You are on page 1of 21

TRAUMA THORAKS

Disusun Oleh :
Kelompok IV

Willy Priambudi Laminten


Siti Chairunisah Ice Krisnawati
Romiko Eska Novitasari
Nurhasanah Anita
Mirza Antoni Deci Yusmar

Dosen Pembimbing :
Ns. Yulius Tiranda, Skep.

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2009-2010
BAB I
PENDAHULUAN

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana


trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di
Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30
% dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas
kasus trauma thorax dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang akan
diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma
thorax.
Kasus
“ PALEMBANG, SRIPO – Gara-gara menolak disuruh pamanya membuat KTP,
Gunawan (21) Warga Komplek Kencana Damai Blok H Sako, tewas mengenaskan
selasa (26 / 10) pukul 09.00 setelah ditikam oleh anak pamanya sebanyak dua kali
tepat didada sebelah kanan dan kiri dada korban. Korban sempat dilarikan ke RSMH
Palembang, namun sayang setibanya di rumah sakit, korban menghembuskan nafas
terakhirnya. “
Dari kasus diatas muncul pertanyaan, mengapa klien dapat meninggal dalam
waktu yang cukup singkat ?.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 DEFENISI
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax
yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan
keadaan gawat thorax akut.

2. 2 ETIOLOGI
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

2. 3 ANATOMI
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut
terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior
dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga
memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi
membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan
rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk
dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan
muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius,
rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus
posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor
membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan
bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu
muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar
sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan
limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran
udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini
berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis,
yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru
pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya
ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam
kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian
muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi
motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa /
tenang sekitar 75%.

2. 4 PATOFISIOLOGI
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax.
Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke
jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary
ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan
perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax,
pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya
ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran.
Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
2. 5 INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa,
pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax,
intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan
mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau
dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi
terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.

2. 6 KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX


.
A. Trauma dinding thorax dan paru.
1) Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering
mngalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada
pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan
menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk
mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia
meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru.
Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan
langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa
fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian
tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 )
2) Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest
yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru).
Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal
dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan
menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini
terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang
tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada
awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan
menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi.
Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur
tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas
karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail
Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat,
oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok
maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk
mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru
pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun
kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan
agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia
merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi
perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati
dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan
intubasi dan ventilasi.
3) Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan
potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan
berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga
rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu.
Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita
yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg
atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi
dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi
medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis
dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan
ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani
secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring
dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan
perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang
optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus
dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
4) Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura
viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan
bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering
dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga
toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada
oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura.
Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan
paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang
kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika
pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada
perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan
diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest
tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila
pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan
mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan
WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk
mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau
ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan
pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko
terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai
dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening
tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi
dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum
penderita ditransportasi/rujuk.
5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar
plada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka.
Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan
atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea
maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai
tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya
ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya
pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek
flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka
untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin
dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh
sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang
akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah
terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic
Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi
dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
6) Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve
(fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui
dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-
way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat
pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru
kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah
komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi
tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension
pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana
akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru
tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau
vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada
juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup
defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang
kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax
jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami
pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension
pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh
terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension
pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan,
takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan
distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka
sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan
hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension
pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax
membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat
berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana
(catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk
jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan
dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting
susu) diantara garis anterior dan midaxilaris.
7) Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau
laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang
disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari
vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya
perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi.
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut
akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya
bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor
kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma
traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan
perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan
volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai
patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus,
eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
8) Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc
di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal
ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan
hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat,
tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension
pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di
intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari
pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok
yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang
mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian
volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.
Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan
kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari
rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest
tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis
midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita
mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi.
Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada
awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap
berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi
diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam
dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih
diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi.
Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan
dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus
ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah
(arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai
dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial
dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus
disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena
kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang
potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli
bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan.
9) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh
trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya
timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi
subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam atau
pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk
kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi
diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.

B. Trauma Janung dan Aorta


1) Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian,
trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari
jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard.
Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun
relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat
aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah
atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui
perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis
tamponade jantung tidak mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya Trias
Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri
dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan
bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak
ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan
oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila
penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain
terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu
ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat.
Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka
akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan
tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan
vena yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA
pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus
dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu
diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan
lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif
yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita
trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan
USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard,
dengan syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen,
V.F, Studi diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari
perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak
memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade
jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat
untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana
untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis.
Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak
memberikan respon terhadap usaha rsusitasi, merupakan indiksi untuk
melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan
alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi
dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik
dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun
kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan
infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac
output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling
baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah
dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan
tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum
perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.
2) Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum
dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi
klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis
sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering
timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji
diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang
T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa
suportif.
3) Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur
atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai
dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey.
Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur
adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak
nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio
dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya
dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma.
Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran
yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada
pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi
dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel
perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi
atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah
perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari
tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari
disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting
untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan adanya
serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis
karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya
disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval
tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara
menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).
Pengkajian pasien dengan trauma thoraks (. Doenges, 1999) meliputi :
1. Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
2. Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops, nadi apical berpindah,
tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.
3. Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.
4. Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
5. Nyeri/ketidaknyamanan6
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan, tajam
dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam, kemungkinan
menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan
wajah.
6. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah dada/trauma, penyakit paru
kronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit interstitial menyebar, keganasan ;
pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.
Tanda : Takipnea ; peningkatan kerja napas ; bunyi napas turun atau tak ada ;
fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan dada tidak sama ;
kulit pucat, sianosis, berkeringat, krepitasi subkutan ; mental ansietas,
bingung, gelisah, pingsan ; penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif.
7. Keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk kkeganasan.
8. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsy paru.

B. ANALISA DATA

NO TGL / JAM DATA PROBLEM ETIOLOGI

1 Diisi pada saatBerisi data subjektifmasalah yang sedang dialamiEtiologi berisi


dan data objektifpasien seperti gangguan pola
tentang penyakit
tanggal yang didapat darinafas, gangguan keseimbangan
yang diderita
pengkajian pengkajian suhu tubuh, gangguan pola
pasien
keperawatan aktiviatas,dll

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal
karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme
otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
5. Potensial Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
7. Resiko terhadap infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder terhadap
trauma.

D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA
NO TUJUAN PERENCANAAN
KEPERAWATAN
1. Berikan posisi yang
nyaman, biasanya
dnegan peninggian
kepala tempat tidur.
2. Balik ke sisi yang
sakit.
3. Dorong klien untuk
duduk sebanyak
mungkin.
4. Obsservasi fungsi
pernapasan, catat
frekuensi pernapasan,
dispnea atau
perubahan tanda-
Pola pernapasan efektive tanda vital.
1 Ketidakefektifan polaDengan Kriteria Hasil :
5. Jelaskan pada klien
pernapasan b/d ekspansi
 Memperlihatkan frekuensi bahwa tindakan
paru yang tidak maksimal
pernapasan yang efektive. tersebut dilakukan
karena trauma
 Mengalami perbaikan untuk menjamin
pertukaran gas-gas pada paru. keamanan.
 Adaptive mengatasi faktor-6. Jelaskan pada klien
faktor penyebab. tentang
etiologi/faktor
pencetus adanya
sesak atau kolaps
paru-paru.
7. Pertahankan perilaku
tenang, bantu pasien
untuk kontrol diri
dnegan menggunakan
pernapasan lebih
lambat dan dalam.
8. Perhatikan alat
bullow drainase
berfungsi baik, cek
setiap 1 - 2 jam
1. Jelaskan klien
tentang kegunaan
batuk yang efektif
dan mengapa
terdapat penumpukan
sekret di sal.
pernapasan.
2. Ajarkan klien tentang
Jalan napas lancer / normal metode yang tepat
2 Inefektif bersihan jalanKriteria Hasil :
pengontrolan batuk.
napas b/d peningkatan
 Menunjukkan batuk yang3. Auskultasi paru
sekresi sekret dan
efektif. sebelum dan sesudah
penurunan batuk
 Tidak ada lagi klien batuk.
sekunder akibat nyeri dan
penumpukan sekret di sal.4. Ajarkan klien
keletihan
pernapasan. tindakan untuk
 Klien nyaman. menurunkan
viskositas sekresi :
mempertahankan
hidrasi yang adekuat;
meningkatkan
masukan cairan 1000
sampai 1500 cc/hari
bila tidak
kontraindikasi.
5. Dorong atau berikan
perawatan mulut
yang baik setelah
batuk.
1. Jelaskan dan bantu
klien dnegan
tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan
non invasif.
2. Berikan kesempatan
waktu istirahat bila
3 Perubahan kenyamanan :Nyeri berkurang/hilang.
terasa nyeri dan
Nyeri akut b/d traumaKriteria Hasil :
berikan posisi yang
jaringan dan reflek  Nyeri berkurang / dapat
nyaman ; misal
spasme otot sekunder. diadaptasi.
waktu tidur,
 Dapat mengindentifikasi
belakangnya
aktivitas yang meningkatkan
dipasang bantal kecil.
/ menurunkan nyeri.
3. Tingkatkan
 Pasien tidak gelisah. pengetahuan
tentang : sebab-sebab
nyeri, dan
menghubungkan
berapa lama nyeri
akan berlangsung.
4. Kolaborasi denmgan
dokter, pemberian
analgetik.
5. 16. Observasi tingkat
nyeri, dan respon
motorik klien, 30
menit setelah
pemberian obat
analgetik untuk
mengkaji
efektivitasnya. Serta
setiap 1 - 2 jam
setelah tindakan
perawatan selama 1 -
2 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.


Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta
Hudak, C.M. 1999. Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC.
Mowschenson, Peter M. 1990. Segi Praktis Ilmu Bedah Untuk pemula. Edisi 2.
Binarupa Aksara : Jakarta.

You might also like