You are on page 1of 14

LAPORAN KASUS

ODS UVEITIS ANTERIOR

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata


RST Tingkat II Dr. Soedjono Magelang
Pembimbing :
dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp. M

dr. Hari Trilunggono, Sp.M

Disusun Oleh :
Elsa Ameliana

1410211016

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2015

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
ODS UVEITIS ANTERIOR

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi salah satu syarat dalam menempuh program
pendidikan profesi dokter.

Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Tingkat II Dr. Soedjono Magelang

Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta


Magelang, 7 Mei 2015

Mengetahui dan Menyetujui,


Dosen Pembimbing

dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp. M

dr. Hari Trilunggono, Sp.M

BAB I
LAPORAN KASUS
I. 1. ANAMNESIS
Identitas
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:
Alamat
:

Ny. S F
57 tahun
Perempuan
Petani
Tegal Arum, Borobudur

Keluhan Utama
Pasien mengeluh pandangan mata kanan dan kiri kabur.
Riwayat Penyakit Sekarang
Mata kanan kabur sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengeluh mata
kanan merah, berair, dan sakit. Pasien tidak dapat melihat dengan jelas benda
yang jauh ataupun dekat. Pasien mengeluhkan silau bila melihat terang dan
tampak melihat bayangan putih seperti bunga mawar. Keluhan mata belekan
disangkal, keluhan mata gatal disangkal, keluhan rasa mengganjal pada mata
disangkal, keluhan sakit kepala hebat disertai mual dan muntah disangkal,
keluhan melihat pelangi disangkal, keluhan sering menabrak bila berjalan
disangkal.
Setelah lebih kurang 2 hari setelah muncul keluhan pada mata kanan, mata
kiri pasien juga mengalai hal serupa. Mata kiri terasa sakit, berair dan merah.
Pasien juga mengeluh pandangan terasa kabur dan silau bila melihat terang.
Keluhan mata belekan disangkal, keluhan mata gatal disangkal, keluhan rasa
mengganjal pada mata disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sekitar 2 bulan yang lalu mengalami peradangan pada
hidung hingga dirawat di RS selama 1 minggu. Awalnya hidung dirasa mampet,
sakit, merah, tidak bisa menghidu, banyak koreng dan bengkak. Pasien mengaku
keluhan pada mata muncul setelah keluhan pada hidung sudah berkurang.
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. pasien tidak
pernah memiliki riwayat infeksi mata sebelumnya, riwayat trauma benda tajam
atau tumpul pada mata disangkal, riwayat terpapar bahan kimia pada mata
disangkal, riwayat batuk disangkal, riwayat gula darah disangkal, riwayat
hipertensi disangkal, riwaya alergi disangkal, riwayat memakai kacamata
disangkal.
Pasien mengaku memiliki riwayat nyeri sendi lutut dan gigi bolong.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa.
Keluarga tidak memiliki riwayat diabetes melitus dan hipertensi.

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku tidak pernah mendapat pengobatan pada mata sebelumnya.
pasien mengaku tidak memiliki riwayat operasi mata sebelumnya.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang petani, memiliki 3 orang anak yang sudah menikah.
Pasien tinggal di rumah bersama suami pasien, kesan status ekonomi kurang,
pengobatan pasien ditanggung BPJS.
I. 2. PEMERIKSAAN
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi Napas : 24 kali/menit
Suhu
: 36,7oC
Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung

: dalam batas normal


: lihat Status Ophtalmicus
: Nyeri tekan hidung (+), nyeri tekan sinus (+),
tampak merah, edem mukosa (-), sekret kering
pada hidung (+)
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: Nyeri sendi lutut bila berjalan

Telinga
Tenggorokan
Leher
Toraks
Abdomen
Genital
Ekstremitas Superior
Ekstremitas Inferior
Status Ophtalmicus
No.
1.
2.
3.
4.

Pemeriksaan
Visus
Gerak Bola Mata
Suprasilia
Palpebra Superior
Edema
Hematom
Xantelasma
Hiperemi
Sikatrik
Hordeolum
Kalazion

Oculus Dexter
6/12
Tidak Dikoreksi
Baik ke segala
arah
Normal

Oculus Sinister
6/20

Baik ke
arah
Normal

segala

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Ektropion
Entropion
Silia
Lagoftalmus
Ptosis
Palpebra Inferior
Edema
Hematom
Xantelasma
Hiperemi
Sikatrik
Hordeolum
Kalazion
Ektropion
Entropion
Silia
Lagoftalmus
Ptosis
Konjungtiva
Ekstravasi
Injeksi Konjuntiva
Injeksi Siliar
Sekret
Bangunan
Patologis
Lakrimasi
Kornea
Kejernihan
Edema
Infiltrat
Keratik Presipitat
Ulkus
Sikatrik
COA
Kedalaman
Hifema
Hipopion
Tyndal Effect
Iris
Kripta
Warna
Edem
Sinekia Posterior
Rubeosis Iridis
Pupil
Bentuk
Diameter
Reflek Pupil L/TL
Isokor
Lensa

Trikisasi (-)
-

Trikisasi (-)
-

Trikisasi (-)
-

Trikisasi (-)
-

+
+

+
+

+
-

+
-

Tidak Dangkal
Tidak ditemukan
+

Tidak Dangkal
Tidak ditemukan
+

Sukar dinilai
Coklat
+
-

Sukar dinilai
Coklat
+
-

Ireguler
5 mm (midriasis)
+/+ lambat
+

Ireguler
5 mm (midriasis)
+/+ lambat
+

12.
13.
14.
15.

Kejernihan
Bentuk
Corpus Vitreum
Kejernihan
Fundus Refleks
Funduscopy
TIO

Sedikit keruh
Normal

Sedikit keruh
Normal

Keruh
+ Suram
Sulit dinilai
Normal

Keruh
+ Suram
Sulit dinilai
Normal

I. 3. DIAGNOSIS BANDING
a. ODS Uveitis Anterior
Dipertahankan karena dari anamnesa didapatkan penglihatan kabur, mata
merah berair, sakit, dan fotofobia. Dari pemeriksaan didapatkan tajam
penglihatan yang turun, injeksi siliar, keratik presipitat, tyndal effect positif
dan sinekia posterior.
b. ODS Glaukoma Akut
Disingkirkan karena kelainan tajam penglihatan tidak terganggu hebat,
keluhan sistemik pada pasien tidak berat pada pasien. Dari pemeriksaan tidak
didapatkan injeksi konjungtiva, pupil bulat, edem kornea, dan tekanan intra
okuler normal.
c. ODS Konjungtivitis
Disingkirkan karena pasien tidak mengeluh adanya sekret dan dari
pemeriksaan tidak didapatkan injeksi konjungtiva
I. 4. DIAGNOSIS KERJA
ODS Uveitis Anterior
I. 5. TERAPI
Topikal
Midriatikum
Sulfas Atropin 1% tetes mata
Mengurangi TIO Inmatrol tetes matas
Oral
Antibiotik
Anti Inflamasi
Analgetik

Ciprofloxacin 2 x 500 mg
Methyl Prednisolon
Asam Mefenamat 3 x 500 mg

Parenteral
(-)
Operatif
(-)
I. 6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Skin test
untuk mengetahui apakah ada infeksi TB
Hitung Jenis Leukosit
untuk menemukan kemungkinan alergi atau agen
infeksi
Foto rontgen thoraks
untuk mengetahui apakah ada infeksi TB
I. 7.

EDUKASI

a.
b.
c.
d.
e.
f.
I. 8.

Menjaga kebersihan mata


Menggunakan kacamata agar terhindar dari benda asing yang masuk
Jika silau bisa menggunakan topi
Kompres Air Hangat
Konsultasi dengan bagian penyakit dalam, THT, Orthopaedi dan Gigi
Anjuran pemeriksaan laboratorium
PROGNOSIS

Prognosis
Quo ad Visam
Quo ad Sanam
Quo ad Functionam
Quo ad Vitam
Quo ad Cosmeticam

Oculus Dexter
Dubia Ad Malam
Dubia ad Bonam
Dubia ad Malam
Ad Bonam
Dubia ad Bonam

Oculus Sinister
Dubia Ad Malam
Dubia ad Bonam
Dubia ad Bonam
Ad Bonam
Dubia ad Bonam

I. 9. KOMPLIKASI
Katarak komplikata
Glaukoma sekunder
Atrofi bulbi
Endoftalmitis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II 1. UVEA
Uvea terdiri dari 3 bagian, yaitu iris, badan siliar dan koroid yang merupakan
jaringan vaskular di dalam mata, terletak antara retina dan sklera. Secara
anatomis uvea dapat dibedakan menjadi uvea anterior yang terdiri dari iris dan
badan siliar, serta uvea posterior yang terdiri dari koroid.
Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2
buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sklera di temporal dan
nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior, yang
terdapat 2 pada setiap otot superior, medial inferior, satu pada otot rektus lateral.

Arteri siliar anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri
sirkularis mayor pada badan siliar. Uvea posterior mendapat perdarahan dari 1520 buah asrteri siliar posterior brevis yang menembus sklera di sekitar tempat
masuk saraf optik.
Persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar yang terletak antara bola mata
dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen optik, yang menerima 2 akar
saraf di bagian posterior yaitu :
1. Saraf sensoris, yang berasal dari saraf nasosiliar mengandung serabut
sensoris untuk kornea, iris, dan badan siliar.
2. Saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, yang berasal dari saraf simpatis
yang melingkari arteri karotis; mempersarafi pembuluh darah uvea dan
untuk dilatasi pupil.
3. Akar saraf motor akan memberikan saraf parasimpatis untuk mengecilkan
pupil.

Pada ganglion siliar hanya saraf parasimpatis yang melakukan sinaps. Iris
terdiri atas bagian pupil dan bagian tepi siliar, dan badan siliar terletak antara iris
dan koroid. Batas antara korneosklera dengan badan siliar belakang adalah 8 mm
temporal dan 7 mm nasal. Di dalam badan siliar terdapat 3 otot akomodasi yaitu
longitudinal, radiar, dan sirkular.
Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke
dalam bola mata. Reaksi pupil ini merupakan juga indikator untuk fungsi simpatis
(midriasis) dan parasimpatis (miosis) pupil. Badan siliar merupakan susunan otot
melingkar dan mempunyai sistem ekskresi di pembuluh darah di daerah limbus,
yang akan mengakibatkan mata merah yang merupakan gambaran karakteristik
peradangan intraokular.
Otot longitudinal badan siliar yang berinsersi di daerah baji sklera bila
berkontraksi akan membuka anyaman trabekula dan mempercepat pengaliran
cairan mata melalui sudut bilik mata.
Otot meligkar badan siliar bila berkontraksi pada akomodasi akan
mengakibatkan mengendornya zonula Zinn sehingga terjadi pencembungan lensa.

Kedua otot ini dipersarafi oleh sarah parasimpatik dan bereaksi terhadap obar
parasimpatomimetik.
II 2. UVEITIS
II. 2. 1.
DEFINISI
Uveitis adalah peradangan pada uvea. Sesuai dengan pembagian anatomis,
uveitis dibedakan menjadi :
a. Uveitis Anterior
b. Uveitis Posterior
c. Panuveitis
Uveitis anterior adalah proses radang yang mengenai uvea bagian anterior.
Apabila peradangan terjadi iris disebut iritis, badan silia disebut diklitis, dan bila
mengenai keduanya maka disebut iridosiklitis.
Uveitis posterior adala proses radang yang mengenai uvea bagian posterior,
yaitu koroi. Peradangan pada koroid disebut koroiditis. Koroiditis sering
mengenai retina, dan menyebabkan retinitis disebut dengan koroioretinitis.
Panuveitis terjadi apabila peradangan terjadi di seluruh bagian uvea.
II. 2. 2.

EPIDEMIOLOGI
Keadaan uveitis dapat terjadi antara 10-15% pada kasus kebutaan total pada
negara berkembang. Insidensi uveitis di Amerika diperkirakan terjadi 15 kasus
baru per 100.000 populasi setiap tahun.

II. 2. 3.

ETIOLOGI
Etiologi uveitis dapat dibagi menjadi :
1. Berdasarkan spesifitas penyebab
a. Penyebab spesifik (infeksi) yang disebabkan oleh infeksi virus,
bakteri, jamur maupun parasit yang spesifik.
b. Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas.
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme
atau antigen yang masuk ke dalam tubuh dan merangsang reaksi
antigen antibodi dengan predileksi pada traktus uvea.
2. Berdasarkan sumbernya
a. Eksogen
Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intraokuler,
ataupun iatrogenik.
b. Endogen
Dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain ataupun reaksi
autoiun.
3. Berdasarkan perjalan penyakit
a. Akut, apabila serangan terjadi satu atau dua kali dan penderita
sembuh sempurna di luar serangan tersebut.
b. Residif, apabila serangan terjadi lebih dari dua kali disertai
penyembuhan yang sempurna di antara serangan-serangan tersebut.
c. Kronis, apabila serangan terjadi berulang kali tanpa pernah sembuh
sempurna di antaranya.

4. Berdasarkan reaksi radang yang terjadi


a. Non-Granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel plasma dan limfosit.
b. Granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel epiteloid dan makrofag.
II. 2. 4.

PATOFISIOLOGI DAN KOMPLIKASI


Seperti semua proses radang, uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi
pembuluh darah yang akan menimbulkan gejala hiperemi siliar (hiperemi
perikorneal atau pericorneal vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini
akan menyebabkan eksudasi ke dalam aqueous humour, sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi protein dalam aqueous humour. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai aquos flare, yaitu partikelpartikel kecil dengan gerak Brown (efek Tyndal). Kedua gejala tersebut
menunjukkan proses peradangan akut.

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel
radang di dalam bilik mata depan yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit
ke dalam bilik mata depan, dikenal dengan hifema. Apabila proses radang
berlangsung lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada
endotel kornea, disebut sebagai keratic precipitat (KP). Ada dua jenis keratic
precipitat (KP), yaitu :
1. Mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen
yang difagosititnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
2. Punctate KP : kecil, putih terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat
pada jenis non granulomatosa.

Apabila tidak mendapatkan terapi yang adekuat, proses peradangan akan


berjalan terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan
fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian
anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang
disebut dengan sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi
pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang,
disebut dengan oklusio pupil.

Perlekatan-perlekatan tersebut ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh


sel-sel radang akan menghambat aliran aqueous humour dari bilik mata belakang
ke bilik mata depang, sehingga aqueous humour tertumpuk di bilik mata belakan
dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans.
Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi
galukoma sekunder.
Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang
menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila

peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif


berat dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan
kaca) ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan
kapsul tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).
Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera
ditangani, dapat pula terjadi symphatetis ophtalmica pad mata sebelahnya yang
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama mengenai badan siliar.

II. 2. 5.

MANIFESTASI KLINIS
Pada anamnea penderita biasanya mengeluh mata terasa seperti ada pasir,
mata merah dan berair, nyeri saat digerakkan atau ditekan, fotofobia, kelopak
mata berkedut (blefarospasm), penglihatan kabur atau menurun.
Dari pemeriksaan mata didapatkan kelopak mata edema disertai ptosis
ringan, injesi siliar, flare positif, hipopion, hifema bils proses sangat akut. Sudut
bilik mata depan menjadi dangkal bila didapatkan sinekia. Iris edem dan warna
menjadi pucat, dapat pula dijumpai adanya iris bombans. Pupil menyempit,
bentuk tidak teratur dan refleks lambat sampai negatif. Lensa keruh, terutama
bila telah terjadi katarak komplikata. Tekanan intra okular meningkat, bila telah
terjadi glaukoma sekunder.

II. 2. 6.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan uveitis anterior adalah untuk mengembalikan
atau memperbaiki fungsi penglihatan mata. Apabila sudah terlambat dan fungsi
penglihatan tidak dapat lagidipulihkan seperti semula, pengobatan tetap perlu
diberikan untuk mencegah memburuknya penyakit dan terjadinya komplikasi
yang tidak diharapkan.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokan menjadi :
1. Terapi Non Spesifik
a. Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobia, terutama
akibat pemberian midriatikum.
b. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang,
sekaligus untuk meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel
radang dapat lebih cepat.
c. Midriatikum/sikloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan
siliar relaks, sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat
penyembuhan. Selain itu midriatikum sangat bermanfaat untuk
mencegah terjadinya sinekia, ataupun melepaskan sinekia yang telah
ada.
d. Anti inflamasi

Tujuan pemberian anti inflamasi adalah untuk mengurangi reaksi


peradangan sebagai respon adanya inflamasi yang juga dapat merusak
sel di sekitanya.
2. Terapi Spesifik
Terapi spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis
anterior telah diketahui, karena penyebab yang tersering adalah bakteri,
maka antibiotik dapat diberikan.
II. 2. 7.

PEMERIKSAAN ANJURAN
Penderita uveitis anterior akut dengan respon yang baik terhadap pengobatan
non spesifik, umumnya tidak memerlukan pemeriksan laboratorium lebih lanjut.
Sementara bagi penderita yang tidak responsif, diusahakan untuk menemukan
diagnosis etiologinya melalui pemeriksaan laboratorium.
Pada penderita ini sebaiknya dilakukan skin test untuk pemeriksaan
tuberkulosis dan toksoplasmosis. Untuk kasus-kasus yang reccurent (berulang),
berat, bilateral atau granulomatosa, perlu dilakukan tes untuk sifilis, foto rontgen
untuk mencari kemungkinan tuberkulosis atau sarkoidosis. Penderita muda
dengan arthiritis sebaiknya dilakukan tes ANA. Pada kasus psoriasis, uveitis,
radang yang konsisten, dan gangguan pencernaan dilakukan pemeriksaan HLAB27 untuk mencari penyebab autoimun. Pada dugaan toksoplasmosis, dilakukan
pemeriksaan IgG dan IgM.

II. 2. 8.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang memberikan gejala menyerupai uveitis anterior
antara lain konjungtivitis dan glaukoma akut.

II. 2. 9.

PROGNOSIS
Dengan pengobatan, serangan uveitis non granulomatosa umumnya
berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis
granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan. Kadang-kadang
dengan remisi dan eksaserbasi dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan nyata walau dengan pengobatan yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmadani, Siti. Diktat Kuliah Ilmu Penyakit Mata Tingkat IV. Jakarta : 2007.
2. Ilyas S. Tajam Penglihatan dan Kelainan Refraksi Penglihatan Warna. Dalam : Ilmu
Penyakit Mata; edisi ke-3. Cetakan I. Jakarta : FKUI, 2006 : 76-78.
3. Waoughan et all., Optalmology Umum. Edisi 14. Widya Medika. 2000.
4. Mansjoer, A. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3 Jilid 1. Media Aesculapius.
Jakarta : FKUI.
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Edisi 9. 1997.
6. Pedoman Diagnosis dan Terapi, bag/smf ilmu penyakit mata, 2006 edisi ke II, Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya.

7. www.medicastore.com, Ilmu Penyakit Mata


8. www.refraksioptisi.br.ma
9. Anonim, 2006, http://www.entnet.org/index2.cfm.

You might also like