Professional Documents
Culture Documents
Indonesia
Makalah untuk memenuhi Tugas Pra-UTS Mata Kuliah Agensi Agensi, Kuasa,
dan Politik Di Indonesia (SOP323)
Oleh :
Rosalia Jasmine (071311233036)
DAFTAR ISI
JUDUL.............................................................................................................
DAFTAR ISI....................................................................................................
PENDAHULUAN...........................................................................................
PEMBAHASAN..............................................................................................
Komparasi.........................................................................................................
KESIMPULAN...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.
Pendahuluan
Sebagai negara agraris, sebagian besar masyarakat Indonesia berprofesi sebagai
petani. Sebagai profesi, petani telah dijadikan profesi masyarakat Indonesia bahkan sebelum
Indonesia meraih kemerdekaannya. Petani adalah setiap perempuan dan laku-laki yang
mengolah tanah secara sendiri-sendiri dan atau secara bersama-sama untuk kegiatan pertanian
guna menghidupi diri dan keluarganya. Profesi ini memiliki sejarah yang kelam, yang mana
petani dijadikan buruh dan tidak mendapatan kehidupan yang layak di masa penjajahan.
Penderitaan petani Indonesia mulai terlihat dengan jelas pada saat sistem tanam paksa atau
Cultuur Stesel diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda pada tahun 1830-1870 atas
usul Gubernur Jenderal van den Bosch. Melalui sistem ini, petani diharuskan menyerahkan
hasil taninya kepada pemerintah kolonial supaya pemerintah kolonial dapat menutupi
kekosongan kas negara. Pemberlakuan sistem tanam paksa mengakibatkan kesengsaraan bagi
kaum petani Indonesia. Hal ini menimbulkan kritikan dari kaum liberal dan kaum humanis di
Eropa sehingga Belanda dituntut untuk merubah sistem tanam paksa ke arah sistem
perekonomian baru yang lebih memperhatikan kesejahteraan petani Indonesia (Supriatna,
2008: 102). Maka pada akhirnya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan sistem
perekonomian baru yang lebih liberal dan tidak menyengsarakan kehidupan petani Indonesia
dengan memberlakukan Undang-Undang Agraria pada tahun 1870.
Pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870 memberikan peluang besar bagi pihak
swasta untuk menanamkan modalnya di Indonesia, terutama dalam pertanian dan perkebunan
di berbagai wilayah Indonesia sehingga tanah kemudian menjadi objek kapitalisme. Namun
pada kenyataannya pemberlakuan Undang-Undang Agraria tidak merubah kesejahteraan
Petani Indonesia. Undang-Undang Agraria hanya merubah sistem perekonomian yang
awalnya dikelola oleh negara menjadi sistem perekonomian yang dikelola oleh swasta. Petani
diharuskan untuk bekerja keras dan memperlihatkan keadaan yang cukup memprihatinkan.
Banyak petani mengalami kelaparan, kekurangan pakaian, tempat tinggal yang tidak layak,
perlakuan kasar, dan berbagai tindakan asusila lain yang pada akhirnya menyebabkan banyak
petani yang kehilangan nyawanya (Supriatna, 2008: 104). Konsep pembaruan agraria dimulai
pasca Indonesia merdeka. Hal ini diawali dengan dibentuknya Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) 1960. Konsep pembaruan agraria disebut mengacu pada konsep new
populism. Atas dasar tersebut, kepemilikan/penguasaan tanah dibatasi dengan batas luas
maksimm dan minimum. Namun dalam perjalanannya, setelah Orde Baru berkuasa, semangat
pembaruan agraria menjadi sesuatu yang tidak berarti. Hal tersebut dikarenakan oleh
pembangunan Orde Baru yang berfokus pada investasi swasta di dalam negeri (Siluet, 2013).
Namun hingga saat ini, tidak banyak perubahan yang terjadi terhadap kondisi kehidupan
petani Indonesia. Mayoritas petani Indonesia merupakan petani berlahan sempit atau bahkan
hanyalah merupakan buruh tani.
merupakan kekuatan politik merupakan salah satu kekuatan yang penting dalam sistem
politik. Di samping partai politik, terdapat kekuatan-kekuatan lain yang dikategorikan sebagai
kekuatan nonformal yang merupakan bagian dari masyarakat misalnya dunia usaha,
kelompok professional dan kelas menengah, pemimpin agama, kalangan intelektual,
lembaga-lembaga, media massa, dan lain-lainnya. Salah satu kekuatan politik ini salah
satunya adalah petani. Dalam tulisan kali ini penulis menjelaskan bagaimana petani
mengambil peran sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia
dualitas atau timbal-balik antara struktur dan agensi (Nashir, 2012: 8). Dari penjelasan
tersebut dapat dikatakan bahwa petani dan struktur politik memiliki hubungan dualitas.
Struktur perpolitikan Indonesia mempengaruhi petani untuk memperjuangkan
kepentingannya . Keadaan struktur yang dianggap tidak memihak kepentingan-kepentingan
petani menjadi alasan bagi petani untuk memperjuangkan kepentingannya. Maka dari itu,
selanjutnya kaum petani memperjuangkan kepentingannya melalui organisasi petani yang
merupakan salah satu kekuatan politik. Dengan memperjuangkan kepentingannya tersebut,
kaum petani dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusan yang selanjutnya
mempengaruhi perubahan struktur.
Komparasi
Meskipun Indonesia merupakan penghasil beras peringkat 3 di dunia, kehidupan
petani Indonesia sangatlah berbeda dengan negara-negara maju. Di negara-negara maju,
profesi petani bukanlah merupakan profesi kaum menengah kebawah. Bahkan, prpfesi petani
merupakan salah satu profesi yang menjanjikan bagi penghasilan mereka. Pertama, dari segi
pendidikan, petani Indonesia sebagian besar merupakan rakyat yang berpendidikan rendah,
hanya lulus sekolah dasar bahkan tidak berpendidikan. Berbeda dengan petani negara maju
seperti Jepang yang memiliki pendidikan tinggi sehingga mereka memiliki keahlian yang
memadai untuk bertani. Selanjutnya yaitu dari segi penghasilan, petani Indonesia merupakan
buruh yang dinbayar murah sehingga tingkat perekonomian petani Indonesia cukup rendah.
Berbeda dengan petani Thailand yang para petaninya rata-rata memiliki usaha sampingan
sehingga petani Thailand dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.Dari segi teknologi,
meskipun sudah memiliki teknologi mutakhir seperti traktor, masih ada beberapa petani yang
menggunakan kerbau untuk mengolah sawah. Berbeda dengan Jepang yang telah
menggunakan teknologi mutakhir secara keseluruhan (Fauzi, 2015). Maka dari itu,
perjuangan kaum petani dalam mempengaruhi struktur perpolitikan Indonesia lebih dominan
dibandingkan negara-negara maju. Mereka menuntut akan adanya keadilan terhadap petani
dengan kehidupan yang layak. Berbeda dengan negara maju yang telah memiliki kehidupan
petani yang layak.
Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa petani adalah setiap perempuan
dan laki-laki yang mengolah tanah secara sendiri-sendiri dan atau secara bersama-sama untuk
kegiatan pertanian guna menghidupi diri dan keluarganya. Profesi ini memiliki sejarah yang
kelam, yang mana petani dijadikan buruh dan tidak mendapatan kehidupan yang layak di
masa penjajahan dimulai dari pemberlakuan sistem tanam paksa dan pemberlakuan UndangUndang Agraria 1870. Meskipun penjajahan yang dilakukan pemerintah kolonial telah
berakhir, hadirnya pihak swasta di Indonesia justru memunculkan penjajahan gaya baru yang
berbeda dan tidak terang-terangan. Berbagai penindasan terhadap petani kerap terjadi di masa
kinisehingga melahirkan beragam reaksi dari petani. Kini petani telah membentuk berbagai
macam organisasi yang menjadi wadah bagi petani untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Gerakan yang dilakukan petani merupakan gerakan yang ditujukan untuk melawan hegemon
dalam berbagai manifestasinya. Gerakan politik ini sering juga diartikan sebagai radikalisme
yang merupakan gerakan yang menolak tertib sosial yang sedang berlaku secara menyeluruh.
Dengan memperjuangkan kepentingannya tmelalui gerakan ersebut, kaum petani dapat
mempengaruhi proses pembuatan keputusan yang selanjutnya mempengaruhi perubahan
struktur.
6
Daftar Pustaka
Budiarjo, Miriam, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, Asep A., 2015. 5 Perbedaan Nasib Petani Indonesia dengan Negara Maju [online].
Tersedia
di:
http://m.log.viva.co.id/news/read/612559-5-perbedaan-nasib-petaniindonesia-dengan-negara-maju. [Diakses: 18 Oktober 2015].
Nashir, Haedar, 2012. Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens. Sosiologi
Reflektif, 7 (1), pp. 1-9.
Nurhayati, 2010. Kekuatan Politik Dan Proses Politik: Studi Kasus Perjuangan Kasus Tanah
Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara Di Bandar Pasir
Mandoge,
Asahan
[pdf].
Tersedia
di:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16219/4/Chapter%20I.pdf. [Diakses:
18 Oktober 2015].
Serikat Petani Indonesia, t.t. Organisasi: Sekilas tentang SPI [online]. Tersedia di:
http://www.spi.or.id/tentang-kami/organsasi/. [Diakses: 18 Oktober 2015]
Siluet, Budi, 2013. Gerakan Petani, Sebuah Catatan [online]. Tersedia di: http://www.prpindonesia.org/2013/gerakan-petani-sebuah-catatan . [Diakses: 18 Oktober 2015].
Sitepu, P. Anthonius, 2004. Transformasi Kekuatan-Kekuatan Politik Suatu Studi Teori
Kelompok Dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia. Pemberdayaan
Komunitas, 3 (3), pp. 163-71.
Supriatna, Nana, 2008. Sejarah. Bandung: Grafindo Media Pratama.