Professional Documents
Culture Documents
A. Akal teoritis
Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya terkhusus untuk menganalisa dan
mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, serta wilayah penilaian
dan keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek "ada"
(keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah akal ini terdapat tiga
tingkatan dan tahapan yang membentuk sebuah pemikiran teoritis pada
seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah. Hasil-hasil
yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan dengan
perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal yang
dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan
keberadaan Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya.
B. Akal praktis
Mungkin saja akal manusia akan berhenti dan terbatas pada tahapan-
tahapan tertentu di atas, seperti dalam akal teoritis misalnya, terdapat
kemungkinan bahwa pemikiran teoritis seseorang akan terbatas hanya pada
tahapan imajinasi atau berhenti pada tahapan indera lahiriahnya saja. Dan
bisa jadi pula, seseorang untuk membangun niat dan motivasi perilaku dirinya
akan memanfatkan akal yang telah terwarnai oleh syahwat dan emosi. Pada
tiap-tiap bentuk ini, meskipun adalah benar menyebutnya sebagai suatu
bentuk tafakkur, berkontemplasi, dan berpikir, akan tetapi, pada hakikatnya
akal baru bisa dikatakan mencapai suatu tahapan akal yang sempurna dan
hakiki ketika akal teoritis tersebut telah mencapai pengetahuan yang universal
dengan petunjuk, panduan, dan arahan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah,
atau akal praktis tersebut telah mampu melepaskan diri dari cengkeraman
syahwat dan pengaruh emosi secara total dalam mengkontruksi dan
mengatur motivasi-motivasi dan niat-niatnya.
Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana hubungan
ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil
membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya
bisa dijabarkan dalam bentuk yang lain.
Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi akal dalam dua dimensi
teoritis dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt berfirman,
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu
Allah benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. ath-Thalaq: 12)
Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit adalah
keberilmuan seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang
tanggungjawab dalam pemikiran dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa
hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari penciptaan keseluruhan langit dan
alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan manusia ketika meraih
tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil memanfaatkan
dan menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan
perantaraan akal teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai
hakikat-hakikat alam dan menambah luas pengetahuan-pengetahuan
teoritisnya.
Tentunya tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa apabila akal teoritis
dan akal praktis adalah tujuan penciptaan itu sendiri, karena hal ini akan
memunculkan adanya pertentangan dan kontradiksi, dengan demikian
penyimpulan ini tidaklah benar karena tiap-tiap dari dua jenis akal ini dalam
batasannya masing-masing memiliki peran yang riil dan hakiki, dan dua
realitas yang sama-sama hakiki tidak akan pernah saling bertolak belakang
dan saling menafikan satu sama lain.
4. Dalil-dalil syar'i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli (rasio dan akal)
dan naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan dalil naqli
(tekstual) adalah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam Ahlulbait
Nabi.
Konklusi yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah bahwa akal
-sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan hadis-hadis
(baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma' para ulama,
dan yang sejenisnya- juga memiliki keistimewaan dan berperan sebagai
hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan hukum Tuhan. Oleh
karena itu, akal murni juga merupakan hujjah Tuhan dan sepadan dengan
teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama sekali tidak
memiliki perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar'i lainnya (baca: teks-teks
suci agama). Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal tidaklah bertolak
belakang dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu
sendiri. Bahkan inti, pesan, dan kandungan ajaran agama itu sendiri adalah
dibentuk oleh nilai-nilai aqli (rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama).
Jadi yang terkadang bertentangan dan bertolak belakang secara lahiriah
adalah akal dan teks-teks suci agama, bukan akal dan agama.
Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik dan valid
merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan hujjah Tuhan, dan
kandungan yang berada di dalamnya –dalam bentuk apapun itu– baik
kandungannya yang berupa hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan
(mulai dari konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, dan
eskatologi) adalah tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan kandungan-
kandungan yang bersumber langsung dari teks-teks suci agama. Oleh karena
itu, dalam semua persoalan keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari
teks-teks hadis dan al-Quran adalah tidak berbeda dengan hasil-hasil yang
diperoleh dari argumentasi akal.
3. Akal bukanlah qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih), karena akal
adalah hujjah sedangkan qiyas bukanlah hujjah.
Berikut ini sekilas mengenai akal dan betapa pentingnya akal dalam
beragama. Lawan dari akal adalah jahl, atau sering pula diistilahkan dengan
hawa nafsu. Kita semua tahu, ditinjau dari keberadaan akal dan nafsu,
mahluk2 yang Allah karuniai kemampuan berpikir itu ada tiga jenis: malaikat,
yang dikaruniai akal saja, tanpa nafsu; hewan, yang hanya dikaruniai nafsu,
tanpa akal; dan manusia dan jin, yang Allah swt karuniai akal maupun nafsu.
Al Baqarah: 164
َ ت و اْل
ل وَ الن َّهاِر ِ ْ ف ال ّي ِ خت َِل ْ ض وَ ا ِ ر
ْ َ ِ ماَوا َ س ّ ق ال ِ
ْ خل
َ ى ِ نف ّ ِإ
َ
َ ما أنَز
ل َ َس و َ ما َينَفعُ الّنا َ ِ حرِ ب ْ َ ى ال ْبِ رى ف ِ َْ ى ت
ج ِ ك اّلت ِ ْ وَ ال ُْفل
ث َ حَيا بهِ اْل َ الل ّه من السماِء من ماٍء فَأ
ّ َ وت َِها وَ ب ْ م
َ َ د ْ عَ ب ض
َ رْ ِ ْ ّ ِ َ ّ َ ِ ُ
ن
َ ْ خرِ ب َيّ سَ م ُ ْ ب ال ِ حا َ س ّ ف الّري َِح وَ ال ِ ري ِ ص ْ َ لِ َداب ّةٍ وَ ت ّ ُ من ك ِ ِفيَها
ت ل َّقوْم ٍ ي َعِْقُلون ٍ ض ل ََيا ر َ السماِء و اْل
ِ ْ َ َ ّ
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi; dan pertukaran malam
dan siang; dan (pada) kapal-kapal yang belayar di laut dengan membawa
benda-benda yang bermanfaat kepada manusia; demikian juga (pada) air
hujan yang Allah turunkan dari langit lalu Allah hidupkan dengannya tumbuh-
tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta Ia biakkan padanya dari berbagai-
bagai jenis binatang; demikian juga (pada) peredaran angin dan awan yang
tunduk (kepada kuasa Allah) terapung-apung di antara langit dengan bumi;
sesungguhnya ada tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah,
kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, dan keluasan rahmatNya) bagi kaum
yang menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun)”.
Al Jatsiyah: 5
منِ ماِء َ س
ّ ن ال َ م
ِ هُ ّ ل اللَ ما َأنَز َ َل وَ الن َّهارِ و ِ ْ ف ال ّي
ِ خت َِل
ْ وَ ا
َ َ
ت
ٌ ح َءاَيا ِ ف الّرَيا
ِ ري ِ ص
ْ َ وتَِها وَ تْ م َ َ ض ب َعْدَ حَيا ب ِهِ اْلْرْ ق فَأ ٍ ّرْز
قُلون ِ ْل َّقوْم ٍ ي َع
Dan (pada) pertukaran malam dan siang silih berganti, dan juga (pada)
rezeki yang diturunkan oleh Allah dari langit, lalu Ia hidupkan dengannya
tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya, serta (pada) peredaran angin,
(semuanya itu mengandungi) tanda-tanda (yang membuktikan keesaan Allah,
kekuasaanNya, kebijaksanaanNya, serta keluasan rahmatNya) bagi kaum
yang mahu menggunakan akal fikiran (liqaumiy ya’qiluun).
Al Baqarah: 171
Al Maidah: 58
Al Anfaal: 22
ن َل ي َعِْقُلون ِ ّ م ال
َ ذي ُ ْ م ال ْب ُك ّ عند َ الل ّهِ ال
ّ ص ِ ِب َ ن
ّ شّر الد َّوا ّ ِإ
Sesungguhnya sejelek-jelek makhluk yang melata di sisi Allah ialah
orang-orang yang pekak lagi bisu, yang tidak mau menggunakan akal
(alladziina laa ya’qiluun).
Yunus: 42
َْ م وَ ل َ َك أ َ ف َ ْ ن إ ِل َي
و ص
ّ ّ ال ُ عمِ س
ْ ُ ت ت
َ أن َ مُعو ِ َ ست ّ من ُْهم
ْ َ من ي ِ َو
قُلون ِ ْكا َُنوا ْ َل ي َع
Dan di antara mereka (yang ingkar) itu, ada yang datang mendengar
ajaranmu; maka engkau (wahai Muhammad) tidak berkuasa menjadikan
orang-orang yang pekak itu mendengar kalau mereka menjadi orang-orang
yang tidak mau berakal (laa ya’qiluun).
Yunus: 100
ن ب َِهاَ ب ي َعِْقُلو
ٌ م قُُلوْ َُن لهَ كو ُ َ ى اْل َْرض فَت ِ ف ْ سيُرواِ َ ي م
ْ َ أ َ فَل
َ ِ َ
مى َ ْكن ت َع َ
ِ صاُر وَ ل ْ
َ ْ مى الب َ ْن ب َِها فَِإن َّها ل ت َع
َ َ مُعو َ س ْ َن ي ٌ أوْ َءاَذا
دور ُ صّ ى الِ ىف ِ ب اّلت ُ ال ُْقُلو
Oleh itu, bukankah ada baiknya mereka mengembara di muka bumi
supaya - dengan melihat kesan-kesan yang tersebut - mereka menjadi orang-
orang yang ada hati yang dengannya mereka dapat memahami (ya’qiluuna
bihaa), atau ada telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? (Tetapi
kalaulah mereka mengembara pun tidak juga berguna) kerana keadaan yang
sebenarnya bukanlah mata kepala yang buta, tetapi yang buta itu ialah mata
hati yang ada di dalam dada.
Al Furqan: 44
م إ ِّل َ كثرهُم يسمعو َ َ حسب أ َ
ْ ُن ه َ ن أوْ ي َعِْقُلو
ْ ِن إ َ ُ َ ْ َ ْ َ ْ نأ ّ ُ َ َْ م ت
ْ أ
سِبيل ّ ض َ ُل هْ َ كا َْل َن َْعام ِ ب
َ ل َ مأْ
Atau adakah engkau menyangka bahawa kebanyakan mereka
mendengar atau memahami (ya’qiluun)? Mereka hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Al Ankabut: 63
َ َ َ
َ حَيا ب ِهِ اْلْر
ض ْ ماًء فَأ َ ماِء َ سّ ن ال َ م
ِ ل َ من ن ّّز ّ سأل ْت َُهم َ ن ِ وَ َلئ
م َل ْ َل أ
ْ ُكث َُره ِ ّ مد ُ ل ِل
ْ َه ب ْ حَ ْ ل ال
ِ ُه قُ ّ ن الل ّ ُ موْت َِها ل َي َُقول
َ ِمن ب َعْدِ
ي َعِْقُلون
Dan sesungguhnya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada
mereka (yang musyrik) itu: "Siapakah yang menurunkan hujan dari langit, lalu
Ia hidupkan dengannya tumbuh-tumbuhan di bumi sesudah matinya?" Sudah
tentu mereka akan menjawab: "Allah". Ucapkanlah (wahai Muhammad):
"Alhamdulillah", bahkan kebanyakan mereka tidak memahami (laa ya’qiluun).
Al Hasyr: 14
َ َ
ِمن وََراء ِ ْصن َةٍ أو ّ ح ّ ى قًُرى م ِ ميًعا إ ِّل ف ِ جَ م ْ ُ َل ي َُقات ُِلون َك
ْ جد ر بأ
ى شتَ مْ ُ ه ُ ب ُ ُميًعا وَ ق
لو ِ ج
َ مْ ُ هُ بس َ ْ
ح َ ت ٌ د دي ِ َ
ش م
ْ ُ ه َ نْ يَ ب هم
ُ س
ُ َ ِ ُ ُ
َ َ
م ّل ي َعِْقُلون ٌ ْم قَو ْ ُك ب ِأن ّه َ ِ َذال
(Orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik) dengan keadaan bersatu
padu sekalipun, tidak berani memerangi kamu melainkan di kampung-
kampung yang berbenteng kukuh, atau dari sebalik tembok. (Sebabnya):
permusuhan di antara mereka sesama sendiri amatlah keras; engkau
menyangka mereka bersatu padu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang
demikian itu, kerana mereka adalah kaum yang tidak berakal (qaumul laa
ya’qiluun).