You are on page 1of 24

VIII HUKUM PELAYANAN KESEHATAN

A. Aspek-aspek hukum Kesehatan


Pengertian yang paling sederhana dari apa yang dikenal sebagai hukum kesehatan adalah:
Kumpulan peraturan hukum tentang kesehatan. Jadi seluruh kumpulan peraturan yang mengatur tentang
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan adalah hukum kesehatan. Sebagai contoh;
Peraturan hukum kesehatan yang bersifat umum;
Adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan kesehatan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Peraturan Administrasi Negara.
Peraturan hukum kesehatan yang bersifat khusus;
- Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan
- Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
- Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1363 tahun 2001 tentang registrasi dan ijin praktik
fisioterapis
- Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik

Dokter/tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam
bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk hubungan, baik hubungan medik maupun
hubungan hukum yang objeknya adalah pemeliharaan dan pelayanan kesehatan. Pelaksanaan hubungan
antara ketiga subjek hukum tersebut selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar terjadi
keharmonisan dalam melaksanakan hubungan hukum dan terhindar dari kesemrawutan dan
kesimpangsiuran.
Berbicara tentang peraturan maka tentunya didalamnya terdapat apa yang dinamakan dengan
kaidah atau norma tentang hubungan hukum antara dokter/tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit
sebagai subjek hukum

1. Kaidah ( Norma )
Kaidah atau norma adalah pedoman/ukuran untuk mewujudkan nilai ( value ) yang merupakan
sesuatu yang patut atau berharga untuk diwujudkan, misalnya nilai kesehatan ( derajat kesehatan ). Kaidah
atau norma dapat dibentuk oleh masyarakat sebagai kaidah non hukum dan dapat pula dibentuk oleh
segolongan elite masyarakat/ pembentuk Undang-undang sebagai kaidah Hukum. Kaidah hukum dan
kaidah non hukum merupakan dua macam kaidah yang tergolong dalam kaidah sosial selain kaidah non
sosial/eksakta.
Contoh kaidah hukum adalah berbagai Peraturan Perundang-undangan yang secara hukum
bersifat mengatur dan pelanggaran terhadap kaidah hukum tersebut adalah berupa sanksi atau hukuman
yang diterapkan oleh penguasa atau lembaga yang memegang kekuasaan.
Contoh kaidah non hukum adalah; etika, moral dan pedoman hidup atau Perilaku lainnya yang
bersifat mengatur dan pelanggaran terhadap kaidah non hukum adalah berupa sanksi yang diterapkan oleh
masyarakat sebagai pelanggaran terhadap etika.
Persamaan kaidah hukum dan kaidah non hukum adalah bahwa kedua kaidah tersebut sama-
sama bersifat mengatur dan mempunyai sanksi.

2. Aspek hubungan tenaga kesehatan dengan pasien


Hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien apabila dilihat dari aspek hukum adalah hubungan
antara subjek hukum dengan subjek hukum dimana hubungan ini diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata.
Kaidah-kaidah hukum perdata berisi pedoman/ukuran bagaimana para pihak yang melakukan hubungan
melaksanakan hak dan kewajibannya secara timbal balik, dimana hak tenaga kesehatan merupakan
kewajiban pasien dan sebaliknya hak pasien merupakan kewajiban tenaga kesehatan
Selain itu kaidah-kaidah tersebut berisi pula pedoman tentang apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan oleh kedua pihak. Contoh; seorang pasien tidak boleh mengabaikan nasihat dan
petunjuk dari tenaga kesehatan sedangkan tenaga kesehatan tidak boleh mengabaikan hak pasien untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang merupakan hak asasinya untuk dipenuhi
Dilihat dari hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien terdapat apa yang dikenal saling
sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan atau Pelayanan kesehatan dan
terbentuklah apa yang disebut sebagai perikatan ( verbintenis ) yang didalam doktrin ilmu hukum terdapat
dua macam perikatan yaitu perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis) dan perikatan hasil ( resultaat
verbintenis )
Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan oleh tenaga kesehatan adalah upaya
semaksimal mungkin, sedangkan pada perikatan hasil maka prestasi yang harus diberikan oleh tenaga
kesehatan adalah berupa hasil tertentu. Kemudian diatur pula tentang dasar dari perikatan, dimana
perikatan tersebut terbentuk berdasarkan perjanjian atau Undang-undang. Dasar dari perikatan antara
tenaga kesehatan dan pasien biasanya dikenal dengan perjanjian atau kontrak yaitu perjanjian/kontrak
Pelayanan kesehatan. Tetapi terdapat pula perikatan antara tenaga kesehatan dengan pasien yang
terbentuk atas dasar Undang-undang yakni terdapatnya kewajiban hukum tenaga kesehatan untuk
memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien yang memerlukannya
Pada perikatan atas dasar perjanjian, apabila seorang pasien datang untuk mendapatkan Pelayanan kesehatan
maka antara tenaga kesehatan dan pasien terdapat hubungan hukum perjanjian/-kontrak terapeutik. Pada perikatan atas
dasar Undang-undang apabila seorang tenaga kesehatan melihat seorang korban kecelakaan dan tenaga kesehatan
tersebut membantu orang yang mendapatkan kecelakaan tersebut oleh karena adanya kewajiban hukum dari tenaga
kesehatan untuk menolong orang tersebut dan dalam hal ini terbentuk perikatan atas dasar Undang-undang.
Berbicara tentang perjanjian/kontrak maka kedua pihak yaitu tenaga kesehatan dan pasien
hendaknya memiliki asas kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian/kontrak yang pada prinsipnya
disepakati bersama apakah perjanjian tersebut menjanjikan kesembuhan atas pasien ( resultaat
verbintenis ) atau upaya maksimal yang diberikan ( inspaning verbintenis ) dimana kedua isi perjanjian
tersebut hendaknya tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepatutan, kepantasan dan ketertiban.

3. Aspek hubungan tenaga kesehatan dan rumah sakit


Hubungan antara tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah hubungan antara subjek hukum dan
subjek hukum yakni subjek hukum sebagai pribadi dan subjek hukum sebagai badan hukum. Hubungan
yang terbentuk adalah hubungan perdata dimana timbul hak dan kewajiban kedua pihak secara timbal balik.
Hubungan yang terbentuk antara tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dibagi menjadi dua macam
hubungan yaitu hubungan perburuhan dan hubungan kontraktual
Hubungan perburuhan terjadi dimana seorang tenaga kesehatan bekerja sebagai karyawan dari
sebuah rumah sakit dan menerima gaji/upah dari rumah sakit. Dalam hubungan ini terdapat kedudukan
sebagai majikan yaitu rumah sakit dan buruh yang dalam hal ini adalah tenaga kesehatan. Hubungan ini
terdapat pada semua rumah sakit pemerintah dan sebagian kecil rumah sakit swasta
Hubungan kontraktual pada umumnya terjadi antara rumah sakit swasta dengan tenaga kesehatan
yang terikat dalam suatu perjanjian/kontrak dimana rumah sakit menyediakan sarana dan fasilitas untuk
Pelayanan kesehatan sedangkan tenaga kesehatan mempunyai hak menggunakan fasilitas rumah sakit
tersebut dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan perburuhan yakni
kedudukan sebagai majikan dan buruh dan kedua belah pihak memiliki kedudukan sebagai pihak yang
terikat perjanjian atau kontrak
Pada hubungan perburuhan apabila tenaga kesehatan berbuat kesalahan atau kelalaian maka
rumah sakit dapat dimintakan pertanggungjawabannya sedangkan pada hubungan kontraktual dalam hal
tenaga kesehatan berbuat kesalahan atau kelalaian maka rumah sakit tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya

4. Hubungan pasien dan rumah sakit


Hubungan pasien dan rumah sakit adalah hubungan antara subjek hukum dan subjek hukum
dimana hubungan ini diatur dalam kaidah-kaidah hukum perdata dan memenuhi hubungan yang mengatur
tentang hak dan kewajiban. Pasien sebagai penerima jasa Pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai
pemberi jasa dalam bidang pelayanan kesehatan terdapat hubungan yang diatur oleh perjanjian/kontrak.
Rumah sakit berkewajiban memberikan jasa Pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau standar
Pelayanan kesehatannya.

B. Hukum dan Fungsi Hukum


Peranan hukum sangat besar dalam mengatur setiap hubungan antara individu dengan individu
sebagai subjek hukum maupun antara individu dengan masyarakat di dalam berbagai bidang kehidupan
termasuk kesehatan. Namun demikian berlakunya hukum berdasarkan sifat dan hakikatnya tidak terlepas
dari sistem hukum yang dianut dan berlaku dalam masyarakat suatu wilayah atau negara.
Dengan kata lain bahwa adanya sistem hukum yang dianut dan nilai budaya yang hidup,
berkembang dan berlaku di dalam suatu negara tertentu akan memberikan ciri hukum yang berlaku di
dalam negara tersebut. Misalnya ciri hukum Anglo Amerika adalah bertitik tolak pada putusan hakim yang
telah pasti dan dilihat sebagai suatu gejala yang berkembang secara terus menerus dalam pengadilan,
sedangkan ciri hukum Eropa Kontinental adalah bertitik tolak pada peraturan dan hukum dilihat sebagai
suatu sistem dari peraturan, pengertian dan sebagainya.
Oleh karena sistem hukum Indonesia disamping dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa kontinental
juga tidak terlepas dari nilai budayanya sendiri, maka sekalipun ciri yang tampak adalah bertitik tolak pada
paraturan dan hukum dilihat sebagai suatu stelsel dari peraturan, pengertian dan sebagainya, namun yang
dimaksud dengan peraturan disini bukan semata-mata peraturan tertulis berupa Undang-undang
Oleh karena setiap bangsa mempunyai kebudayaan sendiri maka bangsa itu juga membentuk
hukumnya sendiri, dengan kata lain hukum adalah bagian dari kebudayaan ( Van Apeldoom, 1983 ).
Demikian juga dikemukakan oleh Utrecht ( 1966 ) bahwa hukum itu menjadi bagian dari kebudayaan seperti
halnya dengan agama, kesusilaan, adat istiadat dan kebiasaan yang masing-masing menjadi anasir
kebudayaan. Dengan demikian maka hukum sebagai anasir kebudayaan juga akan memperlihatkan sifat
dan corak kebudayaan yang bersangkutan atau dapat pula dikatakan bahwa sifat, corak dan isi dari hukum
ditentukan oleh corak kebudayaan.
Untuk memahami hukum dan fungsi hukum perlu dipahami terlebih dahulu tentang; terbentuknya
hukum dalam pergaulan hidup manusia, pengertian hukum sebagai norma, tujuan dan tugas hukum serta
sistem hukum

1. Terbentuknya hukum dalam pergaulan hidup manusia


Manusia di samping sebagai mahluk individu yang memiliki kehidupan jiwa yang menyendiri juga
sebagai mahluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, hasrat untuk hidup bersama telah
menjadi pembawaan manusia yang merupakan keharusan badaniah untuk melangsungkan hidupnya.
Adapun yang mendorong manusia untuk selalu hidup bermasyarakat adalah karena beberapa faktor
kebutuhan yang harus dipenuhi seperti kebutuhan biologis, memenuhi kebutuhan primer, hasrat untuk
membela diri, hasrat untuk mengadakan keturunan dan lain-lain.
Setiap manusia memiliki sifat, watak dan kehendaknya sendiri, sehingga dalam memenuhi
kebutuhan seringkali tidak searah satu sama lain, padahal kepentingan yang berlainan bahkan
bertentangan dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama. Apabila
pertikaian tersebut dibiarkan maka akan menyebabkan terjadinya perpecahan dalam masyarakat, oleh
karena itu dalam kehidupan masyarakat yang teratur hendaknya setiap anggota masyarakat harus
memperhatikan norma atau kaidah dan peraturan hidup yang ada dan berlaku dalam masyarakat.

2. Pengertian hukum sebagai norma


Norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakat untuk menertibkan, menuntun dan
mengarahkan tingkah laku anggotanya dalam hubungannya satu sama lain. Untuk itu jika suatu peraturan
dikeluarkan oleh Pemerintah, maka peraturan tersebut ditanggapi sebagai norma yang berlaku secara
yuridis, artinya bahwa peraturan itu dirasakan sebagai mewajibkan sedemikian rupa sehingga seseorang
yang tidak mematuhinya dapat dikecam bahkan dituntut secara hukum melalui pengadilan. Hal ini
menunjukkan bahwa hukum bersifat normatif
Hukum normatif yaitu hukum yang tampak dalam peraturan perundang-undangan dan juga hukum
yang tidak tertulis dalam peraturan perundang-undangan, tetapi ditaati oleh masyarakat karena keyakinan
bahwa pearturan hidup itu sudah sewajarnya wajib ditaati. Rumusan lain yang membedakan hukum adalah
hukum ideal dan hukum wajar
Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan yang pada hakikatnya berakar pada perasaan
murni manusia dari segala bangsa untuk dapat memenuhi perasaan keadilan semua bangsa di seluruh
dunia benar-benar objektif. Sedangkan hukum wajar adalah hukum yang terjadi dan tampak sehari-hari.
Dengan demikian jelas bahwa norma hukum itu dilihat sebagai pencerminan dari kehendak
masyarakat yang dilakukan dengan membuat pilihan antara tingkah laku yang disetujui dan yang ditolak.
Jadi pengertian hukum sebagai norma dapat dirumuskan sebagai himpunan petunjuk hidup yang mengatur
tata tertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat.

3. Tujuan dan tugas hukum


Jika dilihat dari uraian di atas, maka pemahaman mengenai tujuan dan tugas hukum didasarkan
pada pandangan bahwa hukum adalah ciptaan manusia. Oleh karena disamping hukum itu menertibkan
dan menuntun,juga mengarahkan tingkah laku dari anggota masyarakat pada saat berhubungan antara
satu sama lain. Selain itu dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai
tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang tujuan
hukum dapat dilihat dari beberapa teori yaitu; teori etis, teori utilistis dan teori campuran
Menurut teori etis bahwa tujuan hukum semata-mata adalah keadilan, dengan demikian maka isi
hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Teori ini dianggap berat sebelah karena melebih-lebihkan kadar keadilan hukum dan kurang memperhatikan
Keadaan yang sebenarnya.
Menurut teori utilistis bahwa tujuan hukum semata-mata mewujudkan hal yang bermanfaat.
Menurut teori ini tujuan hukum adalaj manfaat dan menghasilkan kebahagiaan yang terbesar bagi orang
dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Teori ini pun dianggap berat sebelah karena hanya
memperhatikan hal yang bermanfaat saja.
Menurut teori campuran bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu keadilan dan
kemanfaatan. Dalam hal ini hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap manusia agar kepentingan itu tidak
diganggu
Pada hakikatnya hukum menghendaki adanya penataan hubungan antar manusia termasuk juga
hubungan tenaga kesehatan dengan pasien/klien sehingga kepentingan masing-masing dapat terjamin dan
tidak ada yang melanggar kepentingan pihak lain.
4. Sistem hukum
Pada dasarnya sistem hukum yang dikenal ada dua yaitu Sistem Anglo Saxon yang didasarkan
pada Common Law di Inggris serta Case Law di Amerika Serikat dan Sistem Eropa Continental yang dianut
di Benua Eropa. Ciri dari sistem hukum yang perlu diperhatikan dalam pengembangannya adalah sifatnya
yang konsisten dalam menghadapi dan memecahkan atau mengatasi konflik. Sistem hukum selalu
menghendaki adanya keseimbangan tatanan di dalam masyarakat ( restitutio in integrum )

C. Hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan


Semakin meningkatnya peranan hukum dalam Pelayanan kesehatan antara lain disebabkan
karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan Pelayanan kesehatan, meningkatnya perhatian
terhadap hak yang dimiliki manusia untuk memperoleh Pelayanan kesehatan. Perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh para pelaksana Pelayanan kesehatan sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang
mengakibatkan timbulnya hubungan hukum, meskipun hal tersebut sering tidak disadari oleh para
pelaksana Pelayanan kesehatan pada saat melakukan perbuatan yang bersangkutan.
Pelayanan kesehatan tidak hanya meliputi kegiatan atau aktivitas professional di bidang pelayanan
kuratif dan preventif untuk kepentingan perorangan saja, tetapi juga meliputi lembaga pelayanan, sistem
kepengurusan, pembiayaan, pengelolaan dan penerangan/publikasi.

1. Timbulnya hubungan hukum dalam Pelayanan kesehatan


Timbulnya hubungan hukum dalam Pelayanan medik dapat dipahami jika pengertian pelayanan
kesehatan, prinsip pemberian bantuan dalam Pelayanan kesehatan dan tujuan pemberian Pelayanan
kesehatan.

a. Pengertian Pelayanan kesehatan


Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
derajat kesehatan baik perorangan maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.
Menurut Lavey dan Loomba; bahwa yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah setiap
upaya baik yang diselenggara-kan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan
kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok dan masyarakat.
Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan; bahwa upaya kesehatan
adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan
atau masyarakat.
b. Prinsip pemberian bantuan dalam pelayana kesehatan
Didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua masalah kesehatan memerlukan suatu
pemecahan secara professional, maka dikenal istilah Zelfhulp yaitu menolong atau membantu diri sendiri
atau saling membantu antar sesama. Akan tetapi di dalam zelfhulp tersebut seringkali digunakan keahlian
dari para professional dan bantuan dari para professional itu merupakan suatu bentuk pemberian bantuan
tersendiri. Dengan demikian jika di dalam zelfhulp Pelayanan terhadap diri sendiri tidak dianggap sebagai
suatu pemberian bantuan secara professional, maka ha itu tidak perlu dipandang sebagai bertentangan
dengan bantuan secara professional.
Akan tetapi jika didasarkan pada pemikiran yuridis yaitu dilihat dari aspek individual dan sosial
maka hak untuk mendapatkan pelayanan atau bantuan professional termasuk juga pelayanan kesehatan,
adalah sama dengan hak untuk mendapatkan bantuan yang teliti berdasarkan suatu keahlian.

c. Tujuan pemberian bantuan pelayanan kesehatan


Tujuan pemberian bantuan Pelayanan untuk memulihkan dan memperbesar kemampuan orang
untuk dapat mengatur dirinya sendiri sebaik-baiknya. Dengan adanya tujuan yang demikian maka
pemberian bantuan Pelayanan kesehatan itu sendiri tidak boleh bertentangan dengan usaha untuk dapat
mengatur diri sendiri.
Pemberian bantuan menjadi diperlukan di dalam masyarakat oleh karena manusia telah
menghendakinya dan manusia itu juga dapat menolak bantuan tersebut, antara lain dengan alas an memiliki
hak untuk mengatur diri sendiri. Oleh karena itu hubungan antara pasien dengan pemberi bantuan
professional lebih tepat untuk dianggap sebagai suatu hubungan kerjasama dan masing-masing mempunyai
kedudukan yang sama.
Dengan demikian maka timbulnya hubungan hukum dalam Pelayanan kesehatan adalah
disamping disebabkan oleh adanya kewajiban setiap individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, juga adanya kewajiban dari parapemberi Pelayanan kesehatan terhadap seseorang yang
membutuhkan pertolongan selaku professional sampai orang tersebut mampu untuk berusaha mengatasi
masalah kesehatannya melalui kerjasama dengan para pemberi Pelayanan kesehatan yang merawatnya.
2. Dasar hukum hubungan pelayanan kesehatan
Bahwa suatu perjanjian baik yang nyata maupun diam-diam antara tenaga kesehatan dengan
pasien seringkali menimbulkan hubungan professional sehingga kewajiban yang harus dipenuhi oleh tenaga
kesehatan terhadap pasien ada kalanya dilihat sebagai kewajiban yang didasarkan atas kontrak jasa (
service contract ), meskipun hal ini merupakan suatu pandangan yang terlalu sempit. Sebenarnya hubungan
antara tenaga kesehatan dan pasien lebih didasari atas suatu kewajiban pemberian pertolongan kesehatan
yang dibebankan oleh masyarakat kepada tenaga kesehatan dan bukan semata-mata hanya didasarkan
atas kontrak diantara kedua belah pihak.
Ada dua teori hukum yang menunjang hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien yaitu;
Contract theory dan Undertaking theory.
Menurut contract theory; Jika seorang dokter setuju untuk merawat seorang pasien dengan
imbalan hnor tertentu, maka dapat diciptakan suatu pengaturan kontraktual yang disertai hak dan tanggung
gugatnya. Jika para pihak secara nyata mencapai suatu persetujuan mengenai syarat perawatan maka
dapat timbul suatu kontrak nyata ( tegas )
Menurut undertaking theory; jika seorang dokter merelakan dirinya untuk memberikan perawatan
kepada seseorang, maka tercipta suatu hubungan professional yang disertai kewajiban perawatan terhadap
si penerima. Teori ini memberikan dasar yang memuaskan bagi terciptanya hubungan antara tenaga
kesehatan dan pasien dalam kebanyakan siatuasi yang menyangkut pelayanan kesehatan termasuk situasi
yang tidak diliputi oleh suatu kontrak.

3. Kedudukan para pihak dalam Pelayanan kesehatan


Dalam pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan dapat dilihat dalam kedudukannya selalku
professional di bidang kesehatan yang harus berperan aktif dan pasien dapat dilihat dalam kedudukannya
sebagai penerima Pelayanan kesehatan yang memiliki penilaian terhadap penampilan dan mutu Pelayanan
kesehatan yang diterimanya. Hal ini disebebkan bahwa tenaga kesehatan bukan hanya sekedar
melaksanakan pekerjaan melayani atau memberikan pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan
pekerjaan profesi yang terikat pada suatu kode etik.
Di samping itu, kenyataan menunjukkan bahwa dengan semakin terdidiknya masyarakat umum
dan semakin banyaknya beredar buku-buku pengetahuan populer tentang tentang penyakit dan kesehatan,
maka masyarakat awam juga semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya. Kesenjangan
pengetahuan yang secara klasik telah menyebabkan ketidak seimbangan hubungan antara tenaga
kesehatan dengan pasien saat ini semakin mengecil. Selain itu bahwa pembagian tugas dalam bidang
kedokteran kepada berbagai jenis tenaga kesehatan, paramedik maupun tenaga non medik ( division of
labour ) semakin besar yang menyebabkan berkurangnya wewenang dokter dan makin terbuka terhadap
penilaian dan kritik ( Lumenta, 1989;84 )
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa mengecilnya kesenjangan pengetahuan antara pasien dan
tenaga kesehatan dan semakin terbaginya otonomi profesi dokter kepada pihak lain, akan banyak
berpengaruh dalam penilaian dan pengendalian profesi kesehatan. Dengan demikian baik tenaga
kesehatan maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-undang sehingga
kedudukan hukumnya seimbang dan sederajat. Hal ini dapat ditemukan dalam ketentuan Undang-undang
Nomor 23 tahun 1992 sebagai berikut;
- “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”
(Pasal 2)
- “Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan Derajat
kesehatan perseorangan, keluarga dan lingkungannya” (Pasal 3)
- “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya” (Pasal 53;1 )
- “Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan
menghormati hak pasien” (Pasal 53;2)

4. Tanggung jawab hukum dalam Pelayanan kesehatan


Tanggung jawab hukum yang dimaksud yaitu tanggung jawab dari tenaga kesehatan khususnya
dalam hubungan hukum yang ditimbulkan selama menjalankan profesinya. Didalam pelaksanaan suatu
profesi ditemukan argumentasi yang mengatakan bahwa dengan ditetapkannya suatu tanggung jawab yang
berat maka seorang professional akan menghormati profesinya. Namun demikian harus dijaga jangan
sampai para pengemban profesi takut menjalankan profesinya karena tanggung jawab yang berat itu.
Adapun dasar pertanggungjawaban hukum tenaga kesehatan dapat berupa;

a. Pertanggungjawaban karena kesalahan, yaitu merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban yang


didasarkan atas tiga prinsip ( KUH Perdata Pasal 1365, 1366, 1367 ) yaitu:
- Setiap tindakan yang mengakibatkan kerugian atas diri orang lain, menyebabkan orang yang
melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian
- Seseorang harus bertanggung jawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan
sengaja tetapi juga dengan kelalaian dan kurang hati-hati
- Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang dilakukannya
sendiri, tetapi juga karena tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya.

b. Pertanggungjawaban karena risiko, sebagai kebalikan dari pertanggungjawaban karena kesalahan.


Dalam pertanggungjawaban ini biasanya juga dihubungkan dengan produk tertentu misalnya; obat-obatan,
peralatan kesehatan atau peralatan lainnya.

Didalam memenuhi kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di dalam suatu hubungan hukum,
maka fungsi hukum dalam melindungi kepentingan manusia akan berorientasi pada tanggung jawab,
kewajiban dan risiko. Akan tetapi karena berkembangnya suatu hubungan hukum yang terjadi di dalam
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga terjadi ketimpangan atau ketidakseimbangan antara
tanggung jawab, kewajiban dan risiko. Oleh karena itu berdasarkan asas kebebasan kehendak yang berlaku
dimungkinkan dilakukannya syarat untuk membatasi, mengurangi atau membebaskan tanggung jawab atau
kewajiban tertentu dari salah satu pihak atau membagi beban risiko yang layak

D. Perlindungan hukum dan tanggung jawab Tenaga Kesehatan


Sebagaimana kita ketahui bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di
samping sandang dan pangan. Tanpa hidup yang sehat maka hidup manusia dapat dikatajan tak berarti.
Selain itu orang yang sedang sakit tidak mungkin dapat menyembuhkan penyakit yang diderita sehingga
tidak ada pilihan lain bahwa orang tersebut akan meminta pertolongan dari pihak lain yang dapat
menyembuhkan penyakitnya.
Tenaga kesehatan akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dan objek dari
upaya kesehatan adalah pemeliharaan kesehatan, baik pemeliharaan kesehatan masyarakat maupun
pemeliharaan kesehatan individu. Di dalam kesehatan masyarakat terdapat pula antara lain kesehatan
sekolah, kesehatan Lingkungan dan pemberantasan penyakit menular. Sedangkan yang dimaksud dengan
pemeliharaan kesehatan individu lebih kepada upaya Pelayanan kesehatan individu yang dikenal dengan
Pelayanan medik dan tenaga kesehatannya adalah dokter, paramedik dan sebagainya.
Pada Pelayanan kesehatan individu terdapat hubungan antara pasien dengan tenaga kesehatan
dan sarana kesehatan. Hubungan yang timbul antara pasien, tenaga kesehatan dan sarana kesehatan
diatur oleh kaidah-kaidah tentang kesehatan baik hukum maupun non hukum ( termasuk moral, etika,
kesopanan, kesusilaan dan ketertiban ). Harus diakui bahwa hubungan pasien dengan tenaga kesehatan
adalah hubungan yang unik yang meliputi hubungan medik, hubungan hukum, hubungan non hukum,
hubungan ekonomi dan hubungan sosial. Tidak mungkin hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien
hanya dilihat dari satu segi saja dan seluruh hubungan itu harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Pada tahun 1992 telah diundangkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan
pada tahun 1999 telah diundangkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Sebagian orang berpendapat bahwa pasien dapat digolongkan sebagai konsumen dan tenaga
kesehatan/dokter sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa, sehingga seluruh aturan-aturan yang ada di
dalam UU No. 8/1999 itu berlaku bagi hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien. Sebagian lagi
berpendapat bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen khususnya di dalam bidang ekonomi
harus dibedakan dengan hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, sehingga kaidah-kaidah
hukum yang ada di dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tidak
dapat begitu saja diberlakukan dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien.
Pendapat-pendapat tersebut perlu mendapatkan kajian; apakah hubungan tenaga kesehatan
dengan pasien dapat digolongkan ke dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha di bidang jasa?
Untuk lebih jelasnya maka pada uraian selanjutnya akan ditinjau sekilas tentang kaidah-kaidah hukum yang
tertuang dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan


Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dibentuk untuk menggantikan Undang-
undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok kesehatan yang dianggap telah usang dan tidak dapat
lagi memenuhi kebutuhan akan pengaturan tentang kesehatan pada era dimana kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan telah maju dengan pesatnya terutama pada tahun-tahun tujuh puluh
dan delapan puluhan.
Beberapa kaidah hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang
dapat dijadikan pedoman bagi tenaga kesehatan antara lain:
- Pasal 1 ayat 1; Kesehatan adalah Keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis
- Pasal 1 ayat 2; Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat
- Pasal 1 ayat 3; Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan
- Pasal 1 ayat 4; Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya
kesehatan
- Pasal 53 ayat 1; Tenaga kesehatan berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
- Pasal 53 ayat 2; Tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan
standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik. Sedangkan yang dimaksud dengan menghormati hak pasien adalah hak atas
informasi, hak atas persetujuan, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua (
second opinion )
- Pasal 53 ayat 4; Ketentuan mengenai standar profesi dan hak pasien sebagaimana dimaksud
dalam pasal 53 ayat 2 ditetapkan dalam peraturan pemerintah

2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen


Kaidah-kaidah hukum yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut;
- Bagian menimbang butir d; Bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedualian, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggungjawab
- Bagian menimbang butir e; Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai
- Bagian menimbang butir f ; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan
perangkat peraturan Perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan
kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang kuat
- Pasal 1 ayat 2; Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan
- Pasal 1 ayat 3; Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi
- Pasal 1 ayat 5; Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen

Temu 10
X. HUBUNGAN TENAGA KESEHATAN DENGAN PASIEN

Berdasarkan ciri yang ditemukan dalam profesi maka pekerjaan sebagai dokter maupun tenaga kesehatan lainnya
memiliki cirri khusus, antara lain hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan pada kepercayaan. Freidson dan
Wilson menyatakan bahwa pekerjaan dokter dilakukan di dalam kamar konsultasi yang tertutup atau bahkan di dalam
kamar tidur dan dalam kontak memberikan penyelamatan atau penyembuhan diperlukan keakraban sepenuhnya.
Demikian pula halnya dengan bentuk-bentuk Pelayanan kesehatan lainnya yang senantiasa dilakukan dalam kamar
tertentu dalam suasana penuh keakraban.
Oleh karena itu maka dalam hubungan terapeutik hendaknya pasien senantiasa percaya kepada
kemampuan tenaga kesehatan dimana pasien menyerahkan nasibnya. Pasien akan merasa aman,
tenteram dan beruntung apabila tenaga kesehatan bersungguh-sungguh menolong dirinya
Selanjutnya Dassen mengatakan ada tiga alas an yang mendorong seseorang untuk mencari
pertolongan kesehatan antara lain:
- Merasa ada sesuatu yang membahayakan dirinya
- Mengetahui dirinya dalam keadaan sakit dan membutuhkan pertolongan kesehatan
- Untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan yang intensif
Pada bab ini selanjutnya akan diuraikan tentang; pola hubungan tenaga kesehatan dan pasien,
komunikasi antara tenaga kesehatan dan pasien, informasi dalam hubungan ntara tenaga kesehatan dan
pasien, hak-hak pasien dan hak seseorang untuk mati

A. Pola hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien


Beberapa peneliti antara lain: Russel, Freidson, Darsky, Schwarz, Reeder dan lain-lain
mengatakan bahwa; hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien lebih merupakan hubungan
kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang aktif memiliki wewenang dengan pihak yang pasif dan lemah
serta menjalankan peran ketergantungan. Namun besar kemungkinan dapat dibina suatu hubungan yang
sempurna agar kedua belah pihak dapat berperan dan berinteraksi secara aktif dan saling mempengaruhi
Hasil penelitian oleh Schwarz dan Kart membuktikan bahwa jenis Pelayanan kesehatan atau praktik dokter
juga turut mempengaruhi hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, yaitu perimbangan kekuasaan. Sebagai
contoh: praktik dokter umum kendali ada pada pasien karena praktik tersebut sangat tergantung pada kunjungan pasien
yang berobat, selanjutnya praktik dokter spesialis sangat tergantung pada dokter umum yang akan merujuk pasien
untuk berkonsultasi kepada dokter spesialis tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pasien
dengan dokter umum lebih seimbang dibandingkan hubungan antara dokter spesialis dengan pasien
Kemudian seorang Guru Besar Philipina dalam bidang Legal Medicine dan Medical Jurisprudence; Solis
( 1980 ) mengemukakan pola hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien sebagai berikut:

- Activity-passivity relation: Di mana tidak ada Interaksi antara tenaga kesehatan dengan pasien
karena pasien tidak dapat memberikan kontribusi atau pendapat tentang Keadaan dirinya
- Guidance-Cooperation relation: Meskipun pasien adalah seseorang yang sedang menderita sakit,
namun secara manusiawi mereka memiliki perasaan dan aspirasi untuk menyampaikan
keluhannya
- Mutual-partcipation relation: Pasien berfikir baha secara yuridis mereka memiliki hubungan dan hak
yang seimbang dengan dokter/ tenaga kesehatan

B. Komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien


Pada hakikatnya hubungan antar manusia tidak dapat terjadi tanpa komunikasi, termasuk juga
hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam kontak pelayanan kesehatan. Komunikasi berasal
dari bahasa latin communicare, artinya menjadikan sesuatu milik bersama, sedangkan yang dimaksud
dengan sesuatu di sini adalah; isi atau tujuan suatu pesan, sehingga terjadi saling pengertian antara para
pihak dalam suatu kegiatan. Dari berbagai definisi dan pengertian tentang komunikasi dapat ditarik intinya
yaitu; bahwa komunikasi merupakan kegiatan pengoperan lambing yang mengandung makna. Komunikasi
dimulai sebagai suatu kegiatan pra integrasi.
Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa komunikasi ditujukan untuk memberikan
informasi, tetapi tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan informasi dan membentuk
pengertian, bahkan komunikasi juga disebut sebagai proses mempengaruhi orang lain. Jalaludin (1992)
mengatakan bahwa; komunikasi merupakan penerimaan, pengolahan, penyimpanan informasi dan
menghasilkan informasi kembali.
Hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien merupakan hubungan interpersonal, maka
adanya komunikasi atau yang lebih dikenal dengan wawancara pengobatan itu sangat penting karena
pasien bukanlah mahluk pasif, bukan pula perantara ( host ) yang tidak bertenaga tempat mikro organisme
tumbuh, bukan pula mesin yang salah satu bagiannya gagal berfungsi atau aus tetapi pasien adalah mahluk
aktif dimana dokter maupun tenaga kesehatan lainnya bekerja mengatasi penyakitnya.
Kenyataannya para dokter dan tenaga kesehatan cenderung menyembunyikan informasi tentang
penyakit dan pengobatan pasien terutama jika hasil diagnosa menunjukkan penyakit yang diderita pasien
membahayakan dirinya. Dalam hal ini timbul keraguan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan komunikasi
interpersonal dengan pasien dan hal ini menunjukkan bahwa dalam komunikasi tersebut lebih didominasi
oleh tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan pasien.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien sudah
seharusnya didasarkan atas sikap saling percaya baik selama proses pemeriksaan dan perawatan maupun
selama peruses penyembuhan pasien, guna menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik. Akan tetapi
kenyataan menunjukkan bahwa penyembunyian informasi merupakan suatu hal yang umum dilakukan
dalam dunia kesehatan dan selalu dikaitkan dengan ketidak pastian efek pengobatan dan ketidak
berdayaan pasien

C. Informasi dalam hubungan antara tenaga kesehatan dan pasien.


Informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang dapat membentuk pendapatnya
berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Perbedaannya dengan komunikasi adalah; bahwa informasi lebih
bersifat rasional sedangkan komunikasi menuntut terlibatnya manusia secara emosi. Informasi perlu
mengandung unsur logika sedangkan komunikasi berpangkal pada persepsi. Oleh karena itu informasi akan
lebih efektif jika dijauhkan dari emosi sedangkan komunikasi yang efektif justru harus disesuaikan dengan
sistem nilai, harapan dan persepsi komunikan. Namun hubungan informasi dan komunikasi adalah; bahwa
informasi akan ditentukan oleh seberapa jauh efektifnya komunikasi terdahulu.
Masalah penyampaian informasi oleh tenaga kesehatan kepada pasien sangat mempengaruhi
kualitas Pelayanan kesehatan dan juga pelaksanaan pengobatan, terutama tampak dari pihak pasien.
Informasi memberi peluang pada penerima untuk memilih tindakan di antara berbagai alternatif. Pada sisi
lain bahwa kemampuan pasien untuk memberikan informasi tentang riwayat penyakit sangat tergantung
pada pengertiannya mengenai penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Salah satu persoalan yang
dihadapi oleh pasien baru adalah ketidakjelasan tentang riwayat penyakit dan pengobatan yang pernah
dilakukan sebelumnya. Hal ini akan mengurangi kecermatan dalam mengumpulkan riwayat penyakit,
padahal jika informasi diberikan pada pasien secara cermat dan konsisten dan pasien memberikan
informasi tentang riwayat penyakitnya secara efektif dan jelas maka hal ini akan mengurangi kekeliruan
yang terjadi dalam praktik klinis.
Jika dilihat dari segi pertimbangan klinis, hambatan dalam pemberian atau penyampaian informasi
tidak akan dapat diperbaiki dengan perubahan organisasi pelayanan kesehatan, akan tetapi penyampaian
informasi tentang penyakit dapat mempengaruhi perawatan pasien antara lain
- Dengan memahami riwayat Penyakit
- Dengan mengumpulkan catatan mengenai gangguan kesehatan yang pernah dialami
- Dengan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap petugas kesehatan
- Dengan meningkatkan kepuasan pasien
- Dengan memperbaiki respon fisiologis dan psikologis pasien terhadap upaya pengobatan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa menemukan riwayat penyakit pasien secara
efektif merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam Pelayanan kesehatan dan informasi yang
disampaikan kepada pasien berkaitan dengan catatan mengenai gangguan kesehatan yang pernah dialami
oleh pasien. Selain itu bahwa keberhasilan pengobatan biasanya tergantung pada kepatuhan pasien
terhadap instruksi yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan semakin sedikit informasi yang diberikan maka
kepatuhan pasien terhadap instruksi semakin kecil pula. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa keputusan
para ibu untuk mematuhi instruksi dokter untuk anaknya bergantung pada kepuasan para ibu tersebut
terhadap informasi yang diperoleh dari dokter tentang penyakit anaknya. Ketidakpuasan orang tua akan
timbul jika penyebab dan Keadaan penyakit anaknya tidak diketahuinya.

D. Hak Paien
Dalam hal mendapatkan Pelayanan kesehatan pasien mempunyai hak untuk memperoleh
informasi tentang penyakitnya, hak untuk dirahasiakan penyakitnya dan hak untuk mendapatkan pendapat
kedua. Pengaturan tentang hak dan kewajiban yang timbal balik antara penerima jasa kesehatan dan
pemberi jasa kesehatan haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga kepentingan kedua belah pihak tidak
berbenturan. Seperti diketahui pasien selalu berada pada posisi yang lemah, sehingga akibat dari
ketidakpuasan salah satu pihak akan selalu mengakibatkan kerugian yang lebih besar bagi pasien

1. Hak atas Informasi


Hak atas informasi ini terproses secara evolusi sejalan dengan perkembangan dari hak asasi
manusia. Inti dari hak atas informasi adalah hak pasien untuk mendapatkan informasi dari dokter maupun
tenaga kesehatan lainnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan kesehatannya. Mengenai isi informasi
yang harus diberikan baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya mencakup keuntungan dan kerugian
dari tindakan kesehatan yang akan dilakukan baik diagnostik maupun terapeutik ( UU No. 23 tahun 1992 ).
Diharapkan dalam Peraturan Pelaksanaan Undang-undang tersebut akan dirinci tentang isi minimal
informasi yang harus disampaikan oleh dokter atau tenaga kesehatan kepada pasien mencakup hal-hal;
- Diagnosa
- Resiko tindakan medik
- Alternatip terapi termasuk keuntungan dan kerugiannya
- Prognosa

- Cara kerja atau proses tindakan medik


- Kemungkinan adanya rasa nyeri setelah tindakan
- Semua resiko yang mungkin terjadi

2. Hak atas persetujuan


Adalah hak pasien untuk menolak atau menerima tindakan medik yang ditawarkan kepadanya
setelah diberikan informasi. Persetujuan dan informasi ini kemudian dikembangkan di mana pasien harus
menerima informasi terlebih dahulu sebelum memberikan persetujuannya. Hal ini dikenal dengan informed
consent yang telah memiliki kekuatan hukum yaitu Pasal 2 (1) Permenkes Nomor 585 tahun 1989 yang
berbunyi; “Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan”.
Kemudian ditetapkan pula bahwa bentuk persetujuan ini boleh tertulis dan lisan. Persetujuan
tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi, ditanda tangani oleh pihak
yang memberikan persetujuan dan yang berhak memberikan persetujuan di sini adalah pasien itu sendiri,
kecuali pasien di bawah umur, tidak sadar atau tidak cakap melaksanakan perbuatan hukum maka
persetujuan dapat diberikan oleh penanggung jawabnya.
Dalam melaksanakan informed consent berarti dokter/tenaga kesehatan yang bersangkutan telah
melaksanakan kewajibannya memberikan informasi dan mendapatkan persetujuan. Masalah lain yang
sering timbul adalah bahwa pasien ( yang cakap ) atau keluarga tidak mau memberikan persetujuan dan
pada Keadaan ini maka Rumah sakit / tenaga kesehatan dihadapkan pada dilema atas peraturan yang
dibuatnya sendiri

3. Hak atas rahasia kedokteran.


Kerangka pemikiran tentang rahasia kedokteran timbul pertama-tama dari kewajiban professional
untuk merahasiakan keterangan yang diperoleh dalam melaksanakan profesi. Ketarnagan yang didapat
oleh para professional dalam melakukan profesi dikenal dengan nama rahasia jabatan. Keterangan yang
diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya dikenal dengan nama rahasia kedokteran. Dokter
berkewajiban untuk merahasiakan keterangan tentang pasien, penyakit pasien. Kewajiban dokter ini
merupakan hak pasien. Para professional mendapatkan perlindungan hukum dalam hal ia menolak untuk
membuka rahasia kedokteran bahkan dalam proses pengadilan seorang dokter mempunyai hak untuk
menolak membuka rahasia kedokteran ( verschoningsrecht van de arts ). Dokter harus meminta penetapan
dari hakim agar dibebaskan untuk menjadi saksi dalam sidang pengadilan, tetapi kata akhir ada pada
hakim. Hakim yang menentukan apakah permintaan dokter dapat dikabulkan atau tidak.
Hak atas rahasia kedokteran adalah hak individu dari pasien di mana hak individu ini
dikesampingkan dalam hal hak masyarakat menuntut. Contoh; penyakit pasien akan membahayakan
masyarakat oleh karena mengidap penyakit menular, maka dokter meskipun pasien tersebut menolak untuk
dibuka rahasia kedokterannya, mempunyai kewajiban untuk membuka rahasia tersebut kepada pihak yang
berwenang. Contoh lain dari kepentingan umum dapat mengesampingkan kepentingan individu adalah
bahwa dokter juga tidak berhak untuk membuka rahasia pasien kepada dokter lain yang adalah teman dari
pasien tersebut.

4. Hak atas pendapat kedua ( second opinion )


Yang dimaksud dengan pendapat kedua adalah adanya kerja-sama antara dokter pertama dengan dokter
kedua. Dokter pertama akan memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua. Kerjasama ini bukan atas
inisiatip dokter pertama tetapi atas inisiatip pasien. Bila inisiatip datang dari dokter maka terjadi apa yang disebut
dengan istilah “rujuk”, di mana pasien dirujuk kepada ke dokter yang lebih ahli. Dalam hak atas pendapat yang kedua,
dokter kedua akan mempelajari hasil kerja dokter pertama dan apabila ia melihat perbedaan pendapat maka ia akan
menghubungi dokter pertama, membicarakan tentang perbedaan diagnosa yang dibuat keduanya.
Seringkali dalam praktik klinis dokter merasa tersinggung dalam hal pasien menginginkan
pendapat dokter lain tentang penyakitnya. Dokter menganggap sebagai pelecehan terhadap
kemampuannya dan dokter merasa pasien meragukan atas hasil pekerjaannya. Dalam hal ini diperlukan
jiwa yang besar untuk dapat menerima permintaan pasien untuk mendapatkan pendapat dari dokter lain.
Kenyataan menjadi bukti kadang-kadang terdapat perbedaan pendapat dari dokter pertama dan
dokter kedua. Dapat saja seorang pasien secara diam-diam pergi sendiri ke dokter kedua tanpa
sepengetahuan dokter pertama. Tetapi hambatan yang akan ia dapat adalah pengulangan pemeriksaan
pertama yang bukan saja membuang uang tetapi juga membuang waktu. Selain itu selama tidak ada
kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua, upaya pasien tidak ada gunanya, di mana dalam hal
perbedaan pendapat antara dokter pertama dan dokter kedua, pasien menjadi lebih bingung.
Dengan dilembagakannya hak atas pendapat kedua ini sebagai hak pasien maka keuntungan yang
didapat oleh pasien sangat besar. Pertama pasien tidak perlu mengulangi pemeriksaan rutin lagi. Kedua,
dokter yang pertama dapat berkomunikasi dengan dokter yang kedua, sehingga dengan keterbukaan dari
para pakar yang setingkat kemampuannya akan dapat menghasilkan pendapat yang lebih baik. Tetapi
permasalahan ini akan menjadi masalah apabila pasien mempergunakan hak ini semena-mena, misalnya
apabila setiap pasien selalu menggunakan hak atas pendapat kedua ini, maka dunia kedokteran akan
semakin rancu. Sehingga dengan demikian maka pengaturan tentang hak atas pendapat kedua ini
memerlukan pengaturan yang cukup bijaksana agar tidak merugikan para pihak.

5. Hak untuk melihat Rekam Medik


Telah menjadi kewajiban dari setiap tenaga kesehatan yang bekerja pada sarana Pelayanan
kesehatan untuk membuat catatan tentang pasien yang lazim dikenal dengan “Status Pasien” dan status
pasien ini dikenal oleh masyarakat sebagai rekam medik ( medical record ).
Sejak diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan tentang Rekam Medik Nomor 749a tahun
1989 ( Permeknes No. 749a/89 ) maka menjadi kewajiban dari dokter/Rumahsakit untuk membuat rekam
medik.
Rekam Medik adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan Pelayanan lain kepada pasien pada sarana Pelayanan kesehatan
( Permenkes Nomor 749a/1989 pasal 1 butir a )
Setiap sarana Pelayanan kesehatan yang melakukan Pelayanan rawat jalan, maupun rawat inap
wajib membuat rekam medik ( Permenkes Nomor 749a/1989 pasal 2 )
Pada pasal 10 Permenkes Nomor 749a/1989 tentang kepemilikan dari rekam medik adalah: bahwa
berkas rekam medik milik sarana pelayanan kesehatan sedangkan isi rekam medik adalah milik pasien. Hal
ini seringkali menimbulkan permasalahan tentang kepemilikan dari rekam medik ini. Bila berkas rekam
medik milik sarana Pelayanan kesehatan dan isi dari rekam medik adalah milik pasien, maka pertanyaannya
adalah: berhakkah pasien untuk melihat rekam medik tersebut ? atau berhakkah pasien mendapatkan kopi
dari rekam medik tersebut yang isinya milik dia? Hal ini tidak diatur dalam Permenkes nomor 749a tahun
1989. Pendapat dari para pakar Hukum Kesehatan: adalah hak pasien untuk melihat rekam medik
termasuk untuk mendapatkan kopi dari rekam medik yang isinya adalah milik pasien ( inzage recht ).
Pertanyaan selanjutnya yang juga merupakan masalah adalah tentang tulisan yang mana saja
yang dapat dilihat oleh pasien? Apakah semua tulisan dokter yang tertulis di dalam rekam medik boleh
dilihat oleh pasien? Terdapat pendapat bahwa dokter tidak perlu memperlihatkan kepada pasien catatan
yang berisi pendapat pribadi. Seringkali dokter menulis pendapat pribadinya di sisi kertas. Pendapat pribadi
ini dikenal sebagai “persoonlijke aantekeningan”. Disarankan pula agar dokter menulis pendapat pribadinya
dalam kertas yang lain khusus untuk keperluan tersebut. Dalam hal dokter harus memenuhi hak pasien
untuk melihat rekam medik, adalah hak dokter untuk tidak memperlihatkan tulisan yang berisi pendapat
pribadinya kepada pasien.
Kadangkala pihak dokter / rumah sakit sering berasumsi bahwa dalam hal pasien ingin melihat
rekam medik adalah bertujuan untuk menggugat dokter / rumah sakit di mana rekam medik tersebut akan
dipergunakan sebagai alat bukti. Sebetulnya pihak dokter / rumah sakit tidak perlu takut untuk
memperlihatkan rekam medik kepada pasien dan dengan keterbukaan akan dapat menghindari salah
paham. Masalah lain adalah apabila pasien mempergunakan hak ini semena-mena, bila setiap pasien
selalu ingin melihat rekammedik oleh karena hal tersebut merupakan haknya, maka dimana privacy dari
dokter? Lagipula betapa repotnya dokter / rumah sakit melayani setiap permintaan pasien untuk melihat
rekam medik. Hendaknya diatur juga tentang pembatasan dari penggunaan hak ini agar para pihak dengan
jelas mengetahui tentang hak dan kewajibannya.

XI. PERSETUJUAN ATAS DASAR INFORMASI


( INFORMED CONSENT )

A. Latar belakang
Hak perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang menyentuhnya telah lama dikenal di
dalam hukum ingrris ( Common Law ), terutama atas bahaya yang disengaja atau serangan dari orang lain
yang menyentuhnya tanpa hak, contoh: kejahatan atau perbuatan melawan hukum dengan menggunakan
kekerasan atau paksaan terhadap orang lain. Persetujuan dalam pelayanan medis pertama timbul di Inggris
dalam abad XVIII, yaitu pada pembedahan atau operasi yang dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain.
Dalam kasus tersebut pengadilan memutuskan ahli bedah bertanggung jawab atas bahaya yang disengaja
atas serangan dari orang lain yang menyentuh tanpa hak ( battery ). Dengan demikian jika tidak terdapat
persetujuan untuk suatu prosedur medis, pengadilan modern masih memutuskan dokter bertanggungjawab
untuk battery.
Dengan demikian berarti persetujuan itu sendiri melindungi pemberi Pelayanan medis dari
tanggung jawab battery, sedangkan persetujuan tindakan medis diperlukan untuk melindungi pemberi
Pelayanan medis dari tanggungjawab atas kelalaian atau kealpaan.

1. Syarat Informed consent


Pada prinsipnya hak individu untuk mencegah intervensi tidak sah dan melawan hukum atas
integritas fisiknya dilindungi secara tegas oleh pengadilan. Setiap manusia dewasa dan berpikiran sehat
mempunyai hak untuk menentukan hal yang dapat dilakukan terhadap tubuhnya. Informed consent
dilandasi oleh prinsip etik dan moral serta otonomi pasien di mana prinsip ini mengandung dua hal penting
yaitu:
- Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas hal yang dipilihnya
berdasarkan pemahaman yang memadai
- Bahwa keputusan harus dibuat dalam Keadaan yang memungkinkannya membuat pilihan tanpa
adanya campur tangan atau paksaan dari pihak lain.

Oleh karena individu itu otonom maka diperlukan informasi untuk mengadakan pertimbangan agar
dapat bertindak sesuai dengan pertimbangannya tersebut dan prinsip inilah yang oleh para ahli etik disebut
sebagai doktrin informed consent. Untuk menjadi doktrin hukum maka informed consent harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
- Bahwa kewajiban dari dokter/terapis untuk menjelaskan informed consent kepada pasien/klien
- Adanya kewajiban dari dokter/terapis untuk mendapatkan izin atau persetujuan dari pasien/klien
sebelum melaksanakan tindakan

Selanjutnya dikemukakan oleh King bahwa secara analitis masalah persetujuan pasien/klien
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
- Yang didasarkan pada cara seseorang menyatakan persetujuannya dan keabsahannya ( validitas )
serta ruang lingkupnya dan hal inilah yang disebut sebagai permasalahan consent yang tradisional.
- Yang didasarkan pada kualitas persetujuan, yaitu didasarkan pada informasi atau tidak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap informed consent dalam
perawatan atau pengobatan dan penelitian kesehatan dapat ditinjau baik dari sudut kepentingan
pasien/klien maupun kewajiban dokter/terapis.

2. Bentuk informed consent


Informed consent dapat dilakukan secara tegas atau diam-diam. Secara tegas dapat disampaikan
dengan kata-kata langsung ( lisan ) ataupun tertulis. Informed consent yang dilakukan secara tertulis
adalah bentuk yang paling tidak diragukan, namun demikian apabila dilakukan secara lisan juga dianggap
sah, kecuali ada syarat khusus tertentu yang menurut informed consent tertulis untuk prosedur tertentu.
Di Indonesia terdapat ketentuan mengenai informed consent yang digunakan sebagai pedoman
dalam Pelayanan medis, yaitu: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor: 585/MEN.KES/PER/IX/1989
tentang persetujuan tindakan medik(medis). Apabila dilihat dari bunyi pasal 1 Sub (a) yang menyatakan
bahwa dalam peraturan ini yang dimaksud dengan persetujuan tindakan medik adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peraturan ini membatasi diri dalam
pengaturan informed consent ditinjau dari kepentingan pasien/klien. Akan tetapi menurut pandangan hukum
informed consent ditinjau baik dari sudut pasien/klien maupun dokter/terapis atau dari sudut dokter/tenaga
kesehatan dan subjek penelitian dalam hal dilakukannya penelitian kesehatan.

Bentuk informed consent dapat dikategorikan sebagai berikut:


- Dengan pernyataan ( expression ) yaitu secara lisan( oral ) atau secara tertulis ( written )
- Dianggap diberikan, tersirat ( implied or tacit consent ) yaitu dalam keadaan normal/biasa atau
dalam keadaan gawat darurat

Sehubungan dengan cara pernyataan kehendak menurut hukum, maka adanya informed consent
dari pasien/klien dapat dilakukan dengan:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Bahasa yang sempurna secara lisan
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan
e. Diam atau membisu tetapi dapat dipahami atau diterima oleh pihak lawan

B. Teori tentang Informed consent


Informed consent tidak boleh dihubungkan atau dijabarkan dari upaya dan pemikiran untuk
menghindarkan atau membebaskan diri dari tanggungjawab risiko dan atau semata-mata untuk dapat
dilakukannya suatu tindakan secara sah, melainkan dicari landasan filosofis yang terlepas dari upaya dan
pemikiran untuk mencapai tujuan tersebut.
Ada tiga teori tentang informed consent berikut pandangan yang mendasarinya, yaitu:

1. Teori manfaat untuk pasien ( Het nut voor de patient als theorie over informed consent ).
Di dalam Kode etik Medis disebutkan bahwa dengan dalil apapun seorang dokter tidak dibenarkan
melakukan susuatu yang dapat melemahkan daya tahan tubuh dan jiwa manusia kecuali untuk maksud terapeutik atau
pertimbangan pencegahan semata-mata yang diperlukan demi kepentingan pasien. Dengan kata lain setiap tindakan
dokter termasuk penyelenggaraan eksperimen yang dilakukan tidak demi kepentingan pasien harus dilarang. Di dalam
Kode Etik Fisioterapi tentang hak pasien/klien tertulis bahwa pasien/klien berhak atas pemanfaatan sumber daya yang
tersedia untuk yang terbaik dalam pemeliharaan kesehatannya.
Pandangan menganai hal yang baik dan bermanfaat bagi seorang pasien/klien tertentu tidak sama
antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya dan hal ini bergantung pada situasi dan kondisi pribadi
serta nilai yang dianut oleh pasien yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut pada hakikatnya
pemberian infomrmasi kepada pasien harus dilakukan sedemikian rupa sehingga pasien dapat berperan
serta dalam proses pembentukan dan pengambilan keputusan bahkan secara aktif pasien menguasainya
agar semaksimal mungkin keputusan tersebut dapat diperoleh manfaatnya.
Terhadap teori ini timbul keraguan, karena dalam teori ini digunakan asas manfaat bagi pasien
yang berarti tertutup kemungkinan dilakukannya eksperimen non terapeutik.

2. Teori manfaat bagi pergaulan hidup ( Het nut voor de samenleving als theorie over informed consent )
Teori ini dititikberatkan pada pandangan utilitis yaitu bahwa kemanfaatan yang terbesar bagi
jumlah yang terbesar.
Pada teori ini penyelenggaraan eksperimen diperkenankan apabila didasarkan pertimbangan tertentu lebih banyak
manfaatnya daripada menghasilkan yang tidak baik dan apabila bersamaan dengan itu eksperimen ini secara
keseluruhan lebih banyak menghasilkan manfaat dibandingkan dengan kemungkinan yang dihasilkan dengan
penerapan metode lain.
Pandangan para penganut teori ini terhadap pengertian manfaat tidak semata-mata dibatasi oleh
pertimbangan ekonomis, namun nilai estetika, kebudayaan, keagamaan dan psikologis harus
dipertimbangkan pula. Perampasan kebebasan sejumlah kecil subjek eksperimen ( naracoba ) tidak begitu
saja dapat dihalalkan berdasarkan pandangan manfaat sebesar-besarnya bagi sejumlah orang lain, dengan
asumsi bahwa perampasan kebebasan seseorang dikategorikan sebagai kejahatan besar.
Apabila mutlak diperlukan untuk membenarkan eksperimen non terapeutik, maka tidak dapat disangkal bahwa terdapat
unsur tertentu pada asas manfaat bagi pergaulan hidup dalam membenarkan eksperimen itu. Hal ini berarti bahwa
sepanjang eksperimen medis dilakukan bersama dengan pengobatan dan perawatan atau mempunyai tujuan terapeutik,
maka manfaat bagi pergaulan hidup di sini bukan hal yang harus diutamakan.

3. Teori menentukan nasib sendiri ( De zelfbeschikkings theorie over informed consent )


Menurut teori ini penentuan memaksimalisasi keuntungan bagi pergaulan hidup telah menjurus ke arah
pelecehan terhadap hak asasi yang tidak dapat diterima. Menahan informasi atau kebenaran dengan alasan bahwa
informasi tersebut akan menghambat proses pengobatan atau perawatan atau dikhawatirkan pasien akan menolak
perawatan setelah diberikan informasi bukanlah merupakan hal yang mendasar, oleh karena menolak pengobatan atau
perawatan adalah hak pasien untuk dapat dilakukan atau tidak.
Dalam informed consent yang penting adalah komunikasi atau dialog antara dokter/terapis dengan
pasien harus berjalan dalam kejujuran, hal ini seringkali terjadi dalam praktik di mana seorang dokter/terapis
dalam memberikan informasi harus membentuk atau merumuskan pendapatnya terlebih dahulu. Namun
apabila pemahaman pasien terhadap informasi yang diberikan masih diragukan, maka pasien harus
dianggap belum cukup diberi informasi sehingga dalam Keadaan demikian pemberian informasi harus tetap
dilanjutkan.
Pada hakikatnya penentuan nasib sendiri secara murni tidak ada, terlebih lagi di Indonesia karena
orientasi Pancasila secara khas mewarnai kehidupan bangsa Indonesia termasuk dalam hubungan yang
timbul dalam pelaksanaan profesi dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Orientasi Pancasila telah
dirumuskan dalam asas yang secara normative digunakan dalam pergaulan hidup manusia antara lain asas
kekeluargaan. Asas ini merupakan konsekuensi logis dan keberadaan dari kemanusiaan Pancasila yang
tidak mempertentang kan antara individualitas dan sosialitas. Hubungan antara individu/-manusia tidak
hanya ditentukan oleh rasa keadilan, tetapi juga ditentukan oleh keterikatan batin dalam kesatuan keluarga.
Manusia tidak hanya harus diperlakukan atas kriteria hak melainkan juga atas pengertian atau sikap
memahami orang lain.
Pada prinsipnya persyaratan memperoleh informed consent dalam Pelayanan kesehatan tidak
dibedakan dengan informed consent yang diperlukan dalam suatu eksperimen. Hanya saja dalam
eksperimen suatu penelitian baik yang bersifat terapeutik maupun non terapeutik yang menggunakan
pasien sebagai subjek penelitian ( naracoba ) maka informed consent harus lebih dipertajam, sebab
menyangkut perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, pencegahan terjadinya paksaan dan
mencegah kesesatan serta penyalahgunaan Keadaan. Oleh karena pada dasarnya informed consent
mempunyai landasan etik dan hukum, maka tanggungjawab mengenai pelaksanaannya juga dapat dilihat
dari segi etik dan hukum. Ketentuan tentang informed consent sehubungan dengan Pelayanan kesehatan
didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/MEN.KES/PER/1989, yang pelaksanaannya
menjadi tanggungjawab dokter/terapis dan apabila dilaksanakan di Rumahsakit atau klinik, maka
Rumahsakit dan klinik yang bersangkutan ikut bertanggung jawab

C. Informed consent dalam transaksi terapeutik


Pada transaksi terapeutik, informed consent dapat diuraikan dalam: (1) Informed consent dan
Pelayanan kesehatan, (2). Terjadi, Sah dan akibat transaksi terapeutik, (3). Tujuan dan Manfaat pemberian
informasi dalam transaksi terapeutik, (4). Informed consent secara tertulis dalam hubungannya dengan
kewajiban atau tanggungjawab atas tindakan/akibat tindakan medik.

1. Informed consent dan Pelayanan kesehatan


Pelayanan kesehatan merupakan bagian pokok dari kegiatan upaya kesehatan yang menyangkut
sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaraannya yang harus tetap dilaksanakan sesuai
dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Pelayanan kesehatan yang diberikan secara professional
dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang secara langsung mempengaruhi perkembangan ilmu
dan teknologi bidang kesehatan. Padahal sebenarnya sifat hubungan pelayanan kesehatan merupakan
factor utama yang menentukan hasil komunikasi antara dokter/terapis dengan pasien/klien antara lain
terjalinnya kerjasama yang baik, pentaatan terhadap aturan pengobatan/perawatan dan upaya pencapaian
tujuan Pelayanan kesehatan.
Dampak dari pengaruh teknologi dalam Pelayanan kesehatan professional antara lain:
a. Segala permasalahan ingin diselesaikan secepatnya dan hal yang terpenting adalah suatu hasil
yang sedapat mungkin dapat diukur
b. Lebih mengutamakan factor perencanaan dan pelaksanaannya atau lebih diperhatikan bagaimana
sesuatu itu dapat bekerja dari pada mengapa sesuatu itu harus dikerjakan
c. Mementingkan sarana daripada tujuan Pelayanan
d. Lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas Pelayanan
e. Meningkatkan efisiensi demi perolehan keuntungan yang lebih tinggi
f. Berpandangan bahwa produktivitas hanya dapat ditingkatkan dengan penekanan pada efisiensi
dan kuantitas

Adapun pengaruh perkembangan teknologi terhadap pelayanan kesehatan professional yang


dapat dirasakan oleh masyarakat antara lain semakin singkatnya waktu pertemuan langsung antara
dokter/terapis dengan pasien/klien dalam hubungan Pelayanan kesehatan. Dari tahap awal pertemuan
sampai pelaksanaan tindakan cenderung menggunakan sarana atau yang tersedia dan dokter/terapis
merasa tidak perlu untuk bertanya langsung baik kepada pasien atau keluarganya guna memperoleh
informasi tentang Keadaan pasien, karena ada cara lain yang dapat digunakan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan, maka Pelayanan kesehatan yang
terorganisir dalam Rumahsakit dan sarana Pelayanan kesehatan lainnya semakin berkembang pula dalam
berbagai cabang spesialisasi yang juga melibatkan seluruh profesi dalam bidang kesehatan antara lain:
dokter, doktergigi, apoteker/farmasi, perawat, bidan, fisioterapis, penilik kesehatan dan tenaga kesehatan
lainnya yang menjalankan kewajibannya sesuai dengan tanggungjawabnya masing-masing. Oleh karena
itu dalam Pelayanan kesehatan timbul berbagai hubungan hukum yang perlu diatur menurut peraturan
hukum yang berlaku, apalagi hubungan interpersonal dalam Pelayanan kesehatan yang bersifat pemberian
bantuan didasarkan kepercayaan, maka semakin dirasakan sebagai hubungan Pelayanan jasa semata-
mata.
Selain itu dengan semakin meningkatnya kesadaran dari masyarakat terhadap tanggungjawab
atas kesehatannya, meningkat pula kesadarannya untuk menuntut suatu hubungan yang seimbang dan
tidak lagi pasrah sepenuhnya kepada dokter/tenaga kesehatan. Pasien memerlukan pertolongan dokter
karena mengetahui dirinya mengalami gangguan kesehatan yang tidak dapat diatasinya sendiri, akan tetapi
para dokter dalam banyak hal terikat di dalam suatu system Pelayanan kesehatan yang merupakan bagian
dari kehidupan bersama, sehingga dokter sebagai pemberi pertolongan tidak lagi berfungsi sebagaimana
mestinya. Oleh karena itu pasien terpaksa menuntut haknya dari pemberi pertolongan.

a. Asas hukum dalam Pelayanan kesehatan


Asas yang memberikan arah dalam pembangunan kesehatan dirumuskan dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 pasal 2, yaitu:
- Asas Perikemanusiaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
- Asas usaha bersama dan kekeluargaan
- Asas adil dan merata
- Asas perikehidupan dalam keseimbangan
- Asas kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.
Dengan didasarkan pada asas tersebut di atas maka pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud Derajat
kesehatan yang optimal. Oleh karena itu guna mewujudkan Derajat kesehatan masyarakat yang optimal
maka diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan, peningkatan
kesehatan ( Promotif ), pencegahan penyakit ( preventif ), penyembuhan penyakit ( kuratif ) dan pemulihan
kesehatan ( rehabilitatif ) yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Di dalam
penyelenggaraannya, upaya kesehatan dilakukan secara serasi dan seimbang oleh pemerintah dan
masyarakat. Hal tersebutlah yang mendasari bahwa pemerintah perlu mengatur, membina dan mengawasi
baik upayanya maupun sumber dayanya agar penyelenggaraannya dapat berhasilguna dan berdayaguna.
Oleh karena transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan
pasien, maka berlaku beberapa asas hukum yang mendasari atau terkandung dalam peraturan Perundang-
undangan yang berlaku sebagai berikut:
1). Asas Legalitas
Pelayanan kesehatan hanya dapat terselenggara apabila tenaga kesehatan yang melakukan
upaya kesehatan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang perizinan praktik penyelenggaraan
upaya kesehatan selain mengatur tentang pemerataan Pelayanan dan peningkatan mutu Pelayanan
kesehatan juga mengatur tentang kebijaksanaan Pemerintah dalam mengantisipasi usaha penanaman
modal asing dan swasta dalam rangka penyelenggaraan upaya kesehatan yang cenderung berorientasi
bisnis ( komersial ) semata-mata.
Asas ini memberikan kepastian dan perlindungan bagi terlaksananya otonomi professional tenaga
kesehatan dalam memberikan Pelayanan kesehatan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 53 ayat
(1) menyatakan: bahwa bagi tenaga kesehatan ( termasuk fisioterapis ) yang melaksanakan tugasnya
sesuai dengan profesinya berhak memperoleh perlindungan hukum. Otonomi professional yang dimaksud
adalah suatu bentuk kebebasan bertindak selaku professional di bidang kesehatan, yaitu untuk mengambil
keputusan sesuai dengan rencana upaya yang ditentukannya sendiri didasarkan pada keahlian,
keterampilan dan ketelitian yang dimiliki guna memberikan bantuan kepada pasien/ klien yang
membutuhkannya.
Pengertian otonomi ini mengandung dua unsur, yaitu:
- Pertama: Kemampuan untuk mengambil keputusan tentang suatu rencana bertindak
- Kedua: Kemampuan untuk mewujudkan rencana itu menjadi kenyataan

2). Asas keseimbangan


Asas ini sangat diperlukan dalam Pelayanan kesehatan, oleh karena hukum selain memberikan
kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia juga memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu Keadaan semula ( restitutio in entegrum ). Di dalam Undang-undang Nomor 23
tahun 1992 Pasal 2 (e) telah terkandung asas ini yaitu asas perikehidupan dalam keseimbangan.
Menurut asas ini penyelenggaraan upaya kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang
antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam
Pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan
hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan sebagai dampak dari upaya kesehatan yang dilakukan.

3). Asas tepat waktu


Suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan upaya kesehatan harus segera dilakukan demi
kepentingan pasien dan tidak dapat ditunda semata-mata hanya demi kepentingan tenaga kesehatan yang
memberikan Pelayanan. Asas ini sangat diperlukan oleh karena akibat kelalaian memberikan pertolongan
tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Sehubungan dengan hal
tersebut, dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 ditegaskan bahwa setiap orang berhak
atas ganti kerugian akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

4). Asas itikad baik


Asas Itikad baik ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik ( beneficence ) di mana menurut prinsip ini
setiap orang berkewajiban membantu atau menolong orang lain dalam memajukan kepantingannya sepanjang tidak
menimbulkan risiko bagi dirinya sendiri. Kewajiban berbuat baik ini tidak tanpa batas, karena tidak boleh dilakukan
sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri. Proses yang dapat digunakan untuk mengevaluasi risiko dan kerugian
agar dapat dipastikan sejauh mana suatu kewajiban menolong orang lain dapat dilakukan terdiri dari empat langkah,
yaitu:
- Pertama: Orang yang harus diberi bantuan mengalami bahaya besar atau risiko kehilangan sesuatu yang
penting
- Kedua: Adanya kesanggupan untuk membantu secara langsung dalam mencegah terjadinya kerugian atau
kehilangan sesuatu yang penting pada orang yang dibantu
- Ketiga: Perbuatan yang dilakukan dapat mencegah terjadinya kerugian atau kehilangan itu
- Keempat: Manfaat yang diterima oleh orang yang dibantu lebih besar daripada kerugian yang dialami dan
menimbulkan risiko yang minimal pada diri orang yang membantu

Itikad baik berarti berbuat berdasarkan pengertian yang baik, jujur dan lurus. Pandangan lain
mengatakan bahwa itikad baik dapat dianalogikan dengan kelayakan ( redelijkheid ) dan kepatuhan (
billijkheid ). Kelayakan diartikan yang dapat dimengerti dengan intelek, akal sehat dan budi. Sedangkan
kepatuhan diartikan yang dapat dirasakan sebagai sopan, patut dan adil. Di dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata disebutkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Maksud dari pasal
tersebut di atas adalah: bahwa pentaatan kewajiban yang timbul dalam suatu perjanjian ditentukan oleh
kelayakan dan kepatuhan menurut norma objektif yang berlaku di dalam masyarakat, yaitu norma
berdasarkan penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dihubungkan dengan Pelayanan kesehatan, oleh karena tenaga kesehatan memiliki keahlian dan
keterampilan sebagai pengemban profesi di bidang kesehatan yang tidak dimiliki oleh pasien/klien, maka
pasien memberikan kepercayaan kepada tenaga kesehatan untuk menolong dirinya. Dalam hal ini
didasarkan atas itikad baiknya maka tenaga kesehatan berkewajiban memberikan pertolongan professional
yang bermutu dan bermartabat didasarkan kesungguhan niat dan tanggungjawabnya.

5). Asas kejujuran


Didasarkan pada asas kejujuran ini maka tenaga kesehatan berkewajiban untuk memberikan
pertolongan sesuai dengan yang dibutuhkan oleh pasien/klien yaitu sesuai dengan standar profesinya
sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992. Pada
umumnya kejujuran seseorang mengakibatkan perilakunya dapat diduga sehingga mendorong orang lain
untuk percaya. Oleh karena itu kejujuran disebut sebagai salah satu factor yang dapat menumbuhkan sikap
percaya, sehingga kejujuran merupakan salah satu asas yang penting peranannya dalam suatu hubungan
kepercayaan.
Selain itu asas ini merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik
oleh pasien ataupun tenaga kesehatan dalam berkomunikasi. Kebenaran informasi ini erat kaitannya
dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran, sekalipun kebenaran itu disalurkan melalui
komunikasi, tetapi tidak berarti bahwa tenaga kesehatan harus memberitahukan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang keadaan pasien. Artinya tidak semua kebenaran harus disampaikan kepada pasien,
apalagi hal itu justru dapat merugikan pasien yang bersangkutan.

6). Asas Kehati-hatian


Pada dasarnya setiap orang sebelum melakukan sesuatu dalam hubungannya dengan orang lain harus
bersikap berhati-hati. Apalagi dokter atau tenaga kesehatan sebagai seorang ahli atau professional di bidang kesehatan,
maka tindakannya harus didasarkan atas ketelitiannya dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Dengan
demikian tenaga kesehatan sebagai professional tidak hanya dituntut memiliki keahlian dan keterampilan tetapi juga
ketelitian atau kecermatan dalam bertindak.
Asas ini dapat diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban tenaga kesehatan untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati hak pasien/klien. Dalam hal ini hak pasien yang dimaksud yaitu hak atas
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 53 ayat
(2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992. Kedua hak tersebut erat kaitannya dengan informed consent
dalam transaksi terapeutik. Oleh karena itu apabila seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan tugasnya tanpa mematuhi standar profesi dan
informed consent yang menimbulkan kerugian pada pasien, maka pasien yang bersangkutan berhak atas
penggantian kerugian.
Asas ini erat kaitannya dengan prinsip etis tidak merugikan (Nonmaleficence) yang merupakan
cara teknis dalam menyatakan adanya kewajiban untuk tidak mencelakakan orang lain. Asas tidak
merugikan sejak dahulu merupakan salah satu prinsip tradisional etik kedokteran yang dikenal dengan
istilah primum non nocere yang artinya: yang penting adalah tidak merugikan.

7). Asas Keterbukaan


Asas ini telah terkandung dalam asas usaha bersama dan kekeluargaan yang dirumuskan dalam
Pasal 2 (c) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992. Pelayanan medik merupakan salah satu upaya
kesehatan yang harus dilaksanakan secara berdayaguna dan berhasilguna dan hanya dapat tercapai
apabila ada kerjasama antara dokter dan pasien didasarkan sikap saling percaya.
Untuk itu asas keterbukaan diperlukan karena sikap saling percaya tersebut dapat ditumbuhkan
jika terjalin komunikasi secara terbuka antara tenaga kesehatan dan pasien/klien. Di dalam komunikasi
secara terbuka inilah akan diperoleh peluang bagi pasien untuk mendapatkan penjelasan atau informasi dari
tenaga kesehatan
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya asas-asas hukum tersebut
bersumber pada prinsip etis yang berlaku di dalam pergaulan masyarakat. Asas-asas hukum tersebut di
atas besar peranannya sebagai landasan pokok dirumuskannya peraturan hukum yang dapat diberlakukan
dalam hubungan Pelayanan kesehatan.
Dilihat dari ciri hubungan Pelayanan kesehatan yaitu sebagai pemberian pertolongan, maka asas-
asas tersebut telah terkandung dalam ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, baik yang mengatur tentang tenaga kesehatan sebagai pemberi Pelayanan kesehatan maupun
individu sebagai penerima Pelayanan kesehatan.

b. Tujuan transaksi terapeutik


Oleh karena transaksi terapeutik merupakan bagian pokok dari upaya kesehatan, yaitu berupa
pemberian Pelayanan kesehatan yang didasarkan atas keahlian, keterampilan serta ketelitian, maka
tujuannya tidak dapat dilepaskan dari tujuan Ilmu kesehatan itu sendiri sebagaimana tersebut di bawah ini.

1). Menyembuhkan dan meringankan penyakit


Dalam hubungan ini, pemberi Pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan bantuan
Pelayanan kesehatan yang dibatasi oleh kriterium memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan dapat
mencegah atau menghentikan proses penyakit yang bersangkutan. Hal ini secara yuridis ditegaskan dalam
Pasal 50 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangannya. Untuk menjamin terselenggaranya kegiatan tersebut, maka setiap tenaga kesehatan
termasuk dokter berhak memperoleh perlindungan hukum, sepanjang yang dilakukannya sesuai dengan
standar profesi dan tidak melanggar hak pasien/klien.
Dengan demikian standar profesi sebagai pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam
menjalankan profesi secara baik, sebenarnya merupakan penyelenggaraan otonomi professional kesehatan
dan sekaligus merupakan pembatasan dalam menjalankan profesi. Standar profesi yang dimaksud di atas
adalah standar Pelayanan kesehatan yang disusun oleh masing-masing asosiasi profesi kesehatan seperti
IDI, PDGI, PPNI, IBI, IFI dan asosiasi profesi kesehatan lainnya. Standar profesi tersebut dapat dirumuskan
sebagai cara bertindak dalam peristiwa yang nyata berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman

2). Meringankan penderitaan


Oleh karena tindakan medik yang dilakukan dalam penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan pasien harus secara nyata ditujukan untuk memperbaiki Keadaan pasien atau agar Keadaan
kesehatan pasien lebih baik dari sebelumnya, maka guna meringankan penderitaan pasien, penggunaan
metode diagnostik atau terapeutik yang lebih menyakitkan seharusnya dihindarkan.
Pemberian bantuan atau pertolongan untuk meringankan penderitaan ini merupakan bagian dari
suatu tugas pemberi Pelayanan kesehatan professional, sehingga berlaku standar Pelayanan kesehatan
yang didasarkan pada ketelitian dan sikap berhati-hati. Di dalam pengertian upaya kesehatan terlihat bahwa
kegiatan yang dilakukan adalah untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, oleh karena itu dalam
pengertian upaya meringankan penderitaan atau mengurangi perasaan sakit, termasuk juga menghindarkan
penderitaan yang diakibatkan oleh upaya perawatan kesehatan.
Secara yuridis apabila dokter/terapis tidak memenuhi kewajibannya dengan berbuat sesuatu yang
meringankan atau mengurangi perasaan sakit, sehingga menimbulkan kerugian fisik ataupun non fisik pada
pasien, maka dokter dan atau tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dituntut penggantian kerugian (
Pasal 55 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 )

3). Mendampingi pasien


Di dalam pengertian ini termasuk juga mendampingi menuju kematiannya. Kegiatan mendampingi
pasien ini seharusnya sama besar dengan kegiatan untuk menyembuhkan pasien. Sehubungan dengan hal
tersebut seringkali tidak terpenuhinya kegiatan untuk meringankan penderitaan dan untuk mendampingi
pasien dipersalahkan karena kurang atau tidak adanya waktu yang tersedia.
Sekalipun kegiatan teknis medis dapat merupakan Pelayanan yang baik terhadap pasien, namun hukum mewajibkan
seorang dokter atau tenaga kesehatan selaku professional untuk melakukan baik kegiatan pemberian pertolongan
maupun kegiatan teknis medik sesuai dengan waktu yang tersedia dengan mematuhi standar profesi dan menghormati
hak pasien/klien.

c. Dasar hukum transaksi terapeutik


“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu”.
Dari ketentuan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: dimungkinkannya dibuat suatu
perjanjian lain yang tidak dikenal dalam KUH Perdata. Akan tetapi terhadap perjanjian tersebut berlaku
ketentuan mengenai perikatan pada umumnya yang termuat dalam Bab I Buku III KUH Perdata dan
mengenai perikatan yang bersumber pada perjanjian yang termuat dalam Bab II Buku III KUH Perdata.
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam Pasal
1320 KUH Perdata dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
mengandung asas pokok hukum perjanjian.
Selanjutnya ketentuan Pasal 1233 Bab I Buku III KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap
perikatan dapat dilahirkan baik karena perjanjian maupun karena Undang-undang. Dari ketentuan pasal ini,
dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan dan perikatan dapat
ditimbulkan dari perjanjian.
Apabila transaksi terapeutik dikategorikan sebagai perjanjian yang diatur dalam ketentuan Pasal
1601 Bab 7 A Buku III KUH Perdata, maka termasuk jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur
dalam ketentuan khusus. Ketentuan khusus yang dimaksudkan adalah Undang-undang Nomor 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pemberi jasa, yaitu suatu perjanjian di
mana pihak yang satu menghendaki pihak lawannya melakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu
tujuan dengan kesanggupan membayar upahnya, sedangkan cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut diserahkan kepada pihak lawannya. Dalam hal ini biasanya pihak lawan adalah seorang ahli dalam
bidangnya dan telah memasang tarif untuk jasanya.
Didasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun
1992, maka tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahliannya dan atau kewenangannya dengan mematuhi standar profesi dan menghormati
hak pasien.
2. Terjadi, Sah dan Akibat Transaksi terapeutik
Bahwa transaksi terapeutik merupakan hubungan antara dua subjek hukum yang saling
mengikatkan diri didasarkan sikap saling percaya. Apabila dihubungkan dengan Pasal 1313 jo 1320 Buku III
KUH Perdata, maka hubungan antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan
kesepakatan disebut perjanjian. Akan tetapi sikap saling percaya itu akan dapat ditumbuhkan jika terjalin
komunikasi secara terbuka antara tenaga kesehatan dengan pasien, karena masing-masing dapat saling
memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi terlaksananya kerjasama yang baik dan
tercapainya tujuan transaksi terapeutik tersebut.
Didasarkan pada Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
maka setiap orang bertanggung- jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri
secara perorangan dan juga kesehatan keluarga serta lingkungannya. Oleh karena dalam menghadapi
permasalahan kesehatannya seseorang tidak dapat menanganinya sendiri, maka diperlukan bantuan
ataupertolongan seorang ahli dalam bidang kesehatan. Permasalahan kesehatan terkadang tidak dapat
hanya diselesaikan dalam satu tempat dan oleh satu jenis tenaga kesehatan saja sehingga harus
diselesaikan oleh beberapa jenis tenaga kesehatan dan dalam beberapa tempat Pelayanan antara lain
praktik perorangan, klinik dan Rumahsakit, sehingga dengan demikian perlu dibuat berbagai peraturan yang
mengaturnya.
Dengan demikian, untuk mengetahui alasan diperlukannya informed consent dalam transaksi
terapeutik, maka perlu adanya pemahaman mengenai proses terjadinya transaksi terapeutik, syarat
terjadinya transaksi terapeutik dan akibat dari transaksi terapeutik yang didasarkan ketentuan Buku III KUH
Perdata.

a. Terjadinya transaksi terapeutik


Apabila seseorang merasakan adanya gangguan terhadap kesehatannya dan setelah berusaha
untuk mengatasi gangguan tersebut tetapi tidak berhasil, maka orang tersebut berusaha mencari
pertolongan. Usaha untuk mengatasi gangguan kesehatan diri sendiri merupakan tanggungjawab untuk
memelihara dan meningkatkan Derajat kesehatan sendiri secara perorangan ( Pasal 5 ayat (2) Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992. Apabila seseorang tersebut menggunakan orang lain ( tenaga kesehatan )
untuk menolong mengatasi permasalahannya, berarti sebagian tanggungjawabnya diserahkan kepada
pemberi bantuan. Namun oleh karena pemberi pertolongan adalah tenaga kesehatan yang memiliki
kemampuan professional dan terikat pada norma etis dan norma hukum tertentu yang mengatur kewajiban
profesionalnya, maka sebagai pemberi pertolongan ia mempunyai kewajiban professional terlepas dari ada
atau tidak adanya permintaan.
Dengan adanya permintaan dari pasien kepada tenaga kesehatan untuk memberikan pertolongan
terhadap dirinya, maka terjadilah suatu perikatan setelah kedua belah pihak mengadakan perjanjian terlebih
dahulu. Pengertian perjanjian di sini didasarkan pada Pasal 1313 KUH Perdata yang pada umumnya dilihat
dari perbuatannya maupun hubungan hukumnya sehingga disebut perbuatan hukum bersisi dua ( een
tweezijdige rechtshandeling ) yaitu adanya perbuatan penawaran ( offer, aanbod ) dan penerimaan (
acceptance, aanvaarding ). Hal ini dapat dianalogikan sebagai berikut: Merupakan perbuatan pendahuluan
sebelum terjadinya perjanjian yang disebut sebagai tahap prakontraktual, setelah itu tahap berikutnya
disebut kontraktual yaitu saat terjadinya kata sepakat atau persesuaian pernyataan kehendak yang
menimbulkan perjanjian. Pada saat perjanjian terjadi inilah timbul perikatan atau hubungan hukumnya.
Kemudian masuk pada tahap berikutnya yang disebut postkontraktual, yaitu tahap pelaksanaan atau
penyelesaian perjanjian.
Dalam transaksi terapeutik ini, apabila ditinjau dari komponen hukumnya dapat diuraikan sebagai
berikut:

1). Sebagai subjek hukum adalah dokter atau tenaga kesehatan sebagai pemberi Pelayanan kesehatan
professional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan dan pasien/klien sebagai
penerima Pelayanan kesehatan yang membutuhkan pertolongan
2). Sebagai objek hukum adalah upaya Pelayanan kesehatan professional yang bercirikan pemberian
pertolongan
3). Tujuannya adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup
kegiatan peningkatan kesehatan ( Promotif ), pencegahan penyakit ( preventif ), penyembuhan penyakit
( kuratif ) dan pemulihan kesehatan ( rehabilitatif )

b. Syarat Sahnya transaksi terapeutik


Pada umumnya perjanjian atau kontrak telah diterima sebagai sumber dari kehidupan antara
tenaga kesehatan dengan pasien, sehingga transaksi terapeutik disebut pula dengan istilah Perjanjian atau
Kontrak Terapeutik. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kepekaan terhadap martabat manusia,
maka penataan hubungan antar manusia, termasuk hubungan yang timbul dari transaksi terapeutik juga
dihubungkan dengan hak manusia. Hal ini terbukti secara universal bahwa perjanjian terapeutik ( transaksi
terapeutik ) bertumpu pada dua macam hak asasi, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri ( the right to
self determination ) dan hak untuk mendapatkan informasi ( the right to information ). Didasarkan pada
kedua hak tersebut, maka dalam menentukan tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
pasien, harus ada informed consent yang di Indonesia diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik.
Namun informed consent bukan hanya disyaratkan dalam transaksi terapeutik, tetapi juga dalam
penelitian biomedik dan manusia sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Helsinki yang penyusunannya
berpedoman pada The Nuremberg Code yang semula disebut sebagai persetujuan sukarela
Di dalam Nuremberg Code dikemukakan empat syarat sahnya persetujuan yang harus diberikan,
yaitu:

1). Persetujuan harus diberikan secara sukarela


2). Diberikan oleh yang berwenang
3). Diberitahukan
4). Dipahami

Didasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menyatakan sahnya transaksi terapeutik
diperlukan empat syarat sebagai berikut::

1). Sepakat mereka yang mengikat dirinya.


Secara yuridis yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak adanya kekhilafan atau paksaan
atau penipuan ( Pasal 1321 KUH Perdata ). Sepakat ini dibuat dari rumusan aslinya yang berbunyi:
Persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan dirinya. Berarti di dalam suatu perjanjian minimal
ada dua subjek hukum yang dapat menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Sepakat itu terjadi jika
pernyataan kehendak kedua subjek hukum bersesuaian, dalam arti kehendak dari pihak yang satu mengisi
kehendak pihak lainnya secara bertimbal balik, dengan demikian agar kehendak itu saling bertemu, maka
harus dinyatakan.
Cara menyatakan persesuaian kehendak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara tegas
atau secara diam-diam. Akan tetapi karena latar belakang timbulnya informed consent ini di Inggris pada
abad XVIII disebabkan dilakukan pembedahan tanpa persetujuan atau hak lain, sehingga pengadilan
memutuskan ahli bedah yang bersangkutan bertanggungjawab atas battery ( tindakan kekerasan ), maka
sesuai dengan system hukumnya informed consent dibuat dalam bentuk tertulis. Hal ini dimaksudkan
sebagai perlindungan terhadap hak perseorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang
menyentuhnya.
Sehubungan dengan itu di dalam standar pengakuan dari Komisi Kerjasama dalam pengakuan
Rumahsakit ( The commission on Acreditation of Hospitals ) berkaitan dengan catatan medik, mensyaratkan
pembuktian dari informed consent untuk prosedur atau pengobatan yang disayaratkan oleh kebijaksanaan
Rumahsakit.
Kebijaksanaan Rumah sakit mensyaratkan bahwa pasien atau wakil pasien menandatangani
formulir persetujuan untuk prosedur tertentu, yaitu:

a). Pembedahan/operasi besar maupun kecil


b). Semua prosedur yang menimbulkan lebih dari satu risiko yang dianggap tidak membahayakan
c). Semua terapi Radiologi
d). Terapi elektro yang menentukan
e). Semua prosedur yang disyaratkan oleh peraturan Perundang-undangan. Untuk segala informasi yang
berkaitan dengan prosedur atau tindakan dibuat secara tertulis

Untuk itu terdapat tiga bentuk formulir, yaitu:


a). Formulir persetujuan yang berisi hal-hal pokok ( The blanket consent form )
b). Formulir persetujuan yang berisi kejahatan atau perbuatan melawan hukum yang menggunakan
paksaan terhadap orang lain ( the battery consent form )
c). Formulir persetujuan yang berisi hal-hal secara terperinci ( The detailed consent form )
Dasar hukum informed consent di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/MEN.KES/PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik

2). Kecakapan untuk membuat perikatan


Secara yuridis yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kewenangan
seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh Undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal
1329 dan 1330 KUH Perdata. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, jika oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian di dalam Pasal 1330
KUH Perdata disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap, yaitu orang yang belum dewasa,
mereka yang ditaruh di bawah pengampunan, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-
undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu.
Didasarkan kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kecakapan bertindak merupakan
kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan
kewenangan yang khusus.
Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima Pelayanan medik terdiri dari:

a). Orang dewasa yang cakap untuk bertindak


b). Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak yang memerlu-kan persetujuan dari pengampunya
c). Anak di bawah umur tetapi telah dianggap dewasa atau matang
d). Anak di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.

Mengenai batasan umur kedewasaan ditetapkan oleh masing-masing negara. Dalam kebanyakan
negara, umur dewasa secara hukum adalah 18 tahun. Ada beberapa negara mempertimbangkan seseorang
sebagai seorang dewasa sebelum mencapai umur dewasa yang ditentukan berdasarkan tindakan tertentu,
misalnya telah menjalankan tugas sebagai Angkatan Bersenjata ( Tentara ).
Di Indonesia ada berbagai Peraturan yang menyebutkan suatu batasan usia dewasa, yaitu:

a). Ordonansi 1925 Stb 1925 Nomor 647 tentang Pembatasan kerja Anak. Ordonansi 1926 Stb 1926 Nomor
87 tentang Kerja Anak-anak dan Orang muda di atas kapal serta Peraturan tentang Pengawasan di
tambang Stb 1930 Nomor 341, menyatakan bahwa umur untuk bekerja adalah 14 tahun.

b). Ordonansi 31 Januari 1931, LN 1931 Nomor 54, menyatakan bahwa apabila Peraturan Perundang-
undangan memakai istilah belum dewasa, yang dimaksud adalah segala orang yang belum mencapai usia
21 tahun dan tidak terlebih dahulu telah kawin

c). Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Undang-undang Kerja Tahun 1948 tanggal 20 April jo
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1950, bahwa anak ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur
14 tahun ke bawah, sedangkan orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18
tahun ke atas.

d). Pasal 330 KUH Perdata, bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak/belum menikah. Berarti dewasa adalah telah berusia 21 tahun atau telah menikah walaupun
belum berusia 21 tahun.

e). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 47 ayat (1), menyatakan bahwa anak
yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama tidak dicabut dari kekuasaannya. Ayat (2) menyatakan bahwa orang tua mewakili anak
tersebut menganai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Kemudian Pasal 50 ayat (1),
menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Ayat (2)
menyatakan bahwa perwalian ini mengenai pribadi anak maupun harta bendanya.
f). Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa anak adalah
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin, dengan penjelasan bahwa batas
usia 21 tahun ditetapkan karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan social, tahap
kematangan social, kematangan pribadi dan kematangan mental anak dicapai pada umur tersebut. Namun
batas umur tersebut tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam Peraturan Perundang-undangan yang
lainnya dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ia mempunyai
kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang berlaku

g). Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XIV yang disebar luaskan berdasarkan Instruksi
Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Pemeliharaan Anak Pasal 98 tercantum:
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
bercacat fisik atau mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan ( ayat (1) ). Orang tua yang
mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan ( ayat (2) ).
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat dekat yang mampu menunaikan kewajiban
tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu ( ayat (3) )

Dari berbagai Peraturan tersebut di atas ternyata ada beberapa Peraturan yang menyebutkan usia
21 tahun sebagai suatu batasan usia dewasa. Demikian juga batasan dewasa yang ditentukan dalam Pasal
8 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor : 585/-MEN.KES/ PER/1989, yang menyatakan bahwa
pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Tetapi dalam
praktik justru ditetapkan usia 18 tahun dengan pertimbangan bahwa: kebiasaan dalam hidup masyarakat
dewasa ini, kematangan pribadi, kematangan mental dan kematangan social seorang anak pada umumnya
dinilai dari hubungannya dengan kekuasaan orang tua atau perwalian atau karena telah menikah.

3). Suatu hal tertentu


Di dalam Pasal 1333 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya ( ayat (1) ). Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung ( ayat (2) ).
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah
objek dari perjanjian. Kata barang dapat diartikan sebagai urusan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
objeknya harus dapat ditentukan adalah: urusan tersebut harus dapat dijelaskan atau ditentukan.
Dihubungkan dengan objek dalam transaksi terapeutik, maka urusan yang dimaksud adalah sesuatu yang
perlu ditangani, yaitu berupa uapaya penyembuhan. Upaya penyembuhan tersebut harus dapat dijelaskan
karena dalam pelaksanaannya diperlukan kerjasama yang didasarkan sikap saling percaya antara
dokter/terapis dengan pasien. Oleh karena upaya penyembuhan yang akan dilakukan itu harus dapat
ditentukan, maka diperlukan adanya standar Pelayanan medik atau standar Pelayanan kesehatan lainnya.
Dengan demikian dapat terlihat bahwa ketentuan mengenai objek perjanjian ini erat kaitannya
dengan masalah pelaksanaan upaya kesehatan sesuai dengan standar Pelayanan yang meliputi standar
Pelayanan penyakit dan standar Pelayanan penunjang dan masalah informasi yang diberikan harus tidak
melebihi dari yang dibutuhkan oleh pasien/klien.

4). Suatu sebab yang halal


Hal ini oleh Undang-undang tidak dijelaskan secara tegas, tetapi dapat ditafsirkan menurut
ketentuan Pasal 1355 dan Pasal 1337 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1335 KUH Perdata disebutkan bahwa
suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan. Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dapat terjadi tiga macam
perjanjian, yaitu:

- Perjanjian dengan suatu sebab yang halal


- Perjanjian tanpa sebab
- Perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang

Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh Undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah sebab yang tidak dilarang oleh Undang-
undang, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan yang dimaksud dengan sebab adalah tujuannya.
Dihubungkan dengan transaksi terapeutik, maka tindakan pengguguran kandungan dengan alasan
apapun merupakan perjanjian dengan sebab terlarang, sedangkan pengobatan melalui pembedahan
terhadap penderita penyakit terminal dengan tujuan penelitian terapeutik, merupakan perjanjian dengan
sebab yang palsu
Di dalam informed consent pada tindakan medik tertentu yang mengandung risiko tinggi, harus
dibuat dengan persetujuan tertulis, namun apabila dalam informed consent tersebut terdapat klausul bahwa
pasien bersedia memikul segala risiko dan tidak akan menuntut apapun dikemudian hari, maka perjanjian
tersebut mengandung sebab yang bertentangan dengan kepatuhan, kesusilaan dan Undang-undang.
Alasannya adalah bahwa tujuan informed consent bukanlah membebaskan dokter atau tenaga kesehatan
professional lainnya dari tanggungjawab risiko ataupun dari tuntutan pergantian kerugian dari pasien/klien,
akan tetapi tujuannya adalah untuk mendorong pasien/klien agar berusaha bekerjasama sebaik-baiknya,
mengingat tingginya risiko yang harus dihadapi yang dapat merugikan atau membahayakan pasien/klien.

c. Akibat dari Transaksi Terapeutik


Di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai Undang-undang. Oleh karena itu, jika transaksi
terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, maka semua kewajiban yang timbul mengikat baik tenaga kesehatan maupun pasien/klien. Akan
tetapi dalam suatu perjanjian yang paling penting adalah isinya. Adapun isi suatu perjanjian itu ditentukan,
atau dalam hal-hal tertentu dianggap ditentukan oleh para pihak sendiri. Oleh karena itu semua kata semua
dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata ditafsirkan sebagai adanya berbagai perjanjian yang dibuat oleh
para pihak yang isinya ditentukan dan diatur sendiri, bahkan dapat diperjanjikan mengenai pembatasan
tanggungjawab ( eksonerasi ) terhadap kerugian yang timbul karena kelalaian.
Dengan demikian apabila Pasal 1338 dan 1320 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1329
KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh
Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap, maka dapat disimpulkan berlakunya asas konsensualisme.
Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua nelah pihak.
Dihubungkan dengan pelaksanaan transaksi terapeutik, berarti bahwa sekalipun pihak pasien telah
menyetujui dilakukannya suatu tindakan tertentu dengan menandatangani Surat Persetujuan Tindakan,
namun jika secara medik tindakan itu tidak ada manfaatnya atau tidak menyebabkan meningkatnya
kesehatan pasien, bahkan dapat menimbulkan risiko kerugian bagi pasien, maka tidak sepatutnya untuk
dilaksanakan.
Oleh karena itu di dalam transaksi terapeutik, kewajiban terhadap diri sendiri, baik tenaga
kesehatan maupun pasien yang bersumber pada tanggungjawabnya masing-masing, sebenarnya di
dasarkan pada asas itikad baik dan kecermatan yang patut dalam pergaulan masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dalam transaksi terapeutik bukan isi
dari perjanjian, tetapi tujuan dilakukannya hubungan Pelayanan medik tersebut. Selain itu kenyataan
menunjukkan bahwa kewajiban yang timbul dari perjanjian itu semakin lama tidak ditentukan oleh
kesepakatan, melainkan oleh apa yang dianggap layak atau patut oleh masyarakat. Dengan kata lain,
timbulnya kewajiban pemberian pertolongan Pelayanan kesehatan tidak ditentukan oleh saat terjadinya
transaksi terapeutik.

3. Tujuan dan Manfaat Pemberian Informasi dalam Transaksi Terapeutik.


Apabila transaksi terapeutik dipandang sebagai perjanjian yang bertumpu pada hak untuk
menentukan nasib sendiri dan hak untuk mendapatkan informasi, maka informed consent dimaksudkan
sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri berfungsi dan hak atas informasi terpenuhi
dalam praktik Pelayanan kesehatan
Didasarkan pada latar belakang digunakannya istilah informed consent, maka disyaratkan
informed consent ini dimaksudkan untuk melindungi hak individual pasien dari tindakan tidak sah atas
integritasnya oleh tenaga kesehatan dan juga dapat melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan
pelanggaran hak integritas pribadi pasien termaksud. Kemudian didasarkan pandangan bahwa informed
consent dapat menjadi doktrin hukum apabila adanya kewajiban hukum dari tenaga kesehatan untuk
memberikan informasi dan kewajiban untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:585/MEN.KES/PER/-IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Selain itu ada juga yang menafsirkan bahwa karena Informed consent secara tertulis dari pasien
dapat dijadikan alat bukti, maka berarti dapat membebaskan dokter atau tenaga kesehatan lainnya dari
tuntutan risiko yang timbul dari tindakan yang dilakukan. Didasarkan asas tidak merugikan, maka
disyaratkan informed consent justru bertujuan agar dokter/tenaga kesehatan dapat menghindarkan risiko
yang sekecil apapun demi kepentingan pasiennya.
Sehubungan dengan itu, salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan tenaga
kesehatan terhadap tuntutan pasien, maka di dalam bentuk informed consent secara tertulis dicantumkan
syarat bahwa pasien tidak akan menuntut di kemudian hari. Syarat yang dimaksudkan antara lain
menyatakan bahwa: pasien menyadari sepenuhnya atas segala risiko tindakan medik itu terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan, maka pasien tidak akan mengadakan tuntutan apapun ke Pengadilan di kemudian
hari.
Selain itu, untuk memenuhi kewajiban memberikan informasi maka dicantumkan pula pernyataan
dari dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan: sifat, tujuan serta kemungkinan risiko akibat yang
timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien atau keluarganya. Sehubungan dengan hal tersebut,
apabila pasien menolak dilakukannya suatu tindakan medik tertentu, maka pasien dan atau keluarganya
diwajibkan untuk mengisi Surat Pernyataan Penolakan. Oleh karena itu, untuk kelengkapan administrasi
pengobatan dan perawatan pasien di Rumah sakit disediakan berbagai informed consent tertulis antara lain:
- Surat pernyataan persetujuan pemeriksaan pengobatan
- Surat pernyataan persetujuan operasi atau anestesi
- Surat persetujuan perawatan di Unit khusus
- Surat pernyataan penolakan
- Surat permohonan sterilisasi
- Dan lain-lain

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa informed consent diterima sebagai prinsip dasar dalam
Pelayanan kesehatan. Akan tetapi ide yang melatarbelakanginya secara khusus adalah didasarkan pada
pandangan individualisme terhadap otonomi manusia yang berlaku pada sistem hukum Anglo-Saxon.
Dalam pandangan ini, penekakan terlalu besar pada otonomi setiap orang yang dapat dilepaskan dari
keluarganya ataupun kelompoknya. Padahal suasana kebudayaan yang mewarnai kehidupan masyarakat
Indonesia sangat berbeda, yaitu otonomi setiap orang tidak terlepas dari keluarga ataupun lingkungannya.
Dengan demikian, informed consent yang diterima sebagai prinsip dasar seharusnya didasarkan
pada suasana yang melatarbelakanginya, yaitu tidak terlepas dari tradisi budaya yang berlaku dan
mewarnai sisten hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai mahluk budaya mampu
menerima isyarat yang tidak dapat ditangkap oleh mahluk lainnya dan manusia dikontrol oleh nilai yang
berlaku di dalam masyarakatnya sendiri sehingga memiliki kesadaran untuk membedakan antara yang
boleh dan yang tidak boleh dilakukannya.

4. Informed consent secara tertulis dalam hubungannya dengan kewajiban atau tanggungjawab atas
tindakan/akibat tindakan medik
Pada umumnya keharusan adanya informed consent secara tertulis yang ditandatangani oleh
pasien sebelum dilakukannya tindakan medik, dilakukan pada sarana Pelayanan kesehatan yaitu: Rumah
sakit, klinik, atau sarana Pelayanan kesehatan lainnya, oleh karena erat kaitannya dengan
pendokumentasiannya ke dalam Catatan Medik ( medical record ). Hal ini disebabkan karena Rumah sakit
atau klinik tempat dilakukannya tindakan medik tersebut, selain harus memenuhi standar Pelayanan Rumah
sakit, juga harus memenuhi standar Pelayanan medik sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor: 436/MEN.KES/SK/VI/1993 Tentang berlakunya Standar Pelayanan Rumah sakit dan
Standar Pelayanan Medik di Rumah sakit. Dengan demikian Rumah sakit turut bertanggungjawab apabila
tidak dipenuhinya persyaratan informed consent.
Apabila tindakan medik yang dilakukan tanpa informed consent, maka dokter atau tenaga
kesehatan yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan surat izin praktik
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor:
585/MEN.KES/PER/IX/1989. Dengan demikian maka keharusan adanya informed consent secara tertulis
dimaksudkan guna kelengkapan administrasi Rumah sakit yang bersangkutan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa penandatanganan informed consent yang dilakukan oleh pasien sebenarnya
dimaksudkan sebagai penegasan atau pengukuhan dari persetujuan yang sudah diberikan setelah dokter
atau tenaga kesehatan lainnya memberikan penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukannya.
Hal ini disimpulkan dari adanya ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan tersebut di
atas yang antara lain menentukan bahwa penandatanganan informed consent secara tertulis dilakukan oleh
yang berhak memberikan persetujuan yaitu baik pasien maupun keluarganya, setelah pasien atau
keluarganya mendapatkan informasi yang lengkap.
Oleh karena itu dengan ditandatanganinya informed consent secara tertulis tersebut, maka dapat
diartikan bahwa pemberi tandatangan bertanggungjawab dalam menyerahkan sebagian tanggungjawab
pasien atas dirinya sendiri kepada dokter yang bersangkutan, berikut risiko yang mungkin akan
dihadapinya. Untuk itu tindakan medik yang ditentukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya harus
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar profesinya.
Informed consent sebagai prinsip dasar Pelayanan kesehatan erat kaitannya dengan tujuan
pemberian bantuan, yaitu untuk memulihkan dan memperbesar kemampuan orang untuk dapat mengurus
dirinya sendiri, karena setiap orang bertanggungjawab atas dirinya sendiri, termasuk kesehatannya.
Sehubungan dengan itu didasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, setiap orang
mempunyai hak yang sama dalam memperoleh Derajat kesehatan yang optimal. Untuk itulah setiap orang
dapat memperoleh bantuan secara professional yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan di bidang kesehatan.
Dihubungkan dengan dua teori hukum yang menunjang suatu hubungan antara dokter/tenaga
kesehatan dengan pasien/klien, yaitu Contract Theory dan Undertaking Theory, maka di dalam peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia juga ditemukan ketentuan yang sesuai dengan kedua teori tersebut.
- Contract Theory: Dapat didasarkan pada ketentuan mengenai perjanjian yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata, khususnya mengenai perjanjian melakukan jasa tertentu
- Undertaking Theory: Dapat dikonstruksikan sebagai pemberian bantuan secara sukarela oleh
tenaga professional dan dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 1354 Buku III KUH Perdata jo
Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Didasarkan pada Contract Theory, maka adanya informed consent merupakan syarat utama yang
harus dipenuhi guna terjadinya suatu kontrak sehingga dapat ditentukan suatu pengaturan kewajiban
kontraktual Pelayanan jasa disertai hak dan tanggungjawabnya. Dalam hal ini, informed consent secara
tertulis dapat dijadikan bukti tertulis terjadinya suatu kontrak terapeutik, sehingga dengan demikian apabila
salah satu pihak tidak atau belum memenuhi kewajiban yang timbul dari kontrak tersebut, maka pihak
lainnya yang memiliki bukti tertulis dapat menuntut pemenuhannya didasarkan telah terjadinya suatu
kontrak.
Didasarkan pada Undertaking Theory, maka teori ini tidak mempermasalahkan adanya informed
consent. Jika dokter/tenaga kesehatan secara sukarela memberikan pertolongan, walaupun tanpa
sepengetahuan pasien yang ditolongnya telah memberikan Pelayanan profesionalnya, maka dokter/ tenaga
kesehatan tersebut berkewajiban memenuhi standar profesinya dan bertanggungjawab atas semua
tindakan yang dilakukannya sesuai dengan keahliannya dan kewenangannya sebagai tenaga kesehatan.
Akan tetapi jika dokter/tenaga kesehatan melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian pada
pasiennya, maka di samping ia mendapatkan atau dikenakan sanksi administratif, juga dapat dituntut untuk
memberikan ganti rugi.
Di damping itu, karena transaksi terapeutik pada dasarnya dikuasai oleh prinsip etis tertentu yang
juga dikenal sebagai asas hukum antara lain: asas otonomi, asas berbuat baik, asas tidak merugikan dan
keadilan, maka adanya informed consent secara tertulis tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk
menghindarkan risiko ataupun sebagai upaya memudahkan terselenggaranya suatu tindakan medik,
walaupun risiko yang dihadapi cukup tinggi. Justru hal inilah yang mencerminkan kualifikasi professional
tenaga kesehatan sebagai seorang ahli dalam bidangnya dalam menangani masalah penyakit pasiennya.

You might also like