You are on page 1of 5

Name: Jocom, Lerry Yosua

BIBLICAL PRINCIPLES II

Ssst !! Tenanglah Hai Jiwaku

Kicauan burung, gesekan daun bambu dan gemercik air mancur terasa

menyenangkan di telinga dan hati kita. Sebaliknya, klakson mobil, teriakan tetangga dan

alat musik band yang nyaring malah bisa menyebalkan. Memang, bunyi dan suara ada dua

macam: yang menyegatkan atau sebaliknya yang menyakitkan jiwa dan pikiran.

Ukuran untuk menggolongkan jenis bunyi dan suara adalah decibel. Bunyi dan suara

yang berada di bawah 60 decibel termasuk normal. Beberapa contoh bunyi dan suara

dengan decibelnya adalah: daun yang tertiup angin lembut (10), percakapan berbisik di

kamar tidur (30), lemari es (40), percakapan biasa pada jarak satu meter (60). Golongan

bunyi dan suara yang mendekati batas bahaya adalah keramaian di took atau pasar (70),

penyedot debu atau mesin cuci (80). Sedangkan bunyi dan suara yang termasuk berbahaya

adalah mesin diesel truk (90), blender pada jarak satu meter (100), speaker di diskotik pada

jarak dua meter (110), Guntur yang keras (120) dan mesin jet dari ketinggian seratus meter

(130).

Bunyi yang selalu nyaring adalah berbahaya, sebab bunyi itu dapat mengganggu

ketentraman jiwa yang normal. Pada hakikatnya semua makhluk lebih menyukai suasana

yang tenang dan teduh, sebab ketenangan member rasa aman dan nyaman. Padahal bunyi

dan suara yang keras dan nyaring cenderung menimbulkan suasana yang tegang dan kejam

dan bisa menimbulkan perilaku yang agresif. Dalam suasana gaduh orang mudah gugup

dan gelisah. Suasana bising dan hiruk pikuk menyulitkan orang berpikir dengan jernih dan

akal sehat. Sebab itu, jiwa yang normal mencari suasana yang tenang dan teduh.

Mungkin itu sebabnya Allah tidak mau dijumpai Nabi Elia dalam suasana yang gegap

gempita dan menggelegar. Cerita di 1 Raja-raja 19:8-18 mengisahkan Tuhan menyuruh

Nabi Elia menjumpai Tuhan. Maka Elia pun mencari Tuhan. Mula-mula ia mencari

Tuhan di tengah “angin besar dan kuat yang membelah gunung-gunung dan memecahkan
bukit-bukit batu”. Tetapi Tuhan tidak ada di situ. Kemudian Elia mencari Tuhan di dalam

gempa. Tetapi Tuhan tidak ada. Lalu Elia mencari Tuhan di dalam api. Di situ pun tidak

ada Tuhan. Sesudah itu “datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa”. Ternyata disitulah

Tuhan.

Tuhan bukan datang dalam bunyi angin topan atau angin rebut. Sebaliknya, Tuhan

datang dalam “bunyi angin sepoi-sepoi basa” yaitu bunyi angin yang perlahan-lahan dan

silir-semilir atau bunyi yang hening dan halus.

Itu berarti bahwa Tuhan dapat dijumpai oleh hati manusia yang tenang dan teduh

dalam suasana yang hening dan halus. Hati manusia mencari hati Allah. Itu sebabnya kita

menunduk dan beribadah.

Sebab itu ibadah perlu merupakan pelayanan keteduhan, yaitu menyedihkan suasana

dan saat di mana hati kita bisa diteduhkan dan meneduhkan diri. Sungguh saying bahwa

kebanyakan kebaktian terlalu dipadati dengan bunyi dan suara. Tujuan sesungguhnya dari

ibadah menjadi kabur jika ibadah bersuasana hingar-bingar dengan pelbagai bunyi dan

suara. Hamper tidak ada saat di mana kita hening. Kadang-kadang orang bernyanyi

seperti memekakkan telinga. Kadang-kadang alat music dalam gereja terlalu nyaring dan

bising, apalagi kalau ada alat music yang menghentak-hentak dengan bunyi breng-breng-

breng. Seringkali pula suara pengkhotbah seperti dentuman meriam yang memecahkan

telinga. Ia berteriak seperti orang histeris. Entah berapa decibel suaranya. Yang lebih

mengganggu adalah ketika tiba saat berdoa. Mengapa orang berdoa begitu cepat seperti

senapan mesin otomatis yang der-der-der. Mengapa pula orang berdoa dengan suara

menggelegar bagaikan halilintar. Apakah Tuhan tuli? Mengapa doa diucapkan seperti

pidato yang menggeledek. Akibatnya suasana yang khusyuk dan khidmat menjadi rusak.

Bagaiman manusia berdoa kepada Tuhan dalam suasana yang gaduh? Jadilah tenang,

supaya kamu dapat berdoa (1 Petrus 4:7).

Itulah sebabnya keteduhan begitu diperlukan oleh jiwa yang mencari hubungan

dengan Tuhan.
Name: Jocom, Lerry Yosua

BIBLICAL PRINCIPLES II

Wajah Orang Cacat: Wajah Allah

Leher anak itu miring dan tangan kirinya seperti menggantung serta bergoyang-

goyang terus. Seorang ibu berjalan pincang. Tiga orang buta menunggu kesempatan

menyeberang jalan sambil memegang bahu teman di depannya. Apa raksi kita? Kita

memandangi merekan dan kita merasa kasihan.

Tetapi tahukan kita bahwa orang cacat justru paling tidak senang ditonton dan paling

tidak mau dikasihanni? Kalau ditonton dan dikasihani mereka merasa semakin berbeda

dari orang lain. Si sampul brosur suatu panti karya orang cacat tertulis: Janganlah kami

dikasihani.

Satu dari sepuluh orang adalah penyandang cacat, entah cacat tubuh, cacat mental,

cacat penglihatan atau cacat pendengaran. Ada yang cacat tunggal, ada yang cacat ganda.

Ada yang cacat ringan, ada yang cacat berat. Kalau satu dari sepuluh orang adalah

penyandang cacat, tentunya ada orang cacat di tiap kelas sekolah, di tiap kantor, di tiap

pabrik dan di tiap gereja. Tetapi kenyataannya di situ tidak ada orang cacat. Mengapa?

Bukan karena oaring cacat tidak ada, melainkan kerena tempat-tempat itu tidak membuka

pintu bagi orang cacat.

Misalnya, apakah gereja terbuka untuk orang cacat? Kita menjawab tentu saja. Tetapi

lihat kenyataannya, apakah orang cacat yang duduk di kursi roda bisa masuk ke gedung

gereja kita? Anak tangganya begitu banyak, bagaimana orang yang bertongkatatau

berkursi roda bisa naik? Orang yang kakinya cacat akan termangu di depan gedung gereja

ketika melihat anak-anak tanga dan berkata lirih, “Gereja ini bukan untuk saya.”

Pelayanan yang dibutuhkan oleh orang cacat adalah membuka pintu semua bidang

kehidupan sehingga orang cacat bisa mendapat kesempatan yang sama untuk

berpartisipasi.
Tetapi masyarakat cenderung mengisolasi dan menyisihkan orang cacat. Keadaan cacat

dianggap sebagai aib yang memalukan. Banyak orangtua menyembunyikan anaknya yang

cacat. Akibatnya anak itu pun merasa malu dan merasa rendah diri.

Tuhan Yesus menunjukkan sikap yang betul-betul berbeda. Ia tidak menyisihkan

orang cacat. Menurut Lukas 14:7-24 pada suatu perjamuan Yesus melihat orang-orang

yang hadir berusaha olah saling meninggikan diri sendiri dan merendahkan orang lain.

Karena itu kepada tuan rumah pesta itu Yesus berkata,”… apabila engkau mengadakan

perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan

orang-orang buta. Di tengah budaya yang menyingkirkan orang cacat ke pinggir lingkaran

pergaulan dan kehidupan masyarakat, Yesus justru menghisabkan orang cacat.

Pelayanan kepada orang cacat adalah pelayanan penerimaan dan pengikutsertaa.

Orang cacat ingin di terima dan diikutsertakan sebagai warga biasa. Mereka mempunyai

harga diri kuat, sebab itu mereka ingin mandiri dan berkarya. Mereka bukan ingin

menerima sumbangan, melainkan member sumbangan. Gereja bisa melibatkan dan

mengikutsertakan orang cacat dalam pelbagai jenis pelayanan yang memungkinkan.

Sejauh keadaan orang cacat itu sendiri memungkinkan, tiap jabatan dan pelayanan gereja

terbuka untuk orang cacat. Hal ini juga tentu berlaku untuk pelbagai jenis profesi dalam

masyarakat.

Pernah keduabelas murid melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Mereka bertanya,

“Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia

dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan itu oleh Yesus dinilai sebagai tidak relevan.

Yesus menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orantuanya, tatapi karena pekerjaan-

pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Menurut Yesus, yang perlu dipersoalkan

bukanlah mengapa orang itu buta, melainkan bagaimana menyatakan pekerjaan-pekerjaan

Allah di dalam orang itu. Lalu Yesus menyembuhkan dia. Itu sebuah bentuk nyata

pekerjaan Allah.

Melayani orang cacat adalah menyatakan pekerjaan-pekerjaan Allah kepada mereka,


yaitu menerima mereka sebagaimana mereka adanya, menghargai mereka sama seperti

warga masyarakat lainnya, membuka kesempatan yang memungkinkan mereka ikut serta

dalam segala bidang kehidupan. Ketika Yeus berumpama tentang undangan perjamuan

Kerajaan Allah, maka Ia berkata,”…bawalah ke mari orang-orang miskin lumpuh” (Lukas

14:21).

Justru orang cacat mendapat tempat yang terhormat dalam Kerajaan Allah. Orang

cacat pun adalah gambar dan rupa Allah. Wajah orang cacat adalah juga wajah Allah.

You might also like