You are on page 1of 4

Tradisi Jepang saat Tahun Baru

Hari tanggal 31 Desember atau malam tahun baru disebut misoka. Di malam tahun
baru, orang Jepang mempunyai tradisi memakan soba yang disebut toshikoshi soba. Stasiun
televisi di Jepang bersaing memperebutkan pemirsa dengan berbagai acara malam tahun
baru. NHK mempunyai tradisi menayangkan acara Khaku
Uta Gassen, berupa kompetisi lagu antar penyanyi terkenal
yang dibagi menjadi kubu merah dan kubu putih. Menjelang
pukul 12 malam, genta yang terdapat di berbagai kuil
agama Buddha di Jepang dibunyikan. Tradisi memukul
genta menjelang pergantian tahun disebut joya no kane.
Genta dibunyikan sebanyak 108 kali sebagai perlambang
108 jenis nafsu jahat manusia yang harus dihalau.

Osechi adalah sebutan untuk masakan istimewa


yang dimakan di tahun baru. Sup dari kuah dashi yang berisi mochi dan sayuran merupakan
salah satu masakan osechi. Toko swalayan besar sejak beberapa minggu sebelum tahun
baru juga sudah membuka pemesanan osechi. Lauk pada masakan osechi biasanya sangat
manis atau asin, seperti: kuromame, tatsukuri (gomame), kombumaki, kamaboko, kurikinton,
kazunoko, dan datemaki. Makanan tahun baru diharapkan bisa tahan lama, karena tahun
baru merupakan kesempatan libur memasak bagi ibu rumah tangga di Jepang.
Ikan yang dimasak berbeda menurut daerahnya, di Jepang
bagian timur digunakan ikan salem sedangkan di Jepang bagian barat
digunakan ikan sunglir (buri). Beberapa daerah juga memiliki masakan
khas yang tidak bisa dinikmati di tempat lain. Daerah Kansai memiliki
masakan khas berupa ikan cod kering yang dimasak dengan gula pasir.
Penutupan perayaan tahun baru ditandai dengan memakan
bubur nanakusa yang dimasak dengan 7 jenis sayuran dan rumput.
Bubur ini dimakan tanggal 7 atau 15 Januari agar perut bisa beristirahat
setelah dipenuhi makanan tahun baru.

Orang Jepang mempunyai tradisi berkiriman kartu pos (ucapan tahun baru) yang tiba
persis tanggal 1 Januari. Kartu pos ucapan tahun baru dijamin sampai ke alamat yang dituju
pada tanggal 1 Januari, asalkan dikirim tidak melewati jangka waktu penerimaan yang
ditetapkan kantor pos. Penerimaan kartu pos biasanya dimulai pertengahan Desember
hingga beberapa hari terakhir sebelum penutupan tahun. Kantor pos membutuhkan pegawai
ekstra yang direkrut dari kalangan pelajar, agar semua kartu pos bisa disampaikan tanggal 1
Januari. Sebagai penghormatan terhadap orang yang meninggal, anggota keluarga yang
baru ditinggalkan tidak merayakan tahun baru dan tidak mengirim kartu pos tahun baru.
Sebagai gantinya, anggota keluarga yang baru ditimpa musibah
mengirim kartu pos berisi pemberitahuan tidak bisa mengirim kartu pos
ucapan tahun baru.
Orang Jepang mempunyai tradisi memberikan angpao yang
dikenal dengan sebutan otoshidama. Sewaktu memberikan otoshidama
untuk anak-anak, sejumlah uang kertas yang masih baru atau uang
logam dimasukkan ke amplop kecil bernama pochibukuro (otoshidama-
bukuro) yang berhiaskan aneka gambar kesukaan anak-anak.
Otoshidama sangat ditunggu-tunggu anak-anak di Jepang, terutama bila
memiliki paman atau bibi yang murah hati.

Perayaan tahun baru juga dimeriahkan dengan menulis aksara kanji pertama untuk
tahun tersebut. Tradisi menulis aksara kanji yang dilakukan tanggal 2 Januari disebut
kakizome (kaligrafi pertama).
Tradisi Pernikahan Jepang
Walaupun ada banyak cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun
kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah
kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di
Jepang di samping agama Budha.
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan
kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh
pendeta Shinto. Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus
bagi upacara pernikahan.
Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah
untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci
Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian
pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-sankudo. Selama ritual ini,
mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari
beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang
disediakan.
Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling
berhadapan (umumnya kedua mempelai yang saling berhadapan). Setelah itu, anggota
keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake,
menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.
Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji
berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang
ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan
ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat
dengan cara pembersihan, doa dan persembahan
kepada Dewa.
Apabila sepasang mempelai Jepang ingin
melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang
murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan
dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang
melambangkan kesucian dan dengan nyata
menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan
tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni
kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi
dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan
mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan
dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga.
Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata
boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun
kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan
kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria
mengenakan kimono berwarna hitam pada upacara pernikahan.
Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau hikidemono seperti permen, peralatan
makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada
para tamu untuk dibawa pulang.
Mengenal Harakiri Tradisi Bunuh Diri
ala Jepang
Harakiri atau bunuh diri ala jepang menjadi salah satu tradisi negara sakura
ini. Harakiri dilakukan dengan cara menusukan samurai ke perut sang pelaku hingga
tewas akan tetapi, tradisi ini makin berkembang dengan beragam cara, mulai dari
menusukkan samurai, menenggak racun, gantung diri, menabrakan diri di kereta,
hingga loncat dari ketinggian tertentu yang mematikan.
Harakiri menjadi sebuah “fenomena” menarik untuk ‘dikaji’ mengingat bagi
saya banyak values yang terkandung di dalamnya. Lepas dari pandangan kita bahwa
tindakan tersebut tentulah tidak “wajar”.
Dengan motifharga diri, para samurai dulu melakukan bunuh diri demi
menjaga harga dirinya. Tindakan kamikaze di saat PD II pun saya golongkan dalam
motif ini. Jepang tidak ingin sejengkal pun tanah mereka di injak oleh AS dan
sekutunya, hingga dengan cara apapun, pergerakan musuh mereka harus ditahan.
Kisah pertempuran di Iwojima (Letters from Iwojima) menunjukkan heroisme tentara
Jepang yang melakukan pertempuran hingga titik tenaga dan titik darah terakhir
mereka. Satu lagi yang menarik, dalam film “The Last Samurai”, Ken Watanabe yang
berperan sebagai seorang samurai melakukan adegan harakiri demi menjaga harga
dirinya ketimbang bertekuk lutut pada tentara Tidak aneh, para korban-korban
harakiri tersebut mendapatkan penghormatan yang besar dari masyarakat, termasuk
dari orang yang pada masa hidup tidak menyukainya.
Motif malu adalah motif paling
dominan dilakukan oleh pelaku harakiri di
masa kini. Motif “tidak bisa menahan malu”
dilakukan oleh berbagai kelompok
masyarakat, mulai dari pejabat, akademisi,
hingga rakyat biasa. Tahun 2007 kita masih
ingat “kejutan” di jajaran Kabinet Shinzo
Abe (PM Jepang pengganti Koizumi)
dengan tewasnya Menteri Pertanian mereka
akibat kasus bunuh diri. Diyakini, tindakan tersebut dilakukan karena Sang Menteri
tidak bisa menahan malu akibat skandal kasus korupsi yang diduga (masih dugaan)
membelitnya. Di tahun yang 2006, seorang professor (associate) tewas bunuh diri di
dalam laboratoriumnya (kasus di kampus kami, Osaka University) yang diduga
melakuka pemalsuan data risetnya dalam sebuah jurnal ilmiah terkemuka dibidang
bioscience. Kelompok pelaku bunuh diri ini didorong oleh ketidak mampuan mereka
menahan malu akibat kasus-kasus yang menimpanya.
Motif balas dendam. Pada kasus ini, biasanya dilakukan oleh seseorang yang
kecewa pada keluarganya. Misal seorang anak yang merasa tidak diperlakukan adil,
dan lain sebagainya. Tindakan bunuh diri dilakukan dengan menabrakan diri pada
kereta api. Dengan tindakan seperti ini, umumnya keluarga sipelaku akan kerepotan
karena dikenai tuntutan mengganggu ketertiban umum. Keluarga pelaku akan dituntut
membayar ganti rugi oleh perusahaan kereta akibat keterlambatan yang disebabkan
oleh peristiwa tabrakan tersebut. Bukan hanya itu, keluarga pelaku juga harus
menanggung kerugian dan meminta maaf pada semua penumpang yang merasa
dirugikan dengan kejadian ini. Repotnya keluarga inilah mungkin yang dimaksudkan
dengan upaya “balas dendam” si pelaku.

You might also like