Professional Documents
Culture Documents
Elegi Natal
(oleh: Aris Bifel)
Betapa pahit saat Indonesia dijajah selama berabad-abad. Semua orang tahu bahwa itu
adalah penjajahan. Tetapi, bagaimanapun kejahatan yang tampak, tidak terlalu menyakitkan
ketimbang ia tersembunyi dengan topeng perdamaian, dibalik pembangunan yang megah,
toleransi yang sekedar tersumbar. Banyak orang kecewa saat Tomor Timur memisahkan diri dari
kesatuan Negara Republik Indonesia. Orang Timor-Timur seakan tidak tahu malu. Tetapi sapa
yang sangka banyak kali di tepian Timor Timur sana banyak air mata yang ditumpahkan tiap hari
melihat banyak jiwa satu demi satu bersimpah darah? Siapa yang sadar mencium bau amis
mayat di setiap sudut lorong-lorong sepi? Siapa yang tahu anak-anak Timor Timur terus mencari
orang tua mereka yang di sangka mudik tapi mati?
Timor Timor sebenarnya satu penjajahan terselubung, yang menjadikan keringat jadi
darah, tawa jadi tangis, senyum jadi kecut, dan cinta jadi kebencian.
Januari 1999, awal tahun yang tragis. Aku bergabung dengan satu pasukan khusus
karena kecintaan ku pada negara Indonesia walau aku orang Timor Timur asli. Kami ditugaskan
di suatu desa untuk menarik simpatik masa mendukung otonomi, pro pada kesatuan. Siapa yang
sangka di sana malah terjadi pembunuhan tragis. Pasukan kami yang berada dalam naungan
militer meluluhlantahkan warga desa hanya karena kebebasan mereka untuk memilih merdeka,
laki-laki di penggal, banyak wanita diperkosa, sedang anak-anak dibunuh hanya karena mereka
mewarisi darah sebagai putra kemerdekaan. Salahkan itu?
Waktu itu aku hanya diam terpana…perang itu membuatku gemetar…bukan karena takut
perang, tapi ngeri, saudara-saudaraku sendiri menjerit ketakutan ditelingaku, sedang aku melihat
satu-demi satu bermandikan darah. Teman-temanku sepasukan seperti tak punya kemanusiaan,
mereka seperti dilahirkan dari babi atau kambing, sehingga melihat manusia seperti barang asing
yang mesti ditiadakan. Manusia dibantai seperti hewan pembantaian.
Aku baru tersentak saat satu keluarga dibunuh habis di hadapanku. Saat aku sadar, aku
berhasil menyelamatkan satu gadis mungil. Dan hari itu juga aku berhenti dari pasukan khusus
itu, bersama gadis kecilku ke Indonesia sambil trauma pada negara kelahiranku sendiri. Aku lari
karena saudaraku Timor Timur menganggap aku juga aalah pembunuh, padahal aku mencintai
mereka lebih dari yang mereka tahu. Aku inginkan persatuan, sebenarnya aku tahu bahwa
dengan itu tidak ada pertumpahan darah. Tetapi mereka terlanjur membenciku.
Aku menjadi terasing di negara orang, merana bersama gadis kecilku. Orang tak peduli
padaku. Mereka tak mau bersahabat dengan ku karena aku tidak bia menjadi teman yang baik.
Kata mereka, teman yang baik yakni yang mampu membunuh para pemberontak. Cukup!
###
Adegan II
Komentator : Kalau natal adalah memberi…? Apa yang pernah ku belikan pada yanti?
Kalau Natal adalah bersyukur…oh Tuhan Hidup ini penuh penderitaan. Kalau
Natal adalah pengorbanan? Sudahkah aku berkorban untuk Yanti? Ia terlalu
kecil untuk turut menderita bersamaku. Sedih…telah 10 tahun kami melawati
natal bersama, aku belum pernah memberinya hadiah sekalipun.
Joao : Yanti mau boneka?
Yanti : Mau…om ada boneka?
Joao : Tidak.
Yanti : Kalau begitu biar sa, Yanti tidak mau boneka.
Joao : Tidak…tidak. Om ada. Yanti tunggu di sini ya…
(Joao pun mencuri sebuah boneka untuk Yanti. Tetapi orang mengetahuinya dan memukul Joao
sampai babak belur)
Pastor : Kalau orang dalam keadaan yang saking sulitnya berjuang untuk memberi makna natal
sampai menumpahkan darahnya, kenapa kita yang seperti ini tidak mampu
merayakan natal dengan suka cita?
(listrik di padamkan…lagu Holy Night)
(Listrk dinyalakan, semua saling bersalaman natal sambil bernyanyi)