Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh :
Desi Safitri
Desi Yulia
Dewi Erlinda
III A
1
BAB I
Pendahuluan
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini agar kita sebagai umat Islam dapat mengetahui kedudukan
manusia dalam Tazkiyah an-nafs.
2
BAB II
Pembahasan
Tazkiyah An-Nafs Dalam Tasawuf
1
Q.S. YUSUF: 53;
3
diberi rahmat”, yakni kepribadian yang didominasi sifat kasih sayang. Selain kata “nafsu” dalam
Al-Qur’an juga ditemukan istilah hawa atau ahwa yang berpengetiannya sama dengan “nafsu”,
kecenderungan untuk berbuat sesuatu “Al hawa” muncul ketika orang ingin keluar dari jalur
kebenaran, dan bahkan banyak manusia yang menempatkan “hawa” pada posisi yang tinggi. Dari
penegasan Al-Qur’an ini dapat dicatat, bahwa “nafsu” itu adalah hasrat dan “keinginan rendah”,
yakni naluri yang bersifat biologis, hasrat yang cenderung kepada pemenuhan kesenangan badani,
yang dalam sufisme disebut “nafs al hayawaniyah”.2 Dalam teori Freud, tipe nafsu ini dapat
digolongkan dengan dorongan “instink” atau “Id”, yakni naluri primtif yang ada dibawah sadar.
Berdasarkan isarat-isarat Al-Qur’an ini, kelihatannya kata “nafsu” harus dibedakan
kepada dua pengertian dasar, yaitu : “hawa nafsu” sebagai dorongan hasrat yag rendah yang
digerakan oleh naluri hayawaniyah, dan “nafsu” yang bersifat netral, bisa bersifat buruk dan juga
bisa bersifat baik. “Nafs” bisa bermakna “jiwa” yakni jiwa yang memiliki jaminan, bahwa yang
diusahakannya akan mempengaruhi jiwa orang tersebut.3 Kata “nafs” dalam pengertian “jiwa yang
tenang” dan sangat populer dikalangan sufi, karena kualitas jiwa yang seperti itulah yang menjadi
dambaan dalam sufisme.4
2
Tiga macam “ nafsu” yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terlihat ada kemiripannya dengan struktur tiga jenis
dorongan yang ditemukan oleh Freud dalam kajian psiko-analis, yakni Id, ego dan super-ego. (S. Freud, Introductory
Lectures on Psyco Analysis, J.Riviera,London,1961:72)
3
Q.S. Mudatsir:38.
4
Q.S. Al-Fajr: 27.
4
Tazkiyah an-nafs dalam pandangan tasawuf adalah, pembinaan dan pengembangan
akhlak al-karimah dalam diri manusia. Ini berarti perkembangan kualitas moral manusia bukan
suatu yang berjalan dengan sendirinya tapi akan tumbuh subur atau layu dalam dinamika
kehidupan kesadaran moral manusia.
Dalam pandangan tasawuf lainnya “an-nafs” juga dimaknai sebagai kelembutan latifah
yang bersifat ke-Tuhan-an karena ia terdiri dari non materi yang berasal dari Allah. Menurut
psiko-analisis tasawuf yang diawali oleh Al-Ghazali, secara anatomis jiwa “an-nafs” dibedakan
tujuh lapisan sebagai “lathifah tujuh” :
1. An-Nafs Al-Ammarah, impelling self, Id, jiwa rendah.
2. An-Nafs Al-Lawwamah, critical self, ego, jiwa kritis.
3. An-Nafs Al-Mulhimmah, inspired self, jiwa yang sadar.
4. An-Nafs Muthmainnah, serene self super ego, tawazun, harmonis, stabil dan
tenang.
5. An-Nafs ar-radhian, pleased self, tanpa pamrih, ikhlas dan rela, qanaah, puas.
6. Nafs al – mardiah, blessing self, jiwa yang direstui, selalu mencari ridha Allah.
7. An-Nafs al-kamilah, perfection self, jiwa paripurna.
5
Proses penyucian diri adalah dengan dzikir. Upaya menjadikan dzikir sebagai kebutuhan
hidup dan kehidupan dan pembinaan suasana yang kondusif untuk mengabadikan ‘nafs
muthmainnah’ dalam diri di perlukan sikap disiplin dan istiqomah dalam lima hal, yakni ;
a. Mu’ahadat, yakni selalu ingat dan sadar akan janji yang telah di ikrarkan kepada Allah.
b. Muhasabah, yakni memikirkan, menganalisa dan memperhitungkan secara teliti dan
jujur segala apa yang sudah dan akan dilakukan.
c. Mu’aqabah,yakni pemberian sanksi kepada diri sendiri apa kenyataan hasila
muhasabah menunjukan nilai kurang walau sekecil apa pun.
d. muraqabah, yakni kesadran rohaniah tentang ‘kebersamaan’ dengan Allah dalam segala
suasana.
e. Mujahadah, yakni perperangan dalam mempertahankan agama.
Ummul Mu’minin Aisyah berkata ‘ suatu hari, rasulullah SAW.keluar dari kediaman
saya dengan perasaan gembira .Akan tetapi, ketika kembali beliau terlihat sedih sehingga
saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab,
‘sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam ka’baah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau
saja saya tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan
memberatkan umat saya yang datang kemudian.” (HR MUSLIM)
BAB III
7
Penutup
3.1 Kesimpulan
Nafs adalah nafsu yang sudah merupakan salah satu cirri manusiawi yang ada pada
setiap manusia. Jika ada manusia yang tidak memiliki nafsu maka manusia itu tidak normal.
Sesungguhnya nafsu adalah pengerak manusia untuk mau melakukan sesuatu, baik itu perbuatan
yang baik maupun perbuatan yang buruk karena nafsu itu juga merupakan daya atau tenaga yang
ada pada setiap manusia.
3.2 Saran
Makalah ini hanyalah sebuah ulasan yang sangat sederhana sekali, jadi tentunya banyak
sekali hal – hal yang belum tercantum dalam makalah ini. Tidak ada salahnya untuk dosen
pembimbing dan para pembaca yang membaca makalah ini untuk lebih memberikan kritik dan
menambahkan beberapa masukan materi yang belum terdapat di makalah kami demi
menyempurnakan ilmu dan pengetahuan kita semua.
Daftar Pustaka
8
Siregar, rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Rajawali Pers, 2002, Jakarta.
Riyadh, saad, Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Gema Insani, 2007, Jakarta.