You are on page 1of 19

AGAMA DAN KEKERASAN KOMUNAL: Studi atas Kekerasan Islam-Kristen di

Indonesia
AGAMA DAN KEKERASAN KOMUNAL:
Studi  atas Kekerasan Islam-Kristen di Indonesia[1]
Oleh: Umi Sumbulah[2]

Abstract

Kekerasan agama di Indonesia didominasi oleh kekerasan Islam-Kristen. Hal ini terkait  tidak
saja dengan pola keberagamaan pada kedua komunitas tersebut yang cenderung esklusif,
namun terkait dengan faktor-faktor lain semisal ekonomi, politik, lemahnya piranti hukum dan
sebagainya. Relasi Islam-Kristen di negeri ini juga cenderung  ambivalen dan fluktuatif,
karena terkait dengan historisitas kekristenan yang kehadirannya bergandengan dengan
kolonialisme barat. Kebijakan penguasa kolonial tentusaja menguntungkan agama yang
dibawanya dan pada saat yang sama merugikan Islam sebagai agama mayoritas, tidak saja
dalam perkembangan Islam sebagai agama  namun juga akses-akses pada wilayah ekonomi-
politik dan pada ranah lain. Akibatnya, marjinalisasi terhadap Islam sebagai mayoritas praktis
terjadi di era ini dan bahkan diwariskan pada penguasa Orde Lama  maupun pada kebijakan
Orde Baru. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi akar-akar kekerasan komunal Islam-
Kristen berikut relasi kedua agama tersebut yang diwarnai harmoni dan disharmoni,
kerukunan dan konflik- kekerasan  di negeri ini.

Abstract

Religious violence in Indonesia has been dominated by Moslems and Christian. One factor
which is tied to is the diversities within both religions. On the other hand, many factors such
as economic, politic and the law also drive to this violence. The relation between Islam and
Christian in Indonesia tends to be ambivalent and fluctuative as the consequences of years of
Western colloniliasm which came and brought the history of Christianity to Indonesia. The
Collonialism policies created gap between two religions. In one side these policies brought
benefit to Christian. Whereas at one time, it brought suffer for Moslem society. Thus, the
marginalisation to Moslem society occurred in Collonialism Era and continued to  Old-Era
(Orde Lama) and New-Era (Orba). This paper will therefore examine and explore  the  roots
of communal violence between Islam and Christian included their relation which is coloured
by harmony and disharmony, and conflict-violence in this country.

Konteks Penelitian

Relasi Islam-Kristen di Indonesia, yang meskipun diwarnai rasa saling menghargai dan
menghormati, namun juga ambivalen dan fluktuatif. Ada harmoni namun juga disharmoni,
ada kerukunan namun juga banyak konflik dan bahkan kekerasan yang seringkali
mengatasnamakan agama, terutama mulai kehadiran  Kristen dan Katolik bersama dengan
kolonialisme di Indonesia. Ini karena, kebijakan kolonial selalu menguntungkan agama baru
tersebut dan pada saat yang sama mengancam muslim sebagai mayoritas.

Dalam catatan Thomas Santoso,  sejak tahun 1950-an telah terjadi konflik dan kekerasan yang
mengikutkan simbol-simbol keagamaan. Terhitung sejak saat itulah, secara rata-rata terjadi
pengrusakan satu gereja dalam setiap 10 tahun, tahun 1960-an tiap lima bulan, tahun 1970-an
tiap dua bulan, tahun 1980-an tiap bulan, tahun 1990-an tiap minggu dan tahun 2000 tiap tiga
hari. Kekerasan tersebut di daerah pesisir Pulau Jawa seperti Situbondo dan Surabaya, dan
luar Jawa seperti Kupang, Maluku Tengah, Sambas, Poso dan lain-lain. Berdasarkan jenisnya,
kekerasan dimaksud bisa berupa fisik yang kemudian diikuti dengan kekerasan semiotik
semisal tulisan-tulisan yang melecehkan agama tertentu, maupun kekerasan simbolis berupa
manipulasi atau pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan tertentu.

Beberapa konflik dan kekerasan yang “bertopeng” agama bisa disebutkan misalnya  kekerasan
di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang terjadi tanggal 30 November 1998, berkaitan dengan
acara perkabungan masal untuk mengungkapkan rasa keprihatinan peristiwa Ketapang Jakarta
Pusat tanggal 1November 1998, yang kemudian berakhir dengan pembakaran, perusakan dan
pelemparan rumah ibadah, seperti gereja, masjid serta fasilitas umum semisal sekolah, pompa
bensin dan kantor pemerintah dan sebagainya. Riza Sihbudi dan Muh. Nurhasyim, ketika
melakukan penelitian tentang kasus kerusuhan sosial di Indonesia dengan mengambil latar 
kerusuhan di Kupang,  Mataram dan Sambas, menuliskan bahwa akibat yang ditimbulkan
oleh kerusuhan itu  tercatat jumlah korban  16 orang meninggal, 81 luka-luka, 427 dirawat
jalan, 16 gereja dibakar, 1 masjid dirusak, 3 sekolah dibakar, 15 bank dirusak dan masih
banyak lagi fasilitas publik yang hancur.[3]

Dalam penelitian Lorraine V. Aragon[4] tentang kasus kekerasan komunal di Poso tahun
2000, mengillustrasikan kengeriannya dengan ungkapan bahwa: “jika di Palu manusia
memakan ikan tetapi di Poso ikan memakan manusia”. Kekerasan yang meledak akibat
perseteruan antara komunitas Muslim dan Kriten tersebut, mencabik-cabik harkat dan
martabat kemanusiaan. Indonesia merupakan  melting pot dan supermarket bagi pengaruh
agama-agama dunia, yang dalam masa kolonial, relasinya dipengaruhi politik stelsel dalam
hubungan persaingan dan politik keagamaan yang berporos pada dogma dan ajaran, bukan
etika dan perilaku. Belum lagi didukung dengan beban sejarah konflik Kristen-Islam (perang
salib). Oleh karena itu,  di antara solusi konflik SARA adalah dengan membangun
pemahaman yang benar bahwa SARA bukanlah kendaraan dan mediasi politik bagi kelompok
dan kepentingan tertentu, namun sebagai induk Indonesia yang melahirkan kearifan dan
harmonisasi yang kokoh dalam suasana keragaman.

Beberapa kasus yang melibatkan isu SARA, di antaranya adalah Kasus kekerasan di Ambon
dan beberapa daerah di Maluku, yang sesungguhnya bukanlah kekerasan agama an sich,
namun diawali dari persaingan politik antar suku di tingkat elit birokrasi yang kemudian
ditarik dan difahami  sebagai perseteruan antar penganut agama. Kekerasan semakin menjadi
ketika didukung dengan semangat crusade, sehingga tensi konflik dan kekerasan semakin
panas. Tamrin Amal Tomagola,[5] juga berkesimpulan bahwa sesugguhnya kekerasan yang
terjadi di daerah ini dipicu oleh ketidakadilan ekonomi dan politik, namun kemudian menjalar
ke isu agama, yakni komunitas Kristen (asli Ambon) dan komunitas muslim (migran dari etnis
Buton, Bugis dan Makassar), di mana kelompok yang disebutkan terakhir banyak menguasai
jaringan perdagangan dan transportasi, juga jabatan strategis di pemerintahan. Kondisi ini
membuat komunitas Kristen Ambon memendam kebencian dan bahkan secara umum
memiliki persepsi bahwa telah terjadi “penghijauan”  (baca: islamisasi) di tingkat kebijakan
pemerintah pusat,[6] yang hal ini dianggap sangat meminggirkan komunitas Kristen di
wilayah ini.

Menyimak beberapa peristiwa kekerasan komunal di sepanjang sejarah nation state Indonesia 
sebagai perluasan dunia suku, menjadi bukti historis bahwa relasi agama dan etnis belum
settled seperti yang dicitakan founding fathers RI karena disintegrasi SARA menjadi ancaman
nyata. Secara psikologis, proses transformasi religi dan superioritas suku (eer gevoul) dan
krisis ekonomi, penguasa yang bermental penjajah yang hegemonik dan bukan pemimpin
yang egaliter, juga menjadi faktor penting bagi terjadinya konflik, di samping tentunya faktor-
faktor lain seperti sikap keagamaan yang eksklusif, tertutup, dangkal, simbolisme, instabilitas
dan ketidakadilan sosial, ekonomi, politik dan sosial.

Fokus  dan Tujuan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah mengeksplorasi akar-akar kekerasan komunal yang


mengatasnamakan agama, faktor-faktor penyebabnya, serta bagaimana fluktuasi dan
ambivalensi relasi Islam-Kristen dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya di
Indonesia.

Perspektif Teori

1.  Agama dan Kekerasan

Agama, sesungguhnya merupakan totalitas sumber kearifan, cinta, dan perdamaian di antara
sesama manusia, namun realitas yang terjadi menyajikan fenomena yang justru berlawanan
dengan hakikat agama. Ini terjadi dalam tradisi agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha
dan sebagainya. Argumen apologetik kemudian diberikan untuk mempertahankan kekudusan
fungsi agama, yakni bahwa sesungguhnya konflik dan kekerasan bisa dijelaskan dengan
beberapa alasan:a) konflik kepentingan ekonomi-politiklah yang mendasari perpecahan bukan
agama itu sendiri; b) yang harus dipersalahkan bukanlah agama tetapi pihak-pihak yang tidak
memenuhi tuntunan keimanan dan religiusitas mereka; c) terdapat kekuatan-kekuatan
eksternal yang berkonspirasi  menebar benih kebencian dan permusuhan. Cara agama-agama
berperilaku dalam sejarah, ditentukan oleh wordview masing-masing terkait dengan problem
identitasnya sebagai pemilik dan pemonopoli klaim kebenaran (truth-claim) dan menafikan
kebenaran pihak lain. Ini karena sesungguhnya semua agama bermula dari “momen” khusus
dan kecenderungan agama-agama memperhatikan yang khusus ini mengkooptasi dan 
menghegemoni, sehingga mereduksi dan mengesampingkan klaim spiritualitasnya yang
universal. Pemecahannya bisa dilakukan melalui rumusan bagaimana agar identitas  dan 
finalitas melahirkan spiritualitas.

Permasalahan agama akan semakin kompleks jika dikaitkan dengan dimensi lain dalam
kehidupan masyarakat sebagaimana ideologi yang lain, bahkan agama melebur dengan
kehidupan sosial, politik dan ideologi. Sebagai ekspresinya, tidak jarang ditemukan kekerasan
sebagai perwujudan  dari aspirasi adil, harga diri dan gerakan demi perubahan politik.[7]
Realitas  konflik yang marak terjadi di Indonesia, setidaknya membuktikan tesis Schimmel[8]
bahwa selain berfungsi sebagai alat pemersatu sosial, agama juga dapat  menjadi unsur
konflik. Bahkan, lanjut Schimmel, dua unsur tersebut  menyatu dalam agama,  ibarat dua sisi 
mata uang yang sama dalam kohesi dan konsensusnya. Di sinilah agaknya, misi agama yang
bila tidak diekspresikan sesuai dengan klaim spiritualitasnya berfungsi menghadirkan
kedamaian dan pemupuk persaudaraan, akan menjadi pemicu konflik. Ketika agama sudah
fusi dengan aspek-aspek kehidupan lain, tidak jarang agama menjadi alat legitimasi
kekerasan. Untuk memicu kekerasan, identitas agama individu harus menjadi homogenisasi
komunal. Agama akan menjadi kekuatan dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional
keagamaan, dibanding dengan identitas sosial lainnya. Dalam konteks inilah, analisis Kakar
bahwa agama membawa konflik antar kelompok dengan intensitas emosi yang lebih besar dan
motivasi pemaksaan yang lebih mendalam dibandingkan bahasa, daerah atau olokan terhadap
identitas etnis lainnya, menemukan relevansinya.[9]

2.  Komunalisme  dan Radikalisme Agama

Simbol-simbol keagamaan merupakan representasi masyarakat (seperti etnosentrisme agama


Yahudi, agama Mormon di AS dan Sikh di India,dan lain lain) yang  demikian kental sifat
komunalnya.[10] Sehingga, melalui simbol-simbol inilah, komunalisme agama sering menjadi
pemandangan dalam relasi agama-agama. Sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu
atau dengan identitas tertentu (etnis, agama, ras dan lain lain) memiliki ikatan emosional yang
kuat satu dengan yang lain. Sehingga ketika identitas mereka yang diekspresikan melalui
simbol-simbol tertentu merasa terusik atau dilecehkan orang lain, dengan sangat cepat
semangat komunalisme ini timbul.

Pendangkalan agama dalam transformasi masyarakat tradisional ke modern yang


mengakibatkan hilangnya akar-akar psikologis dan kultural bangsa Indonesia, menjadi sebab
lain dari merebaknya komunalisme agama-agama. Bercampur baurnya agama dengan politik
padahal keduanya adalah entitas yang berbeda, sehingga yang terjadi adalah  politisasi agama,
juga merupakan faktor yang tidak kalah menariknya bagi pembacaan kekerasan komunal di
tanah air.[11]

Berangkat dari kenyataan sejarah bahwa akar kekristenan di Indonesia bergandengan erat
dengan kolonialisme, juga menjadi penyebab tegangnya hubungan komunitas agama tersebut 
terutama dengan komunitas muslim. Hingga sekarang, berbagai aktivitas sosial komunitas
Kristen, masih dinilai sebagai bagian dan proses “tangan panjang” kolonialisme di Indonesia.
Oleh karena itu, perjalanan sejarah hubungan komunitas kedua agama tersebut meskipun
diwarnai rasa saling menghormati dan kerjasama, berjalan dengan berbagai konflik dan
ketegangan.[12]

Kelompok fundamentalisme radikal yang sering menebarkan kekerasan atas nama agama,
dalam tradisi agama apapun memiliki karakter umum dan sikap keagamaan yang tekstualis,
anti pluralisme, intoleran dan selalu mengukur kebenaran agama dari aspek batas-batas
eksoterisme/fiqih oriented.[13] Armada Riyanto, [14] menyatakan bahwa kekerasan agama,
lebih disebabkan oleh sikap keagamaan yang fanatik (fanatisme), paham keagamaan yang
fundamentalistis (fundamentalisme) dan integralisme.Dengan demikian, eksklusivisme sering
dekat dengan konflik, pertikaian, dan kekerasan. Orang beragama yang menghadirkan
kekerasan, karena level keagamaannya yang jargonsentrisme yang  memperlihatkan keimanan
yang logoistis, memiliki kekuatan bahasa yang provokatif, sempit dan rigid. Sehingga
penghayatan yang kurang terhadap hakikat agama (being religious) menjadi sebab
merebaknya komunalisme. Ini karena agama merupakan entitas yang secara sosio-psikologis
bertautan langsung dengan dimensi emosionalitas dan spiritualitas manusia. Sehingga jika hal
ini tersentuh oleh isu agama --meskipun ditunggangi oleh kepetingan politik atau yang lain--
maka menjadi kekuatan dahsyat sebagai penghancur “lawan-lawannya”.

Secara umum, ada dua kelompok pandangan tentang agama, yakni kelompok yang
memandang agama sebagai alat/instrumen (label bagi Islam mainstream) dan kelompok yang
memandang agama sebagai tujuan (label bagi kelompok fundamentalisme). Kelompok
pertama, berkeyakinan bahwa agama adalah sarana  untuk menjaga eksistensi kemanusiaan
dan mencapai kebahagiaan manusia. Sehingga persoalan kemanusiaan dalam konteks ini
diletakkan pada posisi yang tinggi dan karenanya agama hadir sebagai ”pelayan” bagi
kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang menghinakan dan menghancurluluhkan
nilai-nilai kemanusiaan, sama artinya dengan memporakporandakan agama. Sementara
kelompok kedua, memposisikan kehidupan manusia untuk agama. Karenanya  demi agama,
kapanpun diperlukan kemanusiaan bisa dikorbankan, dengan cara mengusung simbol-simbol 
dan mengibarkan panji-panji agama dari “serangan” musuh-musuhnya.[15]

E.  Metode Penelitian

Pendekatan  penelitian ini adalah kualitatif dengan corak penelitian kepustakaan (library
research). Sumber data primer, didaptkan dari literatur dan hasil penelitian tentang beberapa
kekerasan komunal di Indonesia, antara lain: hasil penelitian Lorraine dan Greg Acciaioli
tentang kekerasan komunal di Poso dan Lindu di Sulawesi Tengah, Riza Sihbudi dan
Nurhasyim tentang beberapa kerusuhan di Ketapang, Sambas dan Kupang, Penelitian Zulfan
Tadjoeddin –UNSFIR tentang kekerasan komunal (etnik, agama dan migrasi) di Indonesia
sejak tahun 1995-2001, penelitian Thomas Santoso tentang kekerasan di Situbondo, dan
sebagainya. Data sekunder didapatkan dari  beberapa artikel, buku atau dari website  internet
yang terkait dengan agama dan kekerasan komunal . Analisis data disajikan dengan analisis isi
(content analysis) yang juga menekankan aspek historisitas tertentu yang melatari timbulnya
kekerasan komunal, di samping juga mengikutkan aspek-aspek lain yang terkait.

F. Agama dan kekerasan Islam Kristen di Indonesia

Konflik dan kekerasan Islam-Kristen tidak saja mendominasi konflik agama di dunia, tetapi
juga di Indonesia. Ini terkait erat dengan sejarah panjang relasi kedua agama tersebut sejak
awal-awal kehadirannya di nusantara. Beberapa kekerasan yang berbasis agama di Indonesia
--baik karena murni agama maupun karena alasan yang lain tetapi kemudian menjadikan
agama sebagai finishing touch-nya-- terlihat begitu didominasi oleh kedua agama tersebut.

Selama lima tahun terakhir, sejumlah kekerasan komunal,  yakni kekerasan yang berlatar
belakang perbedan tempat tinggal, ras suku, dan agama, berkecamuk begitu rupa di berbagai
wilayah di tanah air. Berdasarkan  jumlah warga yang terlibat, jangka waktu kejadian, tingkat
kebrutalan dan amukan massa, jumlah korban yang jatuh, baik manusia maupun harta benda,
semua jenis kekerasan komunal tersebut cenderung lebih banyak terjadi pasca lengsernya
presiden Soeharto. Kendati di tahun 1991 hingga menjelang Soeharto lengser juga banyak
terjadi kekerasan komunal, [16] namun secara kuantitatif maupun kualitatif tidak sehebat
kekerasan yag terjadi pasca lengsernya Soeharto, mulai dari peristiwa di Ketapang, yang
kemudian menjalar ke Kupang, Ambon dan Sambas, yang terjadi susul-menyusul.

Negara Indonesia yang terbentang  dari Sabang hingga Merauke yang merangkai kurang lebih
13.000 pulau besar dan kecil ini, terdapat lima pulau besar: Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Jaya. Penduduk Indonesia yang  kini mencapai 203 juta jiwa ini, bisa
dikelompokkan dalam 636 suku yang tersebar di 55.000 desa atau kelurahan. Berdasarkan
satu-satunya sensus penduduk yang menanyakan suku, di tahun 1930 --selain Irian Jaya--
komposisi proporsi suku-suku di Indonesia adalah Jawa 45%, Sunda 14,7% dan Madura 7%.
Sisanya 40% terdiri dari 300 suku dan secara proporsional, suku Jawa jauh di atas suku-suku
lainnya.[17]

Dari segi agama, Islam merupakan agama yang dianut terbesar oleh masyarakat Indonesia,
baru berturut-turut disusul Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu. Dari
aspek dan segi sebarannya, Islam dianut oleh sebagian besar penduduk di semua pulau besar
kecuali Irian Jaya. Agama Kristen Protestan cukup banyak dianut di Tapanuli Utara,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Tana Toraja, Maluku Tengah dan Irian Jaya Utara.
Agama Katholik banyak dianut oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara dan
Irian Jaya Selatan. Agama Hindu mendominasi Bali dan Khong Hu Cu di kalangan keturunan
Tionghoa yang pada umumnya bermukim di wilayah perkotaan.[18]

Sesungguhnya kekerasan dan amuk komunal, baik yang berbasis pada agama maupun yang
lain, yang secara kuantitas maupun kualitasnya meningkat di era Soeharto, bisa dianalisis dari
berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan sosial maupun politiknya, di mana
pembangunan yang di era Soeharto mencapai pertumbuhan di atas 7 % dan telah menjadi
daya pukau bagi rakyat Indonesia, ternyata rontok setelah Indonesia dilanda krisis di tahun
1997-an.

Di bidang politik misalnya, keretakan mulai telihat pada SU MPR tahun 1987, antara militer
dengan anak asuhnya, Golkar. Kedua pilar politik paling kuat di era orde baru tersebut mulai
bersaing mempersiapkan pengganti Soeharto. Militer menyadari perlunya mengganti Soeharto
sedini munkin, sementara Golkar belum berfikir mencari penggantinya. Namun, Habibi dan
Harmoko, adalah dua tokoh sipil yang bisa menjadi ancaman bagi  ABRI dalam
mengendalikan kereta dan  mesin politik Golkar.

Perpecahan yang sesungguhnya bersifat elitis tersebut kemudian mengimbas ke mana-mana,


yang hal tersebut mengundang kebencian atas praktik KKN, teror, intimidasi, dan hegemoni
selama 32 tahun, sehingga hampir semua katup pengaman jebol. Peran provokator yang
sangat tepat juga mengakibatkan kekacauan di mana-mana , yang sesungguhnya ujung-
ujungnya adalah kekuasaan di tingkat elit.

Dalam bidang ekonomi, politik dan hukum yag selama ini menyimpan ketidakadilan dan
tersimpan/terpendam, memunculkan kerusuhan dan penjarahan yang terjadi menjelang  dan
sesudah kejatuhan Soeharto di tahun 1998, yang merupakan cermin dan luapan emosi
ketidakpuasan sosial, yang kemudian lazim dikenla dengan sebutan kerusuhan Mei.

Setelah kerusuhan Mei 1998, di berbagai daerah juga terjadi kerusuhan yang serupa, yang di
antaranya disebabka oleh dua hal : pertama, kelompok elit pendukung status quo yang kalah
berupaya menggunakan berbagai cara untuk membuat situasi tidak stabil. Kedua,  ada
tuntutan dari berbagai daerah untuk mendapatkan haknya yang lebih adil. Terdapat lima faktor
yang  membuat perubahan dan menyadarkan mereka di daerah yang selama ini diperlakukan
tidak adil, yakni: modal, teknologi, informasi, birokrasi dan ideologi. Tuntutan tersebut
seringkali berupa konsolidasi kelompok yang juga tidak jarang bermuara pada kekerasan
komunal, yang bernuansa SARA.[19]

Beberapa kekerasan komunal yang terjadi pasca lengsernya Soeharto, mulai  tragedi semanggi
--jakarta pada 13 November 1998,  kekerasan Ketapang-Jakarta pada 22 November 1998,
disusul kekerasan di Kupang Timor-Timur pada 30 November dan belakangan di Ambon dan
Poso, sesungguhnya menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita umat beragama dan bangsa
Indonesia.[20] Dalam temuan Departemen Kehakiman dan HAM, jika dipetakan, kekerasan
dan konflik etnik, agama dan sosial yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, maluku
mendominasi  konflik dan kekerasan komunal di Indonesia sejak tahun 1999- 2000 dan akhir
2001. Sedangkan tahun 2001 didominasi kekerasan komunal di Kalimantan. [21]

Paskalis Edwin,[22] mempertanyakan bagaimana membaca realitas konflik dan kekerasan


yang mengatasnamakan agama tersebut, apakah dengan mengusung teori konflik atau
fungsionalisme? Dengan melihat sisi positif dan negatif masing-masing. Pertanyaan
berikutnya muncul berkenaan dengan apakah agama menyatukan atau justru memisahkan
masyarakat? Persatuan dan persaudaran berdasarkan religiuitas, lebih kuat mengikatnya
dibanding dengan ikatan lain, sehingga menumbuhkan loyalitas yang tinggi, yang akibatnya
seringkali penyatuan ini   menimbulkan identitas tertentu yang lebih kuat dibanding yang lain,
inilah yang bisa menjadi potensi konflik. Bahkan,  fakta sejarah menunjukkan bahwa
perbedaan agama-etnis  baru menjadi pemicu konflik jika ditumpangi perbedaan politik dan 
kesenjangan ekonomi-sosial.

Perbedaan pada dasarnya bukanlah ketidakadilan. Dengan merunut sejarah kekalahan Kain
(Kabil) oleh Habil yang diterima persembahannya oleh Tuhan, dimana kekalahan itu diterima
dan dipahami secara salah oleh Kain sebagai ketidakadilan Tuhan, sehingga Habil dibunuh.
Kesalahan sejarah kambing hitam dalam  Imamat 16: 1-34, menyatakan bahwa  orang Israel
kuno mengadakan perdamaian dengan memakai kambing hitam. Harun meletakkan tangan di
atas kambing tersebut sebagai tanda bahwa  dosa umat Israel melawan Tuhan dialihkan  ke
atas kambing itu. Demikian juga teoari Simpatetic Magic, yakni usaha menghindari nasib
karena sesuatu dengan memanipulasi gambaran sesuatu. Dalam Bilangan; 21: 4-9,
diterangkan bahwa Israel yang kelaparan  dihukum Tuhan dengan mengirim ular tedung untuk
membunuh mereka, tetapi pada saat yang sama Musa diperintahkan Tuhan untuk membuat
ular tembaga untuk menghindari  gigitan ular tedung yang mematikan tersebut. Sebenarnya,
hal ini merupakan langkah penyadaran sosial, di mana korban selalu diciptakan untuk
menebus kesalahan banyak orang.

G. Akar-akar Kekerasan Komunal Islam-Kristen di Indonesia

1. Politisasi Agama

Di Indonesia, sebagaimana di wilayah negara lain, seringkali agama dan politik menjadi
entitas yang tumpang tindih. Sebagai akibatnya, agama seringkali  dijadikan sebagai  alat
legitimisai dan manipulasi untuk kepentingan dan target politik. Di era pemeritahan Soeharto,
seringkali mengkooptasi Islam untuk mengontrol kekuasaannya.Oleh karena itu, beberapa
lembaga keamanan yang dibentuk pemerintah, seperti Majelis Ulama Indonesia, seringkali
dijadikan sebagai lembaga legitimasi  kebijakan politik pemerintah. Dengan demikian,
lembaga yang sesungguhnya “dihuni’ oleh para ahli agama, hanya menjadi simbol  dan
lipstick betapa pemeritahan juga “memperhatikan”agama. Pembangunan berbagai sarana
ibadah seperti masjid  dan berbagai lembaga sosial, gebyar ibadah haji bersama dan lain-lain,
juga sangat bernuansa politis, yakni utuk menarik simpati dan dukungan Islam sebagai
mayoritas terhadap pelanggengan kekuasaannya. Dalam konteks yang demikian, seringkali
menimbulkan kebencian dan sentimen keagamaan dari kelompok agama lain, yang merasa
diperlakukan secara tidak adil. Akibatnya adalah menjadi “api di dalam sekam” yang juga
akan bisa meledak sewaktu-waktu.

Islam sebagai agama di era ORBA dibiarkan berkembang, namun Islam sebagai kekuatan
politik atau umat Islam yang menempati posisi strategis di birokrasi pemerintahan, tidak
diberikan tempat secara proporsional. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah sangat
mengecewakan kelompok Islam sebagai mayoritas, terutama kelompok Islam yang
menginginkan Islam simbol diberi porsi dan tempat di pemerintahan. Fenomena munculnya
berbagai kelompok Islam radikal secara sporadis d Indonesia akhir-akhir ini, sesungguhnya
juga bisa dipahami sebagai bentuk protes terhadap warisan kebijakan politik pemerintah era
itu.

Nuansa dan faktor politik menjadi penyebab konflik komunal, sangat terlihat jelas pada kasus
Maluku. Kasus kekerasan komunal yang bernuansa SARA di wilayah seribu pulau tersebut,
merupakan bukti nyata lemahnya kinerja  badan intelijen negara, dan bukan karena 
keragaman denominasi agama masyarakat Maluku. Ia juga merupakan refleksi dan cerminan
pertikaian antar elit politik baik di tngkat pusat maupun di tingkat lokal setempat, yang
sebenarnya dipicu oleh ketidakadilan politik yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap
kelompok Kristen di Ambon. Kelompok  yang disebut terakhir, beranggapan bahwa
kekuasaan pusat tidak memberikan distribusi yang proporsional terhadap kelompok mereka,
sehingga keterwakilannya tidak sepadan dengan jumlah mereka yang relarif seimbang dengan
populasi muslim di wilayah Ambon.[23]

Kendati akar konflik sesungguhnya bukan agama, namun kemudian konflik tersebut
bernuansa agama. Hal ini karena kelompok yang saling berseteru tersebut memanipulir
simbol-simbol agama, seperti masjid dan gereja yang menjadi “kharisma” identitas masing-
masing. Pembakaran institusi agama tersebut, hanya untuk semakin menegaskan kesan bahwa
konflik dan kekerasan komunal tersebut  merupakan konflik antara penganut Islam dan
Kristen.

Tidak berhenti pada manipulasi simbol intitusi agama, kedua kelompok yang berseteru juga
mengusung simbol verbal agama, yakni jihad atau crusade. Kekerasan semakin memanas
ketika para elit politik juga  ikut memanfaatkan simbol-simbol agama tersebut dan bahkan
menyatakan dukungan kepada salah satu pihak yang bertikai. Yang terjadi berikutnya adalah
bahwa konflik dan kekerasan semaki anarkhistis, karena simbol keagamaan semakin
mengokohkan hubungan emosional dengan para pendukungnya.[24]

2. Radikalisme Agama

Kelompok radikalisme agama, baik dalam tradisi Islam maupun Kristen --yang  secara
genealogis kelompok ini merupakan bentuk ekstrim dari gejala fundamentalisme--
menampilkan diri sebagai kelompok oposan terhadap pemerintahan, yang seringkali
menampilkan kekerasan.  Kekerasan, seringkali dijadikan alat ampuh untuk memenuhi
keinginan beberapa atau sekelompok individu terhadap masalah yang demikian kompleks, dan
ternyata kekerasan juga menghinggapi agama-agama. Dalam konteks ini pula, pengeboman di
Hotel Marriot, Paddys Café dan Sari Club di Bali, Kuningan dan akkhir-akhir ini pengeboman
gereja di Sulawesi, sesungguhnya menjadi jawaban bahwa radikalisme agama  --sikap
keagamaan  yang kaku sekaligus mengandung kekerasan dalam tindakan-- merupakan entitas
omniponent dan kekuatan laten  yang bisa muncul dimana saja dan secara tiba-tiba.
Kekerasan yang mengatasnamakan agama tersebut, juga merupakan tantangan dan cobaan
bahwa agama sedang mengalami ujian sejarah secara kritis, di mana bandul pendulum agama
yang akan mengarahkan para penganutnya pada sisi humanisasi atau dehumanisasi, sangat
tergantung pada persepsi dan perilaku mereka. Agama yang sesungguhnya berwatak rahmah,
penebar kedamaian dan cinta kasih, ditampilkan secara    paradoks oleh para penganutnya,
sebagai penebar teror dan kekerasan.

Menyikapi beberapa aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalisme agama  di
Indonesia misalnya, dapat meminjam analisis Michael Faucoult, bahwa aksi kelompok ini
sesungguhnya telah menggiring agama dalam hubungannya antara pengetahuan dan
kekuasaan (knowledge and power). Pengetahuan yang ingin diwacanakan oleh kelompok
Islam radikal adalah bahwa hukum Tuhan (ahkamullah) harus diimplementasikan  dalam
kehidupan manusia. Dalam lokus politik, yang diwacanakan adalah penyatuan antara agama
dan negara (al-din wa al-daulah). Wacana pengetahuan diperkuat dengan piranti kekuasaan,
sehingga gerakan kelompok sangat bertendensi ideologis, politis dan kepentingn-kepentingan
lain yang sesungguhnya di luar agama, namun menggunakan “topeng” agama.

3.Ekonomi

Konflik komunal di Sampit dan Palangkaraya, antara etnis pribumi yakni Dayak yang secara
teologis mayoritas beragama Kristen  vis a vis pendatang, yakni etnis Madura yang beragama
Islam, kendati sesungguhnya berawal dari persaingan secara ekonomis, didukung dengan
watak kultural keduanya yang cenderung keras, maka konflik tersebut  juga “berwajah”
agama.

Ketegangan-ketegangan dan kekerasan etnis dan keagamaan yang muncul dari persaingan
ekonomi antara penduduk lokal dengan para pendatang/transmigran juga tampaknya akan
membawa pecahnya kekerasan. Seperti yang dilaporkan oleh BBC pada bulan Maret 2001,
para penduduk lokal di Riau telah membakar hancur perumahan para transmigran.[25]
Kerusuhan di Maluku, di Poso-Sulawesi dan Sampit di Kalimantan merupakan contoh-contoh
yang mencolok di mana konflik-konflik etnis dan keagamaan antara penduduk lokal dengan
kaum pendatang dapat menjadi berurat-berakar demikian kuat dan dalam.Konflik-konflik
seperti itu, sesungguhnya juga memberikan kesempatan dan blessing politis bagi militer,
karena membuka kebutuhan masyarakat akan perlindngan dan rasa aman dari aparat
keamanan dan memberikan banyak peluang bagi mereka melakukan eksploitasi ekonomi
terhadap para pengungsi dan korban konflik.[26]

d. Lemahnya  Piranti politik dan Hukum

Bahwa fenomena kekerasan komunal di tanah air merupakan kenyataan yang sulit dibantah.
Kekerasan tersebut, juga bisa disebabkan adanya kegagalan lembaga-lembaga politik dan
hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi
keluhan-keluhan, konsolidasi dan penguatan identitas-identitas komunal di mana kelompok-
kelompok tersebut bersaing untuk mendapatkan akses dan kendali atas sumber-sumber
ekonomi, politik dan bahkan penggunaan kekerasan yang diakibatkan/ dijatuhkan negara
(state-sanctioned violence) untuk menghasut, memprovokasi dan bahkan menekan konflik.
Dalam konteks ini pula, klaim bahwa Indonesia adalah bangsa yang identik dengan budaya
kekerasan (a violent culture) sesungguhnya juga lebih merupakan klaim politik yang dapat
dimanfaatkan untuk legitimasi kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara
berikutnya, dibanding sebagai budaya yang genuine bersumber dari dan menyatu dengan
watak kultural-spiritual  bangsa Indonesia.

H. Fluktuasi dan Ambivalensi Relasi Islam-Kristen di Indonesia

Sejarah panjang nation state Indonesia  sebagai perluasan dunia suku sangat panjang. Relasi
agama dan etnis belum settled dan final seperti yang dicitakan founding fathers RI karena
disintegrasi (karena SARA) menjadi ancaman nyata. Sesungguhnya, konflik SARA di
antaranya bisa diselesaikan dengan pemahaman yang benar bahwa SARA merupakan induk
Indonesia, bukan seperti pemahaman dan ideologi  Orde Baru bahwa SARA merupakan alat,
mesin dan mediasi politik; dengan dialog buttom up.[27]

Indonesia dan pluralisme agama dipahami bahwa Indonesia sebagai melting pot dan
supermarket bagi pengaruh agama-agama dunia, yang dalam masa kolonial, relasinya
dipengaruhi politik stelsel dalam hubungan persaingan, politik kegamaan yang berporos pada
dogma dan ajaran, bukan etika dan perilaku. Belum lagi juga didukung dengan beban sejarah
yang panjang tentang realitas konflik Krisen-Islam (perang salib).

Indonesia adalah negara yang hampir semua agama dunia tumbuh dan berkembang di
dalamnya, bahkan kepercayaan-kepercayaan tertentu telah menjadi watak dan inhern dengan
sejarah bangsa ini. Mulai dari animisme, dinamisme hingga masuknya agama-agama dunia
baik yang bercitra Indianisasi seperti Hindu-Bdha, Arabisasi seperti islam maupun eropanisasi
seperti Kristen dan Katholik.

Islam masuk di wilayah nusantara ini melalui  ajaran sufi  yang tergabung dalam kelompok-
kelompok dagang. Peralihan Hindu-Budha ke Islam, sesungguhnya keduanya melakukan
integrasi, yang hal ini bisa disimak dalam karya-karya sastra era itu, misalnya dalam kisah
Serat Cebolek dan Suluk Syekh Malaya, di mana kedua karya sastra tersebut secara  material
masih “berwajah” Hindu tetapi esensi ajarannya adalah Islam.

Sejarah kekristenan di Indonesia, menurut Muller Kruger, bahwa pada abad 7 sekelompok
kristen berdomisili di Sibolga, Sumut dan mendirikan gereja, namun sejarah ini kabur hingga
datangnya portugis di Indonesia sekitar 1511 di Malaka dan Maluku, dan agama Kristen
menyebar seiring perjalanan Portugis Katholik), beralih ke dominasi protestan melalui VOC .

Kekristenan di Indonesia yang dibawa oleh kolonial Belanda  dan Katholik oleh Portugal,
pada tahap implementasi politiknya di Indonesia berkolaborasi dengan penguasa politik
kolonial. Kebijakan Belanda mengenai Islam sangat fluktuatif. Pasca kehadiran Snock
Hurgronye, sebagai bagian dari politik Etis,sehingga mengubah kebijakannya bahwa yang
ditakutkan bukan Islam sebagai agama tetapi sebagai doktrin politik. Konsekuensi  dan
implementasinya adalah: pertama, memberi kebebasan umat Islam menjalankan ritual dan
aspek ibadah lainnya; kedua, muamalat seperti perkawinan, cerai, mahar, waris dan lain-lain
yang juga harus dijaga dan dihormati; ketiga, dalam masalah politik, pemerintah tidak toleran
terhadap  kaum muslim yang mengipasi Pan Islamisme/ perlawanan politik.

Di era  ORLA kepemimpinan Soekarno, Kristen mendapat hak istimewa seperti yang lain,
dengan memberi banyak peluang memainkan peran politik; Piagam Jakarta yang
mneghilangkan 7 kata yang mengikuti Ketuhanan Yang Maha Esa, sesunguhya merupakan
sikap akomodatifnya para pemimpin Islam demi menjaga kepentingan  persatuan dan
kesatuan bangsa.

Di era ORBA kepemimpinan Soeharto, beberapa kebijakan politiknya menguntungkan pihak


Kristen: 1)kebijakan pemerintah agar orang yang sebelumnya komunis, agar memeluk salah
satu agama yang telah diakui secara resmi oleh negara. Sebagai akibatnya para komunis
berbondong-bondong masuk agama Kristen. Mereka tidak mungkin --jika ada hanya
kemungkinan kecil-- masuk agama Islam karena Islam adalah pihak yang dilawan dan
membantai anggota PKI.

Kebijakan “memeluk satu agama resmi negara” tersebut sangat menguntungkan Kristen,
sehingga banyak pihak muslim yang mencurigai hal ini; 2)ditolaknya RUU perkawinan tahun
1973, pada pasal 10 ayat 2:” perbedaan kebangsaan, suku, ras, agama….. bukan halangan 
untuk menikah” oleh kaum muslim karena tidak sesuai denga Islam; perdebatan  tentang
pengundangan peraturan No. 7 tahun 1989 mengenai PA dan RUU peratutran No.2 tahun
1989 mengenai Sisdiknas, yang menegaskan bahwa pendidikan agama merupakan subsistem
dari Sistem Pendidikan Nasional, yang berarti bahwa pengajaran agama diwajibkan dari
Sekolah dasar hingga perguruan tinggi, dan  banyak kasus pertentangan lainya.[28]

Kolonialisme dan kristenisasi (portugis;VOC) merupakan  2 hal penting di balik kristenisasi


(semangat evangelistik kalangan misionaris Belanda untuk mendakwahkan Kristen di
Indonesia; kebijakan politik kolonial yang mendukung kristenisasi); Jepang (lebih
memberikan kelonggaran bagi Islam seperti berdirinya MIAI). Era Soekarno dan Soeharto (20
tahun pertama) kebijakan ORBA banyak mengecewakan Islam karena tidak memberkan
ruang yang proporsional, bahkan ketika tumbang dan kekuasan di era PDIP, juga sangat
mengecewakan Islam.[29]

Historisitas kekristenan (Katholik dan Protestan) di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
kondisi sosio-politik  di Eropa. Eropa yang melakukan proyek kolonialisasi hampir di seluruh
wilayah muslim dunia, secara inhern juga melakukan proyek evangelisasi, yang dalam
konteks Indonesia terlihat pada aktivitas kolonial Portugal-Spanyol. Namun sejak kedatangan
VOC konflik kedua kubu ini tidak terelakkan. Pertarungan yang dimenangkan oleh pihak
VOC  ini mengakibatkan ditutupnya gerakan misi Katholik di Maluku.

Pada abad 15-16, ketika kekristenan mulai menyebarkan misinya, sikap positif dilakukan
hanya untuk menarik simpati dan menunjukkan bahwa Kristen tidak eksklusif, seperti
dilakukan oleh Fransiscus Xaferius yang sempat mendarat di Indonesia (di Maluku) sebelum
ke Jepang, Mattio Ricci di China, Di Nobilli di India, Yustinus de Yakobis di Etiopia dan lain-
lain.[30]

Namun seiring dengan kolonialime Eropa atas dunia lain (termasuk dunia muslim) didukung
dengan aliran Yansenisme yang mempropagandakan bahwa di luar gereja tidak ada
keselamatan dan mendapatkan simpati luas abad 17-19, maka ekslusivitas kekeristenan
menemukan motif sucinya. Doktrin extra exleccia nulla salus sesungguhnya merupakan sikap
apologetis dan bukan eksklusif. Doktrin ini  berasal dari Santo Cyprianus di abad 3, yang pada
awalnya digunakan untuk menyebut kelompok baptisan para bid’ah dan gnostis (sinkretisme)
yang sesat dan tidak membawa keselamatan. Namun istilah ini pada perkembangannya
diperluas maknanya dan disalahkaprahkan.

Revolusi Perancis, bagaimanapun membawa blessing teo-politis bagi sejarah kekristenan di


Indonesia. Motto paling penting dari Revolusi Perancis yakni egalite, membawa konsekuensi
logis terbawanya motto ini di negara-negara jajahan, termasuk Indonesia.  Hal ini ditandai
dengan dikirimnya dua imam dioesen  Belanda untuk melakukan missi Katholik di Indonesia.
Namun, karena penjajah Belanda yang menguasai Indonesia hanya menginginkan para
missionaris yang berkebangsaan Belanda, subsidi dana yang sangat terbatas serta mobilitas
yang dibarengi dengan kesulitan-kesulitas baru yang dihadapi para misionaris, berdampak
pada kurang gencarnya proyek evangelisasi ini terealisir.

Pasang surut missi Katholik di Indonesia, memiliki babak baru setelah misi Romo van Lith
dengan pendekatan barunya yang sangat akomodatif dan adaptif terhadap kultur masyarakat
setempat, menjadikan Katholik yang berbasis pada masyarakat di Irian jaya selatan dan
Maluku ini muncul sebagai agama yang sangat pribumi, sehingga tidak mengherankan jika
masyarakat pribumi yang telah menjadi Katholik ini, pada era perjuangan kemerdekaan turut
serta dalam perebutan dan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebuah kenyataan
sejarah yang paradoks dengan julukan bahwa Kristen adalah agama penjajah.

Misi Kristen di Indonesia dan missi dagang barat yang kemudian tumbuh menjadi kekuatan
kolonialisme yang melakukan eksploitasi ekonomi-politik pada negara jajahan, tidak bisa
dipungkiri membawa konseuesni tersendiri  bagi wajah missi Kristen di Indonesia. Hal ini
menyebabkan beberapa kalangan Kristen Indonesia menghadapi dilema yang demikian rumit
mengingat secara kultural mereka adalah “anak kandung” Belanda yang  di sisi lain adalah 
penjajah yang eksploitatif.

Tumbuhnya gereja-gereja protestan di Indonesia yag pada umumnya dikaitkan dengan


identitas kesukuan seperti Pasundan, Simalungun, Toraja, Batak, Jawa dan sebagainya, pada
umumnya memiliki keterkaitan hubungan dengan gereja-gereja induk di luar negeri yang
melahirkan mereka, seperti   Belanda (aliran teologis Calvinisme), Jerman (Lutheranisme) dan
Amerika (Methodisme). Kendati mereka memiliki afiliasi teologis pada induk semang
mereka, namun mereka tergabung dalam wadah Persekutuan Gereja-gereja di  Indonesia
(PGI), yang oleh Trisno Sutanto disebut sebagai kelompok gereja mainstream.[31] Namun
demikian, diversitas denominasi yang diidentikkan dengan beberapa kelompok kesukuan ini,
menurut Sumartana tidak pernah menjadi sebuah kesatuan kelas yang kuat dan mandiri, yang
terbukti dengan kurangnya penanaman jiwa kewirausahaan, tidak kaya inisiatif, dan tidak
“berani” membuka usaha, sebuah pemandangan yang jauh berbeda dari kelompok borjuasi
Eropa-kekristenan sebagai pelopor arus utama kekristenan dunia.[32]

Sesungguhnya relasi Islam-kristen yang ambivalen dan fluktuatif di atas, di antaranya juga
disebabkan oleh pola pikir yang dibentuk struktur dan kultur yang dibentuk sejarah, sehingga
mengakibatkan SARA sebagai embrio perpecahan dan kekerasan. Pada saat yang sama,
masyarakat juga kehilangan ciri ruh agamanya, yakni musnahnya kepekaan terhadap nilai
baik, relasi sosial yang profit oriented, serta kebebasan yang melampaui batas.[33]

Oleh karena itu, metode dan pendekatan dialogis, dalam rangka membangun teologi dari
bawah, teologi yang menjunjung nilai universalitas, teologi kontemporer yang berfungsi
sebagai kritik dalam membaca tanda zaman, menjadi keharusan sejarah, jika bangsa ini ingin
menumbuhkan relasi agama-agama yang harmonis. Dengan pemikiran demikian, SARA yang
seringkali menjadi permainan dan alat politik, justru menjadi potensi integrasi yang harmonis.
Untuk ini pulalah, agaknya dengan  pendidikan holistik, sebuah konsep teoritis-praksis
penddikan yang berbasis kerukunan, maka optimisme akan kesatuan dan persatuan di atas
basis pluralisme, akan menjadi kenyataan.[34]

Indonesia adalah bangsa yang multireligius dengan pengalaman pluralisme kegamaan yang
lama, dimana hampir semua agama besar dunia hidup dan berkembang di negeri ini. Kendati
Islam mayoritas, namu toleransi dan keterbukaan yang ditampilkan sungguh luar biasa,
bahkan saat berdirinya konstitusi negara, tiada hegemoni apapun kelompok muslim terhadap
kelompok lain dengan mencantumkan secara formal Islam sebagai dasar negara. Ini sebagai
apresiasi terhadap fenomena pluralisme agama yang ada.

Relasi musim-Kristen di Indonesia, yang meskipun diwarnai rasa saling menghrgai dan
menghormati, namun juga penuh dinamika, terutama mulai kehadiran  Kristen dan Katolik
bersama dengan kolonialisme di negeri ini, yang dalam perkembangnnya mengancam muslim
sebagai mayoritas. Islam yang  telah menjadi kekuatan nilai dalam etos pluralisme, namun
Islam tidak monolitik yang mengakibatkan gerakan sosial yang menghembuskan suara anti-
Kristen; modernisme, neo-modernisme, prodemokrasi, internasionalisais-universalisasi Islam,
memberikan dampak yang berbeda dalam cara pandang dan relasi mereka terhadap pluralisme
agama. Inilah tantangan agama di abad 21, di samping isu-isu aktual lainnya, yang membawa
dan menyulut sentimen agama.[35]

Idiom politik mulai composite society, melting pott community, cultural pluralism hingga
Bhinneka Tunggal Ika, semuanya memiliki makna “mengakui keberagaman”. Islam juga
mengakui unity in diversity dan Tuhanpun juga tidak membuat manusia seragam. Ini artinya
Islam juga mengakui eksistensi dan karakter positif non-muslim. Pemuka Kristen diakui
sebagai manusia yang bersifat rendah hati (la yastakbirun), kedektan emosional (aqrabahum
mawadatan).

Kasus Maluku, diawali dari persaingan politk di birokrasi yang kemudian ditarik dan
difahami  sebagai perseteruan antar peganut agama, bahkan didukung dengan semangat
crusade, maka tensi konflik semakin panas. Muslim dan semua agama, seharusnya mampu
menghindari manipulasi simbol Islam ke Islam kultural-keindonesiaan yang akomodatif
terhadap perbedaan. [36] Tantangan agama, bahwa agama yang diyakini irrasional oleh
masyarakat barat, berimplikasi pada adanya sekulerisasi, yang menyingkirkan agama dari
kehidupan publik karena menguatnya diferensiasi fungsional, terutama ketika masyarakat
semakin modern yang semakin menuntut rasionalisasi. Sekularisasi dalam masyarakat muslim
difahami berbeda dengan barat, sebagai upaya meletakkan secara tepat yang sakral dan
profan, penolakan atas sakralitas duniawi, bukan menolak yang sakral, bukan menolak agama,
karena agama adalah sumber nilai. Di Indonesia telah tumbuh  kultur keislaman yang mampu
mengakomodasi tantangan modernitas dan pluralitas keagamaan, Islam juga telah berperan
positif bagi kehidupan negara bangsa.[37]

Berangkat dari kenyataan sejarah bahwa akar keristenan di Indonesia bergandengan erat
dengan kolonialisme inilah, di antara penyebab tegangnya hubungan komunitas agama
tersebut  terutama dengan komunitas muslim. Belum lagi jika dikaitkan dengan beberapa
kebijakan kolonial yang mendukung kekuatan dan strategi penyebaran  agama tersebut secara
efektif. Hal ini secara psikologis, semakin mengundang kecurigaan beberapa kalangan muslim
ketika  menyikapi berbagai aktivitas sosial komunitas Kristen sebagai bagian dan proses
“tangan panjang” kolonialisme di Indonesia. Oleh karena itu, perjalanan sejarah hubungan
komunitas kedua agama tersebut meskipun diwarnai rasa saling menghormati dan kerjasama,
berjalan dengan berbagai konflik dan ketegangan.[38]

H. Kesimpulan

Bangsa Indonesia yang pada awalnya dikenal sebagai bagsa yang santun, ramah dan penuh 
pencipta kedamaian, kini label tersebut kita dipertanyakan oleh hampir semua orang. Ini
karena, beberapa tahun terakhir, negeri ini diwarnai oleh konflik dan kekerasan komunal,
yang semakin lama semakin meningkat kuantitas dan kualitasnya. Kekerasan yang “berbaju
agama”, yang menggunakan simbol-simbol agama dalam aktivisme kekerasan, menjadi
pemandangan sehari-hari. Kekerasan komunal tersebut, memiliki akar yang multi
dimensional, yang di antaranya menyangkut sikap kebergamaan yang radikal, faktor
ketidakpuasan atas kebijakan politik, ketidakadilan ekonomi,  piranti birokrasi dan hukum
yang lemah dan sebagainya.

Relasi Islam-Kristen di Indonesia, dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya


mengalami fluktuasi dan ambivalensi yang luar biasa. Hal ini, di antaranya, di samping karena
pemahaman teologis yang cenderung eksklusif, terutama juga karena kebijakan politik
pemerintah yang dinilai kurang adil dan kurang proporsional oleh kelompok komunitas yang
berkonflik tersebut, di samping sejarah kolonialisme yang menggandeng agama Kristen dan
karenanya kebijakannya sangat menguntungkan agama ini.

BIBLIOGRAFI

Abu Rabi’, Ibrahim. Christian-Muslim Relations in Indonesia: the Challenges of the Twenty-
First Century” dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah. Vol.v,no.1, 1998.

Abbas, Hafid. Dirjen perlindungan HAM-Dep Kehakiman dan HAM.


http://www.humanrights.go.id/index_HAM.asp?menu=pakar&id=13, 14 Desember 2004

Acciaioli, Greg “Grounds of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and


Nationalism in Violence Avoidance at the  Lindu Plain, Central Sulawesi” dalam Journal of
SEAP, Indonesia Cornellsoutheast Asia Program.

Akasheh, Khaled dan Riyanto, Armada.” Sikap Dialogal Gereja: Komitmennya dalam Dialog
dengan Islam” dalam Riyanto, Armada (ed.) Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme.
Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000, 1- 15.

Aragon, Lorraine V. “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish
and Fish Eat People” dalam Journal of SEAP, Indonesia Cornellsoutheast Asia Program.

Azra, Azyumardi. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina,


1999.

Berger, Peter L. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES, 1994.

Bolotio, Rivai.”Membangun Kesepahaman Lintas SARA: Sebuah Kontemplasi di Tengah


Kemelut” dalam Th. Sumartana dkk.(ed.). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Chang, William. Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama” dalam Th. Sumartana dkk.
(editor). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001, 119-128.

Collins, Elizabeth Fuller. Indonesia Berbudaya Kekerasan? 


http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_efc.htm. 13 Desember 2004

Edwin, Paskalis. “Agama dan Kekerasan” dalam Riyanto, Armada (ed.). Agama Kekerasan
Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000.

Effendy. Bahtiar. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai


Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Hamim, Thoha. Islam dan NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika


Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama,
2004.

Hefner, Robert. Modernity and  the Challenge of Pluralism: Some Indonesian Lessons” dalam
Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.
Volume 2, Number 4, 1995.

Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence.
Berkeley::  University of California Press,  2000.

Kakar, Sudhir. The Colors of Violence Cultural Identities, Religion and Conflict. Chicago:
University of Chicago Press,  1996.

Ohoitimur, Yong.”Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati” dalam Th.  


Sumartana dkk.(editor). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, 129-145.

Riyanto, Armada CM, “Sikap Dialogal Gereja : komitmennya dalam Dilaog dengan Islam”,
dalam Armada Riyanto CM (ed.) Agama Kekerasan:Membongkar Eksklusivisme. Malang:
DIOMA, 2000.

----------------“Membongkar Eksklusivisme  Hidup Beragama” dalam Riyanto, Armada (ed.).


Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000.

Sayyid, Bobby S. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the Emergence of Islamism.


London&New York: Zed Book Ltd, 1997.

Schimmel, Annimarie.” Inklusivitas Kebenaran Agama” dalam Andito (ed.), Atas Nama
Agama. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan,
1997, 3-36.

Sihbudi, Riza dan Nurhasyim (ed.), Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang,
Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grasindo, 2001.

Steenbrink, Karel A. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat: Kajian Kritis Mengenai Agama
di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.

Sumartana, Th. “Pluralism, Conflict , and Inter-Religious Dialogues in Indonesia” dalam 


Sumartana, Th. et.al (ed.). Commitment of Faiths: Identity, Plurality and Gender.Inter-Faith
Dialogue Series. Yogyakarta: Institute DIAN/Interfidei, 2002.

--------------, Th.“Dari Konfrontasi ke Dialog (Beberapa Aspek Landasan  Historis-Teologis


Hubungan Antar-Etnis dan Agama di Indonesia” dalam Th. Sumartana dkk.(editor).
Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Tomagola,Thamrin Amal. Akar kekerasan Komunal  http://www.kontan-


online.com/03/35/refleksi/ref2.htm, 13 Desember 2004.

Wahid, Abdurrahman.”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” dalam  Hidayat,


Komaruddin dan Gaus AF( ed.), Ahmad. Passing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1999.

[1] Artkel ini pernah dimuat dalam Jurnal Studi Islam, Ulul Albab-UIN Malang tahun 2006.

[2] Penulis kini adalah Dosen Pascasarjana dan Pembantu Dekan Bidang Akademik Fakultas
Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

[3]Riza Sihbudi dan Nurhasyim (ed.), Kerusuhan Sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang,
Mataram, dan Sambas. Jakarta: Grasindo, 2001.  42-100.

[4] Lorraine V. Aragon. “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat
Fish and Fish Eat People” dalam Journal of SEAP, Indonesia Cornellsoutheast Asia Program,
45.

[5] Greg Acciaioli. “Grounds of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and
Nationalism in Violence Avoidance at the  Lindu Plain, Central Sulawesi” dalam Journal of
SEAP, Indonesia Cornellsoutheast Asia Program, 84. Lihat pula Hamim, Thoha. Islam dan
NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama,
Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama, 2004, 207.

[6] Ibid., 83.

[7] Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence.
Berkeley::  University of California Press,  2000, 9.

[8] Annimarie Schimmel,” Inklusivitas Kebenaran Agama” dalam Andito (ed.), Atas Nama
Agama (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998), 57.

[9] Kakar, Sudhir. The Colors of Violence Cultural Identities, Religion and Conflict. Chicago:
University of Chicago Press,  1996: 192.

[10] Azyumardi Azra. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta:


Paramadina, 1999, 18.

[11] Wahid, Abdurrahman.”Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama” dalam 


Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF( ed.), Ahmad. Passing Over: Melintas Batas Agama.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, 51-59.

[12] Ibrahim Abu Rabi’, Christian-Muslim Relations in Indonesia: the Challenges of the
Twenty-First Century” dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), Vol.v,no.1, 1998, 1-2.

[13]Bobby S. Sayyid. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the emergence of Islamism.


London&New York: Zed Book Ltd, 1997, 7-10. Lihat pula P.J. Vatikiotis. “What is an
Islamic Revival?” dalam Journal of New Society February, 15, 1979, 354.

[14] Armada Riyanto, “Membongkar Eksklusivisme  Hidup Beragama” dalam Riyanto,


Armada (ed.). Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT
Widyasasana, 2000, 16-34.

[15] Keunggulan agama  sebagai alat legitimasi dibanding dengan yang lain, menurut Peter L.
Berger terletak pada dua hal: pertama, legitimasi selain agama hanya mungkin memenuhi
tuntutan pemeliharaan realitas pada tingkat obyektif, namun sulit untuk perfect pada tingkat
subyektif; kedua, legitimasi agama menghubungkan  konstruksi-konstruksi realitas  rentan
dari masyarakat empiris  dengan realitas purna. Ia mendapat sandaran pengesahan dari
kekuasaan yang misterius dan menakjubkan (misterium tramendum fascinan). Lihat Peter L.
Berger. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES, 1994. 36-41.

[16] Zulfan Tajoedin, berdasarkan hasil penelitiannya bersama UNSFIR, mencatat beberapa
peristiwa kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia, baik berbasis pada etnis, agama
maupun migrasi, secara kuantitas maupun kualitas didominasi oleh kekerasan komunal di
Maluku, di mana di daerah ini proporsi Muslim-Kristen relatif seimbang, dan dengan dipicu
beragam ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan, maka konflik lebih bernuansa agama.
Terlebih ketika ada pengiriman lasykar jihad ke Maluku, yang alih-alih meredakan konflik,
yang terjadi justru membuat konflik berubah menjadi kerusuhan agama.

[17] Thamrin Amal T. Akar kekerasan Komunal  http://www.kontan-


online.com/03/35/refleksi/ref2.htm, 13 Desember 2004.

[18] Ibid.
[19] Ibid, 2.

[20] http://www.hrw.org/reports/2002/indonesia/indonesia 1 102-03.htm#P119_15133, 1


Nopember 2004.

[21] Hafid Abbas, Dirjen perlindungan HAM-Dep Kehakiman dan HAM.


http://www.humanrights.go.id/index_HAM.asp?menu=pakar&id=13, 14 Desember 2004

[22] Paskalis, Edwin. “Agama dan Kekerasan” dalam Riyanto, Armada (ed.). Agama
Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000, 35-45.

[23] Toha Hamim, Islam dan NU, 212.

[24] Ibid., 231.

[25] Nn. “Violence Erupt in Riau, Transmigrants” Homes Burned, British Broadcasting
Corporation, 12 Februari 2001.

[26] Elizabeth Fuller Collins. http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_efc.htm. 13


Desember 2004

[27] Sumartana, Th.“Dari Konfrontasi ke Dialog (Beberapa Aspek Landasan  Historis-


Teologis Hubungan Antar-Etnis dan Agama di Indonesia” dalam Th. Sumartana dkk.(editor).
Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001,
99-105.

[28] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan,
1997, 3-36.

[29] Bahtiar Effendy. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan


Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan. Yogyakarta: Galang Press,
2001, 21-66.

[30] Khaled Akasheh dan Armada Riyanto,” Sikap Dialogal Gereja: Komitmennya dalam
Dialog dengan Islam” dalam Armada Riyanto (ed.) Agama Kekerasan Membongkar
Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000, 1- 15.

[31] Kelompok gereja mainstream telah melakukan interpretasi eksternal kepada agama lain
bahwa agama Kristen –sebagaimana Islam-- tidaklah monolitik terhadap arti keselamatan.
Bagi kelompok ini, keselamatan berarti bahwa Tuhan mencintai seluruh umat manusia, dan
keselamatan bukan persoalan di sorga. Oleh karena itu, menurut Sutanto, perlu ada kampanye-
kampanye internal dan eksternal untuk menyadarkan pesan utama agama ini, yakni bukan
persoalan masuk atau tidak masuk Kristen karena masalah itu adalah hanya Tuhan yang tahu.
Kedua adalah kampanye, tetapi ada kelompok-kelompok lain yang memiliki tafsiran dan
interpretasi agama yang beragam. Namun, di atas segalaya bahwa yang penting adalah para
kaum agamawan seharusnya mengembagkan sikap dan pandangan keagamaan yang inklusif,
dialogis dan mau terbuka kepada pihak lain. Ini karena, isu pluralisme sebagai salah satu isu
mondial, tidak bisa dihindari oleh agama dan pihak manapun juga.[31]
[32] Th. Sumartana, “Sekelumit Sejarah Gereja Protestan”, 82.

[33] Rivai Bolotio,.”Membangun Kesepahaman Lintas SARA: Sebuah Kontemplasi di


Tengah Kemelut” dalam Th. Sumartana dkk.(editor). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan
Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, 107-117.

[34] William Chang, Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama” dalam Th. Sumartana dkk.
(ed.). Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001, 119-128.

[35] Ibrahim Abu Rabi’, Christian-Muslim Relations in Indonesia: the Challenges of the
Twenty-First Century” dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies.
Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah. Volume 5,Number 1, 1998, 3-23.

[36] Hamim, Islam dan NU, 207-216.

[37] Robert Hefner, Modernity and  the Challenge of Pluralism: Some Indonesian Lessons”
dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah. Volume 2, Number 4, 1995, 31- 43.

[38] Ibrahim Abu Rabi’, Christian-Muslim Relations in Indonesia: the Challenges of the
Twenty-First Century” dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah), Vol.v,no.1, 1998, 1-2.

You might also like