You are on page 1of 4

Patofisiologi

Dermatitis kontak alergi,yang digolongkan dalam reaksi imunologik type IV,


merupakan hipersensitivitas lambat.
Ada dua fase untuk menimbulkan dermatitis kontak alergi :
1. Fase primer ( induktiflafferen ), yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat
molekul kecil ( hapten ) ke kulit. Yang kemudian berikatan dengan karier protein
di epidermis. Komponen tersebut akan disajikan oleh sel langerhans ( LCs ) pada
sel T. Dikelenjar limfe regional, komplek yang terbentuk akan merangsang sel
limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak diri dan berdiferensiasi
menjadi sel T efektor dan sel memori. Terbentuklah sel T memori yang akan
bermigrasi ke kulit,peredaran perifer, dll.

2. Fase sekunder ( eksitasileferen ), yaitu perjalanan hapten pada individu yang


telah tersensitasi, sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel T
memori dikulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang
menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T, karena
lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini maksimum 24 -
48 jam. Setelah pemajanan alergen pada kulit, antigen tersebut secara imunologi
ditangkap oleh sel langerhans ( sel penyaji antigen ), kemudian diproses dan
disajikan kepada limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas 2. Sel langerhans
dan keratinosit akan menghasilkan interleukin 1 ( limphocyte aktivating factor )
dan sel langerhans akan mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans
yang aktif sebagai penyaji sel ( APCs ). Sel ini akan bergerak kekulit di dermis,
parakortikal, kelenjar limfe. Sel langerhans menyajikan dalam bentuk yang sesuai
dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR yang dimiliki oleh sel limfosit T. APCs lain
seperti sel monosit dan makrofak hanya dapat merangsang sel T memori, tidak
dapat mengaktifkan sel T yang belum disensitasi. Pada fase eferent ini sel TH1
terletak di sekitar pembuluh darah kapiler di dermis. Selain itu, sel limfosit T itu
harus diaktifkan oleh interlukin I yang dihasilkan oleh sel langerhans dan sel
keratinosit. Dan sel T ini akan meghasilkan interlukin II ( lymphocyte proliferating
cell ) dan menyebabkan sel T berfloriferasi.
A. Pengobatan sistemik
1. Kortikosteroid, hanya untuk kasus yang berat, dan digunakan dalam waktu singkat.
• Prednison
Dewasa : 5 – 10 mg / dosis, 2 – 3 kali / 24 jam
Anak : 1 mg / kgBB / hari
• Deksametasone
Dewasa : 0,5 - 1 mg / dosis, 2 – 3 kali / 24 jam
Anak : 0,1 mg / kgBB / hari
• Triamsinolon
Dewasa : 4 – 8 mg / dosis, 2 – 3 kali / 24 jam
Anak : 1 mg / kgBB/ hari
2. Anti histamine
• Klorfeneramin maleat
Dewasa : 3 – 4 mg / dosis, 2 – 3 kali / 24 jam
Anak : 0,09 mg / kgBB/ dosis, 3 kali / 24 jam
• Difenhidramin
Dewasa : 10 - 20 mg / dosis, i.m 1 - 2 kali / 24 jam
Anak : 0,5 mg / kgBB/ hari, 1 - 2 kali / 24 jam
• Loratadin
Dewasa : 1 tablet / hari
B. Pengobatan topikal
• Bentuk akut dan eksudatif diberi kompres larutan garam faali (NaCl 0,9 %) atau KMnO4 1 /
5000.
• Bentuk kronik dan kering diberi krim hidrokortison 1 - 2 %, flurosinolon 0,025 %, triamsinolon
0,1 %, atau krim betametason valerat 0,05 – 0,1 %

Pencegahan
1. Menghindari kontak dengan alergen adalah satu – satunya cara untuk
mencegah timbulnya dermatitis kontak alergi.
2. Gunakan sarung tangan atau perlngkapan lainnya jika kontak dengan alergen
diharuskan dan tidak dapat dihindari.
3. Cuci permukaan kulit segera setelah kontak dengan alergen.
4. Hindari perawatan yang berlebihan terhadap kulit rusak.

Untuk memudahkan absorbsi alergen dipakai cawan aluminium


atau Finn chamber dan perekat Scanpor yang hipoalergenil // KEPUSTAKAAN
1. Epstein S, Mohajerin AH, Marshfield WIS. Incidence of contact sensitivity
in Atopic Dermatitis. Arch Dermatol 1964; 30: 284
TES TUSUK KULIT (Skin Prick/Puncture Testing)
Tes ini dilakukan dengan meletakkan setetes ekstrak (bahan-bahan alami) alergen di
permukaan kulit lengan bawah sisi dalam atau punggung yang sudah ditandai sebelumnya. 
Kemudian, ekstrak alergen tersebut dimasukkan ke dalam kulit dengan menusukkan lancet
steril pada kulit. Hasil positif ditunjukkan dengan munculnya benjolan merah dengan
diameter tertentu yang disertai rasa gatal di area kulit tempat tusukan tadi dalam waktu 15-20
menit. Tes tusuk kulit sangat bermanfaat terutama untuk menentukan alergen inhalan, seperti
debu, bulu hewan peliharaan, polen, dan sebagainya.
 
3.      TES KULIT (Intracutaneous Test)
Tes kulit dilakukan apabila ada dugaan alergi terhadap obat dengan menyuntikkan obat
tersebut di kulit lengan bawah hingga dapat memasuki lapisan bawah kulit. Hasil dapat
diperoleh dalam waktu 15 menit, dan bila postif akan timbul bentol merah disertai rasa gatal.
Tes ini memiliki sensitifitas yang lebih baik dibandingkan dengan tes tusuk kulit, namun
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menimbulkan reaksi sistemik dan seringkali
memberikan reaksi positif palsu. Meski demikian, tes ini diindikasikan ketika ekstrak alergen
tidak cukup kuat untuk memberikan hasil reaksi positif pada tes tusuk kulit.
 
4.      TES TEMPEL (Patch Test)
Tes ini dilakukan bila ada dugaan reaksi alergi yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan
bahan kimia, atau yang disebut dermatitis kontak alergi.
 
Tes tempel dilakukan dengan meletakkan bahan-bahan kimia dalam suatu tempat khusus
yaitu finn chamber (seperti plester), lalu menempelkannya pada kulit punggung. Hasil tes
baru dapat diperoleh dalam waktu 48-72 jam, dan selama tes dianjurkan agar tidak
melakukan aktivitas  yang berat dan mengeluarkan keringat, tidak boleh mandi, posisi tidur
tertelungkup, dan usahakan agar punggung tidak bergesekan dengan apa pun. Hasil postif
ditunjukkan dengan munculnya bercak kemerahan (rash) pada kulit terebut.
 
5.      RAST (Radioallergosorbent Test)
RAST  merupakan pemeriksaan darah yang akurat untuk mengukur kadar IgE spesifik dalam
darah. Umumnya, terjadinya alergi akan ditandai dengan adanya peningkatan kadar IgE yang
spesifik, misalnya seseorang yang memiliki alergi terhadap putih telur, akan menunjukkan
peningkatan kadar IgE terhadap putih telur tersebut  (IgE spesifik putih telur).
 
Pada RAST, alergen akan ditempatkan di suatu paper discs atau polyurethane caps (CAP-
RAST) dan kemudian direaksikan dengan sampel serum yang diambil dari pembuluh darah
vena pasien. Pengikatan IgE spesifik terhadap alergen tersebut terdeteksi melalui suatu
enzyme linked-human IgE antibody pada reaksi kolorimetrik.
 
Pemeriksaan RAST spesifik untuk menentukan alergen penyebab reaksi alergi, dan lebih
reproducible serta lebih aman dari pemeriksaan alergi lainnya. Meski demikian, hasil RAST
perlu diinterpretasikan bersama dengan hasil pemeriksaan alergi lainnya seperti anamnese,
IgE serum dan test tusuk kulit untuk memperoleh diagnosa yang lebih baik.
Dengan mengetahui alergen penyebab reaksi alergi, maka upaya pencegahan dan pengobatan
yang tepat akan lebih mudah dilakukan. Sekali diketahui seseorang menderita alergi terhadap
suatu alergen, maka sebaiknya dihindari dengan sedapat mungkin mengontrol lingkungannya
agar tidak membahayakan, misalnya mengupayakan ruangan yang bersih dan bebas debu bila
penyebab alerginya tungau debu rumah, tidak mengkonsumsi makanan yang diketahui sering
menimbulkan reaksi alergi seperti putih telur, hazelnut, tepung gandum, dan sebagainya.

Pemeriksaan alergi terutama alergi atopi sangat dianjurkan bagi seseorang dengan
kecenderungan alergi dan atau memiliki riwayat keluarga menderita alergi, serta wanita hamil
dengan riwayat alergi tertentu agar pencegahan terhadap paparan alergen pada bayi yang baru
dilahirkan dapat dilakukan sedini mungkin.

You might also like