You are on page 1of 9

Tugas Kelompok Dosen Pembimbing

Akhlak Tasawuf Adam Malik, Lc

Kedudukan Manusia dalam


Tazkiyah An-Nafs

Disusun Oleh :
Desi Safitri
Desi Yulia
Dewi Erlinda

III A

PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
2011

1
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang.


Tujuan tasawuf secara umum, kelihatannya jiwa yang suci adalah syarat mutlak untuk
tercapainya tujuan itu. Jiwa yang suci atau jiwa yang yang tercerahkan, adalah terbebasnya dari
pengaruh hawa nafsu. Karena hawa nafsu merupakan daya yang selalu cendrung pada keburukan,
sedangkan hal-hal yang buruk merupakan sumber dari kekotoran jiwa. Kondisi spiritual yang
cerah dan bening ditimpali Nur Illahi, akan merasa dan merasa dan melihat kehadiran Tuhan
dalam dirinya musyahadat al asrar. Kualitas jiwa jiwa yang demikian adalah jiwa yang telah
menemukan kembali kesejatiannya sebagai “ ruh- ilahiyat.”
Hidup dalam suasana kejiwaan yang harmonis, berdampak pada pembebasan diri dari
keterangan structural dan cultural, yang pada gilirannya akan mampu mengukuhkan otonomi
pribadi di tengah kegalauan kehidupan sekitarnya. Oleh karena itu tasawuf sebagai “ gerakan
revolusi spiritual” mampu membangun pribadi dan masyarakat yang berdaya kritis dan bebas dari
semangat pragmatism.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian Nafs
2. An-Nafs dalam tasawuf
3. Metode Tazkiyah An-Nafs
4. Nafs Muthmainnah, Proses Pembudayaan
5. Penguanaan Lafal Nafs Dalam Hadist Nabi Saw

1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini agar kita sebagai umat Islam dapat mengetahui kedudukan
manusia dalam Tazkiyah an-nafs.

2
BAB II
Pembahasan
Tazkiyah An-Nafs Dalam Tasawuf

2.1 Pengertian An-Nafs


a. An-Nafs – Menurut Bahasa
Salah satu misteri yang tersimpan dalalm diri manusia, adalah “Nafs” yang lebih sering
diucapkan sebagai nafsu. Dalam bahasa harian, “nafsu” kerap diartikan sebagai “tenaga” atau
“daya” yang ada pada diri setiap orang. Sebagai “daya” maka ia tidak terlihat namun dapat
dirasakan kehadirannya, terutama ketika seseorang berkeinginan untuk berbuat seseuatu yang
dianggapnya dapat memuaskan keinginanya. Dalam kaitan ini “nafs” yang paling populer dan
akrab dengan istilah ini, adalah “nafsu sahwat” atau dorongan seksual. Berbeda lagi artinya,
apabila istilah ini diimbuhi dengan awalan “ber”, jadi “bernafsu”, maka kata ini lebih mengacu
kepada “selera” makan dan minum, untuk menaklukkan lawan dan atau memenangkan
persaingan.
Namun demikian bagaimanapun “nafsu” itu, dia adalah salah satu ciri manusia yang
manusiawi, sehingga menjadi bagian dari manusia. Kalau ada orang “kurang nafsu”, maka orang
itu dinyatakan ada kelemahannya, bahkan dapat disebut sebagai tidak normal. Dan kelihatannya
“nafsu” ini pula yang menjadi mesin penggerak kemajuan di dunia ini. Bahkan, karena manusia “
bernafsu” itulah ia diberikan kehormatan sebagai “khalifah” Tuhan di bumi ini, bukan malaikat
yang diberi tugas itu, karena ia tidak “bernafsu”. Dalam kaitan ini Sigmud Freud mengatakan,
peradaban akan berkembang hanya apabila prinsip realitas dapat mengalahkan prinsip
kesenangan. Menurut Freud, manusia pada dasarnya dikendalikan oleh nalurinya (nafsunya) yang
bertujuan untuk mencapai kepuasan. Apabila naluri – naluri ini tidak dikendalikan, dampaknya
akan bersifat anti sosial, anarkis, serakah dan kejam.

b. An-Nafs dalam Al-Qur’an


Apabila dibuka Al-Qur’an, kata “nafsu” nampaknya berasal dari “nafs” , yang kata
jamaknya “anfus” dan “nufus” yang diartikan sebagai “jiwa” – “diri” – “pribadi” – “ hidup” –
“pikiran” – “hati” – yang dalam bahasa Inggris disebut soul, psyche dan nous. Apabila secara
khusus dibaca Surat Yusuf 531, kata “nafs” kelihatannya bermakna ganda, yakni cenderung untuk
berbuat jahat (nafs ammarah) tetapi bisa juga berbuat kebaikan (nafs al-marmahah), “nafsu yang

1
Q.S. YUSUF: 53;
3
diberi rahmat”, yakni kepribadian yang didominasi sifat kasih sayang. Selain kata “nafsu” dalam
Al-Qur’an juga ditemukan istilah hawa atau ahwa yang berpengetiannya sama dengan “nafsu”,
kecenderungan untuk berbuat sesuatu “Al hawa” muncul ketika orang ingin keluar dari jalur
kebenaran, dan bahkan banyak manusia yang menempatkan “hawa” pada posisi yang tinggi. Dari
penegasan Al-Qur’an ini dapat dicatat, bahwa “nafsu” itu adalah hasrat dan “keinginan rendah”,
yakni naluri yang bersifat biologis, hasrat yang cenderung kepada pemenuhan kesenangan badani,
yang dalam sufisme disebut “nafs al hayawaniyah”.2 Dalam teori Freud, tipe nafsu ini dapat
digolongkan dengan dorongan “instink” atau “Id”, yakni naluri primtif yang ada dibawah sadar.
Berdasarkan isarat-isarat Al-Qur’an ini, kelihatannya kata “nafsu” harus dibedakan
kepada dua pengertian dasar, yaitu : “hawa nafsu” sebagai dorongan hasrat yag rendah yang
digerakan oleh naluri hayawaniyah, dan “nafsu” yang bersifat netral, bisa bersifat buruk dan juga
bisa bersifat baik. “Nafs” bisa bermakna “jiwa” yakni jiwa yang memiliki jaminan, bahwa yang
diusahakannya akan mempengaruhi jiwa orang tersebut.3 Kata “nafs” dalam pengertian “jiwa yang
tenang” dan sangat populer dikalangan sufi, karena kualitas jiwa yang seperti itulah yang menjadi
dambaan dalam sufisme.4

2.2 An-Nafs Dalam Tasawuf


Manusia diciptakan dalam suatu proses dalam badaniah maupun rohaniah. Karena itu,
disamping pertumbuhan badaniah yang berlangsung secara alamiyah, manusia juga
mengembangkan dan membangun diri pribadinya sesuai dengan fitrah kejadiannya.
Dalam proses peningkatan kualitas “nafs” manusia sebagai subyek yang sadar dan
bebas memilih jalannya sendiri, apakah “fujur” atau “taqwa”. Menurut Abduh, jalan fujur adalah
jalan yang mengarah pada hal – hal yang merugikan sedangkan taqwa adalah jalan yang mengarah
pada kebaikan.
Menurut kaidah bahasa Arab, berasal zakka fi il muta’addi yang mengandung dua
pengertian, yaitu pertumbuhan dan membersihkan. Maka tazkiyah an-nafs adalah usaha-usaha
yang bersifat spiritualitas, yaitu upaya mewujudkan manusia yang berkualitas moral yang karimah
dan upaya sifat penyucian diri, yaitu menjaga dan memelihara diri dari sifat immoralitas. Maka
paradigma sufisme mengatakan tazkiyah an-nafs adalah proses perkembangan jiwa manusia,
proses pertumbuhan dan pembinaan akhlak al-karimah dalam diri dan kehidupan manusia.

2
Tiga macam “ nafsu” yang disebutkan dalam Al-Qur’an, terlihat ada kemiripannya dengan struktur tiga jenis
dorongan yang ditemukan oleh Freud dalam kajian psiko-analis, yakni Id, ego dan super-ego. (S. Freud, Introductory
Lectures on Psyco Analysis, J.Riviera,London,1961:72)
3
Q.S. Mudatsir:38.
4
Q.S. Al-Fajr: 27.
4
Tazkiyah an-nafs dalam pandangan tasawuf adalah, pembinaan dan pengembangan
akhlak al-karimah dalam diri manusia. Ini berarti perkembangan kualitas moral manusia bukan
suatu yang berjalan dengan sendirinya tapi akan tumbuh subur atau layu dalam dinamika
kehidupan kesadaran moral manusia.
Dalam pandangan tasawuf lainnya “an-nafs” juga dimaknai sebagai kelembutan latifah
yang bersifat ke-Tuhan-an karena ia terdiri dari non materi yang berasal dari Allah. Menurut
psiko-analisis tasawuf yang diawali oleh Al-Ghazali, secara anatomis jiwa “an-nafs” dibedakan
tujuh lapisan sebagai “lathifah tujuh” :
1. An-Nafs Al-Ammarah, impelling self, Id, jiwa rendah.
2. An-Nafs Al-Lawwamah, critical self, ego, jiwa kritis.
3. An-Nafs Al-Mulhimmah, inspired self, jiwa yang sadar.
4. An-Nafs Muthmainnah, serene self super ego, tawazun, harmonis, stabil dan
tenang.
5. An-Nafs ar-radhian, pleased self, tanpa pamrih, ikhlas dan rela, qanaah, puas.
6. Nafs al – mardiah, blessing self, jiwa yang direstui, selalu mencari ridha Allah.
7. An-Nafs al-kamilah, perfection self, jiwa paripurna.

2.3Metode Tazkiyah An-Nafs


1. TAKHALLI
Takhalli adalah proses transformasi “nafs” yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi,
yaitu proses pengosongan jiwa dari segala kecenderungan yang jelek.
2. TAHALLI
Tahalli adalah pengisian kembali jiwa yang bersih dengan sifat-sifat terpuji. Cara yang
paling disukai sufi adalah melalui DZIKIR karena DZIKIR adalah tiang utama dan gerbang utama
menuju Allah.
3. TAJALLI
Tajali adalah tahap penghalusan dan penyuburan rasa ketuhanan melalui pendalaman
spiritual. Ini bertujuan untuk pemeliharaan kontak langsung dengan Allah secara terus-menerus
dan selalu bersama dengan Allah didunia dan diakhirat. Cara yang dianjurkan sufisme adalah
Dzikirul Maut, selalu ingat dengan kematian.

2.4Nafs Muthmainnah, Proses Pembudayaan


Nafs al muthmainnah adalah tingkat perkembangan jiwa yang paling tinggi dan kearah
yang penyucian diri dan proses penyucian jiwa.

5
Proses penyucian diri adalah dengan dzikir. Upaya menjadikan dzikir sebagai kebutuhan
hidup dan kehidupan dan pembinaan suasana yang kondusif untuk mengabadikan ‘nafs
muthmainnah’ dalam diri di perlukan sikap disiplin dan istiqomah dalam lima hal, yakni ;
a. Mu’ahadat, yakni selalu ingat dan sadar akan janji yang telah di ikrarkan kepada Allah.
b. Muhasabah, yakni memikirkan, menganalisa dan memperhitungkan secara teliti dan
jujur segala apa yang sudah dan akan dilakukan.
c. Mu’aqabah,yakni pemberian sanksi kepada diri sendiri apa kenyataan hasila
muhasabah menunjukan nilai kurang walau sekecil apa pun.
d. muraqabah, yakni kesadran rohaniah tentang ‘kebersamaan’ dengan Allah dalam segala
suasana.
e. Mujahadah, yakni perperangan dalam mempertahankan agama.

2.5Penguanaan Lafal Nafs Dalam Hadist Nabi Saw


Kata nafs dalam hadist rasullullah digunakan dalam makna zat atau esensi manusia yang
memiliki wujud sendiri. Dengan itulah manusia memiliki kemampuan untuk menilai dan
memberikan tanggapan terhadap berbagai hal.
Kata nafs juga di pakai dalam makna ruh, yaitu yang dengan seorang manusia yang dapat
hidup di dunia ini. Dengan kata lain nafs ini lepas dari badan nya maka seketika itu pula ia akan
terlepas dari kehidupan yang sedang di jalani.

a. Nafs dengan arti perasaan(widjaan\ emotion) dan prilaku (suluuk\behavior)


Ada beberapa hadist yang menggunakan lafal nafs dikaitkan dengan situasi kejiwaan
tertentu, baik perasaan yang tenang maupun perasaan emosi yang stabil. Sebagai contoh
di bawah ini.

Ummul Mu’minin Aisyah berkata ‘ suatu hari, rasulullah SAW.keluar dari kediaman
saya dengan perasaan gembira .Akan tetapi, ketika kembali beliau terlihat sedih sehingga
saya terdorong untuk menanyakan penyebabnya. Beliau kemudian menjawab,
‘sesungguhnya saya tadi masuk ke dalam ka’baah. Tiba-tiba muncul pemikiran kalau
saja saya tidak melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan saya khawatir akan
memberatkan umat saya yang datang kemudian.” (HR MUSLIM)

b. Nafs dengan arti zat\esensi manusia


6
Manusia bertanggung jawab penuh terhadap baik atau buruk arah zat dirinya tersebut.
oleh karena itu, dia tidak boleh menyakiti atau menyia-nyiakannya dengan melakukan
amalan-amalan yang jauh dari ridho Allah SWT. Dalam hal ini diriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW. Pernah bertanya kepada Abdullah bin Amru ibnul Ash. “ engkaukah
orang yang senantiasa sepanjang hari dan melakukan sholat sepanjang malam?”
Abdullah menjawab “ benar”. Rasulullah SAW berkata, “ jika kamu teruskan
kebiasaan seperti itu maka mata mu akan sakit dan jiwa mu akan menjadi letih. Tidak
dibolehkan melakukan puasa sepanjang hari. Berpuasa tiga hari disetiap pertengahan
bulan adalah laksana berpuasa sepanjang tahun.” Abdullah lalu berkata, ” akan tetapi,
saya sanggup melakukan yang lebih dari itu”. Rasullah menjawab, “ jika demikian
berpuasalah seperti puasanya Daud a.s. yaitu berpuasa sehari kemudian berbuka sehari.
Dia tidak menghindar dari musuh apabila bertemu,”(HR. Bukhori).
c. Nafs dengan Arti Ruh Manusia
Lafal nafs kebanyakan dipergunakan dalam makna ruh yang harus dipelihara dengan
baik serta tidak boleh dibunuh atau dirusak dalam keadaan apapun. Anas bin Malik r.a.
meriwayatakan bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang perbuatan – perbuatan yang
dikategorikan sebagai dosa besar. Beliau menjawab, “mempersekutukan Allah SWT,
durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa dan melakukan sumpah palsu (H.R.
Bukhori).

BAB III
7
Penutup
3.1 Kesimpulan
Nafs adalah nafsu yang sudah merupakan salah satu cirri manusiawi yang ada pada
setiap manusia. Jika ada manusia yang tidak memiliki nafsu maka manusia itu tidak normal.
Sesungguhnya nafsu adalah pengerak manusia untuk mau melakukan sesuatu, baik itu perbuatan
yang baik maupun perbuatan yang buruk karena nafsu itu juga merupakan daya atau tenaga yang
ada pada setiap manusia.
3.2 Saran
Makalah ini hanyalah sebuah ulasan yang sangat sederhana sekali, jadi tentunya banyak
sekali hal – hal yang belum tercantum dalam makalah ini. Tidak ada salahnya untuk dosen
pembimbing dan para pembaca yang membaca makalah ini untuk lebih memberikan kritik dan
menambahkan beberapa masukan materi yang belum terdapat di makalah kami demi
menyempurnakan ilmu dan pengetahuan kita semua.

Daftar Pustaka

8
Siregar, rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Rajawali Pers, 2002, Jakarta.
Riyadh, saad, Jiwa dalam Bimbingan Rasulullah, Gema Insani, 2007, Jakarta.

You might also like