You are on page 1of 10

Nama :

Kelas :

No absen :

Jaman dulu, di Pulau Majethi, hidup seorang satria bernama Ajisaka. Selain
ganteng, Ajisaka juga punya ilmu tinggi dan sakti. Ajisaka punya dua orang punggawa
bernama Dora dan Sembada. Dua orang itu sangat setia dan nurut sama Ajisaka. Suatu
hari, Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang meninggalkan Pulau Majethi. Dora pergi
menemani Ajisaka sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi karena Ajisaka
memerintahkan Sembada untuk menjaga pusaka Ajisaka yg paling sakti. Ajisaka
berpesan pada Sembada bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka itu kepada
siapapun kecuali Ajisaka.

Pada waktu itu di Jawa ada negara yang terkenal makmur, aman, dan damai, yang
bernama Medhangkamulan. Negara itu dipimpin oleh Prabu Dewatacengkar, raja yang
berbudi luhur dan bijaksana. Seuatu hari, juru masak kerajaan tidak sengaja memotong
jarinya waktu masak. Juru masak itu tidak sadar bahwa potongan jarinya masuk ke
hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Raja. Tanpa sengaja juga, jari itu termakan
oleh Prabu Dewatacengkar. Tidak disangka, Prabu Dewatacengkar merasa daging yang
dia makan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya menanyai juru masak kerajaan.
Ternyata kemudian diketahui bahwa yang tadi dimakan oleh Prabu Dewatacengkar
adalah daging manusia, ia memerintahkan kepada patihnya untuk menyiapkan seorang
rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itu Prabu Dewatacengkar punya hobi baru,
yaitu makan danging manusia. Wataknya berubah jadi jahat dan senang melihat orang
menderita. Negara itu berubah jadi negara yang sepi karena satu per satu rakyatnya
dimakan oleh rajanya, ada juga rakyat yang lari menyelamatkan diri. Sang Patih bingung,
karena ga ada lagi rakyat yang bisa disuguhkan kepada rajanya.

Saat itulah Ajisaka bersama Dora sampai di Medhangkamulan. Ajisaka heran


melihat keadaan negara yang sunyi dan menyeramkan itu, kemudian ia mencari tahu
sebabnya. Setelah tahu apa yang terjadi di Medhangkamulan. Ajisaka lalu menghadap
Patih, menyatakan bahwa ia sanggup menjadi santapan Sang Raja. Awalnya Sang Patih
tidak mengijinkan Ajisaka yang masih muda dan ganteng jadi santapan Prabu
Dewatacengkar, tapi Ajisaka tetep maksa sampai akhirnya dia dibawa juga untuk
menghadap Prabu Dwatacengkar. Sang Prabu juga heran, kenapa orang yang masih muda
dan tampan mau saja jadi santapannya. Ajisaka mengajukan syarat, dia rela dimakan
Sang Prabu asal dia dihadiahi tanah seluas ikat kepalanya. Selain itu, Ajisaka juga minta
Prabu Dewatacengkar sendiri yang mengukur tanah tersebut. Permintaan itu dikabulkan
oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu Dewatacengkar menarik salah satu
ujung ikat kepalanya. Ajaibnya, ikat kepala itu mulur terus deperti tidak ada ujungnya.
Prabu Dewatacengkar terpaksa mundur dan mundur terus mengikuti ikat kepala itu
sampai di tepi laut selatan. Ajisaka mengibaska ikat kepala tersebut, hal ini membuat
Prabu Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewatacengkar lalu berubah
menjadi buaya putih, sedangkan Ajisaka menjadi raja di Medhangkamulan.

Setelah jadi raja, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulau Majethi untuk ngambil
pusaka yang dijaga oleh Sembada. Sampai di Pulau Majethi, Dora menjelaskan pada
Sembada bahwa dia datang atas perintah Ajisaka untuk mengambil pusaka yang dijaga
Sembada. Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka tidak mau memberi pusaka itu ke
Dora. Dora memaksa agar pusaka itu diserahkan ke dia. Akhirnya dua orang itu
bertarung. Karena dua-duanya sama-sama sakti, pertarungan berlangsung seru sampai
mereka berdua tewas.

Prabu Ajisaka mendengar kabar kematian Dora dan Sembada. Dia menyesal
mengingat kelalaiannya dan kesetiaan Dora dan Sembada. Untuk mengabadikan dua
punggawanya itu Ajisaka menciptakan sebuah aksara yang bunyinya :

Ha Na Ca Ra Ka : Ana utusan (ada utusan)


Da Ta Sa Wa La : Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya : Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga :Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Nama :

Kelas :

No absen :

Pada jaman dahulu, di Pulau Majethi hidup seorang satria tampan bernama Ajisaka.Selain
tampan, Ajisaka juga berilmu tinggi dan sakti mandraguna. Sang Satria mempunyai dua
orang punggawa, Dora dan Sembada namanya. Kedua punggawa itu sangat setia kepada
pemimpinnya, sama sekali tidak pernah mengabaikan perintahnya. Pada suatu hari,
Ajisaka berkeinginan pergi berkelana meninggalkan Pulau Majethi. Kepergiannya
ditemani oleh punggawanya yang bernama Dora, sementara Sembada tetap tinggal di
Pulau Pulo Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Ajisaka berpesan bahwa
Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada
Ajisaka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.

Pada masa itu di tanah Jawa terdapat negara yang terkenal makmur, tertib, aman dan
damai, yang bernama Medhangkamulan.Rajanya bernama Prabu Dewatacengkar, seorang
raja yang luhur budinya serta bijaksana. Pada suatu hari, juru masak kerajaan mengalami
kecelakaan, jarinya terbabat pisau hingga terlepas. Ki Juru Masak tidak menyadari bahwa
potongan jarinya tercebur ke dalam hidangan yang akan disuguhkan kepada Sang Prabu.
Ketika tanpa sengaja memakan potongan jari tersebut, Sang Prabu serasa menyantap
daging yang sangat enak, sehingga ia mengutus Sang Patih untuk menanyai Ki Juru
Masak. Setelah mengetahui bahwa yang disantap tadi adalah daging manusia, sang Prabu
lalu memerintahkan Sang Patih agar setiap hari menghaturkan seorang dari rakyatnya
untuk santapannya. Sejak saat itu Prabu Dewatacengkar mempunyai kegemaran yang
menyeramkan, yaitu menyantap daging manusia. Wataknya berbalik seratus
delapanpuluh derajat, berubah menjadi bengis dan senang menganiaya. Negara
Medhangkamulan berubah menjadi wilayah yang angker dan sepi karena rakyatnya satu
persatu dimangsa oleh rajanya, sisanya lari menyelamatkan diri. Sang Patih pusing
memikirkan keadaan, karena sudah tidak ada lagi rakyat yang bisa dihaturkan kepada
rajanya.

Pada saat itulah Ajisaka bersama punggawanya, Dora, tiba di Medhangkamulan. klawan
punggawane, Dora, datang di Medhangkamulan. Heranlah Sang Satria melihat keadaan
yang sunyi dan menyeramkan itu, maka ia lalu mencari tahu penyebabnya. Setelah
mendapat keterangan mengenai apa yang sedang terjadi di Medhangkamulan, Ajisaka
lalu menghadap Rekyana Patih, menyatakan kesanggupannya untuk menjadi santapan
Prabu Dewatacengkar. Pada awalnya Sang Patih tidak mengizinkan karena merasa
sayang bila Ajisaka yang tampan dan masih muda harus disantap Sang Prabu, namun
Ajisaka sudah bulat tekadnya, sehingga akhirnya Iapun dibawa menghadap Sang Prabu.
Sang Prabu tak habis pikir, mengapa orang yang sedemikian tampan dan masih muda
mau menyerahkan jiwa raganya untuk menjadi santapannya. Ajisaka mengatakan
bahwa ia rela dijadikan santapan sang Prabu asalkan Ia dihadiahi tanah seluas ikat kepala
yang dikenakannya. Di samping itu, harus Sang Prabu sendiri yang mengukur wilayah
yang akan dihadiahkan tersebut. Sang Prabu menyanggupi permintaannya. Ajisaka
kemudian mempersilakan Sang Prabu menarik ujung ikat kepalanya. Sungguh ajaib, ikat
kepala itu seakan tak ada habisnya. Sang Prabu Dewatacengkar terpaksa semakin mundur
dan semakin mundur, sehingga akhirnya tiba ditepi laut selatan. Ikat kepala tersebut
kemudian dikibaskan oleh Ajisaka sehingga Sang Prabu terlempar jatuh ke laut. Seketika
wujudnya berubah menjadi buaya putih. Ajisaka kemudian menjadi raja di
Medhangkamulan.

Setelah dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan, Ajisaka mengutus Dora pergi


kembali ke Pulo Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di
Pulo Majethi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk
mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia
berpegang pada perintah Ajisaka ketika meninggalkan Majethi. Sembada yang juga
melaksanakan perintah Sang Prabu memaksa meminta agar pusaka tersebut diberikan
kepadanya. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti,
peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-
sama tewas.
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Sang Prabu Ajisaka. Ia
sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya
mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang
dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

Ha Na Ca Ra Ka
Ana utusan (ada utusan)
Da Ta Sa Wa La
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
Ma Ga Ba Tha Nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Nama :

Kelas :

No absen :

Sejarahe Aksara Jawa

Ing rubrik LSW JB No. 28 Minggu II sasi Maret 2006, Bapak Yusuf Asmara mundhut
priksa bab sejarahe akasara Jawa. Yen ora kleru sing dikersakake Bapak Yusuf Asmara
iku aksara Jawa anyar kanthi aksara legena cacah 20 wiwit HA nganti NGA. Yen bener
mangkono, keparenga penulis ngaturake tulisan bab sejarahe aksara Jawa kasebut,
ringkesan saka sawatara buku-buku kapustakan.
Ing buku HA NA CA RA KA (Bp. Slamet Riyadi) babarane Yayasan Pustaka
Nusantara Yogyakarta diandharake manawa ngrembug sejarahe aksara Jawa anyar kang
uga diarani sastra sarimbagan utawa carakan iku ora bisa dipisahake karo rembug bab
kelairan lan pandhapuke aksara kasebut. Miturut Bp Slamet Riyadi ing bukune kang isi
kelairan, penyusunan, fungsi, lan maknane Ha-Na-Ca-Ra-Ka kasebut ana konsepsi cacah
loro kanggo nlusur kelairane aksara Jawa lan penyusunan abjad ha-na-ca-ra-ka, yaiku
konsepsi secara tradisional lan konsepsi secara ilmiah. KONSEPSI SECARA
TRADISIONAL Adhedhasar konsepsi secara tradisional laire aksara Jawa digathukake
karo Legenda Aji Saka, crita turun-temurun awujud tutur tinular (dari mulut ke mulut)
bab padudon lan perang tandhinge Dora lan Sembada jalaran rebutan keris pusakane Aji
Saka sing kudune tansah padha direksa bebarengan ing pulo Majeti. Wusana Dora lan
Sembada mati sampyuh ngeres-eresi. Nalika arep angejawa, Aji Saka kang didherekake
para abdine sing jenenge Dora, Sembada, Duga, lan Prayoga lerem ing pulo Majeti
sawatara suwene. Sadurunge nerusake laku angejawa, Aji Saka ninggal pusaka awujud
keris. Dora lan Sembada kapatah ngreksa kanthi piweling wanti-wanti, aja pisan-pisan
diwenehake wong saliyane Aji Saka dhewe sing teka ing pulo Majeti njupuk pusaka
kasebut. Aji Saka banjur nerusake laku dikanthi Duga lan Prayoga. Dene Dora lan
Sembada tetep ana pulo Majeti ngreksa pusaka. Sawise sawatara lawase, Dora lan
Sembada krungu kabar manawa Aji Saka wis dadi ratu ing Medhangkamulan. Dora
ngajak Sembada ninggalake pulo Majeti ngaturake pusaka marang Aji Saka. Sarehne
Sembada puguh ora gelem diajak awit nuhoni dhawuhe Aji Saka, kanthi sesidheman si
Dora banjur menyang Medhangkamulan tanpa nggawa keris. Marang Aji Saka si Dora
kanthi atur dora wadul warna-warna. Dora kadhawuhan bali maneh menyang pulo Majeti.
Gelem ora gelem Sembada kudu diajak menyang Medhangkamulan kanthi nggawa keris
pusaka. Dora banjur budhal. Jalaran panggah ora percaya marang kandhane si Dora,
Sembada puguh ora gelem diajak jalaran nuhoni dhawuhe bendarane, lan precaya
manawa Aji Saka bakal netepi janjine mundhut pusakane tanpa utusan. Lelorone padha
padudon rebut bener, banjur pancakara perang tandhing rebutan keris. Wasana Dora lan
Sembada padha mati sampyuh ketaman keris sing dienggo rebutan. Sawise sawatara
suwe Dora ora sowan maneh ngajak Sembada ngaturake keris pusaka, Aji Saka banjur
utusan Duga lan Prayoga nusul menyang pulo Majeti. Bareng tekan pulo Majeti saiba
kagete Duga lan Prayoga meruhi Dora lan Sembada padha mati ketaman pusaka sing isih
tumancep ing dhadhane. Sawise ngupakara layone Dora lan Sembada kanthi samesthine,
Duga lan Prayoga banjur gegancangan marak ratu gustine ngaturake pusaka lan pawarta
bab patine Dora lan Sembada. Midhanget ature Duga lan Prayoga, Aji Saka sakala
ngrumangsani kalepyane dene ora netepi janji mundhut pribadi pusaka sing direksa Dora
lan Sembada. Minangka pangeling-eling, Aji Saka banjur ngripta aksara Jawa legena
cacah wong puluh wiwit saka HA nganti NGA. HA NA CA RA KA Ana caraka (utusan)
DA TA SA WA LA Padha suwala (padudon, pancakara) PA DHA JA YA NYA Padha
dene digdayane MA GA BA THA NGA Wasana padha dadi bathang Iku mau konsepsi
secara tradisional bab kelairan lan penyusunane aksara Jawa anyar. Pancen abjad aksara
Jawa sing 20 cacahe lan disusun dadi patang larik iku, mujudake guritan sing gampang
diapalake lan dieling-eling (memoteknik), mligine tumrap sing lagi wiwit sinau maca lan
nulis aksara Jawa. Abjad sing kaya guritan lan digathukake karo legenda Aji Saka mau
saya narik kawigaten bareng dikantheni gambar padudon, perang tanding lan mati
sampyuhe Dora lan Sembada. KONSEPSI SECARA ILMIAH Miturut Prof. Dr.
Poerbatjaraka, sadurunge wong-wong India angejawa, wong Jawa durung duwe aksara.
Basa pasrawungane mung nggunakake basa lesan. Kanthi anane aksara kang digawa saka
India kasebut saka sethithik basa tinulis wiwit digunakake. Pancen aksara ora mung dadi
piranti komunikasi sarana tulisan, nanging luwih saka iku aksara uga dadi ukuran
kemajuane budaya sing ndarbeni aksara kasebut. Peradaban sing wis nggunakake basa
tinulis kanyatan luwih maju tinimbang sing ora/durung duwe aksara. Miturut Casparis,
sajroning sejarah peradaban etnik Jawa, tulisan sing paling tuwa ditemokake awujud
prasasti kanthi nggunakake aksara Pallawa, nuduhake tandha wektu sadurunge taun 700
Masehi. Sadurunge iku etnis Jawa mung nggunakake basa lesan. Sawise ditemokake
sawatara prasasti liyane, baka sethithik ditindakake studi paleografi (ilmu kanggo
nyinaoni aksara kuna). Miturut studi paleografi sing ditindakake Casparis, ana limang
periode aksara Jawa. Periode kapisan (aksara Pallawa) dening Bp. Atmodjo diperang
maneh dadi loro. Kanthi mangkono kabeh ana nem periode, yaiku: 1. Aksara Pallawa
tataran wiwitan, digunakake sadurunge taun 700 M. Contone tinemu ing prasasti Tugu
ing Bogor. 2. Aksara Pallawa tataran pungkasan, digunakake ing abad VII lan tengahan
abad VIII. Tinemu ing prasasti Canggal ing Kedu, Magelang. 3. Aksara Jawa kuna
kawitan, digunakake taun 750-925 M, contone tinemu ing prasasti Polengan ing Kalasan,
Yogyakarta. 4. Aksara Jawa kuna tataran pungkasan, digunakake taun 925-1250 M,
tinemu ing prasasti Airlangga. 5. Aksara Majapait, digunakake ing taun 1250-1450 M.
tinemu ing prasasti Singosari lan Malang, sarta ing lontar (ron tal) Kunjarakarna. 6.
Aksara Jawa anyar, digunakake taun 1500 M nganti saiki. Tinemu ing Kitab Bonang lan
buku-buku sabubare iku. Lair lan ngrembakane aksara Jawa raket sesambungane karo lair
lan ngrembakane basa Jawa. Aksara Jawa anyar lair sawise basa Jawa anyar digunakake
kanthi resmi ing sajroning pamarentahan, saora-orane wiwit taun 1500 M. Wektu kasebut
punjere pamarentahan ing Jawa ana ing Demak. Mula ana sing duwe panemu manawa
aksara Jawa anyar wiwit digunakake kanthi resmi nalika jaman Demak. Panemu iki
disengkuyung antara liya karo bukti awujud naskah kanthi tulisan aksara Jawa anyar
yaiku Kitab Bonang. Bab taun kelairane aksara Jawa iki padha karo andharane Bp. Moch.
Choesni ing majalah JAMBATAN edisi khusus babaran Lembaga Javanologi Surabaya
kang didumake marang para peserta Kongres Basa Jawa II ing Batu, Malang sasi Oktober
taun 1996. Nanging beda versine. Bapak Moch. Choesni nggathukake kelairane aksara
Jawa anyar karo tekane muhibah utawa kunjungan persahabatan saka Tiongkok menyang
tanah Jawa (Majapait) kang dipandhegani Laksamana/Jendral Cheng Ho (Jeng Ho) kanthi
ngirid wadyabala pirang-pirang ewu cacahe sikep gegaman. Ing rubrik Opini koran Jawa
Pos Senen, 15 Agustus 2005, kanthi irah-irahan Cheng Ho dan Nebula China, Dr. Asvi
Warman Adam (ahli peneliti LIPI Jakarta) nyebutake ekspedisi kapisan numpak prau
cacah 300 kanthi penumpang 27.000. Ma Huan, penerjemah sing wis ngrasuk agama
Islam, uga melu dadi penumpang. Bp. Moch. Choesni nyangga-runggekake (meragukan)
apa bener tekane caraka kanthi sandiyuda Sam Poo Kong sing diwerdeni tiga perkasa
pembalas dendam samono akehe iku ‘kunjungan persahabatan’ kang tulus? Apa ora ana
gandheng-cenenge karo pangrabasane wadya bala Tiongkok kang sumedya nguwasani
Singasari sing digagalake dening Raden Wijaya lan Arya Wiraraja dhek taun 1293? Ma-
ga-ba-tha-nga alias “mangga batangen”, mangkono pepuntoning andharan sawise
ngonceki kanthi njlimet surasane ha-na-ca-ra-ka (ana utusan), da-ta-sa-wa-la (tanpa
peperangan), lan pa-dha-ja-ya-nya (padha jayane, kasembadan sedyane). Ing ngarep wis
diaturake, secara tradisional urutan abjad ha-na-ca-ra-ka digathuk-gathukake karo
legenda Aji Saka. Nanging data literer nuduhake menawa naskah utawa teks sing ngemot
urutan utawa abjad ha-na-ca-ra-ka ora mesthi digathukake karo legenda kasebut.
Upamane Serat Sastra Gendhing, Serat Centhini, Serat Sastra Harjendra, Serat Saloka
Jiwa, lan Serat Retna Jiwa. Kabeh serat (buku/tulisan) kasebut isi abjad ha-na-ca-ra-ka
kagandhengake karo filsafat utawa ngelmu kasampurnan. Ing buku HA NA CA RA KA
(Bp. Slamet Riyadi), ing perangan kang ngrembug bab makna filosofis ha-na-ca-ra-ka,
dibabar ora kurang saka 20 warna filsafat ha-na-ca-ra-ka miturut daya nalar, wawasan,
lan tujuane sing gawe makna filosofis dhewe-dhewe. Ing majalah Jambatan kasebut ing
ngarep ana nem jinis makna filosofis. Durung kalebu sing ana makalah-makalah liyane.
Beda karo kang kasebut ing Serat Manikmaya, Serat Aji Saka, lan Serat Momana sing
padhadene nggathukake karo legenda Aji Saka. Ing buku-buku kasebut abjad ha-na-ca-ra-
ka diarani sastra sarimbagan. Jalaran larikan kapisan abjad Jawa anyar iku unine ha-na-
ca-ra-ka, mula luwih dikenal kanthi jeneng carakan kaya ing Sundha lan Bali. Miturut
panalitine Prof. Dr. Poerbatjaraka, Serat Manikmaya dikarang dening Kartamursadah ing
jaman Kartasura, ing taun 1740 Jawa utawa taun 1813 Masehi. Dene abjad Jawa sing
luwih tuwa diarani ka-ga-nga, awit manut wewaton abjad Devanagari ka-kha-ga-gha-nga.
Serat Manikmaya ditedhak (disalin) dening Panambangan, punggawa Mangkunagaran,
lan ing taun 1981 dibabar dening Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kanthi irah-
irahan Manikmaya. Apa ana naskah liyane isi legenda Aji Saka sing luwih tuwa
tinimbang Serat Manikmaya, durung kaweruhan, awit miturut Wiryamartana naskah-
naskah saliyane Serat Manikmaya sing ana abjad hanacaraka-ne keh-kehane ditulis ing
wiwitane abad XIX. Yen ta Serat Manikmaya mujudake naskah sing paling tuwa, bisa
dipesthekake manawa anane abjad ha-na-ca-ra-ka wiwit jaman Kartasura. Miturut
Uhlenbeck, abjad ha-na-ca-ra-ka digunakake sawise adoh lete karo wektu sedane Sultan
Agung (1645 M) utawa antarane jaman Amangkurat I lan Amangkurat II. Bisa uga ing
jaman Sultan Agung wis ana gagasan bab abjad kasebut. Bab iki adhedhasar data literer
anane restrukturisasi (pemugaran) kabudayan Jawa ing jaman Sultan Agung. Upamane,
salah siji sing tumekane saiki bisa kita rasakake, yaiku anane pananggalan Jawa.
Pananggalan kasebut mujudake gabungan antarane kalender taun Saka karo kalender taun
Hijriah. Kajaba saka iku, ing naskah-naskah sadurunge jaman Sultan Agung ora ana
abdjad ha-na-ca-ra-ka. Ora bisa kita selaki aksara Jawa kanthi abjad ha-na-ca-ra-ka sing
umure wis atusan taun kasebut wis akeh lelabuhane. Cundhuk karo saya majune
panalaran lan wawasane sing duwe kabudayan, aksara Jawa minangka perangane
kabudayan Jawa, minangka fungsi literer uga tau ngalami owah gingsir mligine ing bab
wewaton panulise basa Jawa nganggo aksara Jawa. Sadurunge Kongres Basa Jawa I ing
Semarang sasi Juli 1991, wis ana ada-ada ngruwat abjad ha-na-ca-ra-ka. Patine Dora lan
Sembada kanthi memelas amarga dadi korban pemimpin sing mencla-mencle ora netepi
janji, dianggep ora cocok karo alam Indonesia Membangun sing mbudidaya ngundhakake
pembangunan lair lan batin. Sawatara pemakalah ing Kongres Basa Jawa III ing
Yogyakarta Juli 2001, malah gawe ada-ada owah-owahan bab tata panulise basa Jawa
nganggo aksara Jawa. Kepriye babaring lelakon aksara Jawa sateruse, iki pancen dadi
PR-e sapa bae kang pancen isih padha ngrumangsani melu handarbeni, hangopeni, lan
hangrungkebi budaya Jawa. Ature: M. Soemarsono JB 40/LX, 4-10 Juni 2006
Nama :

Kelas :

No absen :

Dora lan Sembada jalaran rebutan keris pusakane Aji Saka sing kudune tansah
padha direksa bebarengan ing pulo Majeti. Wusana Dora lan Sembada mati sampyuh
ngeres-eresi. Nalika arep angejawa, Aji Saka kang didherekake para abdine sing jenenge
Dora, Sembada, Duga, lan Prayoga lerem ing pulo Majeti sawatara suwene. Sadurunge
nerusake laku angejawa, Aji Saka ninggal pusaka awujud keris. Dora lan Sembada
kapatah ngreksa kanthi piweling wanti-wanti, aja pisan-pisan diwenehake wong saliyane
Aji Saka dhewe sing teka ing pulo Majeti njupuk pusaka kasebut. Aji Saka banjur
nerusake laku dikanthi Duga lan Prayoga. Dene Dora lan Sembada tetep ana pulo Majeti
ngreksa pusaka. Sawise sawatara lawase, Dora lan Sembada krungu kabar manawa Aji
Saka wis dadi ratu ing Medhangkamulan. Dora ngajak Sembada ninggalake pulo Majeti
ngaturake pusaka marang Aji Saka. Sarehne Sembada puguh ora gelem diajak awit
nuhoni dhawuhe Aji Saka, kanthi sesidheman si Dora banjur menyang Medhangkamulan
tanpa nggawa keris. Marang Aji Saka si Dora kanthi atur dora wadul warna-warna. Dora
kadhawuhan bali maneh menyang pulo Majeti. Gelem ora gelem Sembada kudu diajak
menyang Medhangkamulan kanthi nggawa keris pusaka. Dora banjur budhal. Jalaran
panggah ora percaya marang kandhane si Dora, Sembada puguh ora gelem diajak jalaran
nuhoni dhawuhe bendarane, lan precaya manawa Aji Saka bakal netepi janjine mundhut
pusakane tanpa utusan. Lelorone padha padudon rebut bener, banjur pancakara perang
tandhing rebutan keris. Wasana Dora lan Sembada padha mati sampyuh ketaman keris
sing dienggo rebutan. Sawise sawatara suwe Dora ora sowan maneh ngajak Sembada
ngaturake keris pusaka, Aji Saka banjur utusan Duga lan Prayoga nusul menyang pulo
Majeti. Bareng tekan pulo Majeti saiba kagete Duga lan Prayoga meruhi Dora lan
Sembada padha mati ketaman pusaka sing isih tumancep ing dhadhane. Sawise
ngupakara layone Dora lan Sembada kanthi samesthine, Duga lan Prayoga banjur
gegancangan marak ratu gustine ngaturake pusaka lan pawarta bab patine Dora lan
Sembada. Midhanget ature Duga lan Prayoga, Aji Saka sakala ngrumangsani kalepyane
dene ora netepi janji mundhut pribadi pusaka sing direksa Dora lan Sembada. Minangka
pangeling-eling, Aji Saka banjur ngripta aksara Jawa legena cacah wong puluh wiwit
saka HA nganti NGA.

HA NA CA RA KA :Ana caraka (utusan)


DA TA SA WA LA :Padha suwala (padudon, pancakara)
PA DHA JA YA NYA :Padha dene digdayane
MA GA BA THA NGA : Padha dadi bathange

You might also like