You are on page 1of 9

Maraknya aksi-aksi kekerasan akhir-akhir ini, seperti teror bom, pembunuhan

sadis, dan penculikan, oleh sementara kalangan dipicu, selain karena persoalan

ekonomi, konflik sosial, dan politik yang represif, sentimen keagamaan.

Sentimen tersebut biasanya muncul akibat pemahaman yang terlalu radikal

sehingga memunculkan apa yang saat ini gencar diwacanakan sebagai radikalisme

agama. Dalam tahap tertentu, sentimen yang dipicu radikalisme agama itu biasa

juga diasosiasikan sebagai arus gerakan fundamentalis.

Samuel Huntington adalah salah seorang yang berpandangan bahwa fundamentalisme

juga terkait persoalan basis agama. Dalam buku fenomenalnya, The Clash of

Civilizations dan the Remaking of World

Order, 1996, dia menyatakan bahwa tatanan dunia mendatang akan muncul berdasar

peradaban yang lahir dari ekspresi nilai-nilai tertinggi tradisi agama. Karena

itu, retorika seperti fundamentalisme bagi Huntington merupakan letupan yang

tidak bisa terhindarkan dari peradaban berbasis agama tersebut.

Walaupun ada sementara kalangan yang membedakan antara radikalisme dan

fundamentalisme, keduanya tetap menyimpan bara dan potensi kekerasan yang

sangat mengerikan.

Fundamentalisme oleh sebagian kalangan lebih pada keterkaitannya dengan

persoalan politik yang kurang memberikan ruang lebar kepada kelompok-kelompok

tertentu, bahkan cenderung memperlakukannya secara represif. Akibatnya,


kelompok itu tidak memiliki akses politik yang cukup memadai. Pengalaman

Aljazair, misalnya, membuktikan hal itu, juga beberapa negara yang lain.

Sementara itu, radikalisme lebih pada upaya pemaknaan kembali pada

ajaran-ajaran agama tertentu dengan model pemahaman yang sangat literalistik,

rigid, dan sekadar taken for granted tanpa upaya pemahaman kritis. Buahnya,

tentu saja adalah aksi-aksi sosial yang cenderung kurang memperhatikan aspek

tatanan kehidupan sosial yang harmonis, toleran, dan plural. Mereka

terinspirasi dari pemahaman-pemahaman sangat eksklusif itu.

Parahnya, doktrin ajaran yang mereka baca sebatas pada doktrin-doktrin tertentu

yang mereka anggap relevan untuk diterapkan dalam kancah kehidupan kontemporer

saat ini. Misalnya, doktrin jihad terhadap orang-orang yang berbeda keyakinan

atau agama dan menganggap yang berbeda itu sebagai kafir, sesat-menyesatkan,

dan seterusnya.

Sementara itu, doktrin-doktrin ajaran yang lebih menekankan kepada manusia

untuk mengedepankan sikap kasih sayang terhadap sesama, kerja sama, toleransi,

dan saling menghargai kurang mereka perhatikan.

Islam Fundamental

Islam saat ini ramai diperbincangkan. Tidak hanya karena ulah sebagian

pengikutnya yang mengatasnamakan Islam dalam setiap aksi terornya. Namun, itu

juga karena banyaknya orang yang semakin ingin tahu Islam sesungguhnya dan

bagaimana sebetulnya Islam menjawab beberapa pertanyaan seputar radikalisme dan


fundamentalisme yang dengan sengaja telah ditumbuhkembangkan dalam Islam itu

sendiri juga oleh sebagian pengikutnya.

Walaupun istilah fundamentalis lahir dari rahim peradaban Kristen di Barat,

sebagai gejala sosiologis, Islam juga tidak bisa terlepas dari itu semua.

Transformasi sosial yang semakin terlihat wujud nyatanya saat ini semakin

meneguhkan rentannya umat-umat beragama menjadi radikal atau fundamentalis.

Orang-orang tersebut biasanya menganggap bahwa transformasi atau perubahan

sosial yang sedang terjadi sebagai sebuah krisis yang harus dihadapi dengan

jalan kembali pada ajaran agama otentik (Mun'im A. Sirry, Membendung Militansi

Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, 2003).

Hemat penulis, pada setiap agama ada aspek-aspek fundamental yang harus menjadi

pegangan hidup pengikutnya. Begitu pula halnya dengan Islam. Dalam Islam, ada

doktrin-doktrin fundamental yang harus diyakini, kemudian dilakukan dalam

kehidupan nyata sebagai ekspresi keimanannya itu. Doktrin yang paling

fundamental dalam Islam adalah doktrin keimanan kepada Tuhan. Bentuk

ekspresinya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah praksis keimanan yang

berwujud perilaku sosial nyata dalam kehidupan.

Islam fundamental selalu menekankan arti penting keimanan sebagai basis dalam

setiap gerak hidup. Gerak hidup tanpa landasan keimanan akan berbuah sia-sia.

Fakhruddin ar-Razi, salah seorang pakar tafsir terkemuka, dalam karyanya,

Tafsir ar-Razi, membedakan persoalan iman dan Islam.


Menurut dia, beriman secara benar dalam tata aturan syariat yang benar

merupakan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun. Seorang yang

beriman, tapi tidak ber-Islam, maka imannya tidak akan diterima karena dia

tidak bernilai konkret apa-apa, bisa-bisa iman itu malah melahirkan kebatilan

dan kemusyrikan.

Fundamentalis Islam

Sebagai ekspresi keberimanan, seorang muslim berpotensi kuat menjadi

fundamentalis (orang yang mengamalkan ajaran-ajaran fundamental).

Dalam semua agama, potensi itu adalah laten permanen yang suatu saat dapat

meletup menjadi aksi-aksi yang beragam. Menjadi seorang fundamentalis saat yang

sama juga bisa menjadi seorang liberalis.

Menjadi fundamentalis saat yang sama juga bisa menjadi seorang

revivalis-konservatis. Karena itu, ada orang yang secara terang-terangan

menyatakan kebanggaannya sebagai seorang fundamentalis.

Fundamentalis-liberal merefleksikan aksi-aksinya melalui perjuangan

moral-intelektual guna mengkritisi aspek-aspek fundamentalnya dan menghadirkan

aspek fundamental yang lebih inklusif, toleran, progresif, dan emansipatoris,

bertujuan akhir pada upaya penciptaan tatanan sosial yang lebih humanis.

Sementara itu, fundamentalis revivalis-konservatis merefleksikan aksi-aksinya


juga melalui perjuangan moral-intelektual, namun kurang kritis terhadap

aspek-aspek fundamentalnya. Akibatnya, kelompok tersebut menghadirkan pemikiran

dan aksi yang kurang toleran dan cenderung eksklusif.

A. Fenomenologi dan Fenomenologi Agama

Unsur fundamental agama dapat diketahui, salah satu caranya, dengan pendekatan fenomenologi.
Metode fenomenologi dikenalkan oleh Edmund Huserl (1859-1938). Semboyan fenomenologi adalah zu
den sachen selbst (kembali kepada hal-hal itu sendiri). Pendekatan fenomenologi berusaha menemukan
kembali pengalaman dasariah dan asli, yang utuh, bebas nilai dan kaya isi, tentang sesuatu hal atau
perkara. Untuk mendapatkan pemahaman yang representatif dan memuaskan tentang suatu hal, segala
doktrin dan teori tentang hal itu harus dilepaskan. Perhatian difokuskan kembali kepada fenomena,
sebagaimana hal itu menampakkan diri kepadaku (Diester, 1992: 25).

Usaha menemukan unsur fundamental sesuatu hal, melalui pendekatan fenomenologi, dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, fenomena sesuatu hal diselidiki sejauh disadari secara langsung dan spontan.
Kedua, fenomena sesuatu hal diselidiki hanya sejauh ada sebagai bagian dari dunia yang dihayati secara
keseluruhan. Menurut prinsip-prinsip itu, segala fenomena sesuatu hal dan segala pemahaman tentang
fenomenanya itu dianalisis. Segala penyempitan atau reduksi dan interpretasi yang berat sebelah
disingkirkan, sehingga ditemukan unsur fundamental.

Fenomenologi Huserl menentang habis-habisan tradisi pemikiran yang telah dikembangkan sejak
Descartes hingga Hegel. Jika selama itu, pengetahuan dikembangkan lewat konstruksi spekulatif dalam
akal budi, maka bagi Huserl, pengetahuan yang sesungguhnya adalah kehadiran data dalam kesadaran
akal budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori (Sudiarja, 1995: 6).

Fenomenologi Huserl menekankan pentingnya suatu metode yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikan seperti penampilannya. Fenomena yang dimaksud oleh Huserl adalah
kehadiran data dalam kesadaran, atau hadirnya sesuatu tertentu dengan cara tertentu dalam kesadaran
kita. Fenomena dapat berupa hasil rekaan atau sesuatu yang nyata, gagasan maupun kenyataan.
Pendapat Huserl tentang fenomena bukan berarti dia berpihak kepada idealisme atau realisme, juga
bukan mensintesiskan keduanya. Fenomenologi Huserl justru bersifat pra-teoritik. Fenomenologi justru
menempati posisi sebelum ada pembedaan antara idealisme dan realisme (Delfgaauw, 1988: 105).
Anton Bakker (1984: 112) dengan mengutip berbagai sumber memberikan uraian rinci tentang pedoman
metodik dalam fenomenologi. Untuk mencapai hakikat fenomena harus diadakan operasi pembersihan.
Beberapa hal tambahan dan cara pemahaman lain, segala dogma dan tradisi harus disaring. Operasi itu
disebut reduksi atau epokhe. Hal tambahan dan cara pemahaman yang lain harus “ditempatkan dalam
kurung”, segi-segi itu tidak diperhatikan atau dipandang lebih dulu, namun bukan berarti tidak dihargai.
Reduksi pokok yang pertama adalah reduksi fenomenologis, yang kedua reduksi eiditis, dan yang ketiga
reduksi transendental-fenomenologis.

Pada reduksi fenomenologis, disaring tentang realitas objek dan subjek. Objek diselidiki hanya sejauh
disadari. Objek dipandang menurut relasinya dengan kesadaran. Terhadap fakta tidak diadakan refleksi
maupun tidak diberi statemen. Pada reduksi eiditis, dicari hakikat dari fenomena. Yang dimaksud hakikat
adalah struktur dasariah yang meliputi isi fundamental, semua sifat hakiki, semua relasi hakiki dengan
kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Untuk mencari hakikat, disaring dan dibersihkan semua
aspek yang hanya kebetulan, tidak penting, dan hanya berhubungan dengan objek individual. Reduksi
transendental-fenomenologis merupakan pengarahan ke subjek dan mengenai terjadinya penampakan
diri, serta mengenai akarnya dalam kesadaran. Kesadaran yang ditemukan dalam reduksi ini adalah
kesadaran subjektivitas murni, atau sama dengan aku transendental. Tetapi kemudian, aku
transendental kehilangan status terisolir. Dunia berada menurut adanya komunitas individu yang
bersifat intersubjektif. Dengan demikian, fenomenologi Huserl menganalisis cara-cara terjadinya
pengalaman komunal.

Yang paling penting dalam reduksi bukan menaruh dunia dalam kurung, tetapi segala teori dan
interpretasi tentang dunia. Huserl menekankan aspek positif dalam reduksi. Reduksi bukan saja
berpaling dari segala teori tentang dunia, tetapi juga berpaling kepada sesuatu, yakni kesadaran atau
aku transendental (Bertens, 1983:104).

Aplikasi metode fenomenologi dalam berbagai disiplin ilmu hampir tidak mengalami banyak kesulitan,
tidak demikian halnya dalam penyelidikan agama. Kesulitan itu bersumber dari: pertama, kenyataan
bahwa agama-agama itu berkembang, sehingga agama merupakan objek kajian yang hidup dan
berkembang secara khas. Kedua, agama itu bersifat individual, subjektif, batiniah, loyalitas adalah
tuntutan terpokok dalam beragama. Akibatnya, dalam studi agama orang sering membandingkan
agama-agama dengan metodenya sendiri, seraya merumuskan keunggulan agamanya.

Fenomenologi agama, menurut C.J. Bleeker, adalah studi agama dengan cara membandingkan berbagai
fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh prinsip universal. Dalam upaya itu, prinsip
kerja fenomenologi Huserl khususnya epokhe eiditis dipergunakan. Sementara menurut Raffaelle
Pettazzoni, fenomenologi agama adalah pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan
mengkoordinasikan data agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar
hubungan tersebut tanpa harus mengadakan komparasi tipologis antar berbagai gejala agama (Sudiarja,
1995: 7).

Fenomenologi agama adalah suatu metode pendekatan dalam studi agama dengan tanpa
memperhatikan sejarah suatu agama, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama menampakkan
diri. Fenomena agama atau gejala yang dengannya agama menampakkan diri menjadi perhatian utama
dalam rangka memahami hakikat agama. Dengan metode fenomenologi dicoba ditemukan struktur
dasariah agama yang meliputi isi fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan
objek lain yang disadari. Fenomenologi agama tidak hanya ingin mendeskripsikan fenomena yang
ditelaah, tidak juga hanya menerangkan hakikat filosofis fenomena, lebih dari itu suatu fenomena
religius diberi arti secara lebih mendalam sebagaimana dihayati manusia religius (Dhavamony, 1995:
42). Fenomenologi agama seperti itu adalah dalam rangka menghindari bias subjektif dan
ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan kenyataan agama sebagai suatu yang dialami dan dihayati,
bahkan oleh si pengamat sendiri.

B.Unsur-unsur Fundamental Agama

Dalam situasi kemajemukan agama terdapat berbagai fenomena berupa institusi dan tradisi yang
merupakan bentuk ekspresi keagamaan. Pendekatan fenomenologi dimaksudkan untuk memahami
pengalaman dasariah awal mula hubungan manusia dengan Sang Pencipta, yang lebih dikenal dengan
“pengalaman keagamaan”. Fenomenologi agama semacam itu oleh Max Scheler disebut dengan
wesensphanomenologie der religion. Scheler menunjuk tiga tugas bagi fenomenologi ini. Pertama, studi
analisis tentang sifat hakiki Yang Ilahi. Kedua, studi tentang cara bagaimana Yang Ilahi Menampakkan
diri. Ketiga, studi tentang aktus religius yang dilakukan oleh manusia untuk menerima penampakkkan
diri Yang Ilahi (Bertens, 1983: 115).

Pendekatan fenomenologis terhadap gejala agama, berdasar batasan Scheler tersebut, menunjukkan
hal-hal sebagai berikut.
Pertama, di dalam agama-agama terdapat unsur-unsur yang sama di samping tentunya perbedaan-
perbedaan. Sebagai misal, pengamatan terhadap gejala yang berupa kultus peribadatan menunjukkan
bahwa semua agama meyakini adanya kenyataan lain. Semua umat beragama menekankan loyalitas
terhadap Tuhan. Keyakinan ketuhanan merupakan unsur fundamental agama yang mempengaruhi
segala bentuk ekspresi keagamaan sesorang.

Kedua, dalam setiap agama terdapat orde, yakni suatu norma yang terkait dengan misi utama agama.
Orde dapat bersifat kosmis maupun etis. Orde biasanya bersumber dari gnostik, yakni pengetahuan dan
atau pengalaman keagamaan. Pengetahuan dan atau pengalaman keagamaan pada agama kesukuan
dapat terjadi karena mythe, sementara dalam agama profetis pengetahuan dan atau pengalaman
keagamaan diperoleh, salah satu caranya, lewat wahyu /kitab suci. Pengetahuan dan atau pengalaman
keagamaan merupakan unsur fundamental agama.

Ketiga, setiap agama mengakui adanya ketidaksempurnaan di dunia ini. Meskipun, penjelasan tentang
sebab ketidaksempurnaan berbeda-beda dalam setiap agama. Agama, dalam hal ini, menawarkan suatu
jalan keluar dari ketidaksempurnaan melalui ritual-ritual. Setiap agama, dengan demikian, berorientasi
pada penyelamatan. Pemahaman dan pengakuan tentang ketidaksempurnaan dunia serta orientasi
penyelamatan mengandaikan dan membawa manusia kepada keyakinan tentang dunia lain yang
sempurna setelah dunia ini, umat beragama meyakini tentang kehidupan jiwa manusia setelah
kehidupan di dunia ini. Keyakinan tentang immortalitas jiwa merupakan unsur fundamental agama.
Keyakinan immortalitas jiwa sering menjadi jaminan bagi moral.

Keempat, dalam setiap agama terdapat orientasi etis-sosial. Agama selalu sosial, meskipun agama
bermula dari pengakuan keagamaan yang individual. Orientasi etis-sosial agama sangat terkait dengan
orde dan pandangan baik buruk.

Pemahaman tentang unsur fundamental agama dan realisasinya dalam kehidupan akan berpengaruh
terhadap masa depan agama. Terdapat minimal tiga kemungkinan terkait dengan eksistensi agama.
Pertama, agama seharusnya berakhir. Respon ini merupakan kritik atau reaksi atas kegagalan umat
beragama dalam menjalankan fungsi penyelamatan ataupun penertiban dunia/masyarakat. Kedua,
agama akansegera berakhir. Respon ini merupakan akibat dari kemajuan peradaban manusia. Ketika
teknik yang dikuasai manusia sudah sedemikian maju, dan karenanya manusia terpesona oleh kemajuan
itu; agama dipandang akan segera kehilangan fungsinya dalam kehidapan manusia. Fungsi agama akan
digantikan oleh IPTEK. Ketiga, akan terdapat semangat baru dalam agama, agama tidak akan pernah
berakhir. Respon ini merupakan akibat dari pesimisme terkait dengan semakin kompleksnya persoalan
manusia dan ketidakmampuan IPTEK memberikan solusi yang memuaskan bagi kehidupan, tetapi justru
menimbulkan persoalan baru dalam kehidupan (Aslam, 1986).

Materi Kuliah Filsafat Agama Fakultas Filsafat UGM

You might also like