). Adalah
kemampuan merespon atau ”ability to respon”, artinya
memberikan perhatian kepada orang lain, dan memperhatikan
kebutuhannya. Berbekal dengan kejujuran dan sikap terbuka,
seseorang akan berani mengambil resiko dari setiap kata dan
perbuatannya. Ia berani melakukan apa saja dengan penuh rasa
tanggung jawab. Perwujudannya adalah pribadi yang tampil
dalam sikap berani, (bukan nekat atau pengecut), tegar, sabar,
dan bersih diri.
Pembiasaan keenam adalah menghargai atau menghormati
(respect), menghormati adalah sikap yang menunjukkan
penghargaan terhadap orang lain atau sesuatu. Ada tiga jenis
rasa hormat yakni hormat pada diri sendiri, hormat pada orang
lain, dan hormat pada segala bentuk kehidupan dan lingkungan.
Sementara tanggung jawab adalah perluasan dari rasat hormat.
Dan pembiasaan ketujuh adalah Berbagi (share), di dasari oleh
empati yang tinggi maka sikap berbagi adalah suatu sikap
seseorang yang selalu mau berbagi dalam hal apasaja terhadap
orang lain yang membutuhkan.
3. Sebelas Prinsip Pendidikan Karakter
Character Education Quality Standards merekomendasikan 11 prinsip
untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif, sebagai
berikut
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya
mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif
untuk membangun karakter
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
perilaku yang baik
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan
menantang yang menghargai semua siswa, membangun
karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral
yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan
setia kepada nilai dasar yang sama
9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas
dalam membangun inisiatif pendidikan karakter
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai
mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam
kehidupan siswa
D. Deskripsi Model Pendidikan Karakter
Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan nilai-
nilai kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula
dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang dipergunakan
dalam menyampaikan. Menurut Suparno, dkk. (2002:42-44), ada
empat model pendekatan penyampaian pendidikan karakter.
1) Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri
(monolitik)
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter dianggap
sebagai mata pelajaran tersendiri. Oleh karena itu,
pendidikan karakter memiliki kedudukan yang sama dan
diperlakukan sama seperti pelajaran atau bidang studi lain.
Dalam hal ini, guru bidang studi pendidikan karakter harus
mempersiapkan dan mengembangkan kurikulum,
mengembangkan silabus, membuat Rancangan Proses
Pembelajaran (RPP), metodologi pembelajaran, dan evaluasi
pembelajaran. Konsekuensinya pendidikan karakter harus
dirancangkan dalam jadwal pelajaran secara terstruktur.
Kelebihan dari pendekatan ini antara lain materi yang
disampaikan menjadi lebih terencana matang/terfokus,
materi yang telah disampaikan lebih terukur. Sedangkan
kelemahan pendekatan ini adalah sangat tergantung pada
tuntutan kurikulum, kemudian penanaman nilai-nilai tersebut
seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab satu orang guru
semata, demikian pula dampak yang muncul pendidikan
karakter hanya menyentuh aspek kognitif, tidak menyentuh
internalisasi nilai tersebut.
2) Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan
karakter adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap
bidang pelajaran, dan oleh karena itu menjadi tanggunmg
jawab semua guru (Washington, et.all, 2008). Dalam konteks
ini setiap guru dapat memilih materi pendidikan karakter
yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang studi.
Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah
pengajar pendidikan karakter tanpa kecuali.
Keunggulan model terintegrasi pada setiap bidang studi antara
lain setiap guru ikut bertanggung jawab akan penanaman
nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu
pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung
tidak bersifat informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif
sesuai dengan konteks pada setiap bidang studi. Dampaknya
siswa akan lebih terbiasa dengan nilai-nilai yang sudah
diterapkan dalam berbagai seting.
Sisi kelemahannya adalah pemahaman dan persepsi tentang
nilai yang akan ditanamkan harus jelas dan sama bagi semua
guru. Namun, menjamin kesamaan bagi setiap guru adalah
hal yang tidak mudah, hal ini mengingat latar belakang
setiap guru yang berbeda-beda. Di samping itu, jika terjadi
perbedaan penafsiran nilai-nilai di antara guru sendiri akan
menjadikan siswa justru bingung.

3) Model di Luar Pengajaran Penanaman nilai-nilai


pendidikan karakter dapat juga ditanamkan di luar kegiatan
pembelajaran formal. Pendekatan ini lebih mengutamakan
pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan
untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-nilai hidupnya.
Model kegiatan demikian dapat dilaksanakan oleh guru
sekolah yang diberi tugas tersebut atau dipercayakan kepada
lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan pendekatan
ini adalah siswa akan mendapatkan pengalaman secara
langsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam
struktur yang tetap dalam kerangka pendidikan dan
pengajaran di sekolah, sehingga akan membutuhkan waktu
yang lebih lama dan biaya yang lebih banyak.
4) Model Gabungan Model gabungan adalah
menggabungkan antara model terintegrasi dan model di luar
pelajaran secara bersama. Model ini dapat dilaksanakan
dalam kerja sama dengan tim baik oleh guru maupun dalam
kerja sama dengan pihak luar sekolah. Kelebihan model ini
adalah semua guru terlibat, di samping itu guru dapat belajar
dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan siswa. Siswa
menerima informasi tentang nilai-nilai sekaligus juga
diperkuat dengan pengalaman melalui kegiatankegiatan
yang terencana dengan baik. Mengingat pendidikan karakter
merupakan salah satu fungsi dari pendidikan nasional, maka
sepatutnya pendidikan karakter ada pada setiap materi
pelajaran.
Oleh karena itu, pendekatan secara terintegrasi merupakan
pendekatan minimal yang harus dilaksanakan semua tenaga
pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-masing di
sekolah, termasuk dalam hal ini adalah konselor sekolah.
Namun, bukan berati bahwa pendekatan yang paling sesuai
adalah dengan model integratif. Pendekatan gabungan tentu
akan lebih baik lagi karena siswa bukan hanya mendapatkan
informasi semata melainkan juga siswa menggali nilai-nilai
pendidikan karakter melalui kegiatan secara kontekstual
sehingga penghayatan siswa lebih mendalam dan tentu saja
lebih menggembirakan siswa. Dari perspektif ini maka
konselor sekolah dituntut untuk dapat menyampaikan
informasi serta mengajak dan memberikan penghayatan
secara langsung tentang berbagai informasi nilai-nilai
karakter.
Tentunya dari empat model pendekatan pendidikan karakter
tersebut di atas, yang paling ideal adalah model Gabungan
yaitu pendidikan karater terintegrasi ke dalam mata
pelajaran namun di luar pelajaran pun di laksanakan, namun
bagaimana guru dapat memiliki pemahaman dahkan
keterampilan pendidikan karakter itu terintegrasi apabila
tidak di berikan secara khusus bagaimana model /metode
pembelajaran pendidikan karakter tersebut, sehingga
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) khususnya Program Studi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) sebagai
sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
yang akan menghasilkan calon-calon guru sekolah formal
merasa penting untuk menyelenggarakan Pendidikan
Karakter dengan menggunakan pendekatan Monolitik.
Pemilihan ini didasarkan pada pemikiran bahwa sebagian besar
mahasiswa UNJ adalah calon guru dan oleh karenanya harus
dapat berperan sebagai role model dalam berkarakter, baik
sebagai pribadi, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga
bangsa dan negara maupun sebagai warga dunia. Itu
sebabnya mereka tidak cukup hanya dibekali substansi
materi atau konsep-konsep tentang pendidikan karakter,
melainkan juga dan terutama mereka harus dapat
menghayati dan mempraktikkan serta membiasakan sikap
dan perilaku ”berkarakter” dalam kesehariannya. Atas
pertimbangan tersebut maka implementasi pendidikan
karakter memerlukan waktu yang bukan hanya lama dan
kontinyu, tetapi juga harus dirancang dan perlu dilakukan
secara berulang-ulang. Melalui pendekatan pembelajaran
monolitik, hal tersebut sangat memungkinkan untuk
dilakukan.
Adapun model-model pembelajaran yang dapat diajarkan dan
simulasikan adalah sebagai berikut: Value Clarification Technique (VCT)
melalui Wawancara, Model Yurisprudensi, Role Play, Perahu Penyelamat,
Amplop Ajaib, Gaya Roger, Kisi-kisi Nilai, Siapa Yang akan di Undang?,
Menerka Isi Dompet, Pemantapan Nilai. Dan lain-lain.

Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar (2001), Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
melalui Emotional dan Spiritual Quotient (ESQ), Jakarta, Penerbit Arga.
Antonov. Mikhail. 2002, The Russsian National Character and Western
Idividualism. (Translate by Maria Gousseva), the original in Russian:
http//prada.ru/main/2002/08/26 /46204. html.
Berkowitz, M.W., Battistich, V.A., Bier, M.C. 2008. “What Works in
Character Education: What IsKnown and What Needs to Be Known”.
Handbook of Moral and Character Education. Pages 414-431. New
York: Tailor andFrancis.
Brooks,B.D. and F.G.Goble. The Case for Character Education: The Role of the
Cronbach, lee J. 1977.Educational Psychology (3rd edition). New York:
Harcourt Brace Javanovich, Inc.
DeVos, George A. 1968. National Character. Dalam Sills, David L (editor).
International Encyclopedia of the Social Sciences, New York: The
Macmillan Company and the Free Press, v.11 & 12, hal. 14 – 19.
Kardiman, Yuyus. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui Situs-
situs Kewarganegaraan: Studi Fenomenologi terhadap Pelatihan
Manajemen Qalbu, Pelatihan Emotional Spiritual Quotient dan
Majelis Taklim di Bandung (tesis), Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama . Jakarta
Khatchatrian, Gaiane. 2003, My Thoughts about National Character.
Kaliningrad.
Koesoema A, Doni (2007), Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global, Jakarta, Grasindo.
Lickona, T. (1992), Educating for Character, How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility. Bantam Books, New York.
Megawangi,R. (1999). Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender, Bandung, Pustaka Mizan
Megawangi, R. (2004), Pendidikan karakter, Bandung, Pustaka Mizan.
Morgenthau, Hans. J. 1963, Politics Among Nations: The Strugge for Power and
Peace. (third Edition). New York: Alfred A Knopf.
National Conference on Character Building. 2000, The Need For Character
Education. Jakarta: Internasional Education Foundation bekerjasama
dengan DEPDIKNAS, BKKBN, DEPAG, UNDP, dan sejumlah LSM di
Jakarta.
Q-Annes, Bambang dan Hambali, Adang. 2008, Pendidikan Karakter Berbasis
Al’quran: Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Sapriya (2007), Persfektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan
Karakter menurut para Ahli, Bandung. Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia.
Suparno, Paul, Moerti Yoedho K., Detty Titisari, St. Kartono. 2002.
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Depdiknas, Ditjen Dikdasmen.
Washington, E. Y., Clark, M.A. and Dixon, A.L. 2008. “Everyone in School
Should Be Involved” Preservice Counselors’ Perceptions of
Democracy and the Connections Between Character Education and
Democratic Citizenship Education”. Journal of Research in Character
Education, 6(2), pp. 63–80.
Winataputra, Udin S (2001), Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
Wahana Sistematik Pendidikan Demokrasi: Studi Kajian Konseptual dalam
Konteks Pendidikan IPS, Bandung, Sekolah Pasca Sarjana Universitas.

You might also like