Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga diare
menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia 1.
Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang terjadi karena infeksi
seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan
reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan
keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta
kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan maldiges dan malabsorpsi2. Bila tidak
mendapatkan penanganan yang adekuat pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik2.
Secara umum penanganan diare akut ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi
serta gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi,
mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi gangguan gizi serta
mengobati penyakit penyerta. Untuk melaksanakan terapi diare secara komprehensif, efisien dan
efekstif harus dilakukan secara rasional. Pemakaian cairan rehidrasi oral secara umum efektif
dalam mengkoreksi dehidrasi. Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat kegagalan
oleh karena tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol dan terganggunya masukan
oral oleh karena infeksi. Beberapa cara pencegahan dengan vaksinasi serta pemakaian probiotik
telah banyak diungkap dan penanganan menggunakan antibiotika yang spesifik dan antiparasit3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut WHO tahun 1998, diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga
kali sehari. Sedangkan menurut Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, definisi diare berbeda
pada neonatus dan bayi > 1 bulan serta anak. Neonatus dikatakan diare bila frekuensi BAB
>4 kali, sedangkan bayi > 1 bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensi BAB > 3 kali.
Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang
berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi BAB
lebih dari 3-4 kali perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare tetapi masih bersifat
fisiologis atau normal selama berat badan bayi meningkat normal. Hal demikian merupakan
intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk
bayi yang minum ASI secara ekslusif, definisi diare yang praktis adalah meningkatnya
frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya tidak seperti
biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari tetapi
konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.
Diare akut didefinisikan sebagai abnormalitas tingginya kandungan air dalam feses, pada
keadaan normal mendekati 10 ml/kg/hari pada bayi dan anak sedangkan pada remaja dan
dewasa mendekati 200 g/hari. (Stefano, 2010)
Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih dari 3
kali/hari), serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/hari) dan konsistensi feses cair
(Suzanne C Smeltzer, th 2002)
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cairan
(setengah padat) dengan demiikian kandungan air dalam tinja lebih banyak dari biasanya
(normal 100-200 ml perjam tinja) (Sarwono waspadji, th 1996)
Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat lebih dari 3x/hari
dengan konsistensi tinja cair, bersifat mendadak, dan berlangsung dalam waktu kurang dari
satu minggu (Mansjoer dkk, 1999).
Diare akut menurut Cohen4 adalah keluarnya buang air besar sekali atau lebih yang
berbentuk cair dalam satu hari dan berlangsung kurang 14 hari. Menurut Noerasid 5 diare akut
2
ialah diare yang terjadi secara mendakak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat.
Sedangkan American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare dengan
karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi, dapat disertai atau tanpa
gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3
7 hari6.
Menurut World Gastroenterology Organisation guidelines 2005, diare akut didefinisikan
sebagai pasase tinja yang cair dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang
dari 14 hari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.
Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari atau lebih
yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri). (WHO CDD, 1988)
Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negeri yang menyatakan diare
berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut (peralihan antara diare
akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang dianut yaitu berlangsung lebih dari 30 hari).
(IPD, 2006)
Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian
bahwa ada dua jenis diare yang berlangsung 14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai
dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi.
B. Epidemiologi
Setiap tahun diperikirakan lebih dari satu milyar kasus diare di dunia dengan 3,3 juta
kasus kematian sebagai akibatnya7. Diperkirakan angka kejadian di negara berkembang
berkisar 3,5 7 episode per anak pertahun dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 2 5
episode per anak per tahun dalam 5 tahun pertama kehidupan 8. Hasil survei oleh Depkes.
diperoleh angka kesakitan diare tahun 2000 sebesar 301 per 1000 penduduk angka ini
meningkat bila dibanding survei pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk. Diare
masih merupakan penyebab utama kematian bayi dan balita. Hasil Surkesnas 2001 didapat
proporsi kematian bayi 9,4% dengan peringkat 3 dan proporsi kematian balita 13,2% dengan
peringkat 29.
Di Indonesia dilaporkan bahwa setiap anak mengalami diare sebanyak 1-2 episode per
tahun (Depkes, 2003). Berdasarkan survei demografi kesehatan indonesia tahun 2002-2003,
prevalensi diare pada anak-anak dengan usia kurang dari 5 tahun di indonesia adalah laki-laki
10,8% dan perempuan 11,2%. Berdasarkan umur, prevalensi tertinggi terjadi pada usia 6-11
bulan (19,4%), 12-23 bulan (14,8%) dan 24-35 bulan (12%). (Biro pusat statistik, 2003)
C. Etiologi
3
Diare secara garis besar dibagi atas radang dan non radang. Diare radang dibagi lagi atas
infeksi dan non infeksi. Diare non radang bisa karena hormonal, anatomis, obat-obatan dan
lain-lain. Penyebab infeksi bisa virus, bakteri, parasit dan jamur, sedangkan non infeksi
karena alergi, radiasi. (Lung. McGraw Hill, 2003).
Mekanisme penularan utama untuk patogen diare adalah fecal-oral, dengan air dan
makanan yang merupakan penghantar untuk kerjadian terbanyak.
Bagan
etiologi
diare
WHO
Ada beberapa jenis virus yang dapat menyebabkan diare akut, antara lain
Rotavirus (sebanyak 40-60%), Norwalk virus, Adenovirus. Norwalk virus dan
Adenovirus sering menyebabkan diare akut pada anak besar dan dewasa,
sedangkan Rotavirus sering terjadi pada anak usia dibawah 5 tahun terutama usia
dibawah 2 tahun.10
B. Bakteri
Ada beberapa bakteri yang menyebabkan diare akut pada anak :
E.Coli
Ada 5 subtipe yang menimbulkan diare akut. E. Coli ini merupakan
penyebab kedua diare akut setelah Rotavirus dengan frekuensi 20-30%.
Subtipe E. Coli tersebut adalah :
Entero Pathogenic E. Coli (EPEC)
EPEC melekat pada submukosa usus dengan cara khusus.
Perlekatan setempat melekat longgar pada mikrovilli sel epitel
melalui
bangunan
seperti
tali
disebut
villi
pembentuk
diare.10
Entero Toxigenic E. Coli (ETEC)
ETEC merupakan penyebab penting diare cair akut pada anak dan
dewasa di negara berkembang. ETEC tidak masuk ke dalam
mukosa usus namun diare yang terjadi disebabkan karena toksin.
Ada dua jenis toksin ETEC yaitu toksin yang tidak tahan panas
(LT) dan toksin yang tahan panas (ST). Toksin LT sangat mirip
dengan toksin kolera, yakni akan terikat pada ganglioside GM1
pada dinding sel mukosa usus tapi ikatannya tidak sekuat toksin
kolera. Kemudian setelah terikat akan mengaktifkan adenylate
cyclase dengan cara mirip toksin kolera sehingga menyebabkan
peningkatan sekresi cairan isotonik. Sedangkan toksin ST
menimbulkan aksi yang sangat cepat dan tidak terikat pada
6
Shigella
Di negara berkembang diperkirakan insidensi shigella sekitar 10% dari
oenyebab diare akut tetapi di Indonesia hanya sekitar 1-2% saja. Ada 4
spesies yang sering menyebabkan diare akut yaitu :
Shigella flexneri
Shigella sonnei
Shigella dysentriae
Shigella boydii
Shigella sp. menimbulkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10
Campylobacter yeyuni
Di negara berkembang insidensinya berkisar antara 5-14%, di RSCM
menemukan 5% penyebab diare akut pada tahun 1981. Campylobacter
yeyuni juga menyebabkan diare berdarah (dysentriform diarrhea). 10
Salmonella sp.
Golongan Salmonella sp. yang menyebabkan diare akut disebut non
Thyphoidal salmonellosis dan paling sering disebabkan oleh Salmonella
paratyphii. Lima persen golongan Salmonella sp. ini menimbulkan diare
berdarah.10
7
Yersinia
Merupakan bakteri penyebab diare akut berdarah atau dysentriform,di
Indonesia belum diketahui frekuensinya karena belum ada penelitian
mengenai hal ini karena susanya media untuk perbenihan. 10
Vibrio
Vibrio sering menimbulkan kejadian luar biasa diare akut. Ada 2 biotipe
yaitu tipe ELTOR dan Classic dengan dua serotipe Ogawa dan Inaba.
Insidensinya berkisar 1-2% dari diare akut.10
C. Parasit
Entamoeba Histolytica.Insidensinya kurang dari 1%
Giardia Lamblia. Biasanya menyerang anak usia 1-5 tahun.
Crytosporidium. Di negara berkembang frekuensinya antara 4-115. Sering
terjadi pada penderita AIDS. 10
2. Malabsorbsi
Karbohidrat
Disakarida (laktosa, maltosa, sukrosa)
Monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa)
Lemak
Terutama Long Chain Triglyceride
sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah atau bahan yang
mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan akan memberikan dampak yang sama.
Diare sekretorik
Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan
bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk
dihydroxy serta asam lemak rantai panjang.
Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
intrasel cAMP, cGMP atau Ca2+ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase.
Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga
mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi
lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk ke dalam lumen usus
bersama Cl-.
Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase.
Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler, meningkatkan
permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa
obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabropsi seperti reseksi ileum,
penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan
peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.
Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang umumnya disebabkan
enterotoksin E.Coli atau Cholera. Berbdeda dengan negara berkembang di negara
maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat
atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon
seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma
pankreas, sel non-beta yang menghasilkan VIP, polipeptida pankreas, hormon
sekretorik lainnya. Diare yang disebabkan tumor ini sangat jarang.
Diare karena gangguan motilitas usus
Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorpsi tetapi perubahan
motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorpsi. Baik peningkatan ataupun
penurunan motilitas, keduanya menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat
mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit
obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absopsi. Kegagalan motilitas usus yang
berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu
10
dan malabsopsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare
dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon irritable pada bayi.
Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada tirotoksikosis,
malabsopsi asam empedu dan penyakit lain.7
Diare terkait imunologi
Diare terkait iunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III, dan IV.
Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan.
Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV
terdapat pada coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen
yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang
selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast
akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin.
Pada reaksi tipe III terjadi reaksi kompleks antigen antibodi dalam jaringan atau
pembuluh darah yang mengakibatkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel
mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun
seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC
(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan
berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan INF- oleh Th1. Sitokin tersebut akan
mengaktivasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang
akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.
dalam bentuk kasein, alfa laktalbumin, beta laktoglobulin, beta serum albumin, dan gamma
globulin.
Mulai terjadinya alergi susu sapi terutama pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi, dan
akan tampak lebih jelas sewaktu bayi mulai disapih. Gejala klinis yang muncul sangat bervariasi
mulai dari yang ringan sampai berat, dan mulai munculnya gejala dapat cepat terlihat setelah
beberapa menit meminum atau memakan bahan makanan yang terbuat dari susu sapi atau setelah
beberapa jam kemudian. Gejala klinis yang paling sering muncul adalah diare yang
berkepanjangan, dapat disertai kram, kolik (sakit perut yang periodik) dan muntah.
Diare alergi susu sapi dapat juga muncul pada bayi-bayi yang meminum ASI yang di
dalam diet ibunya mengandung susu sapi karena alergen protein susu sapi dapat melewati ASI.
Gejala diare oleh alergi susu sapi harus dibedakan dengan diare yang disebabkan oleh
intoleran susu sapi (tidak diterimanya susu) oleh susu bayi, terutama intoleran terhadap laktosa,
yaitu karbohidrat utama yang terdapat di dalam susu.
Diare karena intoleran laktosa disebabkan karena kekurangan enzim laktase di dalam
saluran cerna bayi, yang berperan menghidrolisis (mengubah) laktosa yang ada di dalam susu
menjadi glukosa dan galaktosa (gula susu) yang mudah diserap oleh usus bayi.
Kekurangan enzim laktase dapat terjadi primer yaitu dibawa sejak lahir, atau didapat
setelah lahir seperti bayi yang lahir sebelum cukup bulan (prematur), setelah diare mendadak
yang disebabkan infeksi seperti infeksi virus yang menyebabkan rusaknya mukosa (permukaan
usus) yang berperan memproduksi enzim laktase.
Mekanisme diare alergi susu sapi berbeda dengan diare yang disebabkan intoleran
laktosa, bukan karena kekurangan enzim laktase, tetapi terjadi melalui perantaraan reaksi
imunologik tubuh (zat anti dari sistem pertahanan tubuh) terhadap protein susu.
Reaksi ini akan melepaskan bahan-bahan yang disebut dengan mediator (seperti histamin,
prostaglandin, leukotrin) yang menimbulkan gejala klinis tergantung dari organ tempat terjadinya
reaksi tersebut. Bila menyerang saluran cerna, gejala yang paling sering muncul adalah diare
12
yang bisa terjadi berkepanjangan selama meminum atau memakan makanan yang berasal dari
susu sapi, dapat pula disertai gejala kolik, kran, mual, dan muntah.
Di samping melepaskan bahan-bahan mediator, reaksi imunologik yang terjadi dapat pula
menyebabkan kerusakan (peradangan) pada mukosa usus yang disebut dengan proktitis,
enterokolitis dengan gejala diare yang dapat bercampur darah.
Bila didapatkan gejala-gejala sepeti yang telah dijelaskan dari susu sapi, maka segeralah
berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.
Mula-mula anak cengeng, gelisah, suhu tubuh naik, nafsu makan berkurang kemudian
timbul diare. Tinja mungkin disertai lendir dan darah. Daerah anus dan sekitarnya timbul
luka lecet karena sering defekasi dan tinja yang asam akibat laktosa yang tidak diabsorbsi
usus selama diare. Gejala muntah dapat timbul sebelum atau selama diare dan dapat
disebabkan karena lambung turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit.
Bila kehilangan cairan terus berlangsung tanpa pergantian yang memadai maka gejala
dehidrasi mulai tampak yaitu berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun
cekung (bayi), selaput lendir bibir, mulut, dan kulit kering. Bila keadaan ini terus berlanjut
maka akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala takikardi, denyut jantung menjadi cepat,
nadi lemah dan tidak teraba, tekanan darah turun, pasien tampak lemah dan kesadaran
menurun, diuresis berkurang.
Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit dan sering disertai
dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa, bila hal ini terjadi maka pasien akan
tampak pucat, napas cepat dan dalam (Kusmaul). Dehidrasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan elektrolit. Pada dehidrasi ringan terjadi
kehilangan cairan kurang dari 5%, Pada dehidrasi sedang terjadi kehilangan cairan antara
5%-10% dan pada dehidrasi berat terjadi kehilangan cairan lebih dari 10%.7,15
Derajat Dehidrasi
Tanpa
Dehidrasi
Umum
Mata
Mulut/
Lidah
Basah
%
Rasa Haus
Kulit
Minum
Dicubit
Normal,
kembali
Estimasi
Penurunan def.
BB
cairan
<5
50 cc
14
Dehidrasi
Ringan
Sedang
Dehidrasi
Berat
Gelisah
Rewel
Letargik,
Cekung
Sangat
Kesadaran cekung
Menurun
dan kering
Kering
Tampak
Kembali
Kehausan
lambat
Sangat
Sulit,
tidak
kering
bisa minum
5 10
50100
>10
100 cc
Kembali
sangat
lambat
Minimal/tanpa
Dehidrasi
dehidrasi
sedang
Kesadaran
Denyut jantung
Kehilangan BB < 3%
Baik
Normal
Kehilangan BB 3-9%
Normal,
Apatis, letargis, tidak
lelah,gelisah,
sadar
irritable
Normal-meningkat
Takikardi, bradikardi
Kualitas nadi
Normal
Normal-melemah
Pernapasan
Mata
Air mata
Mulut dan lidah
Cubitan kulit
Capillary refill
Extremitas
Normal
Normal
Ada
Basah
Segera kembali
Normal
Hangat
Normal-cepat
Sedikit cekung
Berkurang
Kering
Kembali < 2 detik
Memanjang
Dingin
teraba
Dalam
Sangat cekung
Tidak ada
Sangat kering
Kembali > 2 detik
Memanjang, minimal
Dingin,
mottled,
sianotik
Kencing
Normal
Berkurang
Minimal
Sumber : adaptasi dari Duggan C, Santosham M, glasso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995
16
Diare persisten merupakan salah satu manifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita
HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada
anak-anak dengan HIV seropoditif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak
dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya.
setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya
diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India
menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.
18
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui
secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status
imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan
CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tinja
Makroskopik
Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh
enterotoksin virus, protozoa atau infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri
yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan
peradangan mukosa atau parasit usus seperti E. histolytica, B. coli, dan T.
trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi dengan E. histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan
pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau
busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium
dan Strongyloides.
Mikroskopik
Leukosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang
menyerang mukosa kolon. Leukosit yang positif pada pemeriksaan tinja
menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitokin
seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, C. difficile, Y. enterocolitica, V.
parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Leukosit
yang ditemukan umumnya adalah PMN kecuali pada S. typhii mononuklear.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic
Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB
diare dan pada penderita immunocompromised.
2. Pemeriksaan darah: darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit (terutama
Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang), kultur dan tes kepekaan
terhadap antibiotik.
19
Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parateral. Pemberian secara oral
dapat dilakukan untuk dehidrasi ringan sampai sedang dapat menggunakan pipa nasogastrik,
walaupun pada dehidrasi ringan dan sedang. Bila diare profus dengan pengeluaran air tinja
yang banyak ( > 100 ml/kgBB/hari ) atau muntah hebat (severe vomiting) sehingga penderita
tak dapat minum sama sekali, atau kembung yang sangat hebat (violent meteorism) sehingga
upaya rehidrasi oral tetap akan terjadi defisit maka dapat dilakukan rehidrasi parenteral
walaupun sebenarnya rehidrasi parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat dengan
gangguan sirkulasi15. Keuntungan upaya terapi oral karena murah dan dapat diberikan
dimana-mana. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS) untuk rehidrasi dengan
kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan
natrium antara 40-60mEq/L.11 Anak yang diare dan tidak lagi dehidrasi harus dilanjutkan
segera pemberian makanannya sesuai umur6. Menurut buku pedoman pelayanan kesehatan
anak di rumah sakit, WHO tahun 2005, penatalaksanaan diare dibagi menjadi 3 rencana
terapi yakni rencana terapi A untuk penanganan diare di rumah, rencana terapi B untuk
dehidrasi ringan/sedang, terapi C untuk dehidrasi berat.
Rencana Terapi A
Oralit yang harus diberikan sebagai tambahan bagi kebutuhan cairannya sehari-hari :
< 2 tahun : 50-100 ml tiapkali BAB
>2 tahun : 100-200ml tiap BAB
Beri tablet Zink
20
Pada anak berumur 2 bulan ke atas, beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis
Umur < 6 bulan : tablet (10 mg) per hari
Umur > 6 bulan : 1 tablet (20 mg) per hari
Rencana Terapi B
(Dehidrasi Ringan Sedang)
Rehidrasi pada dehidrasi ringan dan sedang dapat dilakukan dengan pemberian oral sesuai
dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat diberikan secara intravena sebanyak : 75
ml/kgBB/3jam. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum sebanyak
5ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan 1-2 jam pada anak .
Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan sebanyak 10ml/kgbb
setiap diare atau muntah.17
Beri tablet zink selama 10 hari dengan dosis yang sama seperti pada rencana terapi A.
Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit
mislanya
secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan RL / Ringer Asetat (atau jika tak tersedia, gunakan
larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut :
Rencana Terapi C
Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan anak dan
menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul,
gangguan dinamik sirkulasi) memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Penggantian
cairan parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai berikut 12,15,17 :
Usia <12 bln: 30ml/kgbb/1 jam, selanjutnya 70ml/kgbb/5jam
Usia >12 bln: 30ml/kgbb/1/2 jam, selanjutnya 70ml/kgbb/2 jam
Pada keadaan dehidrasi berat dan syok maka dilakukan rehidrasi parenteral 20 -30 ml/kg BB,
kemudian evaluasi 30 - 60 menit, bila hemodinamik stabil maka rehidrasi sesuai dehidrasi
berat. (Depkes RI)
Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan penderita akan
kalori, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang
pendek. Apabila penderita telah kembali diberikan diet sebagaimana biasanya . Segala
kekurangan tubuh akan karbohidrat, lemak dan protein akan segera dapat dipenuhi. Itulah
sebabnya mengapa pada pemberian terapi cairan diusahakan agar penderita bila
memungkinkan cepat mendapatkan makanan / minuman sebagai biasanya bahkan pada
dehidrasi ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral makan dan minum
tetap dapat dilanjutkan.18
22
23
Cairan Parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan atau tanpa syok,
sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume darahnya, serta memperbaiki renjatan
hipovolemiknya. Cairan Ringer Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan
mengandung konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme
menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah dan tidak mengandung
glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat
dipakai, tetapi tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Jenis
cairan parenteral yang saat ini beredar dan dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan
pengganti diare dengan dehidrasi adalah Ka-EN 3B.16 Sejumlah cairan rehidrasi oral dengan
osmolaliti 210 268 mmol/1 dengan Na berkisar 50 75 mEg/L, memperlihatkan efikasi
pada diare anak dengan kolera atau tanpa kolera.19
Komposisi cairan Parenteral dan Oral :
Osmolalitas
(mOsm/L)
NaCl 0,9 %
NaCl
0,45
%+D5
NaCl
0,225%+D5
Riger
Laktat
CIGlukosa(g/L)
Na+(mEq/L) (mEq/
K+
(mEq/
L)
L)
Basa(mE
q/L)
308
154
154
428
50
77
77
253
50
38,5
38,5
273
130
109
Laktat 28
25
Ka-En 3B
290
27
50
50
20
Laktat 20
Ka-En 3B
264
38
30
28
Laktat 10
311
111
90
80
20
Citrat 10
245
70
75
65
20
Citrat 10
recommenda 213
60
60
70
20
Citrat 3
rata-rata
elektrolit
Standard
WHO-ORS
Reduced
osmalarity
WHO-ORS
EPSGAN
tion
Komposisi
mmol/L
Macam
Diare
Dewasa
Kolera
Na
Cl
HCO3
140
13
104
44
26
Diare
Kolera
Balita
Diare
Non
Kolera Balita
101
27
92
32
56
26
55
14
Antisekretorik - Antidiare
Salazer lindo E dkk
22
gajala yang berat serta berulang atau menunjukkan gejala diare dengan darah dan lendir yang
jelas atau segala sepsis15. Anti motilitis seperti difenosilat dan loperamid dapat menimbulkan
paralisis obstruksi sehingga terjadi bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan sirkulasi.21
Shigella :
Amebiasis:
Metronidasol 10mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari / 10 hari pada kasus berat)
Giardiasis :
Metronidasol 5mg/kg/x (3 x sehari selama 5 hari)
28
Seng (Zinc)
Defisiensi
seng
sering
didapatkan
pada
anak-anak
di
negara
kejadian
infeksi
yang
serius.
Seng
merupakan
25%.
Sejak
tahun
2004,
WHO
dan
UNICEF
telah
Terdapat banyak laporan tentang penggunaan probiotik dalam tatalaksana diare akut pada anak.
Hasil meta analisa Van Niel dkk 25 menyatakan lactobacillus aman dan efektif dalam pengobatan
diare akut infeksi pada anak, menurunkan lamanya diare kira-kira 2/3 lamanya diare, dan
menurunkan frekuensi diare pada hari ke dua pemberian sebanyak 1 2 kali. Kemungkinan
mekanisme efekprobiotik dalam pengobatan diare adalah : Perubahan lingkungan mikro lumen
usus, produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen, kompetisi nutrien, mencegah
adhesi patogen pada anterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin, efektrofik pada mukosa
usus dan imunno modulasi.14,24
29
Prebiotik
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya kompleks
karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinak yang
menguntungkan kesehatan.
Oligosakarida yang ada dalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena dapat
merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria di dalamkolon bayi yang minum ASI.
Data menunjukkan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Tetapi
pada dua penelitian RCT di Peru tahun 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal yang
disuplementasi dengan fruktooligosakabrida (FOS) tidak menunjukkan penurunan angka
kejadian diare. Penemmuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian
RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat perbedaan penyebabnya
menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat
FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo.
Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu penelitianpenelitian selanjutnya.
H. Komplikasi
Dehidrasi
Hipoglikemi
Gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik)
Asidosis metabolik terjadi karena beberapa hal, yakni :
Kehilangan Na-bikarbonat bersama feses
Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak yang tidak sempurna sehingga
30
Hiperkalemia
31
Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K < 3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K :
jika kadar kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hari dibagi 3
dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus)
diberikan dalam 4 jam.
Dosisnya : (3,5 - kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan
dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 - kadar K terukur x BB x
0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB)
Hipokalemia dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi
ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan kekurangan kalium
dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya
kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.
Kejang
Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang
sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebutdapat disebabkan oleh
karena hipoglikemik, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk,
hiperpireksia, hiponatremia atau hipernatremia.
Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, dapat terjadi gangguan sirkulasi
darah berupa renjatan/syok hipovolemik. Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan
terjadi hipoksia dan asidosis bertambah berat. Kemudian dapat mengakibatkan
perdarahan di otak yang menimbulkan penurunan kesadaran dan bila tidak diatasi dengan
segera maka pasien dapat meninggal. (Suraatmaja, 2005)
I. Pencegahan
Sejumlah intervensi telah diusulkan untukmencegah diare pada anak, kebanyakan meliputi
cara yang berhubungan dengan cara pemberian makanan kepada bayi, kebersihan
32
perseorangan, kebersihan makanan, penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang aman dan
imunisasi. Ada 7 cara diidentifikasi sebagai sasaran untuk promosi, yaitu :
1. Pemberian ASI
2. Perbaikan makanan pendamping ASI
3. Penggunaan air bersih untuk kebersihan dan untuk minum
4. Cuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan.
5. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis
6. Pembuangan tinja yang aman
7. Imunisasi campak
Penderita yang dirawat inap harus ditempatkan pada tindakan pencegahan enteric, termasuk
cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, penggunaan jas panjang bila ada
kemungkinan pencemaran dan sarung tangan bila menyentuh bahan yang terinfeksi.
Penderita dan keluarganya harus dididik mengenai cara penularan enteropatogen dan caracara mengurangi penularan. (Behrman, 2000)
BAB III
KESIMPULAN
33
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara berkembang maupun
negara maju. Angka kematian yang disebabkan oleh diare menduduki peringkat ke-2 untuk balita dan
peringkat ke-3 untuk bayi. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga hanya perlu diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan gejala diare akut karena infeksi bakteri dan
parasit dapat diberikan terapi antimikrobial secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan
terapi spesifik sesuai dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan
cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan. Pemenuhan kebutuhan cairan pada anak diare
merupakan salah satu penanganan yang sangat penting. Prognosis diare akut infeksi bakteri baik,
dengan morbiditas dan mortalitas yang minimal. Dengan higiene dan sanitasi yang baik merupakan
pencegahan untuk penularan diare.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Kandun NI. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat dalam
kumpulan makalah Kongres nasional II BKGAI juli 2003 hal 29
2. Barkin RM Fluid and Electrolyte Problems. Problem Oriented Pediatric Diagnosis Little
Brown and Company 1990;20 23.
3. Booth IW, CuttingWAM. Current Concept in The Managemnt of Acute in Children Postgraad
Doct Asia 1984 : Dec : 268 274
4. Coken MB Evaluation of the child with acute diarrhea dalam: Rudolp AM,Hofman JIE,Ed
Rudolps pediatrics: edisi ke 20 USA 1994 : prstice Hall international,inc hal 1034-36
5. Norasid H,Surratmadja S, Asnil PO. Gastroenteritis (Diare ) akut dalam: Gastroenterologi
anak praktis, Ed Suharyono, Aswitha B,EM Halimun : edisi ke2 Jakarta 1994: Balai
penerbit FK-UI hal 51-76
6. American Academy of Pediatrics Propesional commite on Quality improvement
subcommitte. Acute Gastroenteritis Pratice parameter : the management of acute
gastroeneritis in young children Pediatrics 1996:97:424-35
7. Irwanto,Roim A, Sudarmo SM. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan
penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1 jakarta 2002 : Salemba Medika hal 73-103
8. Barnes GL,Uren E, stevens KB dan Bishop RS Etiologi of acute Gastroenteritis in
Hospitalized Children in Melbourne, Australia,from April 1980 to March 1993 Journal of
clinical microbiology, Jan 1998,p,133-138
35
36
24. Rohim A, Soebijanto MS.Probiotik dan flora normal usus dalam Ilmu penyakit anak diagnosa
dan penatalaksanaan . Ed Soegijanto S. Edisi ke 1 Jakarta 2002 Selemba Medika hal 93103
25. Van Niel Cornelis W, Feudtner C, Garisson MM, Dimitri A. Lactobacillus Therapy for Acute
InfectiousDiarrehe Children : A.Meta-analysis Pediatrics 2002;109;678-684
26. Sazawal S dkk.Zine supplementation in young children with acute diarrhea in India N Enggl
J Med 1995;333:839-44
27. Strand TA dkk.Effectiveness and Efficacy of Zine for the Treatment of Aucte Diarrhea in
Young Children Pediatrics 2002;109;898-903
28. Bhandari N, Bahl R, Sazawal Sand.Bhan MK Breast-Feeding Status Alters the Effect of
Viatmin A Threatment During Aucte Diarrhea in Children J. Nutr:127;1997:59-63
29. Baker SS;Davis AM.Hypocaloric oral therapyduring an episode of diarrhea and vomiting can
lead to severe malnutrition J Pediatr Gastroenterol Nutr 1998 Jul;27(1)1-5.
30. Lama More RA;Gil-Alberdi Gonzalez B. Effect of nucleotides as dietary supplement on
diarrhea in healthy infants An Esp Pediatr 1998 Apr;48(4):371-5
31. CDC Recommendation and report The Management of Acute Diarrhea in Children Oral
Rehydration, Maintenance,and Nutritional Therapy 1992
32. Suharyono.Terapi nutrisi diare kronik Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan ilmu Kesehatan
Anak ke XXXI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1994.
33. Ditjen PPM&PLP Depkes RI.Tatalaksana Kasus Diare Bermaslah. Depkes RI 1999 ; 31
37