You are on page 1of 2

Krisis Air Bersih di Ibukota:

Ancaman Nyata atau


Ketakutan Berlebihan?
oleh: Arief Rahman (Perkumpulan SALAM)

Sebenarnya, menjadi tidak tanggap situasi apabila


kita menganggap krisis air bersih ini adalah
ketakutan berlebihan. Masalahnya, sudah banyak
orang yang telah merasakannya. Bahkan, bukan
hanya orang-orang di ibukota saja, melainkan juga
di daerah-daerah penyangga semacam Bekasi pun
orang-orangnya telah merasakan.

Nah, agar ini tidak menjadi rasa dalam hati saja,


melainkan menjadi fakta yang lebih terukur, maka
dalam sebuah riset sederhana kami mencoba untuk
menjawab pertanyaan: benarkah krisis air bersih itu
adalah ancaman nyata?

Sebelum menjawabnya, maka kita harus mengetahui: bilamana terjadi krisis air
bersih? Krisis akan terjadi bila suplai lebih kecil dari permintaan (Supply < Demand).
Dengan penyederhanaan, kita dapat melihat bahwa tingkat demand dipengaruhi oleh
jumlah penduduk, sedangkan tingkat suplai dipengaruhi oleh produksi/pemanfaatan
sumber-sumber air bersih yang ada.

Mari kita lihat terlebih dahulu dari sisi permintaan. Dengan menggunakan asumsi
rata-rata pemakaian air minum per orang per tahun sebesar 59,98 m3 (berdasarkan
Statistik Air Minum 1999) dan proyeksi jumlah penduduk DKI pada tahun 2007
sebanyak 8.814.000 (Proyeksi Penduduk 2000-2025 BPS DKI Jakarta) maka
kebutuhan air minum di tahun ini akan sebesar 528.663.720 m3.

Itu dari sisi permintaan. Sekarang kita lihat dari sisi penawaran/suplai. Kita harus
mengetahui terlebih dahulu sumber-sumber air bersih/air minum warga ibukota.
Sumber-sumber air tersebut adalah (i) air PAM, (ii) air tanah, dan (iii) air
sungai. Salah satu batasan riset ini adalah mengecualikan sumber air siap minum
yang dijual oleh swasta, mengingat kontinuitas suplainya yang lebih terjamin
meskipun aksesibilitas ke konsumen yang lebih terbatas.

Oke, mari kita lihat satu per satu dari masing-masing sumber air tersebut. Pertama,
sumber air bersih/air minum yang berasal dari sungai. Mungkin, kita tidak
menyangka bahwa masih ada warga ibukota yang bisa memanfaatkan air sungai
yang mengalir di wilayahnya untuk kebutuhan air minum. Tapi, ternyata hal tersebut
terjadi. Berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Statistik Potensi Desa 2000 dan
2003), pada tahun 2002 dari 197 kelurahan di Jakarta yang dilalui sungai, delapan
diantaranya (atau sebesar 4%) masih memanfaatkan sungai tersebut sebagai
sumber air minum/bahan baku air minum. Tetapi, dengan pemanfaatan yang
sebesar 4% itu, tentu masih jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan warga ibukota
lainnya.

Kedua, sumber air tanah. Ada kesimpulan yang mengejutkan ketika kami mengkaji
tentang penggunaan air tanah sebagai sumber air minum oleh rumah tangga.
Dengan melihat pada data penggunaan air tanah oleh rumah tangga selama
sembilan tahun semenjak 1996 hingga 2004 (berdasarkan data Susenas 1996-2000
dan 2000-2004 BPS), maka kami menarik polanya dan mendapatkan persamaan
sebagai berikut:
y=-0.5882X+1221.5, dimana
y = persentase rumah tangga yang sumber air minumnya berasal dari air
tanah di DKI Jakarta, dan
x = tahun.

Dari persamaan itu diketahui bahwa y akan sama dengan 0% ketika x sama dengan
2076. Artinya adalah, pada tahun 2076 maka tidak akan ada lagi air tanah
yang dapat digunakan. Artinya adalah, tahun 2076 sama dengan satu
generasi dari sekarang.

Sumber air bersih yang terakhir adalah sumber air dari PAM Jaya. Di tahun 2000,
PAM Jaya baru menjangkau 18,67% rumah tangga dari 2.227.140 rumah tangga
yang ada di DKI Jakarta (jika kita hanya berbicara kuantitas, bukan kualitas
pelayanan). Itu dari sisi jangkauan pelayanan. Bila dilihat dari sisi pemenuhan
kebutuhan, pada tahun 2000 PAM Jaya baru dapat memenuhi 21,12% kebutuhan air
minum di DKI Jakarta.

Mengingat terbatasnya air sungai untuk dimanfaatkan, mengingat air tanah yang
semakin menurun penggunaannya, dan mengingat kapasitas produksi saat ini, maka
memang tidak ada pilihan selain PAM meningkatkan produksinya. Tetapi, ada
ganjalan lain untuk meningkatkan produksi. Di dalam proses produksi, PAM
membutuhkan pembelian bahan-bahan kimia untuk membuat air baku yang
didapatkannya menjadi air yang bersih untuk pelanggan. Nah, dari hasil pengolahan
data PAM Jaya tahun 2000-2005 diketahui bahwa untuk meningkatkan jumlah
produksi sebesar 1% maka mengakibatkan kenaikan pembelian bahan kimia
sebanyak 7%. Ketimpangan antara jumlah peningkatan produksi dengan jumlah
kenaikan biaya untuk bahan kimia menyebabkan ongkos produksi menjadi begitu
mahal. Bila pilihan untuk meningkatkan produksi adalah pilihan yang harus diambil,
dibebankan kemanakah biaya produksi ini? Langsung ke konsumen (yang tentunya
akan mendapatkan protes keras dan aksesibilitas konsumen terhadap produk PAM
Jaya menjadi semakin menurun) ataukah memperbesar alokasi subsidi dalam APBD
(padahal subsidi adalah satu bentuk alokasi anggaran yang tidak sehat)?

Satu faktor utama yang menyebabkan tingginya biaya produksi pengolahan air baku
adalah begitu tercemarnya sumber-sumber air baku sehingga dibutuhkan pembelian
bahan kimia yang mahal untuk membersihkannya. Sebagai informasi, PAM Jaya
mendapatkan pasokan air baku terbesar dari Waduk Jatiluhur, ditambah dengan
sebagian kecilnya (2% dari rata-rata jumlah total air bersih yang disalurkan) dari
Sungai Ciliwung.

Penutup
Tulisan ini tidak hendak menyimpulkan apapun karena sebuah kesimpulan yang
ditarik harus didasarkan pada analisa korelasi yang jelas dan tegas. Tulisan ini
sekadar menyampaikan fakta sepotong-sepotong tanpa berupaya untuk melihat
keterkaitan diantaranya (atau faktor-faktor lain yang tidak terekam). Tetapi, dari
segala potongan fakta di atas, akan menjadi berlebihan apabila kita menganggap
krisis air bersih adalah sebuah ketakutan yang berlebihan. Sekian dan terima kasih.

You might also like