Professional Documents
Culture Documents
BIBLICAL PRINCIPLES II
Kicauan burung, gesekan daun bambu dan gemercik air mancur terasa
menyenangkan di telinga dan hati kita. Sebaliknya, klakson mobil, teriakan tetangga dan
alat musik band yang nyaring malah bisa menyebalkan. Memang, bunyi dan suara ada dua
macam: yang menyegatkan atau sebaliknya yang menyakitkan jiwa dan pikiran.
Ukuran untuk menggolongkan jenis bunyi dan suara adalah decibel. Bunyi dan suara
yang berada di bawah 60 decibel termasuk normal. Beberapa contoh bunyi dan suara
dengan decibelnya adalah: daun yang tertiup angin lembut (10), percakapan berbisik di
kamar tidur (30), lemari es (40), percakapan biasa pada jarak satu meter (60). Golongan
bunyi dan suara yang mendekati batas bahaya adalah keramaian di took atau pasar (70),
penyedot debu atau mesin cuci (80). Sedangkan bunyi dan suara yang termasuk berbahaya
adalah mesin diesel truk (90), blender pada jarak satu meter (100), speaker di diskotik pada
jarak dua meter (110), Guntur yang keras (120) dan mesin jet dari ketinggian seratus meter
(130).
Bunyi yang selalu nyaring adalah berbahaya, sebab bunyi itu dapat mengganggu
ketentraman jiwa yang normal. Pada hakikatnya semua makhluk lebih menyukai suasana
yang tenang dan teduh, sebab ketenangan member rasa aman dan nyaman. Padahal bunyi
dan suara yang keras dan nyaring cenderung menimbulkan suasana yang tegang dan kejam
dan bisa menimbulkan perilaku yang agresif. Dalam suasana gaduh orang mudah gugup
dan gelisah. Suasana bising dan hiruk pikuk menyulitkan orang berpikir dengan jernih dan
akal sehat. Sebab itu, jiwa yang normal mencari suasana yang tenang dan teduh.
Mungkin itu sebabnya Allah tidak mau dijumpai Nabi Elia dalam suasana yang gegap
Nabi Elia menjumpai Tuhan. Maka Elia pun mencari Tuhan. Mula-mula ia mencari
Tuhan di tengah “angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan memecahkan
bukit-bukit batu”. Tetapi Tuhan tidak ada di situ. Kemudian Elia mencari Tuhan di dalam
gempa. Tetapi Tuhan tidak ada. Lalu Elia mencari Tuhan di dalam api. Di situ pun tidak
ada Tuhan. Sesudah itu “datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa”. Ternyata disitulah
Tuhan.
Tuhan bukan datang dalam bunyi angin topan atau angin rebut. Sebaliknya, Tuhan
datang dalam “bunyi angin sepoi-sepoi basa” yaitu bunyi angin yang perlahan-lahan dan
Itu berarti bahwa Tuhan dapat dijumpai oleh hati manusia yang tenang dan teduh
dalam suasana yang hening dan halus. Hati manusia mencari hati Allah. Itu sebabnya kita
Sebab itu ibadah perlu merupakan pelayanan keteduhan, yaitu menyedihkan suasana
dan saat di mana hati kita bisa diteduhkan dan meneduhkan diri. Sungguh saying bahwa
kebanyakan kebaktian terlalu dipadati dengan bunyi dan suara. Tujuan sesungguhnya dari
ibadah menjadi kabur jika ibadah bersuasana hingar-bingar dengan pelbagai bunyi dan
suara. Hamper tidak ada saat di mana kita hening. Kadang-kadang orang bernyanyi
seperti memekakkan telinga. Kadang-kadang alat music dalam gereja terlalu nyaring dan
bising, apalagi kalau ada alat music yang menghentak-hentak dengan bunyi breng-breng-
breng. Seringkali pula suara pengkhotbah seperti dentuman meriam yang memecahkan
telinga. Ia berteriak seperti orang histeris. Entah berapa decibel suaranya. Yang lebih
mengganggu adalah ketika tiba saat berdoa. Mengapa orang berdoa begitu cepat seperti
senapan mesin otomatis yang der-der-der. Mengapa pula orang berdoa dengan suara
menggelegar bagaikan halilintar. Apakah Tuhan tuli? Mengapa doa diucapkan seperti
pidato yang menggeledek. Akibatnya suasana yang khusyuk dan khidmat menjadi rusak.
Bagaiman manusia berdoa kepada Tuhan dalam suasana yang gaduh? Jadilah tenang,
Itulah sebabnya keteduhan begitu diperlukan oleh jiwa yang mencari hubungan
dengan Tuhan.
Name: Jocom, Lerry Yosua
BIBLICAL PRINCIPLES II
Leher anak itu miring dan tangan kirinya seperti menggantung serta bergoyang-
goyang terus. Seorang ibu berjalan pincang. Tiga orang buta menunggu kesempatan
menyeberang jalan sambil memegang bahu teman di depannya. Apa raksi kita? Kita
Tetapi tahukan kita bahwa orang cacat justru paling tidak senang ditonton dan paling
tidak mau dikasihanni? Kalau ditonton dan dikasihani mereka merasa semakin berbeda
dari orang lain. Si sampul brosur suatu panti karya orang cacat tertulis: Janganlah kami
dikasihani.
Satu dari sepuluh orang adalah penyandang cacat, entah cacat tubuh, cacat mental,
cacat penglihatan atau cacat pendengaran. Ada yang cacat tunggal, ada yang cacat ganda.
Ada yang cacat ringan, ada yang cacat berat. Kalau satu dari sepuluh orang adalah
penyandang cacat, tentunya ada orang cacat di tiap kelas sekolah, di tiap kantor, di tiap
pabrik dan di tiap gereja. Tetapi kenyataannya di situ tidak ada orang cacat. Mengapa?
Bukan karena oaring cacat tidak ada, melainkan kerena tempat-tempat itu tidak membuka
Misalnya, apakah gereja terbuka untuk orang cacat? Kita menjawab tentu saja. Tetapi
lihat kenyataannya, apakah orang cacat yang duduk di kursi roda bisa masuk ke gedung
gereja kita? Anak tangganya begitu banyak, bagaimana orang yang bertongkatatau
berkursi roda bisa naik? Orang yang kakinya cacat akan termangu di depan gedung gereja
ketika melihat anak-anak tanga dan berkata lirih, “Gereja ini bukan untuk saya.”
Pelayanan yang dibutuhkan oleh orang cacat adalah membuka pintu semua bidang
kehidupan sehingga orang cacat bisa mendapat kesempatan yang sama untuk
berpartisipasi.
Tetapi masyarakat cenderung mengisolasi dan menyisihkan orang cacat. Keadaan cacat
dianggap sebagai aib yang memalukan. Banyak orangtua menyembunyikan anaknya yang
cacat. Akibatnya anak itu pun merasa malu dan merasa rendah diri.
orang cacat. Menurut Lukas 14:7-24 pada suatu perjamuan Yesus melihat orang-orang
yang hadir berusaha olah saling meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Karena itu kepada tuan rumah pesta itu Yesus berkata,”… apabila engkau mengadakan
orang-orang buta. Di tengah budaya yang menyingkirkan orang cacat ke pinggir lingkaran
Orang cacat ingin di terima dan diikutsertakan sebagai warga biasa. Mereka mempunyai
harga diri kuat, sebab itu mereka ingin mandiri dan berkarya. Mereka bukan ingin
Sejauh keadaan orang cacat itu sendiri memungkinkan, tiap jabatan dan pelayanan gereja
terbuka untuk orang cacat. Hal ini juga tentu berlaku untuk pelbagai jenis profesi dalam
masyarakat.
Pernah keduabelas murid melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Mereka bertanya,
“Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia
dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan itu oleh Yesus dinilai sebagai tidak relevan.
Yesus menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orantuanya, tatapi karena pekerjaan-
pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Menurut Yesus, yang perlu dipersoalkan
Allah di dalam orang itu. Lalu Yesus menyembuhkan dia. Itu sebuah bentuk nyata
pekerjaan Allah.
warga masyarakat lainnya, membuka kesempatan yang memungkinkan mereka ikut serta
dalam segala bidang kehidupan. Ketika Yeus berumpama tentang undangan perjamuan
14:21).
Justru orang cacat mendapat tempat yang terhormat dalam Kerajaan Allah. Orang
cacat pun adalah gambar dan rupa Allah. Wajah orang cacat adalah juga wajah Allah.