You are on page 1of 4

AGRESIVITAS PERWATAKAN SETADEWA: KAJIAN PSIKOANALISIS

TOKOH UTAMA NOVEL BURUNG-BURUNG MANYAR

Bagi yang akrab dengan ilmu jiwa, dalam hal ini psikoanalisis, tentu akan mengetahui
bahwa sejak dari kemunculannya psikoanalisis sangat akrab dengan dunia sastra. Freud sendiri
sebagai pendiri psikoanalisis mengakui banyak pemikirannya yang terinspirasikan dari karya-
karya sastra. Pada perkembangannya dunia sastra bukan hanya memberi inspirasi bagi
psikoanalis namun telah pula menjadi bahan kajiannya. Bagi psikoanalis, sastra merupakan bahan
kajian yang kaya akan sisi terdalam kemanusiaan. Sastra merupakan produk ketaksadaran yang
bukan hanya milik sang Pengarang, tetapi juga milik kemanusiaan.
Untuk menunjang upaya tersebut, dalam tulisan ini sebelumnya penulis akan
menguraikan terlebih dahulu mengenai pandangan psikoanalisis tentang agresivitas. Kemudian,
akan dilanjutkan dengan uraian mengenai kajian psikoanalisis terhadap tokoh utama novel
Burung-Burung Manyar.

1. Pandangan Psikoanalisis Mengenai Agresivitas

Pada umumnya agresi diartikan sebagai perilaku menyerang atau merusak benda hidup
maupun benda mati. Agresi dapat dibedakan menurut sifat fisiknya seperti memukul, menendang,
atau bersifat verbal seperti mengumpat, memaki atau mengancam. Agresivitas telah dipelajari
dengan dua pendekatan utama, yakni pendekatan belajar (behaviorisme) dan pendekatan biologis
(naluriah). Tulisan ini akan menyandarkan diri pada pandangan seorang tokoh psikoanalisis,
yakni Sigmund Freud.
Freud dalam psikoanalisisnya berusaha memberi penjelasan bersistem mengenai agresi
sebagai bentuk naluriah tingkah laku. Psikoanalisis dirumuskan oleh Freud sebagai ilmu jiwa
yang menekankan dinamika kepribadian pada proses yang lebih banyak bersifat tak sadar.
Ketaksadaran adalah kawasan terbesar dari kehidupan psikis yang di dalamnya terdapat
suatu unsur-unsur atau sistem yang berisikan naluri-naluri. Menurut Freud sebagian tingkah laku
manusia diatur oleh naluri dan disebabkan oleh kebutuhan fisik yang memotivasi orang untuk
memuaskannya sehingga proses fisik itu mencapai keseimbangan. Dalam hal ini, karena naluri
dapat berubah maka objek naluri pun dapat berpindah dari satu objek ke objek lain dalam usaha
meraih kenikmatan atau menghilangkan ketegangan.
Freud mengklasifikasikan naluri ke dalam dua kelompok, yakni naluri kehidupan
(Libido atau Eros) dan naluri kematian (Thanatos). Pengungkapan naluri kematian tidak lain
adalah agresi diri. Pada tingkat yang parah, agresi diri bila diarahkan ke dalam menjadi tingkah
laku masokhis untuk menyakiti bahkan membunuh diri sendiri, dan bila di arahkan keluar ke
objek-objek substitusi (pengganti) menjadi agresi. Agresi yang diikuti perasaan senang disebut
sadistik, sedangkan bila agresi menjadi perilaku yang merusak atau menghancurkan, disebut
destruktif.
Pada dasarnya tiap individu memiliki keinginan untuk mengekspresikan naluri kematian
dalam bentuk impuls agresi, akan tetapi masyarakat melarang bahkan menghukum jika individu
tidak patuh. Dalam hal ini, tiap individu berusaha memecahkan konflik diri dan sosial tersebut
dengan jalan realistis untuk memuaskan kebutuhannya. Ini berarti individu harus mengikuti
aturan tingkah laku yang telah digariskan oleh masyarakat dalam pendidikan moral. Jika individu
tidak dapat mengekspresikan dorongan naluriahnya maka ia akan mengalami frustasi.
Frustasi dijelaskan oleh Freud sebagai sesuatu yang menghalangi bekerjanya “prinsip
kesenangan”. Selain karena tidak tersalurkannya dorongan naluri serta dikarenakan kecemasan,
frustasi disebabkan karena beberapa hal. Pengurangan, jika benda yang merupakan tujuan tidak
ditemukan. Penghilangan, jika benda yang merupakan tujuan disembunyikan atau diambil.
Pertentangan, jika ada suatu tenaga penentang dalam diri yang mencegah untuk mencapai
kepuasan. Kekurangan Pribadi, jika seseorang itu kurang memiliki kecakapan yang diperlukan,
pengertian, intelegensi atau pengalaman untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan.
Cara seseorang menghadapi dan mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap penyebab
frustasi, membentuk ciri khas kepribadian atau perwatakan. Cara tersebut disebut alat-alat
kepribadian. Ada beberapa alat-alat kepribadian yang disodorkan Freud dan para pengikutnya.
Namun, untuk keperluan kajian ini yang diajukan hanya tiga, antara lain: identifikasi,
pemindahan, dan mekanisme pertahanan ego.
Pertama, identifikasi adalah penyatuan dari sifat-sifat objek luar, biasanya yang dimiliki
oleh orang lain ke dalam kepribadian seseorang. Identifikasi ada empat macam, yaitu: (1)
identifikasi narsisme, (2) identifikasi ke arah tujuan, penyatuan individu dengan seseorang yang
telah mencapai tujuan individu, (3) identifikasi objek yang hilang, penyatuan individu dengan
objek kesukaan yang telah hilang, (4) identifikasi dengan penyerang, penyatuan atau penghayatan
individu terhadap larangan-larangan yang didesakkan oleh orang lain (otoritas) yang berkuasa
atas diri individu.
Kedua, pemindahan adalah proses penyaluran energi rohani dari satu objek ke lain
objek tanpa merubah sumber dan tujuan suatu naluri. Jadi, yang berubah hanyalah objek yang
menjadi tujuan. Misalnya, pemindahan yang terjadi dalam pemuasan mulut yang diawali dengan
menggigit, kemudian setelah dewasa menjadi pengejek atau seorang yang judes (ketus).
Sublimasi sendiri dijelaskan sebagai bentuk pemindahan namun objek penggantinya merupakan
tujuan kultural yang lebih tinggi. Seorang yang memilih untuk menjadi penegak hukum,
pengacara, politikus adalah contoh dari sublimasi.
Mekanisme pertahanan ego adalah cara irasional untuk menghadapi kecemasan dengan
tindakan menyangkal kecemasan (represi), mengeluarkan kecemasan diri dengan menim-
pakannya ke objek luar diri (proyeksi), menyembunyikan kecemasan dengan menggunakan emosi
yang berlawanan (pembentukan reaksi), serta menjadi tertahan pada suatu tahap perkembangan
psikologis (fiksasi) atau penyurutan diri ke tahap perkembangan psikologis sebelumnya (regresi).

Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa meskipun agresi diakui oleh para
psikoanalisis sebagai suatu bawaan, namun dalam perkembangannya individu tidak terlepas dari
faktor ekternal yang mengelilinginya. Seseorang yang terjebak dalam keagresifan (misalnya
karena pengalaman traumatis), bila ia gagal dalam mengung-kapkan, memindahkan atau
menyublimasikan keagresifannya maka ia dapat mengalami neurosis, psikosomatis bahkan
skizofrenia.
Gangguan kejiwaan sendiri diterangkan sebagai bentuk dari frustasi yang parah ketika
seseorang tidak mampu menghadapinya. Dalam hal ini, agresivitas perwatakan individu dapat
dipahami melalui alat-alat kepribadian yang bekerja untuk mengatasi frustasi dan juga
membentuk khas perwatakan

2. Agresivitas Setadewa

Agar kajian tentang agresivitas perwatakan tokoh Setadewa lebih menyeluruh, maka
akan diuraikan mengenai sejauh mana tingkat agresivitas tokoh Setadewa dan beberapa frustasi
yang dialami oleh tokoh Setadewa. Kemudian, menyusul uraian tentang bekerjanya alat-alat
kepribadian dalam mengatasi frustasi dan membentuk agresivitas perwatakan tokoh Setadewa.

Tingkah Laku Agresif Tokoh Utama Setadewa

Teto, alias Setadewa adalah orang yang memiliki agresivitas yang tinggi. Dalam novel
Burung-Burung Manyar ditemukan ada tiga masa dalam kehidupan Setadewa yang memiliki
objek agresi masing-masing. Pertama, saat Setadewa kanak-kanak. Kehidupan dunia anak kolong
tangsi Magelang, rupanya telah memberi peluang bagi Setadewa kecil untuk bertingkah laku
agresif. Objek agresi Setadewa pada masa kanak-kanak ini antara lain: noni-noni yang tinggal di
tangsi Magelang, Atik alias Larasati kecil, Mike gadis bunga kelas SD, dan burung-burung yang
menjadi sasaran pelanting Setadewa kecil.
Kedua, saat Setadewa menjadi tentara NICA. Objek agresi pada saat Setadewa menjadi
tentara NICA antara lain: bangsa Indonesia (para pejuang kemerdekaan Indonesia, rakyat yang
tinggal di sekitar Klender, Tanah Abang sampai Kwitang, dan perdana menteri Syahrir), pasukan
Inggris, rekan-rekan dalam pasukan NICA, dan benda mati (tembok, pintu, mobil).
Ketiga, saat Setadewa ke luar dari NICA dan menjadi menejer produksi Pacific Oil
Wells Company. Objek agresi Setadewa pada saat menjadi menejer produksi adalah perusahaan
tempatnya berkerja, yakni Pacific Oil Wells Company.

Frustasi Tokoh Setadewa


Dalam novel Burung-Burung Manyar, tokoh Setadewa banyak mengalami kejadian
yang membuatnya frustasi. Frustasi tersebut disebabkan oleh penghilangan, pengurangan,
pertentangan, kekurangan pribadi, serta kecemasan
Ada beberapa penghilangan, yakni frustasi yang disebabkan karena objek tujuan
disembunyikan atau diambil yang terjadi dalam hidup Setadewa. Kekalahan KNIL Belanda yang
dibanggakannya, dianggapnya sebagai suatu penghilangan, seperti ungkap Setadewa, “Dunia
serba gemilang kami telah cepat runtuh. Jepang datang. KNIL kalah dan bubar. (hlm. 25)
Penghilangan lain yang menyebabkan Setadewa frustasi adalah kehilangan kedua orang tuanya.
Kemudian kehilangan tersebut ditambah lagi dengan kehilangan seorang gadis yang dicintai dan
sangat berarti baginya, yakni Larasati.
Selain frustasi karena penghilangan, Setadewa mengalami pula pertentangan dalam diri.
Pertentangan di dalam diri ini dirasakan oleh Setadewa ketika ia harus menerima keadaan yang
menimpa Maminya yang dirampas oleh Jepang, seperti ungkap Setadewa, ”O, Mamiku yang
kasihan. Sungguh aku tidak pernah tahu, apakah aku harus merangkul menciummu dengan
bangga, ataukah harus membunuhmu dengan benci… (hlm.. 32)
Hambatan dalam diri selain pertentangan batin dirasakan pula oleh Setadewa sebagai
kekurangan pribadi. Setadewa seperti sadar akan dirinya yang memiliki kelemahan. Misalnya,
perkawinan Setadewa dengan anak bosnya menjadi berantakan, karena kekurangan pribadi dalam
menerima dan menyesuaikan diri dengan sang isteri. Bahkan, pada saat Setadewa akhirnya dapat
bertemu dengan wanita yang dicintainya, yakni Larasati, Setadewa merasakan banyaknya
hambatan dalam diri. Identifikasi Setadewa dengan burung manyar yang gagal dapat
dikemukakan sebagai bukti adanya kekurangan pribadi dalam diri seperti ungkap Setadewa,”…
tiba-tiba aku merasa sunyi, sedih dalam keadaanku yang dingin sendirian, seperti manyar yang
gagal…(hlm. 208)
Hal lain sebagai penyebab frustasi Setadewa adalah kecemasan. Setadewa mengalami
kecemasan moral dalam bentuk ketakutan terhadap hati nuraninya sendiri karena telah melakukan
perbuatan yang melanggar ukuran moral ayahnya. Ketidakmampuannya untuk menghindar dari
moralitas ayahnya tidak lain karena moralitas tersebut telah terinternalisai dalam dirinya, seperti
terdapat dalam kutipan berikut:Dari lubuk hatiku toh aku digugat jiwa ayahku yang seolah-olah
membentak juga dalam bentakan-bentakanku: “Bukan begitu caranya menghadapi gentleman!
Biar mereka pemberontak sekali pun.” Darahku masih mendidih memang, akan tetapi rasio
Officier Brajabasuki toh masih kuat dari kebinatanganku. (hlm.61)
Bahkan rasa bersalah sebagai wujud dari kecemasan karena telah melakukan
perbuatan yang melanggar tuntutan hati nurani dialami oleh Setadewa sebagai perasaan sedang
diintai, seperti ungkapnya, “Rasaku, kaum Republik dari gunung-gunung di kejauhan itu
semuanya sedang mengamat-amatiku”. (hlm. 119)
.

You might also like