Professional Documents
Culture Documents
Dokter/tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam
bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk hubungan, baik hubungan medik maupun
hubungan hukum yang objeknya adalah pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan hubungan
antara ketiga subjek hukum tersebut selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi
keharmonisan dalam melaksanakan hubungan hukum dan terhindar dari kesemrawutan dan
kesimpangsiuran.
Berbicara tentang peraturan maka tentunya didalamnya terdapat apa yang dinamakan dengan
kaidah atau norma tentang hubungan hukum antara dokter/tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit
sebagai subjek hukum
1. Kaidah ( Norma )
Kaidah atau norma adalah pedoman/ukuran untuk mewujudkan nilai ( value ) yang merupakan
sesuatu yang patut atau berharga untuk diwujudkan, misalnya nilai kesehatan ( derajat kesehatan ). Kaidah
atau norma dapat dibentuk oleh masyarakat sebagai kaidah non hukum dan dapat pula dibentuk oleh
segolongan elite masyarakat/ pembentuk Undang-undang sebagai kaidah Hukum. Kaidah hukum dan
kaidah non hukum merupakan dua macam kaidah yang tergolong dalam kaidah sosial selain kaidah non
sosial/eksakta.
Contoh kaidah hukum adalah berbagai Peraturan Perundang-undangan yang secara hukum
bersifat mengatur dan pelanggaran terhadap kaidah hukum tersebut adalah berupa sanksi atau hukuman
yang diterapkan oleh penguasa atau lembaga yang memegang kekuasaan.
Contoh kaidah non hukum adalah; etika, moral dan pedoman hidup atau Perilaku lainnya yang
bersifat mengatur dan pelanggaran terhadap kaidah non hukum adalah berupa sanksi yang diterapkan oleh
masyarakat sebagai pelanggaran terhadap etika.
Persamaan kaidah hukum dan kaidah non hukum adalah bahwa kedua kaidah tersebut sama-
sama bersifat mengatur dan mempunyai sanksi.
Didalam memenuhi kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di dalam suatu hubungan hukum,
maka fungsi hukum dalam melindungi kepentingan manusia akan berorientasi pada tanggung jawab,
kewajiban dan risiko. Akan tetapi karena berkembangnya suatu hubungan hukum yang terjadi di dalam
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga terjadi ketimpangan atau ketidakseimbangan antara
tanggung jawab, kewajiban dan risiko. Oleh karena itu berdasarkan asas kebebasan kehendak yang berlaku
dimungkinkan dilakukannya syarat untuk membatasi, mengurangi atau membebaskan tanggung jawab atau
kewajiban tertentu dari salah satu pihak atau membagi beban risiko yang layak
Temu 10
X. HUBUNGAN TENAGA KESEHATAN DENGAN PASIEN
Berdasarkan ciri yang ditemukan dalam profesi maka pekerjaan sebagai dokter maupun tenaga kesehatan lainnya
memiliki cirri khusus, antara lain hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Freidson dan
Wilson menyatakan bahwa pekerjaan dokter dilakukan di dalam kamar konsultasi yang tertutup atau bahkan di dalam
kamar tidur dan dalam kontak memberikan penyelamatan atau penyembuhan diperlukan keakraban sepenuhnya.
Demikian pula halnya dengan bentuk-bentuk Pelayanan kesehatan lainnya yang senantiasa dilakukan dalam kamar
tertentu dalam suasana penuh keakraban.
Oleh karena itu maka dalam hubungan terapeutik hendaknya pasien senantiasa percaya kepada
kemampuan tenaga kesehatan dimana pasien menyerahkan nasibnya. Pasien akan merasa aman,
tenteram dan beruntung apabila tenaga kesehatan bersungguh-sungguh menolong dirinya
Selanjutnya Dassen mengatakan ada tiga alas an yang mendorong seseorang untuk mencari
pertolongan kesehatan antara lain:
- Merasa ada sesuatu yang membahayakan dirinya
- Mengetahui dirinya dalam keadaan sakit dan membutuhkan pertolongan kesehatan
- Untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang intensif
Pada bab ini selanjutnya akan diuraikan tentang; pola hubungan tenaga kesehatan dan pasien,
komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien, informasi dalam hubungan ntara tenaga kesehatan dan
pasien, hak-hak pasien dan hak seseorang untuk mati
- Activity-passivity relation: Di mana tidak ada Interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien
karena pasien tidak dapat memberikan kontribusi atau pendapat tentang Keadaan dirinya
- Guidance-Cooperation relation: Meskipun pasien adalah seseorang yang sedang menderita sakit,
namun secara manusiawi mereka memiliki perasaan dan aspirasi untuk menyampaikan
keluhannya
- Mutual-partcipation relation: Pasien berfikir baha secara yuridis mereka memiliki hubungan dan hak
yang seimbang dengan dokter/ tenaga kesehatan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menemukan riwayat penyakit pasien secara
efektif merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam Pelayanan kesehatan dan informasi yang
disampaikan kepada pasien berkaitan dengan catatan mengenai gangguan kesehatan yang pernah dialami
oleh pasien. Selain itu bahwa keberhasilan pengobatan biasanya tergantung pada kepatuhan pasien
terhadap instruksi yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan semakin sedikit informasi yang diberikan maka
kepatuhan pasien terhadap instruksi semakin kecil pula. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa keputusan
para ibu untuk mematuhi instruksi dokter untuk anaknya bergantung pada kepuasan para ibu tersebut
terhadap informasi yang diperoleh dari dokter tentang penyakit anaknya. Ketidakpuasan orang tua akan
timbul jika penyebab dan Keadaan penyakit anaknya tidak diketahuinya.
D. Hak Paien
Dalam hal mendapatkan Pelayanan kesehatan pasien mempunyai hak untuk memperoleh
informasi tentang penyakitnya, hak untuk dirahasiakan penyakitnya dan hak untuk mendapatkan pendapat
kedua. Pengaturan tentang hak dan kewajiban yang timbal balik antara penerima jasa kesehatan dan
pemberi jasa kesehatan haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan kedua belah pihak tidak
berbenturan. Seperti diketahui pasien selalu berada pada posisi yang lemah, sehingga akibat dari
ketidakpuasan salah satu pihak akan selalu mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi pasien
A. Latar belakang
Hak perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya telah lama dikenal di
dalam hukum ingrris ( Common Law ), terutama atas bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain
yang menyentuhnya tanpa hak, contoh: kejahatan atau perbuatan melawan hukum dengan menggunakan
kekerasan atau paksaan terhadap orang lain. Persetujuan dalam pelayanan medis pertama timbul di Inggris
dalam abad XVIII, yaitu pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain.
Dalam kasus tersebut pengadilan memutuskan ahli bedah bertanggung jawab atas bahaya yang disengaja
atas serangan dari orang lain yang menyentuh tanpa hak ( battery ). Dengan demikian jika tidak terdapat
persetujuan untuk suatu prosedur medis, pengadilan modern masih memutuskan dokter bertanggungjawab
untuk battery.
Dengan demikian berarti persetujuan itu sendiri melindungi pemberi Pelayanan medis dari
tanggung jawab battery, sedangkan persetujuan tindakan medis diperlukan untuk melindungi pemberi
Pelayanan medis dari tanggungjawab atas kelalaian atau kealpaan.
Oleh karena individu itu otonom maka diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar
dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut dan prinsip inilah yang oleh para ahli etik disebut
sebagai doktrin informed consent. Untuk menjadi doktrin hukum maka informed consent harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
- Bahwa kewajiban dari dokter/terapis untuk menjelaskan informed consent kepada pasien/klien
- Adanya kewajiban dari dokter/terapis untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien/klien
sebelum melaksanakan tindakan
Selanjutnya dikemukakan oleh King bahwa secara analitis masalah persetujuan pasien/klien
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
- Yang didasarkan pada cara seseorang menyatakan persetujuannya dan keabsahannya ( validitas )
serta ruang lingkupnya dan hal inilah yang disebut sebagai permasalahan consent yang tradisional.
- Yang didasarkan pada kualitas persetujuan, yaitu didasarkan pada informasi atau tidak.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap informed consent dalam
perawatan atau pengobatan dan penelitian kesehatan dapat ditinjau baik dari sudut kepentingan
pasien/klien maupun kewajiban dokter/terapis.
Sehubungan dengan cara pernyataan kehendak menurut hukum, maka adanya informed consent
dari pasien/klien dapat dilakukan dengan:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan
e. Diam atau membisu tetapi dapat dipahami atau diterima oleh pihak lawan
1. Teori manfaat untuk pasien ( Het nut voor de patient als theorie over informed consent ).
Di dalam Kode etik Medis disebutkan bahwa dengan dalil apapun seorang dokter tidak dibenarkan
melakukan susuatu yang dapat melemahkan daya tahan tubuh dan jiwa manusia kecuali untuk maksud terapeutik atau
pertimbangan pencegahan semata-mata yang diperlukan demi kepentingan pasien. Dengan kata lain setiap tindakan
dokter termasuk penyelenggaraan eksperimen yang dilakukan tidak demi kepentingan pasien harus dilarang. Di dalam
Kode Etik Fisioterapi tentang hak pasien/klien tertulis bahwa pasien/klien berhak atas pemanfaatan sumber daya yang
tersedia untuk yang terbaik dalam pemeliharaan kesehatannya.
Pandangan menganai hal yang baik dan bermanfaat bagi seorang pasien/klien tertentu tidak sama
antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya dan hal ini bergantung pada situasi dan kondisi pribadi
serta nilai yang dianut oleh pasien yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut pada hakikatnya
pemberian infomrmasi kepada pasien harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pasien dapat berperan
serta dalam proses pembentukan dan pengambilan keputusan bahkan secara aktif pasien menguasainya
agar semaksimal mungkin keputusan tersebut dapat diperoleh manfaatnya.
Terhadap teori ini timbul keraguan, karena dalam teori ini digunakan asas manfaat bagi pasien
yang berarti tertutup kemungkinan dilakukannya eksperimen non terapeutik.
2. Teori manfaat bagi pergaulan hidup ( Het nut voor de samenleving als theorie over informed consent )
Teori ini dititikberatkan pada pandangan utilitis yaitu bahwa kemanfaatan yang terbesar bagi
jumlah yang terbesar.
Pada teori ini penyelenggaraan eksperimen diperkenankan apabila didasarkan pertimbangan tertentu lebih banyak
manfaatnya daripada menghasilkan yang tidak baik dan apabila bersamaan dengan itu eksperimen ini secara
keseluruhan lebih banyak menghasilkan manfaat dibandingkan dengan kemungkinan yang dihasilkan dengan
penerapan metode lain.
Pandangan para penganut teori ini terhadap pengertian manfaat tidak semata-mata dibatasi oleh
pertimbangan ekonomis, namun nilai estetika, kebudayaan, keagamaan dan psikologis harus
dipertimbangkan pula. Perampasan kebebasan sejumlah kecil subjek eksperimen ( naracoba ) tidak begitu
saja dapat dihalalkan berdasarkan pandangan manfaat sebesar-besarnya bagi sejumlah orang lain, dengan
asumsi bahwa perampasan kebebasan seseorang dikategorikan sebagai kejahatan besar.
Apabila mutlak diperlukan untuk membenarkan eksperimen non terapeutik, maka tidak dapat disangkal bahwa terdapat
unsur tertentu pada asas manfaat bagi pergaulan hidup dalam membenarkan eksperimen itu. Hal ini berarti bahwa
sepanjang eksperimen medis dilakukan bersama dengan pengobatan dan perawatan atau mempunyai tujuan terapeutik,
maka manfaat bagi pergaulan hidup di sini bukan hal yang harus diutamakan.
Itikad baik berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur dan lurus. Pandangan lain
mengatakan bahwa itikad baik dapat dianalogikan dengan kelayakan ( redelijkheid ) dan kepatuhan (
billijkheid ). Kelayakan diartikan yang dapat dimengerti dengan intelek, akal sehat dan budi. Sedangkan
kepatuhan diartikan yang dapat dirasakan sebagai sopan, patut dan adil. Di dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud dari pasal
tersebut di atas adalah: bahwa pentaatan kewajiban yang timbul dalam suatu perjanjian ditentukan oleh
kelayakan dan kepatuhan menurut norma objektif yang berlaku di dalam masyarakat, yaitu norma
berdasarkan penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dihubungkan dengan Pelayanan kesehatan, oleh karena tenaga kesehatan memiliki keahlian dan
keterampilan sebagai pengemban profesi di bidang kesehatan yang tidak dimiliki oleh pasien/klien, maka
pasien memberikan kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk menolong dirinya. Dalam hal ini
didasarkan atas itikad baiknya maka tenaga kesehatan berkewajiban memberikan pertolongan professional
yang bermutu dan bermartabat didasarkan kesungguhan niat dan tanggungjawabnya.
1). Sebagai subjek hukum adalah dokter atau tenaga kesehatan sebagai pemberi Pelayanan kesehatan
professional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien/klien sebagai
penerima Pelayanan kesehatan yang membutuhkan pertolongan
2). Sebagai objek hukum adalah upaya Pelayanan kesehatan professional yang bercirikan pemberian
pertolongan
3). Tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup
kegiatan peningkatan kesehatan ( Promotif ), pencegahan penyakit ( preventif ), penyembuhan penyakit
( kuratif ) dan pemulihan kesehatan ( rehabilitatif )
Didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan sahnya transaksi terapeutik
diperlukan empat syarat sebagai berikut::
Mengenai batasan umur kedewasaan ditetapkan oleh masing-masing negara. Dalam kebanyakan
negara, umur dewasa secara hukum adalah 18 tahun. Ada beberapa negara mempertimbangkan seseorang
sebagai seorang dewasa sebelum mencapai umur dewasa yang ditentukan berdasarkan tindakan tertentu,
misalnya telah menjalankan tugas sebagai Angkatan Bersenjata ( Tentara ).
Di Indonesia ada berbagai Peraturan yang menyebutkan suatu batasan usia dewasa, yaitu:
a). Ordonansi 1925 Stb 1925 Nomor 647 tentang Pembatasan kerja Anak. Ordonansi 1926 Stb 1926 Nomor
87 tentang Kerja Anak-anak dan Orang muda di atas kapal serta Peraturan tentang Pengawasan di
tambang Stb 1930 Nomor 341, menyatakan bahwa umur untuk bekerja adalah 14 tahun.
b). Ordonansi 31 Januari 1931, LN 1931 Nomor 54, menyatakan bahwa apabila Peraturan Perundang-
undangan memakai istilah belum dewasa, yang dimaksud adalah segala orang yang belum mencapai usia
21 tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin
c). Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948 tanggal 20 April jo
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950, bahwa anak ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur
14 tahun ke bawah, sedangkan orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18
tahun ke atas.
d). Pasal 330 KUH Perdata, bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak/belum menikah. Berarti dewasa adalah telah berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun
belum berusia 21 tahun.
e). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak
yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama tidak dicabut dari kekuasaannya. Ayat (2) menyatakan bahwa orang tua mewakili anak
tersebut menganai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kemudian Pasal 50 ayat (1),
menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2)
menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
f). Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa anak adalah
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin, dengan penjelasan bahwa batas
usia 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan social, tahap
kematangan social, kematangan pribadi dan kematangan mental anak dicapai pada umur tersebut. Namun
batas umur tersebut tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan yang
lainnya dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai
kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku
g). Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XIV yang disebar luaskan berdasarkan Instruksi
Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Pemeliharaan Anak Pasal 98 tercantum:
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan ( ayat (1) ). Orang tua yang
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan ( ayat (2) ).
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban
tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu ( ayat (3) )
Dari berbagai Peraturan tersebut di atas ternyata ada beberapa Peraturan yang menyebutkan usia
21 tahun sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa yang ditentukan dalam Pasal
8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 585/-MEN.KES/ PER/1989, yang menyatakan bahwa
pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Tetapi dalam
praktik justru ditetapkan usia 18 tahun dengan pertimbangan bahwa: kebiasaan dalam hidup masyarakat
dewasa ini, kematangan pribadi, kematangan mental dan kematangan social seorang anak pada umumnya
dinilai dari hubungannya dengan kekuasaan orang tua atau perwalian atau karena telah menikah.
Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh Undang-
undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya.
Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran kandungan dengan alasan
apapun merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan
terhadap penderita penyakit terminal dengan tujuan penelitian terapeutik, merupakan perjanjian dengan
sebab yang palsu
Di dalam informed consent pada tindakan medik tertentu yang mengandung risiko tinggi, harus
dibuat dengan persetujuan tertulis, namun apabila dalam informed consent tersebut terdapat klausul bahwa
pasien bersedia memikul segala risiko dan tidak akan menuntut apapun dikemudian hari, maka perjanjian
tersebut mengandung sebab yang bertentangan dengan kepatuhan, kesusilaan dan Undang-undang.
Alasannya adalah bahwa tujuan informed consent bukanlah membebaskan dokter atau tenaga kesehatan
professional lainnya dari tanggungjawab risiko ataupun dari tuntutan pergantian kerugian dari pasien/klien,
akan tetapi tujuannya adalah untuk mendorong pasien/klien agar berusaha bekerjasama sebaik-baiknya,
mengingat tingginya risiko yang harus dihadapi yang dapat merugikan atau membahayakan pasien/klien.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa informed consent diterima sebagai prinsip dasar dalam
Pelayanan kesehatan. Akan tetapi ide yang melatarbelakanginya secara khusus adalah didasarkan pada
pandangan individualisme terhadap otonomi manusia yang berlaku pada sistem hukum Anglo-Saxon.
Dalam pandangan ini, penekakan terlalu besar pada otonomi setiap orang yang dapat dilepaskan dari
keluarganya ataupun kelompoknya. Padahal suasana kebudayaan yang mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia sangat berbeda, yaitu otonomi setiap orang tidak terlepas dari keluarga ataupun lingkungannya.
Dengan demikian, informed consent yang diterima sebagai prinsip dasar seharusnya didasarkan
pada suasana yang melatarbelakanginya, yaitu tidak terlepas dari tradisi budaya yang berlaku dan
mewarnai sisten hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk budaya mampu
menerima isyarat yang tidak dapat ditangkap oleh mahluk lainnya dan manusia dikontrol oleh nilai yang
berlaku di dalam masyarakatnya sendiri sehingga memiliki kesadaran untuk membedakan antara yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukannya.
4. Informed consent secara tertulis dalam hubungannya dengan kewajiban atau tanggungjawab atas
tindakan/akibat tindakan medik
Pada umumnya keharusan adanya informed consent secara tertulis yang ditandatangani oleh
pasien sebelum dilakukannya tindakan medik, dilakukan pada sarana Pelayanan kesehatan yaitu: Rumah
sakit, klinik, atau sarana Pelayanan kesehatan lainnya, oleh karena erat kaitannya dengan
pendokumentasiannya ke dalam Catatan Medik ( medical record ). Hal ini disebabkan karena Rumah sakit
atau klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar Pelayanan Rumah
sakit, juga harus memenuhi standar Pelayanan medik sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 436/MEN.KES/SK/VI/1993 Tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah sakit dan
Standar Pelayanan Medik di Rumah sakit. Dengan demikian Rumah sakit turut bertanggungjawab apabila
tidak dipenuhinya persyaratan informed consent.
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa informed consent, maka dokter atau tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan surat izin praktik
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:
585/MEN.KES/PER/IX/1989. Dengan demikian maka keharusan adanya informed consent secara tertulis
dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah sakit yang bersangkutan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penandatanganan informed consent yang dilakukan oleh pasien sebenarnya
dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter
atau tenaga kesehatan lainnya memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya.
Hal ini disimpulkan dari adanya ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan tersebut di
atas yang antara lain menentukan bahwa penandatanganan informed consent secara tertulis dilakukan oleh
yang berhak memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau
keluarganya mendapatkan informasi yang lengkap.
Oleh karena itu dengan ditandatanganinya informed consent secara tertulis tersebut, maka dapat
diartikan bahwa pemberi tandatangan bertanggungjawab dalam menyerahkan sebagian tanggungjawab
pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, berikut risiko yang mungkin akan
dihadapinya. Untuk itu tindakan medik yang ditentukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar profesinya.
Informed consent sebagai prinsip dasar Pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan tujuan
pemberian bantuan, yaitu untuk memulihkan dan memperbesar kemampuan orang untuk dapat mengurus
dirinya sendiri, karena setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri, termasuk kesehatannya.
Sehubungan dengan itu didasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh Derajat kesehatan yang optimal. Untuk itulah setiap orang
dapat memperoleh bantuan secara professional yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan di bidang kesehatan.
Dihubungkan dengan dua teori hukum yang menunjang suatu hubungan antara dokter/tenaga
kesehatan dengan pasien/klien, yaitu Contract Theory dan Undertaking Theory, maka di dalam peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia juga ditemukan ketentuan yang sesuai dengan kedua teori tersebut.
- Contract Theory: Dapat didasarkan pada ketentuan mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata, khususnya mengenai perjanjian melakukan jasa tertentu
- Undertaking Theory: Dapat dikonstruksikan sebagai pemberian bantuan secara sukarela oleh
tenaga professional dan dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 1354 Buku III KUH Perdata jo
Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Didasarkan pada Contract Theory, maka adanya informed consent merupakan syarat utama yang
harus dipenuhi guna terjadinya suatu kontrak sehingga dapat ditentukan suatu pengaturan kewajiban
kontraktual Pelayanan jasa disertai hak dan tanggungjawabnya. Dalam hal ini, informed consent secara
tertulis dapat dijadikan bukti tertulis terjadinya suatu kontrak terapeutik, sehingga dengan demikian apabila
salah satu pihak tidak atau belum memenuhi kewajiban yang timbul dari kontrak tersebut, maka pihak
lainnya yang memiliki bukti tertulis dapat menuntut pemenuhannya didasarkan telah terjadinya suatu
kontrak.
Didasarkan pada Undertaking Theory, maka teori ini tidak mempermasalahkan adanya informed
consent. Jika dokter/tenaga kesehatan secara sukarela memberikan pertolongan, walaupun tanpa
sepengetahuan pasien yang ditolongnya telah memberikan Pelayanan profesionalnya, maka dokter/ tenaga
kesehatan tersebut berkewajiban memenuhi standar profesinya dan bertanggungjawab atas semua
tindakan yang dilakukannya sesuai dengan keahliannya dan kewenangannya sebagai tenaga kesehatan.
Akan tetapi jika dokter/tenaga kesehatan melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada
pasiennya, maka di samping ia mendapatkan atau dikenakan sanksi administratif, juga dapat dituntut untuk
memberikan ganti rugi.
Di damping itu, karena transaksi terapeutik pada dasarnya dikuasai oleh prinsip etis tertentu yang
juga dikenal sebagai asas hukum antara lain: asas otonomi, asas berbuat baik, asas tidak merugikan dan
keadilan, maka adanya informed consent secara tertulis tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk
menghindarkan risiko ataupun sebagai upaya memudahkan terselenggaranya suatu tindakan medik,
walaupun risiko yang dihadapi cukup tinggi. Justru hal inilah yang mencerminkan kualifikasi professional
tenaga kesehatan sebagai seorang ahli dalam bidangnya dalam menangani masalah penyakit pasiennya.