You are on page 1of 14

Web hosting Custom Email SiteBuilder

Tinjauan Pustaka ke 1 - 20 Feb 2001

Diagnosis Serologik pada Tuberkulosis Paru

Dr. Retno

PENDAHULUAN

Diagnosis tuberkulosis (TB) paru ditegakkan berdasarkan gambaran klinik,


pemeriksaan fisik, gambaran radiologik, pemeriksaan laboratorium dan uji
tuberkulin.1 Rangkaian pemeriksaan tersebut, identifikasi mikroorganisme
dalam sekret atau jaringan pasien merupakan hal utama dalam
mendiagnosis tuberkulosis, tetapi proses tersebut agak sulit dan mempunyai
keterbatasan. Hasil pemeriksaan BTA (basil tahan asam) (+) di bawah
mikroskop memerlukan kurang lebih 5000 kuman/ml sputum, sedangkan
untuk mendapatkan kuman (+) pada biakan yang merupakan diagnosis
pasti, dibutuhkan sekitar 50 - 100 kuman/ml sputum. 1,2 Pulasan BTA sputum
mempunyai sensitiviti yang rendah, terutama tuberkulosis nonkaviti 3, akan
memberikan kepositivan 10% pada pasien dengan gambaran klinis TB
paru4,5 dan 40% penyandang TB paru dewasa mempunyai hasil negatif pada
pulasan sputumnya. 6

Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan


angka sensitiviti 18-30%.4,5 Foto polos toraks memberi hasil dengan
perkiraan tak lebih dan 30% pada negara berkembang.2,3 Bila terdapat
gambaran infiltrat di lobus atas dan kaviti pada foto polos toraks, maka
kemungkinan TB paru 80-85%.4 Oleh karena terdapat beberapa kekurangan
dan membutuhkan waktu yang lama dalam menentukan diagnosis pasti TB
paru, maka dibutuhkan alat diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitiviti
dan spesivisiti yang tinggi untuk memperbaiki metoda diagnostik yang
konvensional.3

Beberapa teknik telah dikembangkan untuk mempermudah dalam


mendiagnosis TB paru diantaranya polymerase chain reaction (PCR), becton
dickinson diagnostic instrument system (BACTEC), kromatografi asam
mikolik, restrictive fragment length polymorphism (RFLP) dan uji serologik.2
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas rnengenai beberapa uji serologik
dalam mendiagnosis tuberkulosis paru serta beberapa penelitian yang
menyokong keberhasilan maupun kekurangannya.

Uji serologik berdasarkan deteksi respons humoral, berupa proses interaksi


antara antigen dan antibodi yang digunakan in vitro untuk tujuan
diagnostik.2,7. Beberapa teknik pada uji serologik diantaranya adalah dengan
menggunakan teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA),
mycodot, uji peroksidase anti peroksidase (PAP) dan
immunochromatographic assay (ICT) yang akan dijelaskan dalam tinjauan
pustaka ini. Walaupun secara garis besar belum ada yang sempurna, tetapi
penelitian uji serologik ini masih terus dibutuhkan untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik terhadap sensitiviti maupun spesivisitinya dalam
mendiagnosis penyakit tuberkulosis paru secara cepat dan seefektif
mungkin.2,3,4,5,6,8

DASAR PEMERIKSAAN SEROLOGIK

Pada pemeriksaan serologik, interaksi antara antigen dan antibodi dapat


menimbulkan berbagai akibat, diantaranya7:

• presipitasi bila antigen merupakan bahan larut dalam cairan


garam fisiologik, terjadi bila antibodi dan antigen dicampur
dengan perbandingan yang seimbang, selain itu dapat terjadi
pula dalam medium setengah padat seperti gel agar

• aglutinasi bila antigen merupakan bahan tidak larut atau


partikel-partikel kecil, pada umumnya aglutinasi tidak terjadi bila
kadar antibodi sangat tinggi

• netralisasi toksin dan akitivasi komplemen.

BEBERAPA PEMERIKSAAN SEROLOGIK TERDAHULU


 

Uji serologik TB paru pertama tahun 1898 oleh Arloing (Perancis), dengan
menggunakan uji aglutinasi, yakni terjadinya aglutinasi pada serum
penyandang TB paru yang diberikan Mycobacterium tuberculosis
(M.tuberculosis). Uji aglutinasi tersebut kemudian berkembang menjadi uji
aglutinasi tak langsung (hemaglutinasi), uji fiksasi komplemen, uji difusi
ganda dan hasil kesemuanya tidak memuaskan.8

Tahun 1963 Shepard dan Kirss menggunakan teknik imunofloresen, yaitu


ikatan antigen antibodi didapatkan fluoresensi pada mikroskop fluoresen.
Berbagai antigen digunakan terhadap serum kelinci, menghasilkan sensitiviti
yang cukup baik tetapi reaksi silang tak dapat dihindari sehingga
spesivisitinya rendah. Tahun 1970 Nassau dan Merrick menggunakan uji
imunofluoresen untuk mendeteksi kuman tuberkulosis, M tuberculosis strain
H37Rv merupakan antigen. Dari 248 serum penyandang TB (paru dan luar
paru) didapatkan sensitiviti 89% pada titer 1/50 dan spesivisiti 97% pada
nontuberkulosis. Sensitiviti TB paru 90 % sedangkan di luar paru 85,4%.
Penelitian ini didukung oleh Mahfouz dan Fraser tahun 1980, menggunakan
uji imunofluoresen dengan antigen old tuberculin yang dipolimerasi. Hasil
tersebut dapat membedakan antara sehat (uji tuberkulin negatif), infeksi
(uji tuberkulin positif) dan sakit. Uji imunofluoresen dapat menilai efek
pengobatan, walau dinilai sangat spesifik dan sensitif, namun kelemahan uji
ini sulit digunakan secara luas karena membutuhkan peralatan khusus yang
canggih dan mahal serta membutuhkan tenaga terlatih dalam
pelaksanaannya.8

Uji radioimmunoassay (RIA) menggunakan antigen M. tuberculosis H37Rv


yang berlabel radioisotop. Antibodi dapat ditemukan dengan menggunakan
benda padat yang disensitisasi dengan antigen. Antibodi yang dicari akan
diikat oleh antigen dan selanjutnya dapat diperlihatkan dengan perantaraan
konjugat (anti-antibodi) yang bertanda zat radioaktif. Pada penelitian
menghasilkan sensitiviti dan spesivisiti yang tinggi, akan tetapi sulit
digunakan secara luas karena membutuhkan peralatan dan tempat khusus
untuk pemeriksaan serta pembuangan sisa radioaktif, sehingga uji ini tak
disukai7,8
Gambar 1. Pemeriksaan RIA

Dikutip dari (7)

PEMERIKSAAN SEROLOGIK PADA MASA KINI

Syarat ideal uji serologik untuk TB menurut Diena adalah mampu


membedakan respons antibodi karena infeksi alami atau karena vaksinasi,
dapat untuk case finding survey dan memantau hasil terapi serta berguna
untuk diagnosis TB di luar paru maupun dari mikobakterium lain. 5
Tersedianya antigen dengan spesivisiti tinggi serta reaksi silang yang
minimal terhadap mikobakterium lain menunjukkan bahwa uji serodiagnostik
tersebut baik.5

Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Pemeriksaan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) adalah salah satu


uji serologik yang dapat mendeteksi respons humoral berupa proses
antigen-antibodi. Pada pemeriksaan ini diukur titer antibodi IgG serum
penderita.2 Radin dkk melaporkan bahwa penyandang tuberkulosis aktif
mempunyai IgG yang lebih tinggi daripada imunoglobulin lainnya, dalam
melawan antigen aktif purified protein derivate (PPD) tuberculin, sehingga
mendeteksi IgG spesifik aktif melawan antigen campuran (the mixed
antigens) merupakan dasar dan banyak uji.9 Keadaan ini memungkinkan
karena antibodi dapat menetap dalam waktu lama, sedangkan penggunaan
antigen merupakan hal penting, sebab ketidakmurnian antigen dapat
menimbulkan reaksi silang yang mengganggu diagnosis. Penggunaan
antibodi monoclonal sangat membantu, kini dikembangkan antigen 38 kilo
Dalton (kD) untuk mendiagnosis TB paru.2,3,6

Uji ini menggunakan label enzim sehingga ikatan antibodi ditunjukkan


dengan perubahan warna yang dapat dinilai dengan mata biasa secara
kualitatif dan spektophotometer secara kuantitatif. Sensitiviti tergantung
pada prevalensi tuberkulosis, daerah dengan prevalensi yang tinggi misalnya
negara berkembang, diharapkan uji ini memiliki sensitiviti 70-80%
sedangkan daerah dengan prevalensi rendah diharapkan mempunyai
sensitiviti 60-70%. Spesivisiti tergantung pada antigen yang digunakan,
beberapa laporan mengatakan bahwa spesivisiti 97-98 % bila menggunakan
antigen crude bacillary. Penggunaan PPD menghasilkan spesivisiti bervariasi,
dilaporkan uji ini menghasilkan spesivisiti yang tinggi bila menggunakan
antigen yang telah dimurnikan (highly purified). 8

Ballestrino dkk tahun 1984 menggunakan antigen 5 yang dianggap cukup


spesifik, didapatkan sensitiviti 64% dengan bakteriologi positif dan spesivisiti
100% pada kontrol. Penelitian ini menunjukan bahwa vaksinasi BCG baik
penyandang maupun kontrol serta status tuberkulin pada kontrol tak
mempengaruhi hasil.8 Chau dkk, menyimpulkan bahwa nilai diagnostik ELISA
terbatas terhadap tuberkulosis aktif, karena hasil positif hanya pada
penyakit kronik dan lesi luas.9 Antigen 30/31 dengan epitop IT-39 MAB dan
antigen 38 kD dengan epitop TB 72 MAB berhasil digunakan untuk
mendiagnosis TB paru dan di luar paru. Antigen 38 kD merupakan
imunodominan dalam pulasan positif pada TB paru dengan sensitiviti lebih
dan 83% dan spesivisiti 96%. Antibodi 38 kD merupakan antibodi yang
pertama timbul setelah awal terapi dan turun perlahan selama pengobatan.
Peningkatan kembali titer antibodi 38 kD biasanya merupakan suatu
resistensi.6 Penelitian yang dilakukan di RSUP Persahabatan (1993-1997)
untuk mendeteksi Ig G menggunakan antigen 38 kD M.tuberculosis
memberikan sensitiviti 44% dan spesivisiti 90%. TB paru BTA (+)
mempunyai sensitiviti 57% sedangkan BTA (-) sensitiviti 30 %.2

Peningkatan titer antibodi yang selektif terhadap antigen 14 kD atau epitop


TB68MAB ditemukan pada tuberkulosis primer dan kasus kontak yang
infeksius, keadaan ini memberi kesan bahwa antigen tersebut merupakan
imunogenik khusus dalam stadium dini infeksi M. tuberculosis. Sekret
antigen 19 kDa berguna dalam mendiagnosis tuberkulosis paru dengan
pulasan negatif, keadaan ini berhubungan dengan kaviti. Antibodi terhadap
antigen 65 kD dan 70 kD tidak baik untuk memprediksi penyakit, tetapi
berhubungan dengan fibrosis yang lanjut pada paru dan perikard 6. Bila
respons proliferatif limfosit T terhadap derivat protein dari antigen 38 kD
tidak terjadi, hal ini merupakan petanda tuberkulosis aktif, akan tetapi
menurunnya respons terhadap 14 kD dihubungkan dengan peningkatan
angka kematian pada TB paru, memberi kesan bahwa respons humoral
spesifik maupun cell mediated yang mungkin merupakan pelindung telah
rusak. Peningkatan antibodi terhadap antigen mikobakterium hp 60, secara
signifikan berhubungan dengan perkembangan fibrosis yang berlanjut pada
TB perikard. Respons IgG spesifik dan nonspesifik mungkin menetap untuk
beberapa tahun setelah pengobatan yang adekuat, dan harus
diperhitungkan kapan menginterpretasikan hasil serologik atau menilai
perbedaan tampilan dan immunoassay yang baru.6
Gambar 2. Pemeriksaan ELISA

Dikutip dan (7)

Mycodot

Merupakan uji untuk mendeteksi secara kualitatif antibodi IgG dalam tubuh
manusia secara langsung, melawan antigen lipoarabinomannan (LAM),
merupakan glikolipid yang umum pada mikobakterium, juga merupakan
komponen dinding sel kuman10,11 direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir
plastik dan dicelupkan ke serum penderita. Bila serum pasien mengandung
antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan
aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir tersebut.
Penelitian di RSUP Persahabatan (1993-1997) pada 90 kasus TB dan nonTB
ternyata mempunyai sensitiviti 72,5% dan spesivisiti 94% dengan
pemeriksaan mikroskopik BTA sebagai baku emas, sedangkan pada 35
kasus mempunyai sensitiviti 45,45 % dan spesivisiti 100% dengan biakan
konvensional sebagai baku emas.2

Suatu penelitian menentukan keakuratan assay ini terhadap tuberkulosis


aktif dan kontrol dengan atau tanpa lesi laten. Pada pasien TB aktif
sensitiviti anti-LAM IgG 85-93%, sedangkan 5 pasien TB aktif dengan
pulasan sputum (-) mempunyai hasil yang positif terhadap anti-LAM IgG.
Spesivisiti tergantung pada terdapatnya infeksi tuberkulosis. Di Amerika
perbandingan dengan menggunakan dewasa muda sehat dan penyandang
rematik ternyata memberikan spesivisiti 100%. Pada daerah dimana
terdapat risiko infeksi tuberkulosis, yang dinyatakan dengan uji tuberkulin
positif atau negatif, spesitivitinya 89%, sehinggga disimpulkan bahwa anti
LAM IgG immunoassay relatif sensitif dan spesifik untuk TB aktif, berguna
pula untuk tapisan terhadap TB aktif.10

Penelitian berikutnya 102 penyandang tersangka TB HIV (-) terdiri dari 66


penyandang yang disangka TB paru dan 36 TB di luar paru. Hasilnya 28 (+),
74 (-) diantaranya 1 TB paru aktif dan 1 TB ginjal. Pada penelitian tersebut
disimpulkan bahwa mycodot dengan kecepatan dan kadar sensitivitinya,
dapat digunakan sebagai pemeriksaan laboratorium rutin dalam
mendiagnosis TB paru dan di luar paru.11

Uji Peroksidase Anti Peroksidase (PAP)

Digunakan untuk menentukan IgG spesifik terhadap M. tuberculosis.


Handoyo (1988) melaporkan bahwa uji tersebut mengembangkan teknik
serodiagnostik dengan cara uji imunoperoksidase tak langsung,
menggunakan BCG sebagai antigen. Sensitiviti uji ini 98,3% dan spesivisiti
94,7%, penelitian dilakukan pada kelompok dengan prevalensi 49,4%.
Teknik imunoperoksidase-antiperoksidase (PAP) menggunakan label enzim
peroksidase dalam bentuk ikatan imunologik.5,8 Negatif palsu terjadi bila
antigen berlebih, pengguna obat imunosupresif, malnutrisi berat dan
diabetes mellitus, sedangkan positif palsu terdapat pada faktor rematoid. 12
Isnu Prajoko dkk meneliti secara cross sectional dengan sasaran semua
penyandang penyakit paru yang dirawat inap di RSUD Dr Soetomo Surabaya
(1986-1990). Dari 118 pasien, 64 kasus TB dan 54 nonTB dengan hasil
tertera dalam tabel 1.5
Angka sensitiviti uji PAP 56,25% dan spesivisitinya 48,1%. Kelompok nonTB
yang memberikan hasil PAP (+) adalah 9 dari 16 karsinoma paru (56,2%), 6
asma bronkial (16,6%), 6 dari 12 efusi pleura (50%), 2 dari 3 PPOK
(66,6%), 1 dari 3 tumor mediastinum (33,3%), 2 pneumonia (33,3%), 3
kasus bronkiektasis, 3 empiema, 1 limfoma maligna. 1 kasus pneumotoraks
memberi hasil negatif. Berdasarkan hasil uji di atas, uji PAP dapat digunakan
sebagai sarana diagnostik TB paru walaupun sangat terbatas kegunaannya. 5

Imunocromatografi ( I C T)

Merupakan uji imunodiagnostik invitro yang digunakan untuk mendeteksi


antibodi M. tuberculosis dalam serum atau plasma, dengan menggunakan 5
antigen hasil sekresi M. tuberculosis selama infeksi aktif. Ke-5 antigen ini
diimobilisasikan membentuk 4 garis melintang pada membran test, 2
antigen diantaranya digabung dalam 1 garis. Ketika 30μl serum atau plasma
diteteskan ke bantalan biru, serum atau plasma akan berdifusi melewati
garis-garis antigen, bila ada antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, antibodi
itu akan berikatan dengan antigen pada garis. Setelah penutupan kartu test,
anti human IgG yang terikat pada partikel colloidal gold akan mengikat
human IgG menghasilkan satu atau lebih garis warna merah muda. Apabila
tidak terdapat human IgG dalam sampel, maka tak terlihat garis warna
merah muda dalam daerah pengujian, waktu yang dibutuhkan 5 - 15
menit.12,13 Sejumlah penelitian menunjukan bahwa pemeriksaan ini dapat
membedakan komplek tuberkulosis dengan mikobakterium lain. 13

Rini Sundani, dkk meneliti 30 serum yang telah didiagnosis TB paru terdiri
dan 20 BTA (-), 10 BTA (+) serta kontrol 30 serum nontuberkulosis terdiri
atas 16 kasus PPOK, 7 asma bronkial, 6 bronkitis kronik dan 1
bronkopneumonia. Hasil ICT (+) pada 26 penyandang tuberkulosis, 2 PPOK,
1 asma bronkial, 1 bronkitis kronik. Sensitiviti terhadap tuberkulosis paru 90
% dan spesivisiti 86,67%.13

Negatif palsu (10%) ditemukan pada pasien dengan BTA (-) yakni 1 TB
milier dalam keadaan malnutrisi, 1 tuberkulosis paru reaktif, 1 tuberkulosis
paru. Positif palsu 4 (13,3%) diantaranya (+) lemah terdapat pada 2 PPOK,
1 asma bronkial, sedang (+) kuat pada bronkiektasis. Keadaan ini perlu
penelitian lebih lanjut apakah pasien tersebut penyandang tuberkulosis paru
maupun di luar paru.13

Selanjutnya diteliti hubungannya dengan pengobatan, yang dikelompokkan


berdasarkan lama pengobatan / ditegakkannya diagnosis, terdiri atas 3
bagian yakni 5 penyandang baru rencana terapi OAT, 18 diterapi OAT
kurang dari 1 bulan dan 7 telah diterapi 1-2 bulan. Dari hasil tersebut
tampak persentase hasil pemeriksaan ICT tuberkulosis menurun sejalan
dengan lamanya terapi OAT, sesuai dengan tabel di bawah ini, tetapi apakah
dapat digunakan untuk evaluasi terapi belum diketahui. 13

 
 

Grafik di atas merupakan hasil pemeriksaan ICT tuberkulosis terhadap 30


penyandang tuberkulosis dengan 10 BTA sputum positif, 20 BTA sputum
negatif dan 30 kontrol terdiri atas penyandang PPOK, asma bronkial,
bronkitis kronik, bronkopneumonia. Hasil pemeriksaan ICT tuberkulosis pada
penyandang tuberkulosis paru dengan sediaan dahak langsung BTA positif
sebanyak 10 (100%), pada BTA negatif sebanyak 17 (85%) sedangkan pada
penyandang nonTB 2 diantaranya penyandang PPOK, 1 penyandang asma, 1
bronkopneumonia dengan jumlah total 4 (86,7%). Penelitian ini menyatakan
bahwa ICT tuberkulosis dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya,
karena baku emas yang digunakan adalah diagnosis yang telah ditetapkan
oleh klinisi. Penurunan persentase hasil pemeriksaan ICT tuberkulosis
sejalan dengan lamanya terapi OAT, walaupun masih diperlukan penelitian
yang lebih lanjut. Pemeriksaan ICT tuberkulosis tidak membutuhkan
peralatan lain, mudah pelaksanaannya dan hanya membutuhkan waktu yang
singkat, sehingga pemeriksaan ini dapat menunjang diagnosis secara
cepat.13,14,15

KESIMPULAN

Teknik imunodiagnostik berdasarkan antigen atau antibodi masih memiliki


kelemahan sehingga belum dapat dijadikan pegangan klinik. Berbagai faktor
dapat mempengaruhi uji serologik, diantaranya spesivisiti uji serologik yang
bergantung pada spesivisiti antigen atau antibodi, yang digunakan untuk
menghindari reaksi silang. Dibutuhkan pula pembuatan antigen spesifik yang
sederhana sehingga mudah dikerjakan dan dapat digunakan secara luas.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia haruslah diketahui bagaimana
efek vaksinasi BCG yang digunakan secara luas, dimana efek tersebut dapat
merangsang produksi antibodi. Walaupun beberapa penelitian di negara
maju telah dinyatakan bahwa BCG dan uji tuberkulin tidak mengakibatkan
hasil positif

DAFTAR PUSTAKA

1. Yunus F. Diagnostik tuberkulosis paru. Dalam: Yunus F,


Rasmin M, Hudoyo A, S Boedi. Eds. Pulmonologi Klinik. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI, l992.p. 43-50

2. Aditama TY, Zs Priyanti. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan


masalahnya. Edisi III. Jakarta: Lab. Mikobakteriologi RSUP
Persahabatan, 2000.p. 12-20.

3. Chiang I H, Suo J, Bai K J, Ping Lin T, Tay Luh K, Jen Yu C, et


al. Serodiagnosis of Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med
1997; 156(3): 906-911.

4. Wijanarko P, Aditama TY, Suryatenggara W, Gardenia L,


Oesrnan F, Silman S, dkk. Peranan pemeriksaan antibodi
terhadap antigen 38 kilodalton Mvcobacterium tuberculosis
dalam diagnosis TB paru di RSUP Persahabatan Jakarta. Paru
1997; 47(7): 322-8.

5. Prajoko I, Lulu M. Uji Peroksidase Anti Peroksidase pada


penderita Tuberkulosis Paru. Paru 1994; 14 (1): 30-4.

6. Wilkins EGL. Serology for Mycobacterium tuberculosis. In:


Pre-Congress Postgraduate Courses, l994.p. 29-34.

7. Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi IV. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, 2000.p. 275-9.

8. KS Dianiati. Uji serologi untuk TB paru. Paru 1994; 14(1): 4-7

9. Anonymous. Serologic Methods for Diagnosing Tuberculosis


(Editorial). Annals of Internal Medicine 1989; 110(2):97-8.
10. Li LF. Serodiagnosis of tuberculosis by enzyme linked
immunosorbent assay for anti-A60 and anti-A30. Chang Gung
Medical Journal 1998; 21(3): 258-64

11. Chan ED. Diagnosis of tuberculosis by visually detectable


immunoassay for lipoarabinomannan. Am J Respir Crit Care Med
2000; 161(5): 1713-9

12. Del Prete R. Detection of anti-lipoarabinomannan antibodies


for the diagnosis of active tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis
1998; 2(2): 160-3.

13. Sundari R, Noormartany. Pemeriksaan uji serap imun-rapid


imunokromatografi pada penderita yang telah didiagnosis
tuberkulosis paru di Poliklinik Paru RSUP Dr Hasan Sadikin
Bandung. Dalam: Pekan Ilmiah FKUP, 1998; 1-9

14. Mathur M.L, LoBue P.A, Catanzaro A. Evaluation of a


serologic test for the diagnosis of tuberculosis. Int J Tuberc Lung
Dis 1999; 3(8): 732-5.

15. Pottumarthy S. A comparison of seven tests for serological


diagnosis of tuberculosis. J Clin Microbiol 2000; 38(6): 2227-31

Telah dilakukan koreksi:

(dr Andi Nurjihad)


 

web hosting • domain names


web design • online games

You might also like