You are on page 1of 35

TUGAS KHUSUS

PENYAKIT KUSTA

A. Apotek Kimia Farma 143, anggota:


1. Lina Hidayanti Gulo (Universitas Pancasila)
2. Roslan Simbolon (Universitas Pancasila)
3. Abdul Azis (ISTN)
B. Apotek Kimia Farma 110, anggota:
1. Hikmat (ISTN)
2. Meisalina (ISTN)
3. Ade Oktavianingsih (ISTN)
C. Apotek Kimia Farma 147, anggota:
1. Marisa Juliani (Universitas Pancasila)
2. Putri Aprillia Warmy (Universitas Pancasila)

PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER


JAKARTA
JUNI 2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga TUGAS KHUSUS ini dapat terselesaikan. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatsahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Tugas khusus Penyakit Kusta disusun untuk membahas mengenai kusta, jenis-jenis
kusta, terapi untuk masing-masing jenis kusta dan menganalisis resep pada terapi kusta. Penulis
berharap agar pembahasan Penyakit Kusta ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa PKPA
khusunya dan bagi praktisi medis pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk
perkembangan yang lebih baik.

Jakarta,

Juni 2016

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman
Cover.....................................................................................................................

Kata Pengantar....................................................................................................

ii

Daftar isi...............................................................................................................

iii

Bab I Pendahuluan..............................................................................................

A. Latar Belakang..............................................................................................

B. Tujuan...........................................................................................................

C. Manfaat.........................................................................................................

Bab II Uraian Tentang Penyakit........................................................................

A. Definisi..........................................................................................................

B. Klasifikasi.....................................................................................................

C. Etiologi..........................................................................................................

D. Faktor Resiko................................................................................................

E. Patofisiologi..................................................................................................

F. Patogenesis....................................................................................................

G. Manifestasi Klinik.........................................................................................

10

H. Komplikasi....................................................................................................

10

I. Epidemologi..................................................................................................

11

J. Diagnosis.......................................................................................................

11

K. Tanda dan Gejala Kusta................................................................................

12

L. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi)..........................................

14

Bab III Tinjauan Kasus......................................................................................

21

A. Skrining Resep..............................................................................................

22

B. Spesialite Obat..............................................................................................

23

C. Alur Pelayanan Resep...................................................................................

27

Bab IV Pembahasan............................................................................................

28

Bab V Kesimpulan dan Saran............................................................................

31

Daftar Pustaka.....................................................................................................

32

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki
peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah
patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik,
laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi,
kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO
merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data
pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan
sampai tujuan terapi tercapai.
Pada kasus ini dilakukan Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang
menerima obat dengan resiko tinggi seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada
pengobatan penyakit kusta merupakan prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada
kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap pasien An. I yang menderita penyakit kusta.
Kegiatan PTO terhadap pasien An. I diharapkan dapat mencegah munculnya masalah
terkait obat atau DRP (Drug Related Problem) dan tercapainya kerasionalan
pengobatan yang optimal.

B. Tujuan
Memastikan terapi pengobatan yang aman, efektif dan rasional bagi pasien melalui
kegiatan: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.

C. Manfaat
Sebagai salah satu sarana untuk menjalankan penerapan fungsi Apoteker dalam
pelayanan kefarmasian di Apotek.

BAB II
URAIAN TENTANG PENYAKIT

A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke
organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusa. Atas dasar definisi tersebut, maka
untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan
penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan
atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan
rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi
Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas:
a. tipe indeterminate
b. tipe tuberkuloid
c. tipe lepromatosa
d. tipe borderline (dimorphous).
2. Klasifikasi Ridley & Jopling
Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang
sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita
sampai pada kekebalan yang tinggi. Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik,
bakteriologik, histopatologik, dan imunologik. Menurut klasifikasi ini terdapat 5
(lima) tipe klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan
yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid
borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).

Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil
dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar
lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline
lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan
imunitas yang lebih.
3. Klasifikasi WHO
Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh
WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi
dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi
menjadi 2 (dua) tipe yaitu:
a. Tipe Pause - Basiler (PB)
Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT
dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
b. Tipe Multi Basiler (MB)
Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi
Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling

Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikan sebagai
kusta MB, begitupun sebaliknya. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam
penentuan klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut:

C. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M.leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen
tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang
ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan
ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna
merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecahpecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).
D. Faktor Resiko
1. Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan
karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,
mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan
kesehatan juga menurun kemampuannya.
Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus
kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari
jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta
5

kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami


kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta
menjadi ancaman bagi mereka. Penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah
meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial
ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada, pencahayaan,
ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi dapat terpenuhi.
Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik tentang faktor
orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi sangat erat
hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan serta besarnya pendapatan
keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat tinggal, kebiasaan hidup keluarga,
termasuk kebiasaan makan, jenis rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status
sosial ekonomi erat pula hubungannya dengan faktor psikologi individu dan
keluarga dalam masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan
kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat hubungannya
dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab, dan yang mana akibat.
Status ekonomi menentukan kwalitas makanan, hunian, kepadatan gizi, taraf
pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih, sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil
keluarga, dan tehnologi.
2. Umur
Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai
lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang, dinyatakan bahwa dari 1153
responden diperoleh hasil bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif
19-55 tahun (76,1%), menyatakan bahwa terjadi kecacatan sekunder pada usia
dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh bahaya yang terpapar pada saat
beraktifitas.
3. Jenis kelamin
Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik laki-laki mupun
perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita.
6

Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara
lain faktor lingkungan dan faktor biologis.
Tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok.

Penelitian yang

dilakukan di Nepal 67% wanita mengalami kecacatan sekunder.


4. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki semangat spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri dari pendidikan dasar (SD/SMP/Sederajat), pendidikan menengah
(SMA/Sederajat) serta pendidikan tinggi (Diploma/sarjana/magister/spesialis) (UU
No 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional). Status pendidikan
berkaitan denga tindakan pencarian pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat
pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis
penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin
parah.
Telah diperoleh hasil bahwa kelompok tidak terpelajar (64%) lebih banyak
mengalami kecacatan sekunder. Hal ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih
mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.
5. Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan
dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya
cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire, membagi
responden dalam dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara manual worker
dan non manual worker. Diperoleh hasil, 64% pada manual worker
mengalami kecacatan sekunder, hal ini disebabkan karena Nepal adalah Negara
pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain itu karena pasien-pasien kusta
lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan sendiri.

E. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan
genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari Mycrobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa
menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat
dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun
telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah
ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada
kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri
di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya
bakteri. Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum
8

dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah
non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah
3-5 tahun.
F. Patogenesis
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala
dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20
tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya.
Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak
orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta.
Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di
perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit
dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk
dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann
yaitu laminin -2 G receptor sejenis -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut
merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis
fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu
berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel
schwann.
Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta
dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua)
aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit
dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated
Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak
mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim
dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.
Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh
basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta
seperti tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe
Borgerline-Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe LepromatousLepromatous (LL).

G. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki,
pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan
hilangnya rasa tusukan. Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan
sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada
tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica,
penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya
timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler
(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu:
1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.
2. Adanya gangguan sensasi kulit.
3. Penebalan saraf tepi.
4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.
H. Komplikasi
Kusta dengan komplikasi ialah reaksi kusta yang dapat menyebabkan kerusakan saraf
dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut; kehilangan sensibilitas dan kehilangan
kekuatan otot, dengan akibat ulserasi dan deformitas. Terdapat 2 tipe reaksi kusta
dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu:
1. Reaksi Reversal (RR) Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan
eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan
peningkatan gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.
2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL) mempunyai bentuk karakteristik,
berupa nodul-nodul eritematosa yang terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien
umumnya merasa sakit. Sarafpun dapat nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis,
limfadenitis, orkitis, iridosiklitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan
kebutaan. Keterlibatan berbagai organ tersebut dapat terjadi terpisah atau secara
bersamaan pada kusta dengan komplikasi.

10

I. Epidemiologi
Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih bersifat misterius, yang diketahui
hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput lendir hidung.
Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal):
1. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae
2. Daya tahan tubuh penderita
Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:
1. Usia
Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita (karena
kontak lebih banyak pada laki-laki)
3. Ras
Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit kusta
dibanding dengan Eropa
4. Keadaan sosial ekonomi
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat sosial
ekonominya rendah
5. Lingkungan
Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta
sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai
puluhan tahun.
J. Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu diacri tanda-tanda utama tau tanda
kardinal (cardinal signs), yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi. (neuritis
perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paraselis)
otot
11

c. Gangguan fungsi otonom : Kulit kering dan retak-retak


3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat suatu dari tandatanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis
dengan pemerikasaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu
dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicurigai (suspek)
K. Tanda dan Gejala Kusta
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP& PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign
penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi
saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensori: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari
tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicurigai.
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d. Lepuh tidak nyeri.

12

2. Tanda-tanda pada saraf


a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
3. Derajat Cacat Kusta
Menurut Djuanda, A, 2007 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:
a. Cacat pada tangan dan kaki
1) Tingkat 0: tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
2) Tingkat 1: ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
3) Tingkat 2: terdapat kerusakan atau deformitas.
b. Cacat pada mata
1) Tingkat 0: tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan
penglihatan.
2) Tingkat 1: ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
pada jarak 6 meter).
3) Tingkat 2: gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
4. Jenis-jenis cacat kusta
Jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
a. Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Yang
termasuk kedalam cacat primer adalah :
1. Cacat pada fungsi saraf
a) Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
b) Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes,
lagoptalmus
c) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan
elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat
13

3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
b. Cacat sekunder
1. Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf
sensorik, motorik, dan otonom
2. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan
berjalan dan mudah terjadinya luka
3. Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan
terjadinya kreatitis
4. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya
elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.

K. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi)


a. Farmakologi
Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterpi
DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10
tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terajadinya
resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun
1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO
merekomendasikan pengobatan kusta dengan multi drug therapy (MDT) untuk tipe PB
maupun MB.

14

1. Regimen Pengobatan MDT


Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan
obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT :
1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibahwah ini
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c) Pindahan (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pasien Pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
-

2 kapsul rifampisisn @300 mg (600mg)

1 tablet dapson /DDS 100 mg

Pengobatan harian : Hari ke 2-28


-

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 5 blister yang diminum selama 6-9
bulan.
2) Pasien multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (Obat diminum di depan petugas )
-

2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)

3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28


-

1 tablet lampren 50 mg

1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218 bulan.

15

3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan : Hari pertama (oabat diminum di depan petugas)\
-

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

1 tablet dapson /DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28


-

1 tablet dapson/DDS 50 mg

4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)
-

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Pengobatan harian : hari ke 2-28


-

1 tablet lampren 50 mg selang sehari

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
-

Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

Dapson : 1-2 mg/kgBB

Lampren : 1 mg/kgBB

Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunkan tabel
sebagai berikut :

16

17

2. Uraian Obat
MDT tersedia dalam bentuk bliser. Ada empat macam blister untuk PB dan MB
dewasa serta PB dan MB anak
a) DDS (dapson)
-

Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone

Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg

Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta

Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 tahun)

b) Lampren (B663) juga disebut klofazimin


-

Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg, warna coklat

Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi

Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari


gangguan gatrointestinal

c) Rifampisin
-

Sediaan berbentuk kaspusl 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 60 mg.

Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemeberian

Cara pemeberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan,


agar penyerapan lebih baik.

3. Analisis Interaksi Obat


1) Hamil dan menyusui: regimen MDT aman untuk ibu hamil dan anaknya
2) Tuberkulosis: bila seseorang mederita tuberkulosis (TB) dan kusta, maka
pengobatan antiberkulosis dan MDT dapat diberikan bersamaan, dengan dosis
rifampisin sesuai dsis untuk tuberkulosis.
a) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg, karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap sesuai
dengan jangka waktu pengobatan PB
b) Untuk pasien TB yang mederita kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lapmren karena rifampisin
sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan tetap disesuaikan dengan
jangka waktu pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka
pengoabatan kusta kembali sesuai blister MDT
3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat di ganti dengan
lampren
18

4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengoabatan hanya dengan dua
macam obat saja, yaitu rifampisisn dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB
4. Efek Samping dan Penanganannya

b. Terapi Non Farmakologi Penyakit Lepra


1. Jaga selalu kebersihan anggota badan
Kebersihan sangatlah penting bagi perkembangan penyakit lepra yang Anda
derita. Terlebih untuk kebersihan anggota badan seperti jari tangan dan kaki,
karena biasanya bakteri lepra akan mengerogoti bagian organ tersebut. nah untuk
mencegah bakteri tersebut berkembangbiak dalam jumlah besar, Anda harus
selalu menjaga kebersihan anggota badan. seperti usahakan untuk mandi 2 kali
sehari, mencuci tangan sebelum makan dan lain sebagainya.
2. Tingkatkan daya tahan tubuh
Daya tahan tubuh penderita penyakit lepra biasanya menurun sangat drastis,
dengan keadaan daya tahan yang menurun ini tentunya akan membuat
bakteri lepra lebih mudah berkembangbiak di dalam anggota tubuh Anda. oleh
sebab itu usahakan untuk selalu meningkatkan daya tahan tubuh, Anda bisa
meningkatkan daya tahan dengan berolahraga secara rutin, konsumsi multivitamin
dan lain sebagainya.
19

3. Periksakan diri ke dokter secara rutin


Walaupun penyakit lepra yang sedang Anda derita masih tergolong baru atau
stadium awal, akan tetapi sangat diperlukan juga pemeriksaan secara berkala ke
dokter spesialis lepra ataupun ahlinya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan penyakit lepra Anda, jikalau penyakit tersebut mengalami
perkembangan yang sangat buruk, maka Anda dapat melakukan tindakan medis
dengan segera mungkin, mengingat penyakit lepra sangat berbahaya jika tidak
dilakukan tindakan medis oleh para dokter dan ahlinya.

20

BAB III
TINJAUAN KASUS

21

A. Skrining Resep
A. Persyaratan Administratif
No.
Komponen
1.
Nama Dokter
dr. Eviana Sri Sundari
2.
Tanggal
30-05-2016
3.
Tanda R/
Ada
4.
Nama Bahan
Cetirizine No. V
Hidrocortison No. 1
MDT MB anak No. 1
5.
Cara pemakaian
S. 2 dd . Pc
(Signa)
S.U.E
S.U.C
6.
Paraf Dokter
Tidak ada

Keterangan
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap

Lengkap

Tidak
Lengkap

7.

Nama Pasien
An. Inosensius Subaris
Umur
Tidak ada
Tidak
Lengkap
BB/TB
Tidak ada
Alamat
Tidak ada
B. Persyaratan Farmasetik
1.
Bentuk sediaan
Sesuai
2.
Dosis
Sesuai
3.
Stabilitas
Suhu sejuk dan tempat kering
4.
Inkompatibilitas
Tidak ada
5.
Cara pemberian
Oral dan topikal
6.
Lama pemberian
Tidak ada
C. Persyaratan Klinis
1.
Alergi
Tidak ada
2.
Efek samping
Air seni berwarna merah, masalah gastro intestinal,
anemia
3.
Interaksi
Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP,
antikolinergik, antidepresan trisiklik, penghambat MAO
4.
Kesesuaian (dosis,
Sesuai
durasi, jumlah obat)

22

B. Spesialite Obat
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Efek Samping

Interaksi Obat
Dosis

Nama Obat
Komposisi
Indikasi

Kontra Indikasi

Efek Samping

Peringatan

Dosis

Cetirizine
Setirizin HCl 10mg
Rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus,
urtikaria idiopati kronis.
Pasien koma, serangan akut asma, bayi prematur
Gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik, kelemahan otot,
tinnitus, reaksi alergi, kelainan darah, pengaruh kardiovaskuler atau
SSP, sakit kuning, fotosensitivitas, injeksi intramuskular
kemungkinan menyebabkan rasa sakit; lihat juga keterangan di atas
Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP, antikolinergik,
antidepresan trisiklik, penghambat MAO
Oral: 25 mg, malam hari, bila perlu dinaikkan sampai 50 mg, atau
10-20 mg 2-3 kali/hari. Anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan; 25 tahun, 5-15 mg/hari, 5-10 tahun 10-25 mg/hari

Hidocortison
Hidrokortison 2,5%
Menekan reaksi radang pada kulit yang bukan disebabkan infeksi
seperti eksim dan alergi kulit seperti : dermatitis atopi, dermatitis
kontak, dermatitis alergik, pruritus anogenital dan neurodermatitis
Hydrocortisone sebaiknya tidak diberikan pada penderita:
Penyakit kulit karena virus atau tuberkulosis, akut rosasae,
skabies, dermatitis perioral, tinea, pemakaian lama atau daerah
yang luas pada kehamilan.
Penderita yang hipersensitif.
Herpes simplex, vaccinia dan varicella, infeksi jamur.
Rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi sekunder
Hati-hati penggunaan Hydrocortisone pada jangka waktu yang
lama, area kulit yang luas, wanita hamil, bayi dan anak berusia
di bawah 4 tahun.
Hindari kontak dengan mata, membrane mukosa, dan kulit yang
sensitive / rusak
Tanyakan kepada dokter anda mengenai dosis dan aturan pakai
Hydrocortisone.
Dosis yang umum diberikan : oleskan 2 3 kali sehari pada kulit
yang sakit.

23

Nama Obat
Komposisi
Indikasi

Efek Samping

Peringatan

Dosis

Dapson
Diaminodiphenylsofone/DDS 100 mg
Lepra, dermatitis herpetiformis
(tergantung dosis, jarang terjadi pada dosis lazim), hemolisis,
metamoglobinemia, neuropati, dermatitis alergika (kadang-kadang
nekrolisis epidermal toksik dan sindrom Stevens-Johnson),
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, insomnia, anemia, hepatitis,
agranulositosis; sindrom dapson (ruam dengan demam dan
eusinofilia) segera hentikan obat (dapat berlanjut menjadi dermatitis
eksfoliatif, hepatitis, hipoalbuminemia, psikosis dan kematian).
- Terhadap Kehamilan : Penggunaan obat pada trimester ke 3
menyebabkan neonatal haemolysis dan methaeoglobinemia;
asam folat 5 mg sehari harus diberikan pada ibu hamil. Faktor
risiko : C
- Terhadap Ibu Menyusui : Anemia hemolitik; walaupun jumlah
obat dalam air susu signiifikan; risiko pada bayi sangat kecil
kecuali jika bayi mengalami defisiensi G6DP (BNF 50). Dapson
terdistribusi dalam air susu ibu jadi tidak direkomendasikan
untuk ibu menyusui
- Dewasa: 100 mg/hari
Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
- Anak 10 14 tahun: 50 mg/hari
- Anak 5 9 tahun: 25 mg/hari
Catatan: pemberian Dapson untuk terapi lepra/kusta dikombinasikan
bersama obat lain seperti rifampisin dan klofazimin/lampren dan
disesuaikan dengan jenis kusta tipe PB (Pauci Bacillery) atau MB
(Multi Bacillary)

24

Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Kontra Indikasi

Efek Samping

Peringatan

Dosis

Lampren
Klofazimin 100 mg
Lepra/kusta
- Wanita hamil terutama trimester I
- Penderita gangguan hati dan ginjal
Perubahan warna kulit menjadi kemerah-merahan sampai coklat
gelap yang bersifat sementara, enteropati eosinofilik dan
penyumbatan usus besar, perubahan warna pada konjungtiva
(selaput ikat mata), pigmentasi makula, penglihatan suram, infarksi
splenik, limfadenopati, reaksi kulit.
- Hindari pengobatan jika mungkin pada pasien dengan nyeri
perut, diare, kerusakan hati atau ginjal.
- Pengobatan dengan dosis harian lebih dari 100 mg.
- Tidak boleh digunakan lebih dari 3 bulan.
- Muntah-muntah atau diare yang bersifat menetap - pasien harus
dirawat di rumah sakit.
- Depresi akibat perubahan warna kulit.
- Hamil, menyusui.
- Dewasa: 300 mg/bulan
- Anak 10 14 tahun: 150 mg/bulan
- Anak 5 9 tahun: 100 mg/bulan
Catatan: pemberian Lampren untuk terapi lepra/kusta khusus untuk
tipe multibasiler (MB) dikombinasikan bersama obat lain yaitu
rifampisin dan dapson.

25

Nama Obat
Komposisi

Indikasi

Efek Samping

Interaksi Obat

Peringatan

Dosis

Rifampicin
Tiap kaplet salut selaput mengandung rifampisin 450 mg
untuk
pengobatan
tuberkulosis
yang
disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosisdalam kombinasi dengan obat
antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra
untuk pengobatan lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi
keadaan noninfeksi
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare;
pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan
respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik,
anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan
fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf
pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah
otot, psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot,
miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna
kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya;
tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang.
peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan ketokonazol,
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease inhibitors).
Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic
Interaction of Microparticles in Solution)
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji
fungsi hati dan hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang;
gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600
mg/hari) lihat Lampiran 3; kehamilan dan menyusui lihat Lampiran
4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi
oral dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat
mengubah warna lensa kontak, menyebabkan warna kemerahan
pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu syndrome,
sesak napas, syok anafilaksis
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah
450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi
hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai
dosis harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg).
Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson
100mg satu kali sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali
sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan selama 2
tahun.
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson
100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari dengan durasi pengobatan 6
bulan.
26

C. Alur Pelayanan Resep


1. Setelah resep diterima dari pasien, apoteker wajib menanyakan 3 pertanyaan utama
kepada pasien :

Apa yang dokter sampaikan tentang obat yang anda terima?

Apa yang dokter sampaikan tentang bagaimana cara pakai obat anda?

Apa yang disampaikan dokter tentang harapan dari pengobatan ini?

Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi dengan dokter yang
mengakibatkan kebingungan pada pasien atas informasi yang diberikan.
2. Setelah mendapatkan jawaban, resep diskrining dan dianalisa, apabila ditemukan
kesalahan penulisan resep sebaiknya langsung dikonfirmasikan kepada dokter
3. Cek persediaan obat di apotek
4. Hitung harga obat yang harus dibayarkan oleh pasien
5. Pemberian informasi awal hasil skrining resep dan harga resep, untuk meminta
persetujuan pasien agar resep dapat disiapkan
6. Obat disiapkan :

Obat sediaan jadi


Untuk obat jadi seluruhnya diproses yang dilakukan hanya pindah kemas.

7. Penulisan etiket, lengkap dengan nama pasien, tanggal pemberian, dan aturan pakai
yang harus ditulis secara jelas, terbaca dan

mudah dipahami agar tidak terjadi

kesalahan dalam pemakaian yang menyebabkan hasil pengobatan tidak optimal.


8. Penulisan salinan resep agar pasien dapat menebus kembali sisa obat.
9. Pengecekan ulang untuk memastikan obat yang akan diberikan sudah tepat. Sesuaikan
antara resep dengan obat yang telah disiapkan.
10. Penyerahan obat kepada pasien:

Berikan informasi obat kepada pasien mengenai jumlah obat, cara pemakaian, cara
penyimpanan.

Berikan informasi mengenai efek samping yang mungkin muncul serta


mengingatkan pasien mengontrol penyakitnya kembali setelah obat yang
dikonsumsi akan habis.

Dapat disertai pemberian salinan resep, kuitansi

27

BAB IV
PEMBAHASAN
Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan PTO (Pemantauan Terapi Obat) di Apotek
merupakan salah satu penerapan peran Apoteker sebagai profesional dalam pelayanan
kefarmasian. Keberadaan Apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat (DRP/Drug Related Problem). Pada umumnya pasien yang mendapatkan
terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan
penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya
masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi
untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
Pada kasus ini dilakukan PTO pada pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Pasien
diberikan 3 resep yaitu cetirizin, hidrokortison cream, MDT MB anak.
Pemberian obat cetirizin dengan regimen 2 x tablet sehari selama 2-3 hari diindikasi
untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Penggunaan cetirizin harus dikonsumsi
setelah makan karena pemberian sebelum makan dapat mengalami gangguan gastrointestinal.
Obat hidrokortison cream pada kasus ini digunakan untuk menekan reaksi radang pada
kulit berupa bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh, bercak yang tidak
gatal dan Kulit mengkilap, adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut,
lepuh tidak nyeri yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penggunaan
hidrokortison tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama karena dapat
menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi
sekunder.
Pemberian obat cetirizin dan hidrokortison cream tersebut merupakan pengobatan
supportif pada penyakit kusta yaitu dengan tujuan untuk meringkankan gejala yang dialami
pasien
Pengobatan untuk penyakit kusta pasien mendapatkan MDT (Multi Drug Therapy) MB
(Multibasilar), akan tetapi pada resep tidak dicantumkan umur pasien sehingga pengobatan
diberikan berdasarkan penatalaksanaan untuk penyakit kusta (Depkes RI, 2012) yaitu:
Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)
-

2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

1 tablet dapson/DDS 50 mg
28

Pengobatan harian : hari ke 2-28


-

1 tablet lampren 50 mg selang sehari

1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.
Bagi anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
-

Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

Dapson : 1-2 mg/kgBB

Lampren : 1 mg/kgBB

29

Selain melakukan pengobatan secara farmakologi, apoteker juga perlu memberikan


informasi pengobatan secara non farmakologi ke pasien. Adapun pengobatan non
farmakologi yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu: jaga selalu kesehatan badan,
tingkatkan daya tahan tubuh serta periksa ke dokter secara rutin.
Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker
harus dikomunikasikan kepada tenaga kesehatan terkait. Kerjasama dengan tenaga
kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan terapi. Informasi dari
dokter tentang kondisi pasien yang menyeluruh diperlukan untuk menetapkan target terapi
yang optimal. Komunikasi yang efektif dengan tenaga kesehatan lain harus selalu
dilakukan untuk mencegah kemungkinan timbulnya masalah baru. Kegagalan terapi
mungkin bisa terjadi jika pasien tidak patuh dalam mengikuti regimen pengobatan.
Ketidakpatuhan pasien dapat terjadi akibat kurangnya informasi obat. Sebagai tindak lanjut
pasien harus mendapatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) secara tepat.

30

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang menerima obat dengan resiko tinggi
seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada pengobatan penyakit kusta merupakan
prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap
pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Kegiatan PTO terhadap pasien An. I
diharapkan dapat mencegah munculnya masalah terkait obat atau DRP (Drug Related
Problem) dan tercapainya kerasionalan pengobatan yang optimal.
Proses terapi pada pasien An. I sudah sesuai dengan penatalkasanaan penyakit kusta
Depkes RI 2012 tetapi belum mencapai kerasionalan pengobatan akibat dari pemilihan
pasien dengan spesifik obat dan dosis yang kurang tepat karena tidak tercantumnya umur
pasien di resep obat.
B. Saran
Diperlukan skrining resep yang lebih akurat dan tepat agar pasien dapat menerima regimen
pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi. Tindak lanjut pasien juga harus dilakukan berupa Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengikuti regimen
pengobatannya.

31

DAFTAR PUSTAKA
1. DEPKES RI. Pedoman Pemantaun Terapi Obat. Jakarta: Direktorat Binfar Komunitas dan
Klinik Ditjen Binfar dan Alkes Depkes RI. 2009.
2. DEPKES RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2012.
3. http://pionas.pom.go.id diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pkl. 2018 WIB.
4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2012.
5. Martindale The Complete Drug Reference 36th. 2009. London : The Pharmaceutical Press.
6. IAI. Informasi Spesialite Obat (ISO). Volume 49. Jakarta: IAI. 2014.

32

You might also like