You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN

Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga diare
menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia 1.
Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi
seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan
reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan
keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta
kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi2. Bila tidak
mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik2.
Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi
serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi,
mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta
mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan
efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif
dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan
oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan
oral oleh karena infeksi. Beberapa cara pencegahan dengan vaksinasi serta pemakaian probiotik
telah banyak diungkap dan penanganan menggunakan antibiotika yang spesifik dan antiparasit3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut WHO tahun 1998, diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga
kali sehari. Sedangkan menurut Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, definisi diare berbeda
pada neonatus dan bayi > 1 bulan serta anak. Neonatus dikatakan diare bila frekuensi BAB
>4 kali, sedangkan bayi > 1 bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensi BAB > 3 kali.
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi BAB
lebih dari 3-4 kali perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare tetapi masih bersifat
fisiologis atau normal selama berat badan bayi meningkat normal. Hal demikian merupakan
intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara ekslusif, definisi diare yang praktis adalah meningkatnya
frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya tidak seperti
biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari tetapi
konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.
Diare akut didefinisikan sebagai abnormalitas tingginya kandungan air dalam feses, pada
keadaan normal mendekati 10 ml/kg/hari pada bayi dan anak sedangkan pada remaja dan
dewasa mendekati 200 g/hari. (Stefano, 2010)
Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3
kali/hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/hari) dan konsistensi feses cair
(Suzanne C Smeltzer, th 2002)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cairan
(setengah padat) dengan demiikian kandungan air dalam tinja lebih banyak dari biasanya
(normal 100-200 ml perjam tinja) (Sarwono waspadji, th 1996)
Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat lebih dari 3x/hari
dengan konsistensi tinja cair, bersifat mendadak, dan berlangsung dalam waktu kurang dari
satu minggu (Mansjoer dkk, 1999).
Diare akut menurut Cohen4 adalah keluarnya buang air besar sekali atau lebih yang
berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang 14 hari. Menurut Noerasid 5 diare akut
2

ialah diare yang terjadi secara mendakak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.
Sedangkan American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan
karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa
gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3
7 hari6.
Menurut World Gastroenterology Organisation guidelines 2005, diare akut didefinisikan
sebagai pasase tinja yang cair dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang
dari 14 hari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih
yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri). (WHO CDD, 1988)
Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang menyatakan diare
berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut (peralihan antara diare
akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang dianut yaitu berlangsung lebih dari 30 hari).
(IPD, 2006)
Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian
bahwa ada dua jenis diare yang berlangsung 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai
dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi.
B. Epidemiologi
Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta
kasus kematian sebagai akibatnya7. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang
berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5
episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan 8. Hasil survei oleh Depkes.
diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini
meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare
masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 didapat
proporsi kematian bayi 9,4% dengan peringkat 3 dan proporsi kematian balita 13,2% dengan
peringkat 29.
Di Indonesia dilaporkan bahwa setiap anak mengalami diare sebanyak 1-2 episode per
tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan survei demografi kesehatan indonesia tahun 2002-2003,
prevalensi diare pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun di indonesia adalah laki-laki
10,8% dan perempuan 11,2%. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6-11
bulan (19,4%), 12-23 bulan (14,8%) dan 24-35 bulan (12%). (Biro pusat statistik, 2003)
C. Etiologi
3

Diare secara garis besar dibagi atas radang dan non radang. Diare radang dibagi lagi atas
infeksi dan non infeksi. Diare non radang bisa karena hormonal, anatomis, obat-obatan dan
lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus, bakteri, parasit dan jamur, sedangkan non infeksi
karena alergi, radiasi. (Lung. McGraw Hill, 2003).
Mekanisme penularan utama untuk patogen diare adalah fecal-oral, dengan air dan
makanan yang merupakan penghantar untuk kerjadian terbanyak.

Bagan

etiologi

diare

WHO

Adapun beberapa penyebab diare pada anak yaitu :


1. Infeksi
A. Virus
5

Ada beberapa jenis virus yang dapat menyebabkan diare akut, antara lain
Rotavirus (sebanyak 40-60%), Norwalk virus, Adenovirus. Norwalk virus dan
Adenovirus sering menyebabkan diare akut pada anak besar dan dewasa,
sedangkan Rotavirus sering terjadi pada anak usia dibawah 5 tahun terutama usia
dibawah 2 tahun.10
B. Bakteri
Ada beberapa bakteri yang menyebabkan diare akut pada anak :
E.Coli
Ada 5 subtipe yang menimbulkan diare akut. E. Coli ini merupakan
penyebab kedua diare akut setelah Rotavirus dengan frekuensi 20-30%.
Subtipe E. Coli tersebut adalah :
Entero Pathogenic E. Coli (EPEC)
EPEC melekat pada submukosa usus dengan cara khusus.
Perlekatan setempat melekat longgar pada mikrovilli sel epitel
melalui

bangunan

seperti

tali

disebut

villi

pembentuk

berkas,disertai perlekatan pada selepitel melalui kerja gene eae.


Perlekatan menyebabkan kenaikan kadar kalsium intraseluler dan
polimerisasiaktin padat pada sisi perlekatan. Namun belum ada
penjelasan mengapa perubahan sitoskeletal ini menyebabkan

diare.10
Entero Toxigenic E. Coli (ETEC)
ETEC merupakan penyebab penting diare cair akut pada anak dan
dewasa di negara berkembang. ETEC tidak masuk ke dalam
mukosa usus namun diare yang terjadi disebabkan karena toksin.
Ada dua jenis toksin ETEC yaitu toksin yang tidak tahan panas
(LT) dan toksin yang tahan panas (ST). Toksin LT sangat mirip
dengan toksin kolera, yakni akan terikat pada ganglioside GM1
pada dinding sel mukosa usus tapi ikatannya tidak sekuat toksin
kolera. Kemudian setelah terikat akan mengaktifkan adenylate
cyclase dengan cara mirip toksin kolera sehingga menyebabkan
peningkatan sekresi cairan isotonik. Sedangkan toksin ST
menimbulkan aksi yang sangat cepat dan tidak terikat pada
6

ganglioside dari dinding sel mukosa, ST bekerja dengan


mengaktifkan guanylate cyclase dan menghasilkan cGMP pada sel

mukosa yang mengakibatkan peningkatan sekresi caitan isotonik.10


Entero Invasive E. Coli (EIEC)
Strain ini menimbulkan diare berdarah karena strain tersebut dapat
menembus sel mukosa usus besar sehingga terjadi kerusakan dari
mukosa usus. Akibatnya terjadi gangguan absorbsi cairan.

Patogenesis EIEC ini hampir sama dengan Shigella.10


Entero Hemorrhagic E. Coli (EHEC)
Dua toksin utama dihasilkan oleh EHEC. Satu identik dengan
shigatoksin, exotoksin Shigella Dysentriae serotipe 1 penghambat
sintesis protein (SLT-1/VT-1). Kedua toksin lebih jauh terkait
dengan Shigatoksin (SLT-II/VT-II). Kedua toksin menghambat

sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. 10


Entero Aggregative E. Coli (EAEC)

Shigella
Di negara berkembang diperkirakan insidensi shigella sekitar 10% dari
oenyebab diare akut tetapi di Indonesia hanya sekitar 1-2% saja. Ada 4
spesies yang sering menyebabkan diare akut yaitu :
Shigella flexneri
Shigella sonnei
Shigella dysentriae
Shigella boydii
Shigella sp. menimbulkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10
Campylobacter yeyuni
Di negara berkembang insidensinya berkisar antara 5-14%, di RSCM
menemukan 5% penyebab diare akut pada tahun 1981. Campylobacter
yeyuni juga menyebabkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10
Salmonella sp.
Golongan Salmonella sp. yang menyebabkan diare akut disebut non
Thyphoidal salmonellosis dan paling sering disebabkan oleh Salmonella
paratyphii. Lima persen golongan Salmonella sp. ini menimbulkan diare
berdarah.10
7

Yersinia
Merupakan bakteri penyebab diare akut berdarah atau dysentriform,di
Indonesia belum diketahui frekuensinya karena belum ada penelitian
mengenai hal ini karena susanya media untuk perbenihan. 10
Vibrio
Vibrio sering menimbulkan kejadian luar biasa diare akut. Ada 2 biotipe
yaitu tipe ELTOR dan Classic dengan dua serotipe Ogawa dan Inaba.
Insidensinya berkisar 1-2% dari diare akut.10
C. Parasit
Entamoeba Histolytica.Insidensinya kurang dari 1%
Giardia Lamblia. Biasanya menyerang anak usia 1-5 tahun.
Crytosporidium. Di negara berkembang frekuensinya antara 4-115. Sering
terjadi pada penderita AIDS. 10
2. Malabsorbsi
Karbohidrat
Disakarida (laktosa, maltosa, sukrosa)
Monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa)
Lemak
Terutama Long Chain Triglyceride

Biasanya malabsorbsi karbohidrat disebabkan oleh defisiensi enzim laktase


sehingga terjadi intoleransi laktosa. Malabsorbsi tersebut menyebabkan diare
osmotik karena terjadi peningkatan tekanan osmotik lumen usus sehingga cairan
tertarik dari intraseluler ke lumen usus. Jarang sekali diare akut disebabkan oleh
malabsorbsi lemak atau protein. Malabsorbsi lemak bisa disebabkan karena
lipolisis yang tidak memadai misalnya akibat insufisiensi pankreas, dan juga
disebabkan penurunan garam-garam empedu terkonjugasi. 10
3. Alergi
Diantaranya yaitu :
Alergi susu
Alergi makanan
8

CMPSE (cows milk protein enteropathy). 10


4. Keracunan
Makanan yang mengandung zat kimia beracun
Makanan mengandung mikroorganisme yang mengeluarkan toksin, misalnya :
Clostridium spp, Staphylococcus spp.
5. Imunodefisiensi
Diare sering terjadi pada penderita AIDS. 10
6. Sebab Lain
Pemberian antibiotik, defek anatomis seperti malrotasi, Hisrchrsprungs disease dan
Shor Bowel Syndrome.10
.
D. Patofisiologi
Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorpsi atau sekresi.
Terdapat beberapa pembagian diare : (IDAI, 2010).
1. Pembagian diare menurut etiologi
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan
a. Absorpsi
b. Gangguan sekrersi
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi
Gangguan absorpsi atau diare osmotik
Terjadi karena terdapatnya bahan yang tidak dapat diabsorpsi menyebabkan bahan
intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan
menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmosis antara lumen usu
dan darah maka pada segmen usus jejunum yang bersifat permeabel, air akan
mengalir ke arah lumen jejunum sehingga air akan banyak terkumpul di dalam lumen
usus. Natrium akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan
terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar natrium yang normal.
Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap
tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak diserap seperti Mg, Glukose,
sukrose, laktose, maltose di segmen ileum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon

sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah atau bahan yang
mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan akan memberikan dampak yang sama.
Diare sekretorik
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan
bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk
dihydroxy serta asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca2+ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase.
Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga
mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi
lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus
bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase.
Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler, meningkatkan
permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa
obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabropsi seperti reseksi ileum,
penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan
peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang umumnya disebabkan
enterotoksin E.Coli atau Cholera. Berbdeda dengan negara berkembang di negara
maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat
atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon
seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma
pankreas, sel non-beta yang menghasilkan VIP, polipeptida pankreas, hormon
sekretorik lainnya. Diare yang disebabkan tumor ini sangat jarang.
Diare karena gangguan motilitas usus
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorpsi tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorpsi. Baik peningkatan ataupun
penurunan motilitas, keduanya menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat
mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit
obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absopsi. Kegagalan motilitas usus yang
berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu
10

dan malabsopsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare
dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi.
Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada tirotoksikosis,
malabsopsi asam empedu dan penyakit lain.7
Diare terkait imunologi
Diare terkait iunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III, dan IV.
Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan.
Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV
terdapat pada coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen
yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang
selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast
akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin.
Pada reaksi tipe III terjadi reaksi kompleks antigen antibodi dalam jaringan atau
pembuluh darah yang mengakibatkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel
mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun
seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC
(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan
berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan INF- oleh Th1. Sitokin tersebut akan
mengaktivasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang
akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Alergi susu sapi


Bahan yang dipergunakan untuk membuat susu formula sebagian besar berasal dari susu
hewani terutama sapi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa sekitar 2%-3% anak usia di bawah
2 tahun mengalami alergi terhadap susu sapi terutama terhadap kandungan proteinnya.
Protein di susu sapi berada dalam bentuk yang disebut dengan kasein sebanyak 80% dan
whey (20%). Paling sering berperan sebagai elergen (yang menyebabkan elergi) adalah protein
11

dalam bentuk kasein, alfa laktalbumin, beta laktoglobulin, beta serum albumin, dan gamma
globulin.
Mulai terjadinya alergi susu sapi terutama pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi, dan
akan tampak lebih jelas sewaktu bayi mulai disapih. Gejala klinis yang muncul sangat bervariasi
mulai dari yang ringan sampai berat, dan mulai munculnya gejala dapat cepat terlihat setelah
beberapa menit meminum atau memakan bahan makanan yang terbuat dari susu sapi atau setelah
beberapa jam kemudian. Gejala klinis yang paling sering muncul adalah diare yang
berkepanjangan, dapat disertai kram, kolik (sakit perut yang periodik) dan muntah.
Diare alergi susu sapi dapat juga muncul pada bayi-bayi yang meminum ASI yang di
dalam diet ibunya mengandung susu sapi karena alergen protein susu sapi dapat melewati ASI.
Gejala diare oleh alergi susu sapi harus dibedakan dengan diare yang disebabkan oleh
intoleran susu sapi (tidak diterimanya susu) oleh susu bayi, terutama intoleran terhadap laktosa,
yaitu karbohidrat utama yang terdapat di dalam susu.
Diare karena intoleran laktosa disebabkan karena kekurangan enzim laktase di dalam
saluran cerna bayi, yang berperan menghidrolisis (mengubah) laktosa yang ada di dalam susu
menjadi glukosa dan galaktosa (gula susu) yang mudah diserap oleh usus bayi.
Kekurangan enzim laktase dapat terjadi primer yaitu dibawa sejak lahir, atau didapat
setelah lahir seperti bayi yang lahir sebelum cukup bulan (prematur), setelah diare mendadak
yang disebabkan infeksi seperti infeksi virus yang menyebabkan rusaknya mukosa (permukaan
usus) yang berperan memproduksi enzim laktase.
Mekanisme diare alergi susu sapi berbeda dengan diare yang disebabkan intoleran
laktosa, bukan karena kekurangan enzim laktase, tetapi terjadi melalui perantaraan reaksi
imunologik tubuh (zat anti dari sistem pertahanan tubuh) terhadap protein susu.
Reaksi ini akan melepaskan bahan-bahan yang disebut dengan mediator (seperti histamin,
prostaglandin, leukotrin) yang menimbulkan gejala klinis tergantung dari organ tempat terjadinya
reaksi tersebut. Bila menyerang saluran cerna, gejala yang paling sering muncul adalah diare
12

yang bisa terjadi berkepanjangan selama meminum atau memakan makanan yang berasal dari
susu sapi, dapat pula disertai gejala kolik, kran, mual, dan muntah.
Di samping melepaskan bahan-bahan mediator, reaksi imunologik yang terjadi dapat pula
menyebabkan kerusakan (peradangan) pada mukosa usus yang disebut dengan proktitis,
enterokolitis dengan gejala diare yang dapat bercampur darah.
Bila didapatkan gejala-gejala sepeti yang telah dijelaskan dari susu sapi, maka segeralah
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.

Mekanisme primer yang menyebabkan diare akut adalah


1. Rusaknya vili-vili disekitar daerah brush border usus halus, yang menyebabkan
malabsorbsi yang menyebabkan diare karena gangguan osmotik.
2. Kuman yang melepaskan toksin yang berkaitan dengan enterosit reseptor yang
spesifik yang menyebabkan terlepasnya ion klorida ke dalam membran intestinal
sehingga menyebabkan gangguan absorbsi kemudian diare. (Santoso, 2001).
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang masuk melalui
makanan dan minuman sampai ke enterosit, akan menyebabkan infeksi dan kerusakan
villi usus halus. Enterosit yang rusak diganti dengan yang baru yang fungsinya belum
matang, villi mengalami atropi dan tidak dapat mengabsorpsi cairan dan makanan dengan
baik, akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan meningkatkan motilitasnya
sehingga timbul diare.4,7
Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan
pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis
terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare
oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bekteri ini dapat menembus (invasi)
sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik. Toksin shigella juga
dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh
kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri. 5,7
E. Manifestasi Klinis
13

Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh naik, nafsu makan berkurang kemudian
timbul diare. Tinja mungkin disertai lendir dan darah. Daerah anus dan sekitarnya timbul
luka lecet karena sering defekasi dan tinja yang asam akibat laktosa yang tidak diabsorbsi
usus selama diare. Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat
disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit.
Bila kehilangan cairan terus berlangsung tanpa pergantian yang memadai maka gejala
dehidrasi mulai tampak yaitu berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun
cekung (bayi), selaput lendir bibir, mulut, dan kulit kering. Bila keadaan ini terus berlanjut
maka akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala takikardi, denyut jantung menjadi cepat,
nadi lemah dan tidak teraba, tekanan darah turun, pasien tampak lemah dan kesadaran
menurun, diuresis berkurang.
Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai
dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa, bila hal ini terjadi maka pasien akan
tampak pucat, napas cepat dan dalam (Kusmaul). Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Pada dehidrasi ringan terjadi
kehilangan cairan kurang dari 5%, Pada dehidrasi sedang terjadi kehilangan cairan antara
5%-10% dan pada dehidrasi berat terjadi kehilangan cairan lebih dari 10%.7,15
Derajat Dehidrasi

Gejala & Keadaan


Tanda

Tanpa
Dehidrasi

Umum

Mata

Baik, Sadar Normal

Mulut/
Lidah

Basah

%
Rasa Haus

Kulit

Minum

Dicubit

Normal,

kembali

Estimasi

Penurunan def.
BB

cairan

<5

50 cc

Tidak Haus cepat

14

Dehidrasi
Ringan
Sedang

Dehidrasi
Berat

Gelisah
Rewel

Letargik,

Cekung

Sangat

Kesadaran cekung
Menurun

dan kering

Kering

Tampak

Kembali

Kehausan

lambat

Sangat

Sulit,

tidak

kering

bisa minum

5 10

50100

>10

100 cc

Kembali
sangat
lambat

Sumber : Sandhu 200116

Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003


Simptom

Minimal/tanpa

Dehidrasi

dehidrasi

sedang

Ringan- Dehidrasi Berat


Kehilangan BB > 9%
15

Kesadaran

Denyut jantung

Kehilangan BB < 3%
Baik

Normal

Kehilangan BB 3-9%
Normal,
Apatis, letargis, tidak
lelah,gelisah,

sadar

irritable
Normal-meningkat

Takikardi, bradikardi

Kualitas nadi

Normal

Normal-melemah

pada kasus berat


Lemah, kecil, tidak

Pernapasan
Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Cubitan kulit
Capillary refill
Extremitas

Normal
Normal
Ada
Basah
Segera kembali
Normal
Hangat

Normal-cepat
Sedikit cekung
Berkurang
Kering
Kembali < 2 detik
Memanjang
Dingin

teraba
Dalam
Sangat cekung
Tidak ada
Sangat kering
Kembali > 2 detik
Memanjang, minimal
Dingin,
mottled,

sianotik
Kencing
Normal
Berkurang
Minimal
Sumber : adaptasi dari Duggan C, Santosham M, glasso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

16

Berdasarkan konsentrasi Natrium plasma tipe dehidrasi dibagi 3 yaitu : dehidrasi


hiponatremia ( < 130 mEg/L ), dehidrasi iso-natrema ( 130m 150 mEg/L ) dan dehidrasi
hipernatremia ( > 150 mEg/L ). Pada umunya dehidrasi yang terjadi adalah tipe iso
natremia (80%) tanpa disertai gangguan osmolalitas cairan tubuh, sisanya 15 % adalah diare
hipernatremia dan 5% adalah diare hiponatremia.
Kehilangan bikarbonat bersama dengan diare dapat menimbulkan asidosis metabolik
dengan anion gap yang normal (8-16 mEg/L), biasanya disertai hiperkloremia. Selain
penurunan bikarbonat serum terdapat pula penurunan pH darah, kenaikan pCO2. Hal ini akan
merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan kecepatan pernapasan sebagai upaya
17

meningkatkan eksresi CO2 melalui paru (pernapasan Kussmaul). Untuk pemenuhan


kebutuhan kalori terjadi pemecahan protein dan lemak yang mengakibatkan meningkatnya
produksi asam sehingga menyebabkan turunnya nafsu makan bayi. Keadaan dehidrasi berat
dengan hipoperfusi ginjal serta eksresi asam yang menurun dan akumulasi anion asam secara
bersamaan menyebabkan berlanjutnya keadaan asidosis.17
Kadar kalium plasma dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa sehingga pada keadaan
asidosis metabolik dapat terjadi hipokalemia. Kehilangan kalium juga melalui cairan tinja
dan perpindahan K+ ke dalam sel pada saat koreksi asidosis dapat pula menimbulkan
hipokalemia. Kelemahan otot merupakan manifestasi awal dari hipokalemia, pertama kali
pada otot anggota badan dan otot pernapasan. Dapat terjadi arefleks, paralisis dan kematian
karena kegagalan pernapasan. Disfungsi otot harus menimbulkan ileus paralitik, dan dilatasi
lambung. EKG mnunjukkan gelombang T yang mendatar atau menurun dengan munculnya
gelombang U. Pada ginjal kekurangan K+ mengakibatkan perubahan vakuola dan epitel
tubulus dan menimbulkan sklerosis ginjal yang berlanjut menjadi oliguria dan gagal ginjal.7

Diare pada Anak HIV

Diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita
HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada
anak-anak dengan HIV seropoditif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak
dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya.
setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya
diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India
menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.

18

Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui
secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status
imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan
CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja
Makroskopik
Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh
enterotoksin virus, protozoa atau infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri
yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan
peradangan mukosa atau parasit usus seperti E. histolytica, B. coli, dan T.
trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi dengan E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan
pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau
busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium
dan Strongyloides.
Mikroskopik
Leukosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Leukosit yang positif pada pemeriksaan tinja
menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitokin
seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, C. difficile, Y. enterocolitica, V.
parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Leukosit
yang ditemukan umumnya adalah PMN kecuali pada S. typhii mononuklear.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB
diare dan pada penderita immunocompromised.
2. Pemeriksaan darah: darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama
Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang), kultur dan tes kepekaan
terhadap antibiotik.
19

3. Duodenal intubation (biopsi duodenum), untuk mengetahui kuman penyebab secara


kuantitatif dan kualitatif terutama pada diare kronik yang disebabkan Giardiasis,
Strongyloides, dan protozoa yang membentuk spora.
G. Tata laksana
Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting dalam terapi efektif diare
akut.6 Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai berdasarkan berat badan yang hilang sebagai
persentasi kehilangan total berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku
emas.18

Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parateral. Pemberian secara oral
dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik,
walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang. Bila diare profus dengan pengeluaran air tinja
yang banyak ( > 100 ml/kgBB/hari ) atau muntah hebat (severe vomiting) sehingga penderita
tak dapat minum sama sekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism) sehingga
upaya rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan rehidrasi parenteral
walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat dengan
gangguan sirkulasi15. Keuntungan upaya terapi oral karena murah dan dapat diberikan
dimana-mana. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS) untuk rehidrasi dengan
kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan
natrium antara 40-60mEq/L.11 Anak yang diare dan tidak lagi dehidrasi harus dilanjutkan
segera pemberian makanannya sesuai umur6. Menurut buku pedoman pelayanan kesehatan
anak di rumah sakit, WHO tahun 2005, penatalaksanaan diare dibagi menjadi 3 rencana
terapi yakni rencana terapi A untuk penanganan diare di rumah, rencana terapi B untuk
dehidrasi ringan/sedang, terapi C untuk dehidrasi berat.
Rencana Terapi A
Oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairannya sehari-hari :
< 2 tahun : 50-100 ml tiapkali BAB
>2 tahun : 100-200ml tiap BAB
Beri tablet Zink
20

Pada anak berumur 2 bulan ke atas, beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis
Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari
Rencana Terapi B
(Dehidrasi Ringan Sedang)
Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan pemberian oral sesuai
dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat diberikan secara intravena sebanyak : 75
ml/kgBB/3jam. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum sebanyak
5ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan 1-2 jam pada anak .
Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan sebanyak 10ml/kgbb
setiap diare atau muntah.17
Beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis yang sama seperti pada rencana terapi A.
Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit
mislanya

karena anak muntah profus, dapat diberikan infus dengan intravena

secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan RL / Ringer Asetat (atau jika tak tersedia, gunakan
larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :

Bayi (dibawah 12 bulan) : 70 ml/kgBB/5 jam


Anak (12 bulan sampai 5 tahun) : 70 ml/kgBB/2,5 jam

(Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, WHO, 2009)


Secara ringkas kelompok Ahli gastroenterologi dunia memberikan 9 pilar yang perlu
diperhatikan dalam penatalaksanaan diare akut dehidrasi ringan sedang pada anak, yaitu12 :
1. Menggunakan CRO ( Cairan rehidrasi oral )
2. Cairan hipotonik
3. Rehidrasi oral cepat 3 4 jam
4. Realiminasi cepat dengan makanan normal
5. Tidak dibenarkan memberikan susu formula khusus
6. Tidak dibenarkan memberikan susu yang diencerkan
7. ASI diteruskan
8. Suplemen dengan CRO ( CRO rumatan )
21

9. Anti diare tidak diperlukan

Rencana Terapi C
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak dan
menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul,
gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Penggantian
cairan parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai berikut 12,15,17 :
Usia <12 bln: 30ml/kgbb/1 jam, selanjutnya 70ml/kgbb/5jam
Usia >12 bln: 30ml/kgbb/1/2 jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2 jam
Pada keadaan dehidrasi berat dan syok maka dilakukan rehidrasi parenteral 20 -30 ml/kg BB,
kemudian evaluasi 30 - 60 menit, bila hemodinamik stabil maka rehidrasi sesuai dehidrasi
berat. (Depkes RI)
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan penderita akan
kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang
pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet sebagaimana biasanya . Segala
kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan protein akan segera dapat dipenuhi. Itulah
sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar penderita bila
memungkinkan cepat mendapatkan makanan / minuman sebagai biasanya bahkan pada
dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral makan dan minum
tetap dapat dilanjutkan.18

22

Rencana Terapi C (Dehidrasi berat)

23

Pemilihan jenis cairan


24

Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok,
sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki renjatan
hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan
mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme
menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah dan tidak mengandung
glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat
dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis
cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan
pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B.16 Sejumlah cairan rehidrasi oral dengan
osmolaliti 210 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 75 mEg/L, memperlihatkan efikasi
pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera.19
Komposisi cairan Parenteral dan Oral :

Osmolalitas
(mOsm/L)

NaCl 0,9 %

NaCl

0,45

%+D5

NaCl
0,225%+D5

Riger
Laktat

CIGlukosa(g/L)

Na+(mEq/L) (mEq/

K+
(mEq/

L)

L)

Basa(mE
q/L)

308

154

154

428

50

77

77

253

50

38,5

38,5

273

130

109

Laktat 28

25

Ka-En 3B

290

27

50

50

20

Laktat 20

Ka-En 3B

264

38

30

28

Laktat 10

311

111

90

80

20

Citrat 10

245

70

75

65

20

Citrat 10

recommenda 213

60

60

70

20

Citrat 3

rata-rata

elektrolit

Standard
WHO-ORS

Reduced
osmalarity
WHO-ORS

EPSGAN
tion

Komposisi elektrolit pada diare akut :

Komposisi
mmol/L

Macam

Diare
Dewasa

Kolera

Na

Cl

HCO3

140

13

104

44

26

Diare

Kolera

Balita
Diare

Non

Kolera Balita

101

27

92

32

56

26

55

14

Sumber : Ditjen PPM dan PLP,199920

Antisekretorik - Antidiare
Salazer lindo E dkk

22

dari Department of Pedittrics, Hospital Nacional Cayetano Heredia,

Lima, Peru, melaporkan bahwa pemakaian Racecadotril ( acetorphan ) yang merupakan


enkephalinace inhibitor dengan efek anti sekretorik serta anti diare ternyata cukup efektif dan
aman bila diberikan pada anak dengan diare akut oleh karena tidak mengganggu motilitas usus
sehingga penderita tidak kembung. Bila diberikan bersamaan dengan cairan rehidrasi oral akan
memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan hanya memberikan cairan rehidrasi
oral saja. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Cojocaru dkk dan cejard dkk. Untuk pemakaian
yang lebih luas masih memerlukan penelitian lebih lanjut yang bersifat multi senter dan
melibatkan sampel yang lebih besar.23
Tidak ada bukti klinis dari anti diare dan anti motilitis dari beberapa uji klinis. 18 Obat anti diare
hanya simtomatis bukan spesifik untuk mengobati kausa, tidak memperbaiki kehilangan air dan
elektrolit serta menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Antibiotik yang tidak diserap
usus seperti streptomisin, neomisin, hidroksikuinolon dan sulfonamid dapat memperberat yang
resisten dan menyebabkan malabsorpsi.21 Sebagian besar kasus diare tidak memerlukan
pengobatan dengan antibiotika oleh karena pada umumnya sembuh sendiri (self limiting). 12
Antibiotik hanya diperlukan pada sebagian kecil penderita diare misalnya kholera shigella,
karena penyebab terbesar dari diare pada anak adalah virus (Rotavirus). Kecuali pada bayi
berusia di bawah 2 bulan karena potensi terjadinya sepsis oleh karena bakteri mudah
mengadakan translokasi kedalam sirkulasi, atau pada anak/bayi yang menunjukkan secara klinis
27

gajala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang
jelas atau segala sepsis15. Anti motilitis seperti difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan
paralisis obstruksi sehingga terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.21

Beberapa antimikroba yang sering dipakai antara lain (WHO, 2006)


Kolera :
Tetrasiklin 12,5 mg/kg/x (4 x sehari selama 3 hari)
Eritromisin 12,5 mg/kg/x (4 x sehari selama 3 hari)

Shigella :

Ciprofloxasin 15 mg/ kgBB (2 x sehari selama 3 hari)

Amebiasis:
Metronidasol 10mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari / 10 hari pada kasus berat)

Giardiasis :
Metronidasol 5mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari)

28

Seng (Zinc)
Defisiensi

seng

sering

didapatkan

pada

anak-anak

di

negara

berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan


meningkatnya

kejadian

infeksi

yang

serius.

Seng

merupakan

mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting


untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT, seng dapat
menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare
sampai

25%.

Sejak

tahun

2004,

WHO

dan

UNICEF

telah

menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan


dosis 20 mg/hari selama 10-14 hari dan pada bayi< 6 bulan dengan
dosis 10 mg perhari selama 10-14 hari.
Probiotik
Probiotik merupakan bakteri hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host
dengan cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik didalam lumen saluran cerna sehingga
seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri probiotik melalui reseptor dalam sel epitel
usus. Dengan mencermati fenomena tersebut bakteri probiotik dapat dipakai dengan cara untuk
pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus maupun mikroorganisme
lain, pseudomembran colitis maupun diare yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika
yang tidak rasional rasional (antibiotic associated diarrhea) dan travellerss diarrhea. 14,15,24

Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut pada anak.
Hasil meta analisa Van Niel dkk 25 menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam pengobatan
diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3 lamanya diare, dan
menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1 2 kali. Kemungkinan
mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah : Perubahan lingkungan mikro lumen
usus, produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah
adhesi patogen pada anterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa
usus dan imunno modulasi.14,24
29

Prebiotik
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya kompleks
karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinak yang
menguntungkan kesehatan.
Oligosakarida yang ada dalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena dapat
merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria di dalamkolon bayi yang minum ASI.
Data menunjukkan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Tetapi
pada dua penelitian RCT di Peru tahun 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal yang
disuplementasi dengan fruktooligosakabrida (FOS) tidak menunjukkan penurunan angka
kejadian diare. Penemmuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian
RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat perbedaan penyebabnya
menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat
FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo.
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu penelitianpenelitian selanjutnya.

H. Komplikasi
Dehidrasi
Hipoglikemi
Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik)
Asidosis metabolik terjadi karena beberapa hal, yakni :
Kehilangan Na-bikarbonat bersama feses
Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak yang tidak sempurna sehingga

benda keton tertimbun dalam tubuh.


Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan
Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat

dikeluarkan oleh ginjal


Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
(Suraatmaja, 2005)

30

Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernapasan yakni


pernapasan cepat, teratur dan dalam yang disebut pernapasan Kusmaul. Pernapasan ini
merupakan homeostasis respiratorik yaitu usaha dari tubuh untuk mempertahankan pH
darah. (Suraatmaja, 2005)
Gangguan elektrolit
Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan
berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahanlahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena
dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastik meenggunakan
oralitadalah cara terbaik dan paling aman.
Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45%
saline 55 dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat
badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila
normallanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjtukan 8 jam lagi dan periksa
kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline
5% dextrose, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap
500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet
normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10ml/kgBB/setiap

BAB, sampai diare berhenti.


Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremia (Na < 130 mol/L).
hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak
malnutrisi berat dengan edema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir
semua anak dengan hiponatremia. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan
bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu memakai Ringer Laktat atau
normal saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 kadar Na serum yang diperiksa
dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya
diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2
mEq/L/jam.

Hiperkalemia
31

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian


kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan
monitor detak jantung.

Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K :
jika kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hari dibagi 3
dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam.
Dosisnya : (3,5 - kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan
dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 - kadar K terukur x BB x
0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB)
Hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi
ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan kekurangan kalium
dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya
kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.

Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang
sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebutdapat disebabkan oleh
karena hipoglikemik, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk,
hiperpireksia, hiponatremia atau hipernatremia.

Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan/syok hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan
terjadi hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kemudian dapat mengakibatkan
perdarahan di otak yang menimbulkan penurunan kesadaran dan bila tidak diatasi dengan
segera maka pasien dapat meninggal. (Suraatmaja, 2005)
I. Pencegahan
Sejumlah intervensi telah diusulkan untukmencegah diare pada anak, kebanyakan meliputi
cara yang berhubungan dengan cara pemberian makanan kepada bayi, kebersihan

32

perseorangan, kebersihan makanan, penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang aman dan
imunisasi. Ada 7 cara diidentifikasi sebagai sasaran untuk promosi, yaitu :
1. Pemberian ASI
2. Perbaikan makanan pendamping ASI
3. Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum
4. Cuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan.
5. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis
6. Pembuangan tinja yang aman
7. Imunisasi campak
Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enteric, termasuk
cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, penggunaan jas panjang bila ada
kemungkinan pencemaran dan sarung tangan bila menyentuh bahan yang terinfeksi.
Penderita dan keluarganya harus dididik mengenai cara penularan enteropatogen dan caracara mengurangi penularan. (Behrman, 2000)

BAB III
KESIMPULAN

33

Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara berkembang maupun
negara maju. Angka kematian yang disebabkan oleh diare menduduki peringkat ke-2 untuk balita dan
peringkat ke-3 untuk bayi. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga hanya perlu diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dan
parasit dapat diberikan terapi antimikrobial secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan
terapi spesifik sesuai dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan
cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Pemenuhan kebutuhan cairan pada anak diare
merupakan salah satu penanganan yang sangat penting. Prognosis diare akut infeksi bakteri baik,
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan
pencegahan untuk penularan diare.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Kandun NI. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat dalam
kumpulan makalah Kongres nasional II BKGAI juli 2003 hal 29
2. Barkin RM Fluid and Electrolyte Problems. Problem Oriented Pediatric Diagnosis Little
Brown and Company 1990;20 23.
3. Booth IW, CuttingWAM. Current Concept in The Managemnt of Acute in Children Postgraad
Doct Asia 1984 : Dec : 268 274
4. Coken MB Evaluation of the child with acute diarrhea dalam: Rudolp AM,Hofman JIE,Ed
Rudolps pediatrics: edisi ke 20 USA 1994 : prstice Hall international,inc hal 1034-36
5. Norasid H,Surratmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (Diare ) akut dalam: Gastroenterologi
anak praktis, Ed Suharyono, Aswitha B,EM Halimun : edisi ke2 Jakarta 1994: Balai
penerbit FK-UI hal 51-76
6. American Academy of Pediatrics Propesional commite on Quality improvement
subcommitte. Acute Gastroenteritis Pratice parameter : the management of acute
gastroeneritis in young children Pediatrics 1996:97:424-35
7. Irwanto,Roim A, Sudarmo SM. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan
penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1 jakarta 2002 : Salemba Medika hal 73-103
8. Barnes GL,Uren E, stevens KB dan Bishop RS Etiologi of acute Gastroenteritis in
Hospitalized Children in Melbourne, Australia,from April 1980 to March 1993 Journal of
clinical microbiology, Jan 1998,p,133-138
35

9. Departemen kesehatan RI Profil Kesehatan Indonesia 2001. Jakarta 2002


10. Boediarso, Aswitha dkk. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare Buku Ajar Diare Pegangan
mahasiswa. Jakarta : Departemen Kesehatan R.I DITJEN PPM dan PLP. 1999. Hal 10
11. American Academy of Pediatrics Commite on Nutrition.Use of oral fluid therapy and posttreatment feeding following enteritis in children in a developed country. Pediatrics
1985;75;358-61
12. Hegar B, Kadim M. Tatalaksana diare akut pada anak dalam Majalah kesehatan Kedokteran
indonsia Vol 1 No 06,2003
13. Smith-Walker JA.Masalah Pediatri di Bidang Gastroenterologi Tropis dalam Problem
Gastroenterologi Daerah Tropis Ed GC Cook,edisi ke 1 jakarta 2003; EGC 113-41
14. Firmansyah A. Terapi probiotik dan prebiotik pada penyakit saluran cerna.dalam Sari
pediatric Vol 2,No. 4 maret 2001
15. Subijanto MS,Ranuh R, Djupri Lm, Soeparto P. Managemen disre pada bayi dan anak.
Dikutip dari URL : http://www.pediatrik.com/
16. Sandhu BK. Pratical guideline for the management of gastroenteritis in children J Ped
Gastroenterol Nutr 2001;33:S36-9
17. Dwipoerwantoro PG.Pengembangan rehidrasi perenteral pada tatalaksana diare akut dalam
kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Juli 2003
18. Armon K. Stephenson T, Macfaul R, Eccleston P, Warneke U. An evidence and consensus
based guideline for acute diarrhea management Arch Dis Child 2001;85:132-42.
19. Bhan MK.Current consepts in management of acute diarrhea Indian Pediatrics 2003:40:46376
20. Ditjen PPM dan PLP,1999,Tatalaksana Kasus Diare Departemen Kesehatan RI hal 24-25
21. Sinuhaji AB Peranan obat antidiare pada tatalaksana diare akut dalam kumpulan makalah
Kongres Nasional II BKGAI juli 2003
22. Salazar-Lindo E. Santisteban-Ponces J, Chea WooE,Gutierez M. Rececaddotril in treatment
of acute watery diarrea in children N. Eng J med 23003;34;463-7
23. Firmansyah A.Peran obat dalam tatalaksana diare pada anak.Dalam Majalah Kesehatan
Kedokteran Indonesia Vol 1 No07,2003,

36

24. Rohim A, Soebijanto MS.Probiotik dan flora normal usus dalam Ilmu penyakit anak diagnosa
dan penatalaksanaan . Ed Soegijanto S. Edisi ke 1 Jakarta 2002 Selemba Medika hal 93103
25. Van Niel Cornelis W, Feudtner C, Garisson MM, Dimitri A. Lactobacillus Therapy for Acute
InfectiousDiarrehe Children : A.Meta-analysis Pediatrics 2002;109;678-684
26. Sazawal S dkk.Zine supplementation in young children with acute diarrhea in India N Enggl
J Med 1995;333:839-44
27. Strand TA dkk.Effectiveness and Efficacy of Zine for the Treatment of Aucte Diarrhea in
Young Children Pediatrics 2002;109;898-903
28. Bhandari N, Bahl R, Sazawal Sand.Bhan MK Breast-Feeding Status Alters the Effect of
Viatmin A Threatment During Aucte Diarrhea in Children J. Nutr:127;1997:59-63
29. Baker SS;Davis AM.Hypocaloric oral therapyduring an episode of diarrhea and vomiting can
lead to severe malnutrition J Pediatr Gastroenterol Nutr 1998 Jul;27(1)1-5.
30. Lama More RA;Gil-Alberdi Gonzalez B. Effect of nucleotides as dietary supplement on
diarrhea in healthy infants An Esp Pediatr 1998 Apr;48(4):371-5
31. CDC Recommendation and report The Management of Acute Diarrhea in Children Oral
Rehydration, Maintenance,and Nutritional Therapy 1992
32. Suharyono.Terapi nutrisi diare kronik Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan ilmu Kesehatan
Anak ke XXXI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994.
33. Ditjen PPM&PLP Depkes RI.Tatalaksana Kasus Diare Bermaslah. Depkes RI 1999 ; 31

37

You might also like