Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
domestik tahun 2009 mencapai 54,5 juta ton dan rata-rata meningkat 9% per
diantaranya yaitu limbah abu layang yang mencapai 7,87% dari batubara
yang digunakan (Herry P., 1993). Limbah abu layang yang akan terus
pada pembangkit tenaga listrik, merupakan masalah yang tidak asing lagi
1
2
sumber energi. Akumulasi limbah abu layang ini bila tidak dimanfaatkan
Tanjung Jati B Jepara misalnya, puluhan ribu ton abu layang ditumpuk dan
lahan yang diperlukan jika limbah tersebut dibiarkan saja dari tahun ke tahun
tanpa dimanfaatkan. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, maka abu layang
tidak mempunyai nilai ekonomi dan justru akan menimbulkan masalah bagi
layang mempunyai komposisi kimia yang sebagian besar tersusun atas oksida
logam, terutama SiO2 dan Al2O3, yang mempunyai situs aktif sehingga
unburned carbon rendah (Herry P., 1993). Akan tetapi, pada beberapa PLTU
sebesar 25-38 m2/g, akan tetapi jika dibandingkan dengan karbon aktif yang
3
mempunyai luas permukaan spesifik sebesar 945 m2/g, masih perlu solusi
untuk mengolah dan memanfaatkan abu layang ini seefektif mungkin sebelum
dapat ditingkatkan.
kebutuhan air bersih saat ini sudah menjadi masalah yang cukup serius. Hal
ini diperburuk lagi dengan meningkatnya air oleh limbah industri, terutama
kontaminasi logam berat dalam limbah cair berdampak buruk bagi kesehatan
limbah abu layang, juga dapat menangani masalah pencemaran akibat adanya
beratkan pada logam berat yaitu timbal dan seng, mengingat kedua logam
yaitu tahap aktivasi dan karakterisasi abu layang, serta tahap uji kemampuan
layang batubara?
layang batubara.
sebagai adsorben limbah cair yang mengandung ion logam berat Pb2+ dan
Zn2+.
3. Ion logam Pb2+ dan Zn2+ dapat diadsorpsi menggunakan abu layang yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
abu layang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Partikel abu yang terbawa
gas buang disebut fly ash, sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari
bawah tungku disebut bottom ash. Di Indonesia, produksi limbah abu dasar
dan abu layang dari tahun ke tahun meningkat sebanding dengan konsumsi
penggunaan batubara sebagai bahan baku pada industri PLTU, seperti yang
limbah yang lebih banyak dibandingkan bahan bakar minyak dan gas. Selain
(SOx), oksida nitrogen (NOx), gas hidrokarbon, karbon monoksida (CO) dan
dan tungku underfeed stoker 30-80 % dari total abu batubara, fly ash
7
senyawa silikat (SiO2) dan alumina (Al2O3). Sedangkan oksida besi, kalsium,
beberapa oksida yang terdapat pada abu layang batubara dapat dilihat pada
Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Komposisi kimia abu layang batubara PLTU Tanjung Jati B
Unsur Kandungan (% b/b)
SiO2 54,59
Al2O3 31,69
CaO 4,27
MgO 4,38
Fe2O3 3,19
Sumber : Jumaeri, 1995.
berbentuk bola padat atau berongga. Kerapatan abu layang berkisar antara
2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan
terbesar untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali, penanganan abu layang (fly
ash) yaitu dikirim menggunakan udara bertekanan ke silo abu layang yang
berada diluar ruangan yang hanya dibatasi oleh pagar yang menjulang tinggi
di setiap sisinya. Pada PLTU Tanjung Jati B, dapat memproduksi 33.000 ton
fly ash per bulan. Jumlah abu layang batubara tersebut demikian banyaknya
memanfaatkan limbah padat tersebut. Hingga saat ini abu layang batubara
beton.
Selain itu, abu layang batubara yang dikonversi menjadi zeolit dan
yang murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan
limbah gas maupun limbah cair. Adsorben ini dapat digunakan dalam
penyisihan logam berat, limbah zat warna yang berbahaya, dan senyawa
organik pada pengolahan limbah. Abu layang batubara dapat dipakai secara
9
langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik
kimia dan adsorpsi. Adsorpsi merupakan proses yang sederhana tetapi efektif
Asam sulfat merupakan salah satu senyawa yang sangat korosif dan
berbentuk cairan kental, yang banyak digunakan dalam industri. Asam sulfat
murni yang tidak diencerkan, tidak dapat ditemukan secara alami karena
oksidasi mineral sulfida. Uap asam sulfat sangat iritatif terhadap saluran
pernapasan. Asam sulfat seperti halnya asam nitrat merupakan oksidator kuat.
Asam kuat ini sering dipakai jika akan menganalisis mineral dari bahan
Asam sulfat dapat larut dengan air dengan segala perbandingan, serta
mempunyai titik lebur 10,310C dan titik didih pada 336,850C. Untuk lebih
jelasnya, sifat fisika asam sulfat dapat dilihat pada Tabel 2.3.
10
jumlah ion H+ yang lebih banyak daripada asam-asam yang lain, serta
terdapat pada abu layang. Selain itu, tujuan aktivasi kontak asam adalah
menukar kation yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan
unsur alkali/alkali tanah) dari kisi-kisi struktur, sehingga secara fisik abu
layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya dan situs
adsorben dan menutupi situs aktif dari adsorben, dapat dihilangkan dengan
adsorben mempunyai area yang lebih luas, serta situs aktifnya juga
kemungkinan juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarutan.
Peningkatan luas permukaan spesifik pori dan situs aktifnya akan dapat
terjadi proses dealuminasi yaitu proses pelepasan Al dari abu layang batubara,
ion hidrogen. Pada proses aktivasi selanjutnya terjadi proses pelepasan yang
2.3 Adsorpsi
adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat. Energi
dan biasanya terkonsentrasi pada permukaan atau antar muka (Alberty dan
Daniels, 1983:230-234).
1. Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisik terjadi karena adanya antaraksi Van der Waals antara
adsorbat dan substrat dengan jarak jauh, lemah, dan energi yang dilepaskan
jika partikel teradsorpsi secara fisik mempunyai orde besaran yang sama
dengan entalpi kondensasi. Entalpi yang kecil ini tidak cukup untuk
adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu kurang dari 20,92 kJ/mol
(Adamson, 1990:693).
2. Adsorpsi Kimia
mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu di atas 20,92 kJ/mol
a. Konsentrasi
konsentrasi yang rendah dari campuran yang mengandung bahan lain dengan
konsentrasi tinggi.
b. Luas Permukaan
c. Suhu
14
demikian pengaruh suhu adsorpsi zat cair tidak sebesar pada adsorpsi gas.
d. Ukuran partikel
e. pH
f. Waktu kontak
logam oleh adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam.
Penyerapan zat dari larutan, mirip dengan penyerapan gas oleh zat
padat. Penyerapan bersifat selektif, yang diserap hanya zat terlarut atau
pelarut. Bila dalam larutan ada dua zat atau lebih, zat yang satu akan diserap
lebih kuat dari yang lain. Zat-zat yang dapat menurunkan tegangan muka
antara, lebih kuat diserap. Makin kompleks zat yang terlarut, makin kuat
besarnya kapasitas adsorpsi serta energi adsorpsi terhadap ion logam Pb2+ dan
sejumlah tertentu situs aktif yang sebanding dengan luas permukaan. Pada
15
setiap situs aktif hanya ada satu molekul yang dapat diadsorpsi. Adsorpsi
terdapat situf aktif yang proposional dengan luas permukaan dimana masing-
masing situs aktif hanya dapat mengadsorpsi satu molekul saja, dengan
fisika atau kimia tetapi harus cukup untuk mencegah perpindahan molekul
.....................................................(1)
.....................................................(2)
Keterangan:
b = Kapasitas adsorpsi maksimum (mg mol logam terserap pada keadaan jenuh.
K = Konstanta kesetimbangan.
dalam hal ini R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah
Teller pada tahun 1938. Metode ini digunakan untuk permukaan yang datar
(tidak ada lekukan) dan tidak ada batas dalam setiap layer yang dapat
yang sama) dan tidak ada interaksi selama molekul teradsorpsi (Duong,
1998).
paling banyak dipakai untuk menentukan surface area dan volume pori
tersebut, terdapat dua tahapan yang harus dilalui oleh sampel, yaitu tahap
selama 5 jam agar kandungan uap air dan gas-gas pengotor yang tidak
17
ke dalam sampel cell, lalu ditimbang. Setelah itu dilakukan proses vacumm
seksama uap air dan gas-gas pengotor yang ada pada permukaan sampel.
luas permukaan dan volume porinya. Sebelum analisis dijalankan, dipilih tipe
dan kondisi analisis serta parameter reduksi data yang diinginkan. Pengujian
titik didih nitrogen cair pada kondisi standar. Luas permukaan padatan dan
P
dibatasi pada kisaran 0,05 0,35 . Perhitungan dilakukan dengan
Po
instrument.
1 1 C 1 P
P0 WmC WmC P0
W 1
P
dimana :
C 1 1
Nilai slope dan intersep dihitung dengan least square,
WmC WmC
Wm.N av . A p
Si (Lowel, 1984)
BM N 2
cair pada tekanan 1 atm dan temperatur 77oK dan harga σ = 16,2 Ǻ2/molekul.
atau bergetar. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang menghubungkan
dua atom dapat dimisalkan sebagai dua bola yang dihubungkan oleh pegas
menyerap energi radiasi, sehingga terjadi perubahan tingkat vibrasi, yakni dari
19
tingkat dasar atau ground state ke tingkat vibrasi tereksitasi atau exited state
(Khopkar, 1984).
teknik analisis kimia yang metodenya berdasarkan pada penyerapan sinar infra
sinar infra merah berinteraksi dengan sampel, ikatan kimia akan mengalami
dalam rentang waktu tertentu terlepas dari struktur molekul sisa (Chen, 2009).
dengan metode pelet KBr. Penentuan struktur ini dilakukan dengan melihat
(Hendayana, 1984).
menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (stray radiation). Berkas sinar ini
melalui slit, sinar tersebut dapat difokuskan pada detektor yang akan
mengubah berkas sinar menjadi sinyal listrik yang selanjutnya direkam oleh
kebiruan, dengan rapatan tinggi (11,48 g/ml pada suhu kamar). Timbal mudah
Gas nitrogen (II) oksida yang tak berwarna itu, bila tercampur dengan udara,
Dengan asam nitrat pekat, terbentuk lapisan pelindung berupa timbal nitrat
pada permukaan logam, yang mencegah pelarutan lebih lanjut (Vogel, 1990).
kerak bumi dan tersebar di alam dalam jumlah kecil melalui proses alami.
Lambangnya diambil dari bahasa Latin Plumbum. Logam ini termasuk dalam
dengan bobot (BA) 207,2. Logam timbal merupakan logam yang tahan
korosi, mempunyai titik lebur rendah sekitar 327,5°C, dan sebagai penghantar
listrik yang baik. Apabila timbal terhirup atau tertelan oleh manusia ke dalam
tubuh, ia akan beredar mengikuti aliran darah, diserap kembali di dalam ginjal
timbal yang terserap oleh anak, walaupun dalam jumlah kecil, dapat
menyebabkan gangguan pada fase awal pertumbuhan fisik dan mental yang
pada 1994, sebanyak 100% darah dari anak berumur di bawah dua tahun
80% darah pada anak yang berusia 3-5 tahun juga melebihi ambang batas
tersebut. Anak yang tinggal atau bermain di jalan raya sering menghirup
(Anonim).
berwarna putih kebiru-biruan, memiliki sifat mudah ditempa dan liat pada
110-1500C. Logam Zn melebur pada 4100C dan mendidih pada 9060C, dapat
Seng mudah larut dalam asam klorida encer dan asam sulfat encer
Pelarutan akan terjadi dalam asam nitrat yeng encer sekali, yang mana
Seng hanya membentuk satu seri garam, garam-garam ini mengandung kation
zink (II) yang diturunkan dari zink oksida, ZnO (Vogel, 1990).
tidak begitu reaktif, hal ini sebagai akibat pembentukan lapisan pelindung
yang pada awalnya sebagai oksidanya, tetapi kemudian bereaksi lebih lanjut
lebih dahulu bahkan sekalipun lapisan seng ini terkoyak, sehingga besinya
nampak keluar. Hal ini sebagai konsekuensi nilai potensial reduksi yang lebih
kristal tunggal berdasarkan pada pola difraksi dari interaksi antara analit
Angstrom dan energi ±107 eV. Dasar metode ini adalah adanya kekhasan
jarak antar bidang kristal (d) pada setiap kristal yang berbeda. Metode
pengindeksan bidang kristal, penentuan jumlah atom per sel satuan, deteksi
atom yang berada pada tingkat tenaga dasar (ground state). Berkurangnya
intensitas radiasi sebanding dengan jumlah populasi atom pada tingkat tenaga
dasar yang menyerap energi radiasi tersebut. Jumlah intensitas radiasi yang
mulai dari energi termis atau panas, energi elektromagnetik, energi kimia, dan
tersebut, yang hasilnya berupa emisi atau pancaran radiasi, panas dan
sebagainya. Radiasi yang ditimbulkan dari interaksi ini adalah khas, karena
24
tersebut, dari tingkat energi yang satu ke tingkat energi yang lain (Sumardi,
2001).
25
BAB III
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah abu layang batubara yang diambil
Sampel dalam penelitian ini adalah abu layang batubara yang diambil
dari salah satu bagian pada penampungan abu layang di PLTU Tanjung Jati
a. Proses aktivasi
b. Proses adsorpsi
2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar unburned carbon, rasio
3. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah suhu aktivasi yaitu 600C,
no.41, lumpang dan alu, gelas kimia, pipet volume, labu erlemenyer, neraca
Bahan yang digunakan adalah abu layang batubara yang diambil dari
PLTU Tanjung Jati B sebagai material utama, larutan H2SO4 pekat E-Merck,
larutan Pb(NO3)2 E-Merck (sebagai sumber ion logam Pb), ZnCl2 E-Merck
3.4.1. Preparasi
Abu layang batubara yang diambil dari PLTU Tanjung Jati, dicuci
100 mesh.
kemudian diencerkan dalam labu takar 500 mL dengan aquades sampai tanda
batas.
M; dan 7,51 M, ditambahkan ke dalam 100 g abu layang dalam gelas kimia.
Setelah itu direfluks pada suhu 600C dengan variasi waktu 60 menit dan 120
3.4.3. Karakterisasi
variasi konsentrasi dan waktu aktivasi, dimasukkan dalam krus dan ditimbang
menggunakan alat tersebut, terdapat dua tahapan yang harus dilalui sampel,
suhu 1500C selama 5 jam agar kandungan uap air dan gas-gas pengotor yang
dimasukkan dalam sampel cell, lalu ditimbang. Setelah itu dilakukan proses
secara lebih seksama uap air dan gas-gas yang ada pada permukaan sampel.
29
luas permukaan dan volume porinya. Sebelum analisis dijalankan, dipilih tipe
dan kondisi analisis serta parameter reduksi data yang diinginkan. Pengujian
titik didih nitrogen cair pada kondisi standar. Luas permukaan padatan dan
suatu batch adsorpsi. Sebanyak 1 g abu layang aktivasi yang telah dioptimasi
(unburned carbon, uji rasio Si/Al, luas permukaan), dan tanpa aktivasi, dijaga
30
ion logam berat, dengan berbagai konsentrasi yaitu 10ppm; 20ppm; 40ppm;
dan 50ppm; 100ppm; 120 ppm. Kemudian dimasukkan dalam alat shaker
BAB IV
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan tentang aktivasi
dengan mengkaji pengaruh konsentrasi ion logam terhadap adsorpsi ion logam
senyawa silikat (SiO2) sebesar 54,59% dan alumina (Al2O3) sebesar 31,69%.
Selain itu terdapat kandungan Fe2O3 sebesar 3,19% (Tabel 4.1). Sedangkan oksida
besi, kalsium, serta senyawa Mg, Na, Ti, K dalam jumlah yang lebih kecil.
Tabel 4.1. Komposisi kimia abu layang batubara PLTU Tanjung Jati B
Unsur Kandungan (% b/b)
SiO2 54,59
Al2O3 31,69
CaO 4,27
MgO 4,38
Fe2O3 3,19
Sumber : Jumaeri, 1995.
Kondisi silika dan alumina dalam abu layang cukup besar yang
kadar kedua komponen tersebut dalam abu layang menandakan banyaknya pusat-
pusat aktif dari permukaan padatan yang dapat berinteraksi dengan adsorbat,
secara efektif apabila ada kesesuaian sifat antara adsorben dengan adsorbat. Bila
sisi aktif bersifat asam atau berupa kation, maka adsorpsi maksimal terjadi pada
spesies adsorbat yang bersifat basa atau anion, demikian juga sebaliknya.
Dalam penelitian ini sebelum abu layang batubara digunakan dalam proses
adsorpsi, abu layang batubara diaktivasi terlebih dahulu menggunakan asam sulfat
dengan berbagai variasi konsentrasi yaitu 3,75 M; 5,632 M; dan 7,51 M (setara
dengan 20%; 30%; dan 40%) serta waktu aktivasi yaitu 60 menit dan 120 menit.
Variasi konsentrasi yang digunakan tidak begitu tinggi hal tersebut dikarenakan
struktur yang akan diikuti oleh pemutusan gugus siloksan (Si-O-Si) menjadi
silanol (-Si-OH), yang merupakan gugus aktif untuk berinteraksi dengan ion
logam (Nuryono, dkk., 2002). Tujuan aktivasi kontak asam dalam penelitian ini
adalah menukar kation yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan
melepaskan ion Al, Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur,
sehingga secara fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik
penelitian ini menggunakan logam Pb2+ dan Zn2+), abu layang yang telah
jam. Hal ini bertujuan agar dapat memaksimalkan penghilangan gas-gas, maupun
pengotor yang terdapat pada sampel abu layang. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan metode gravimetri yaitu menghitung selisih antara berat awal abu
Pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa sampel abu layang tanpa perlakuan
dengan kode A0B0 mengandung kadar unburned carbon yaitu 24,451%. Hal
tersebut menunjukkan bahwa masih banyak pengotor yang terdapat pada sampel
abu layang awal, yang dapat mengganggu situs aktif pada saat proses adsorpsi.
Pada sampel abu layang yang diaktivasi dengan H2SO4 dengan konsentrasi 7,51M
selama 120 menit dengan kode A3B2 mengandung kadar unburned carbon yang
kecil diantara sampel abu layang yang diaktivasi, yaitu 11,524%. Hal ini
menunjukkan bahwa pengotor yang terdapat pada sampel A3B2 sudah tergantikan
penelitian ini bertindak sebagai aktivator) dan semakin lama waktu yang
situs aktif yang terdapat pada adsorben. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 4.3.
5 A2 B 2 3,6267
6 A3 B 1 3,3366
7 A3 B 2 6,0703
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa abu layang awal mempunyai rasio Si/Al
paling rendah yaitu 2,5465, dengan kadar silika 27,2642, dan kadar alumina
dengan berbagai variasi waktu dan konsentrasi, yang mempunyai rasio Si/Al
paling tinggi yaitu sampel A3B2 yaitu sebesar 6,0703 dengan kadar silika 36,1948
dan kadar alumina 5,9626. (Perhitungan rasio Si/Al dapat dilihat pada lampiran 6)
Tujuan aktivasi kontak asam dalam penelitian ini adalah menukar kation
yang ada di dalam abu layang batubara menjadi ion H+ dan melepaskan ion Al,
Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara
fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya dan situs
dapat melarutkan pengotor pada material tersebut sehingga mulut pori menjadi
lebih terbuka. Selain itu, situs aktifnya juga mengalami peningkatan karena situs
situs aktif baru akibat reaksi pelarutan. Peningkatan luas permukaan spesifik pori
2008). Semakin besar konsentrasi asam sulfat dan waktu aktivasi menyebabkan
lebih luas. Proses pelepasan Al dari abu layang batubara disajikan dalam
persamaan berikut :
Pada kondisi di atas separuh dari atom Al berpindah dari struktur bersama
pelepasan yang lebih banyak lagi. Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai
berikut :
(Gambar 4.1), pada bilangan gelombang 4000-5000 cm-1 menggunakan pelet KBr.
Sampel yang dianalisis yaitu sampel A0B0 tanpa perlakuan aktivasi (sebagai
Spektra abu layang awal (A0B0) menunjukkan adanya serapan pada daerah
331,76 cm-1 ; 370,33 cm-1 yang menunjukkan pembukaan pori dan pada 462,92
cm-1 menunjukkan adanya serapan vibrasi tekuk ikatan Si-O dari lapisan silika ;
694 cm-1 menunjukkan vibrasi lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang) ; 779,24 cm-1 ;
37
725,23 cm-1 menunjukkan gugus S-O, vibrasi S-O ; 1041,56 cm-1 menunjukkan
vibrasi rentang Si-O-Si ; 2121,7 cm-1 menunjukkan vibrasi rentang Si-O-Si ; 2276
daerah 300,9 cm-1; 378,05 cm-1; 462,92 cm-1; 671,23 cm-1; 786,96 cm-1; 1087,85
cm-1; 1627,92 cm-1; 2113,98 cm-1; 2646,34 cm-1; 2684,91 cm-1; 2931,8 cm-1;
3410,15 cm-1; 3749,62 cm-1. Interpretasi spektrum infra merah dapat dilihat pada
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Interpretasi Spektrum Infra Merah Abu Layang Tanpa Perlakuan dan
Abu Layang yang Diaktivasi Menggunakan H2SO4 (optimum)
Frekuensi daerah serapan (cm-1)
No Gugus Fungsional (tipe vibrasi)
Hasil Analisis Interpretasi
3425,58 (A0B0) 3500-3200 Vibrasi ikatan –H (Sastrohamidjojo,
1992;16)
3410,15 (A3B2) 3650-3200 Gugus –OH (Sastrohamidjojo, 1992;13)
3500-3200 Vibrasi ikatan –H (Sastrohamidjojo,
1992;16)
3436,9 Vibrasi rentang dan tekuk dari molekul
1 H2O
3448,5 Pita renggangan –OH (Prowida, 2003)
3749,62 (A3B2) 3448,5 Serapan regangan asimetri –NH (Kurnia,
2006)
3440,8 Vibrasi renggang ikatan O-H (Wijaya,
2002)
Regang O-H, dan N-H
38
tetrahedral (Riberio,1984)
1250-950 Regangan asimetri tetrahedral luar
(Riberio,1984)
1400-800 Daerah sidik jari gugus SiO dan AlOH
(Wijaya, 2002)
671,23 (A3B2) 900-700 Lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang)
694,37 (A0B0) Vibrasi lentur Ar-H, C=C-H (luar bidang)
779,24 (A0B0) Gugus S-O, Vibrasi S-O
725,23 (A0B0) (Sastrohamidjojo, 1992:105)
6
786,96 (A3B2) Gugus S-O, Vibrasi S-O
(Sastrohamidjojo, 1992:105)
Gugus S-O, Vibrasi S-O
(Sastrohamidjojo, 1992:105)
462,92 (A0B0) ; 470,6 Serapan vibrasi tekuk ikatan Si-O dari
(A3B2) lapisan silika (Wijaya, 2002)
420-500 Ikatan T-O tetrahedral luar (Ribeiro,
Lanjutan1984)
Tabel
7
331,76 (A0B0) 300-420 Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)
370,33 (A0B0) Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)
378,05 (A3B2) Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)
300,9 (A3B2) Pembukaan Pori (Ribeiro, 1984)
Sampel A0B0
Sampel A3B2
40
dari tabung target Cu, tegangan 40,0 kV, arus 30,0 mA dan daerah pengamatan
Pola difraksi sinar X abu layang batubara awal A0B0 menunjukkan adanya
hematite ( JCPDS, kode: 24-0072). Dari data tersebut maka dapat diketahui bahwa
SiO2 dan Fe2O3, Fe3O4, CaO, dalam abu berada pada fase kristal sedangkan Al2O3
Sampel A0B0
Sampel A3B2
menunjukkan adanya mineral ferrierite (SiO2) (JCPDS, kode 82-1396). Dari data
tersebut maka dapat diketahui bahwa SiO2, Si0,98O2, dan (Fe0,87O)10, CaO2, dalam
abu berada pada fase kristal sedangkan D1,2Al11O17 berada dalam fase amorf. Pada
sampel abu layang A3B2 struktur kristalnya semakin besar karena terjadinya
4.2.5. BET
BET (Branaur, Emmett, and Teller) merupakan teknik adsorpsi gas yang
standar dipakai dalam menghitung luas permukaan dan pori padatan secara akurat.
Metode ini digunakan untuk permukaan yang datar (tidak ada lekukan) dan tidak
ada batas dalam setiap layer yang dapat digunakan untuk menjelaskan luas
mengalami perubahan dengan adanya adsorpsi di layer yang sama) dan tidak ada
interaksi selama molekul teradsorpsi. Pada penelitian ini, sampel A0B0 dan A3B2
Gas yang digunakan yaitu nitrogen yang merupakan gas inert, dan suhu diatur
serendah mungkin dan tetap konstan. Data pengujian menggunakan metode BET
Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa sampel abu layang yang diaktivasi
luas permukaan spesifik lebih besar daripada abu layang tanpa perlakuan aktivasi
yang dapat mengganggu ketika proses adsorpsi (seperti yang ditunjukkan oleh
analisis FTIR). Selain itu terdapat pertukaran kation antara ion H+ dengan ion Al,
Fe, Mg, dan pengotor-pengotor lainnya dari kisi-kisi struktur, sehingga secara
fisik abu layang batubara menjadi lebih luas permukaan spesifik porinya.
konsentrasi dari ion logam itu sendiri. Proses adsorpsi sangat sesuai untuk
mengandung bahan lain dengan konsentrasi tinggi. Pada penelitian ini, digunakan
dua jenis logam yaitu logam Pb2+ dan Zn2+ yang banyak terdapat pada proses
penelitian ini menggunakan limbah artifisial yang bertujuan agar lebih mudah
adsorben ke dalam limbah cair sebanyak 100 mL, dishaker mekanik selama 60
Serapan Atom.
kalibrasi digunakan untuk mencari persamaan garis lurus yang akan digunakan
untuk perhitungan kadar Zn(II). Cara membuat kurva kalibrasi adalah dengan
mencari absorbansi dari berbagai larutan dengan konsentrasi 1,0 ppm; 2,0 ppm;
5,0 ppm; 10,0 ppm; serta 20,0 ppm. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar
4.3.
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Zn(II) yang teradsorpsi
sebesar 47,858 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.4. dapat diamati
bahwa secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Zn(II) sebagai
adsorbat yang ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap
akan meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Zn(II). Apabila
konsentrasi ion logam Zn(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Zn(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Zn(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Zn(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Zn(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Zn(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Zn(II) yang teradsorpsi
sebesar 77,4285 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.5. dapat diamati
bahwa secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Zn(II) sebagai
adsorbat yang ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap
akan meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Zn(II). Apabila
konsentrasi ion logam Zn(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Zn(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Zn(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Zn(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Zn(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
48
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Zn(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
mengetahui kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi Zn(II) pada adsorben (abu
Dari kurva linier hubungan antara c/m dengan c, dapat diperoleh konstanta
kesetimbangan (K) dari intersep = (1/bK), dan kapasitas adsorpsi maksimum (b)
intersep grafik. Selanjutnya harga energi adsorpsi dapat dihitung dari harga K
menurut persamaan:
Eads = RT ln K
Dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah temperatur (K),
Tabel 4.6. Data kapasitas adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan
energi adsorpsi
Adsorben b (mg/g) K E (kJ/mol)
A0 B 0 7,5653 17,97 7,205
A3 B 2 9,2856 110,543 11,736
bahwa adsorben abu layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2
menempel pada permukaan pori adsorben saja) atau karena energi yang dihasilkan
lebih besar dari 20,92 kJ/mol. Selain itu, data adsorpsi Zn(II) menunjukkan bahwa
kesetimbangan, serta energi yang lebih besar daripada abu layang A0B0.
kalibrasi digunakan untuk mencari persamaan garis lurus yang akan digunakan
untuk perhitungan kadar Pb(II). Cara membuat kurva kalibrasi adalah dengan
mencari absorbansi dari berbagai larutan dengan konsentrasi 1,0 ppm; 5,0 ppm;
50
10,0 ppm; 15,0 ppm; serta 20,0 ppm. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar
4.6.
pada konsentrasi 50 ppm dengan konsentrasi akhir Pb(II) yang teradsorpsi sebesar
41 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.7. dapat diamati bahwa secara
umum semakin besar konsentrasi awal larutan Pb(II) sebagai adsorbat yang
ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap akan
meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Pb(II). Apabila
konsentrasi ion logam Pb(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Pb(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
logam Pb(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Pb(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Pb(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Pb(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
pada konsentrasi 100 ppm dengan konsentrasi akhir Pb(II) yang teradsorpsi
sebesar 91 ppm. Berdasarkan pola grafik pada Gambar 4.8. dapat diamati bahwa
secara umum semakin besar konsentrasi awal larutan Pb(II) sebagai adsorbat yang
ditambahkan dalam larutan dengan massa abu layang yang tetap akan
meningkatkan daya serap abu layang terhadap ion logam Pb(II). Apabila
konsentrasi ion logam Pb(II) bertambah maka beban abu layang sebagai adsorben
untuk mengikat ion logam Pb(II) juga bertambah sehingga semakin banyak ion
52
logam Pb(II) yang terikat. Hal ini terjadi karena pada awal penyerapan,
permukaan abu layang masih belum terlalu banyak berikatan dengan ion logam
Pb(II) sehingga proses penyerapan dapat berlangsung efektif. Dari grafik didapat
setelah konsentrasi optimum 100 ppm penyerapan yang terjadi sedikit menurun
atau cenderung konstan, pada kondisi ini telah tercapai kesetimbangan antara
konsentrasi ion logam Pb(II) dalam abu layang dengan lingkungannya. Hal
tersebut kemungkinan terjadi karena adsorben telah berada dalam kondisi jenuh
sehingga tidak dapat lagi menyerap ion logam Pb(II), bahkan ada yang dilepaskan
kembali, selain itu juga dimungkinkan karena adanya fenomena fisisorpsi karena
mengetahui kapasitas adsorpsi dan energi adsorpsi Pb(II) pada adsorben (abu
Keterangan:
c = Konsentrasi ion logam dalam larutan (mg/L)
m = Jumlah logam yang teradsorpsi per gram adsorben pada konsentrasi c
b = Kapasitas adsorpsi maksimum (mg mol logam terserap pada keadaan
jenuh)
K = Konstanta kesetimbangan.
Dari kurva linier hubungan antara c/m dengan c, dapat diperoleh konstanta
kesetimbangan (K) dari intersep = (1/bK), dan kapasitas adsorpsi maksimum (b)
intersep grafik. Selanjutnya harga energi adsorpsi dapat dihitung dari harga K
menurut persamaan:
Eads = RT ln K
Dengan R adalah tetapan gas ideal (8,314 J/Kmol), dan T adalah temperatur (K),
Tabel 4.7. Data kapasitas adsorpsi (b), konstanta kesetimbangan (K) dan
energi adsorpsi
Adsorben b (mg/g) K E (kJ/mol)
A0 B 0 3,8787 227,05 13,521
A3 B 2 7,497 214,2 13,386
bahwa adsorben abu layang batubara dengan kode sampel A0B0 dan A3B2
menempel pada permukaan pori adsorben saja) atau karena energi yang dihasilkan
54
lebih besar dari 20,92 kJ/mol. Selain itu, data adsorpsi Pb(II) menunjukkan bahwa
kesetimbangan, serta energi yang lebih besar daripada abu layang A0B0.
sebagai adsorben logam Pb(II) dan Zn(II), dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi
yang lebih besar yaitu pada ion logam Zn(II). Sampel awal A0B0 ion logam Zn(II)
mempunyai kapasitas adsorpsi sebesar 7,5653 mg/g, sedangkan sampel A3B2 yang
mempunyai kapasitas adsorpsi sebesar 7,497 mg/g. Hal tersebut dikarenakan ion
dibandingkan dengan ion logam Pb(II) yang mempunyai jari-jari sebesar 133 pm,
sehingga ion logam Zn(II) lebih banyak yang menempel pada permukaan
adsorben.
55
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
sebagai berikut :
2. Rasio Si/Al pada sampel A0B0 2,5465, sedangkan pada sampel A3B2
adsorben adalah pada sampel A0B0 sebesar 7,5653 mg/g, 7,205 kJ/mol
5.2 Saran
saat aktivasi.
DAFTAR PUSTAKA
Atkins, P. W. 1997. Kimia Fisika (Alih bahasa: Dra. Irma I. K). Jakarta :
Erlangga
Aziz, Muchtar, dkk. 2006. Karakterisasi Abu Terbang PLTU Suralaya dan
Evaluasinya untuk Refraktori Cor. Bandung : Jurnal Teknologi Mineral
dan Batubara Nomor 36, Tahun 14, Januari 2006.
Kurnia, Tuti. 2006. Aktivasi Zeolit Alam dengan HCl untuk Adsorben Ion
Logam Zn(II) dalam Limbah Cair Galvanis. Jurusan Kimia FMIPA
UNNES.
Prowida, Pranoto dan Eddy Heraldy. 2003. Karakteristik dan Aktivasi Alofan
dengan HCl sebagai Adsorben Limbah Ion Logam Berat Zn. Jurnal Kimia
Lingkungan Vol.5. No.1. Surakarta : UNS
59
Widihati, I.A.Gede. 2008. Adsorpsi Anion Cr(VI) oleh Batu Pasir Teraktivasi
Asam dan Tersalut Fe2O3. Jurnal Kimia II. Bukit Jimbaran : Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Udayana.
Wijaya, Karna, Iqmal Tahir, dan Ahmad Baikuni. 2002. Sintesis Lempeng
Terpilar Cr2O3 dan Pemanfaatannya sebagai Inang Senyawa p-
nitroanilin. Indonesian Journal Chemistry. Yogyakarta : Kimia FMIPA
UGM.
Woolard, C.D., Petrus, K., Horst, M.V.D. 2000. The Use of a Modified Fly
Ash as an Adsorbent for Lead. Water SA vol 26 No. 4.