Professional Documents
Culture Documents
PENYAKIT KUSTA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga TUGAS KHUSUS ini dapat terselesaikan. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabatsahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Tugas khusus Penyakit Kusta disusun untuk membahas mengenai kusta, jenis-jenis
kusta, terapi untuk masing-masing jenis kusta dan menganalisis resep pada terapi kusta. Penulis
berharap agar pembahasan Penyakit Kusta ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa PKPA
khusunya dan bagi praktisi medis pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk
perkembangan yang lebih baik.
Jakarta,
Juni 2016
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Cover.....................................................................................................................
Kata Pengantar....................................................................................................
ii
Daftar isi...............................................................................................................
iii
Bab I Pendahuluan..............................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................
B. Tujuan...........................................................................................................
C. Manfaat.........................................................................................................
A. Definisi..........................................................................................................
B. Klasifikasi.....................................................................................................
C. Etiologi..........................................................................................................
D. Faktor Resiko................................................................................................
E. Patofisiologi..................................................................................................
F. Patogenesis....................................................................................................
G. Manifestasi Klinik.........................................................................................
10
H. Komplikasi....................................................................................................
10
I. Epidemologi..................................................................................................
11
J. Diagnosis.......................................................................................................
11
12
14
21
A. Skrining Resep..............................................................................................
22
B. Spesialite Obat..............................................................................................
23
27
Bab IV Pembahasan............................................................................................
28
31
Daftar Pustaka.....................................................................................................
32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki
peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah
patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik,
laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi,
kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO
merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data
pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan
sampai tujuan terapi tercapai.
Pada kasus ini dilakukan Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang
menerima obat dengan resiko tinggi seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada
pengobatan penyakit kusta merupakan prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada
kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap pasien An. I yang menderita penyakit kusta.
Kegiatan PTO terhadap pasien An. I diharapkan dapat mencegah munculnya masalah
terkait obat atau DRP (Drug Related Problem) dan tercapainya kerasionalan
pengobatan yang optimal.
B. Tujuan
Memastikan terapi pengobatan yang aman, efektif dan rasional bagi pasien melalui
kegiatan: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.
C. Manfaat
Sebagai salah satu sarana untuk menjalankan penerapan fungsi Apoteker dalam
pelayanan kefarmasian di Apotek.
BAB II
URAIAN TENTANG PENYAKIT
A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke
organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusa. Atas dasar definisi tersebut, maka
untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan
penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan
atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan
rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi
Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas:
a. tipe indeterminate
b. tipe tuberkuloid
c. tipe lepromatosa
d. tipe borderline (dimorphous).
2. Klasifikasi Ridley & Jopling
Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang
sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita
sampai pada kekebalan yang tinggi. Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik,
bakteriologik, histopatologik, dan imunologik. Menurut klasifikasi ini terdapat 5
(lima) tipe klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan
yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid
borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).
Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil
dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar
lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline
lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan
imunitas yang lebih.
3. Klasifikasi WHO
Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh
WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi
dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi
menjadi 2 (dua) tipe yaitu:
a. Tipe Pause - Basiler (PB)
Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT
dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
b. Tipe Multi Basiler (MB)
Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi
Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling
Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikan sebagai
kusta MB, begitupun sebaliknya. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam
penentuan klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut:
C. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M.leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen
tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang
ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan
ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna
merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecahpecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).
D. Faktor Resiko
1. Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan
karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,
mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan
kesehatan juga menurun kemampuannya.
Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus
kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari
jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta
5
Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara
lain faktor lingkungan dan faktor biologis.
Tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok.
Penelitian yang
E. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan
genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari Mycrobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa
menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat
dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun
telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah
ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada
kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri
di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya
bakteri. Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum
8
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah
non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah
3-5 tahun.
F. Patogenesis
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala
dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20
tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya.
Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak
orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta.
Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di
perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit
dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk
dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann
yaitu laminin -2 G receptor sejenis -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut
merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis
fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu
berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel
schwann.
Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta
dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua)
aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit
dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated
Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak
mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim
dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.
Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh
basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta
seperti tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe
Borgerline-Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe LepromatousLepromatous (LL).
G. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki,
pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan
hilangnya rasa tusukan. Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan
sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada
tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica,
penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya
timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler
(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu:
1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.
2. Adanya gangguan sensasi kulit.
3. Penebalan saraf tepi.
4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.
H. Komplikasi
Kusta dengan komplikasi ialah reaksi kusta yang dapat menyebabkan kerusakan saraf
dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut; kehilangan sensibilitas dan kehilangan
kekuatan otot, dengan akibat ulserasi dan deformitas. Terdapat 2 tipe reaksi kusta
dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu:
1. Reaksi Reversal (RR) Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan
eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan
peningkatan gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.
2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL) mempunyai bentuk karakteristik,
berupa nodul-nodul eritematosa yang terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien
umumnya merasa sakit. Sarafpun dapat nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis,
limfadenitis, orkitis, iridosiklitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan
kebutaan. Keterlibatan berbagai organ tersebut dapat terjadi terpisah atau secara
bersamaan pada kusta dengan komplikasi.
10
I. Epidemiologi
Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih bersifat misterius, yang diketahui
hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput lendir hidung.
Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal):
1. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae
2. Daya tahan tubuh penderita
Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:
1. Usia
Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita (karena
kontak lebih banyak pada laki-laki)
3. Ras
Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit kusta
dibanding dengan Eropa
4. Keadaan sosial ekonomi
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat sosial
ekonominya rendah
5. Lingkungan
Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta
sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai
puluhan tahun.
J. Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu diacri tanda-tanda utama tau tanda
kardinal (cardinal signs), yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi. (neuritis
perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paraselis)
otot
11
12
3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
b. Cacat sekunder
1. Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf
sensorik, motorik, dan otonom
2. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan
berjalan dan mudah terjadinya luka
3. Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan
terjadinya kreatitis
4. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya
elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.
14
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 5 blister yang diminum selama 6-9
bulan.
2) Pasien multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (Obat diminum di depan petugas )
-
1 tablet lampren 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218 bulan.
15
1 tablet dapson/DDS 50 mg
1 tablet dapson/DDS 50 mg
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 1218 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
-
Lampren : 1 mg/kgBB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunkan tabel
sebagai berikut :
16
17
2. Uraian Obat
MDT tersedia dalam bentuk bliser. Ada empat macam blister untuk PB dan MB
dewasa serta PB dan MB anak
a) DDS (dapson)
-
c) Rifampisin
-
Sediaan berbentuk kaspusl 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 60 mg.
Bersifat bakterisidal; 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemeberian
4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengoabatan hanya dengan dua
macam obat saja, yaitu rifampisisn dan lampren sesuai dosis dan jangka waktu
pengobatan MB
4. Efek Samping dan Penanganannya
20
BAB III
TINJAUAN KASUS
21
A. Skrining Resep
A. Persyaratan Administratif
No.
Komponen
1.
Nama Dokter
dr. Eviana Sri Sundari
2.
Tanggal
30-05-2016
3.
Tanda R/
Ada
4.
Nama Bahan
Cetirizine No. V
Hidrocortison No. 1
MDT MB anak No. 1
5.
Cara pemakaian
S. 2 dd . Pc
(Signa)
S.U.E
S.U.C
6.
Paraf Dokter
Tidak ada
Keterangan
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Lengkap
Tidak
Lengkap
7.
Nama Pasien
An. Inosensius Subaris
Umur
Tidak ada
Tidak
Lengkap
BB/TB
Tidak ada
Alamat
Tidak ada
B. Persyaratan Farmasetik
1.
Bentuk sediaan
Sesuai
2.
Dosis
Sesuai
3.
Stabilitas
Suhu sejuk dan tempat kering
4.
Inkompatibilitas
Tidak ada
5.
Cara pemberian
Oral dan topikal
6.
Lama pemberian
Tidak ada
C. Persyaratan Klinis
1.
Alergi
Tidak ada
2.
Efek samping
Air seni berwarna merah, masalah gastro intestinal,
anemia
3.
Interaksi
Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP,
antikolinergik, antidepresan trisiklik, penghambat MAO
4.
Kesesuaian (dosis,
Sesuai
durasi, jumlah obat)
22
B. Spesialite Obat
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Efek Samping
Interaksi Obat
Dosis
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Efek Samping
Peringatan
Dosis
Cetirizine
Setirizin HCl 10mg
Rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus,
urtikaria idiopati kronis.
Pasien koma, serangan akut asma, bayi prematur
Gangguan saluran cerna, efek antimuskarinik, kelemahan otot,
tinnitus, reaksi alergi, kelainan darah, pengaruh kardiovaskuler atau
SSP, sakit kuning, fotosensitivitas, injeksi intramuskular
kemungkinan menyebabkan rasa sakit; lihat juga keterangan di atas
Antihipertensi, fenotiazin, alkohol, depresan SSP, antikolinergik,
antidepresan trisiklik, penghambat MAO
Oral: 25 mg, malam hari, bila perlu dinaikkan sampai 50 mg, atau
10-20 mg 2-3 kali/hari. Anak di bawah 2 tahun tidak dianjurkan; 25 tahun, 5-15 mg/hari, 5-10 tahun 10-25 mg/hari
Hidocortison
Hidrokortison 2,5%
Menekan reaksi radang pada kulit yang bukan disebabkan infeksi
seperti eksim dan alergi kulit seperti : dermatitis atopi, dermatitis
kontak, dermatitis alergik, pruritus anogenital dan neurodermatitis
Hydrocortisone sebaiknya tidak diberikan pada penderita:
Penyakit kulit karena virus atau tuberkulosis, akut rosasae,
skabies, dermatitis perioral, tinea, pemakaian lama atau daerah
yang luas pada kehamilan.
Penderita yang hipersensitif.
Herpes simplex, vaccinia dan varicella, infeksi jamur.
Rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi sekunder
Hati-hati penggunaan Hydrocortisone pada jangka waktu yang
lama, area kulit yang luas, wanita hamil, bayi dan anak berusia
di bawah 4 tahun.
Hindari kontak dengan mata, membrane mukosa, dan kulit yang
sensitive / rusak
Tanyakan kepada dokter anda mengenai dosis dan aturan pakai
Hydrocortisone.
Dosis yang umum diberikan : oleskan 2 3 kali sehari pada kulit
yang sakit.
23
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Efek Samping
Peringatan
Dosis
Dapson
Diaminodiphenylsofone/DDS 100 mg
Lepra, dermatitis herpetiformis
(tergantung dosis, jarang terjadi pada dosis lazim), hemolisis,
metamoglobinemia, neuropati, dermatitis alergika (kadang-kadang
nekrolisis epidermal toksik dan sindrom Stevens-Johnson),
anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, insomnia, anemia, hepatitis,
agranulositosis; sindrom dapson (ruam dengan demam dan
eusinofilia) segera hentikan obat (dapat berlanjut menjadi dermatitis
eksfoliatif, hepatitis, hipoalbuminemia, psikosis dan kematian).
- Terhadap Kehamilan : Penggunaan obat pada trimester ke 3
menyebabkan neonatal haemolysis dan methaeoglobinemia;
asam folat 5 mg sehari harus diberikan pada ibu hamil. Faktor
risiko : C
- Terhadap Ibu Menyusui : Anemia hemolitik; walaupun jumlah
obat dalam air susu signiifikan; risiko pada bayi sangat kecil
kecuali jika bayi mengalami defisiensi G6DP (BNF 50). Dapson
terdistribusi dalam air susu ibu jadi tidak direkomendasikan
untuk ibu menyusui
- Dewasa: 100 mg/hari
Berat badan < 35 kg: 50 mg/hari
- Anak 10 14 tahun: 50 mg/hari
- Anak 5 9 tahun: 25 mg/hari
Catatan: pemberian Dapson untuk terapi lepra/kusta dikombinasikan
bersama obat lain seperti rifampisin dan klofazimin/lampren dan
disesuaikan dengan jenis kusta tipe PB (Pauci Bacillery) atau MB
(Multi Bacillary)
24
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Kontra Indikasi
Efek Samping
Peringatan
Dosis
Lampren
Klofazimin 100 mg
Lepra/kusta
- Wanita hamil terutama trimester I
- Penderita gangguan hati dan ginjal
Perubahan warna kulit menjadi kemerah-merahan sampai coklat
gelap yang bersifat sementara, enteropati eosinofilik dan
penyumbatan usus besar, perubahan warna pada konjungtiva
(selaput ikat mata), pigmentasi makula, penglihatan suram, infarksi
splenik, limfadenopati, reaksi kulit.
- Hindari pengobatan jika mungkin pada pasien dengan nyeri
perut, diare, kerusakan hati atau ginjal.
- Pengobatan dengan dosis harian lebih dari 100 mg.
- Tidak boleh digunakan lebih dari 3 bulan.
- Muntah-muntah atau diare yang bersifat menetap - pasien harus
dirawat di rumah sakit.
- Depresi akibat perubahan warna kulit.
- Hamil, menyusui.
- Dewasa: 300 mg/bulan
- Anak 10 14 tahun: 150 mg/bulan
- Anak 5 9 tahun: 100 mg/bulan
Catatan: pemberian Lampren untuk terapi lepra/kusta khusus untuk
tipe multibasiler (MB) dikombinasikan bersama obat lain yaitu
rifampisin dan dapson.
25
Nama Obat
Komposisi
Indikasi
Efek Samping
Interaksi Obat
Peringatan
Dosis
Rifampicin
Tiap kaplet salut selaput mengandung rifampisin 450 mg
untuk
pengobatan
tuberkulosis
yang
disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosisdalam kombinasi dengan obat
antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra
untuk pengobatan lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi
keadaan noninfeksi
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare;
pada terapi intermiten dapat terjadi sindrom influenza, gangguan
respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik,
anemia, gagal ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan
fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan sistem saraf
pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah
otot, psikosis. Efek samping lain seperti udem, kelemahan otot,
miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna
kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya;
tromboplebitis pada pemberian per infus jangka panjang.
peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan ketokonazol,
berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors dan protease inhibitors).
Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS (Kinetic
Interaction of Microparticles in Solution)
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji
fungsi hati dan hitung sel darah pada pengobatan jangka panjang;
gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600
mg/hari) lihat Lampiran 3; kehamilan dan menyusui lihat Lampiran
4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan kontrasepsi
oral dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat
mengubah warna lensa kontak, menyebabkan warna kemerahan
pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu syndrome,
sesak napas, syok anafilaksis
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah
450 mg, BB >50kg adalah 600mg (pasien dengan gangguan fungsi
hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai
dosis harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg).
Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson
100mg satu kali sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali
sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan selama 2
tahun.
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson
100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari dengan durasi pengobatan 6
bulan.
26
Apa yang dokter sampaikan tentang bagaimana cara pakai obat anda?
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi dengan dokter yang
mengakibatkan kebingungan pada pasien atas informasi yang diberikan.
2. Setelah mendapatkan jawaban, resep diskrining dan dianalisa, apabila ditemukan
kesalahan penulisan resep sebaiknya langsung dikonfirmasikan kepada dokter
3. Cek persediaan obat di apotek
4. Hitung harga obat yang harus dibayarkan oleh pasien
5. Pemberian informasi awal hasil skrining resep dan harga resep, untuk meminta
persetujuan pasien agar resep dapat disiapkan
6. Obat disiapkan :
7. Penulisan etiket, lengkap dengan nama pasien, tanggal pemberian, dan aturan pakai
yang harus ditulis secara jelas, terbaca dan
Berikan informasi obat kepada pasien mengenai jumlah obat, cara pemakaian, cara
penyimpanan.
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Kegiatan Apoteker dalam melaksanakan PTO (Pemantauan Terapi Obat) di Apotek
merupakan salah satu penerapan peran Apoteker sebagai profesional dalam pelayanan
kefarmasian. Keberadaan Apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat (DRP/Drug Related Problem). Pada umumnya pasien yang mendapatkan
terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan
penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya
masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi
untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
Pada kasus ini dilakukan PTO pada pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Pasien
diberikan 3 resep yaitu cetirizin, hidrokortison cream, MDT MB anak.
Pemberian obat cetirizin dengan regimen 2 x tablet sehari selama 2-3 hari diindikasi
untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Penggunaan cetirizin harus dikonsumsi
setelah makan karena pemberian sebelum makan dapat mengalami gangguan gastrointestinal.
Obat hidrokortison cream pada kasus ini digunakan untuk menekan reaksi radang pada
kulit berupa bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh, bercak yang tidak
gatal dan Kulit mengkilap, adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut,
lepuh tidak nyeri yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penggunaan
hidrokortison tidak boleh digunakan dalam jangka waktu yang lama karena dapat
menyebabkan efek samping seperti rasa terbakar, gatal, kekeringan, atropi kulit, infeksi
sekunder.
Pemberian obat cetirizin dan hidrokortison cream tersebut merupakan pengobatan
supportif pada penyakit kusta yaitu dengan tujuan untuk meringkankan gejala yang dialami
pasien
Pengobatan untuk penyakit kusta pasien mendapatkan MDT (Multi Drug Therapy) MB
(Multibasilar), akan tetapi pada resep tidak dicantumkan umur pasien sehingga pengobatan
diberikan berdasarkan penatalaksanaan untuk penyakit kusta (Depkes RI, 2012) yaitu:
Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)
-
1 tablet dapson/DDS 50 mg
28
1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.
Bagi anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
-
Lampren : 1 mg/kgBB
29
30
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang menerima obat dengan resiko tinggi
seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada pengobatan penyakit kusta merupakan
prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap
pasien An. I yang menderita penyakit kusta. Kegiatan PTO terhadap pasien An. I
diharapkan dapat mencegah munculnya masalah terkait obat atau DRP (Drug Related
Problem) dan tercapainya kerasionalan pengobatan yang optimal.
Proses terapi pada pasien An. I sudah sesuai dengan penatalkasanaan penyakit kusta
Depkes RI 2012 tetapi belum mencapai kerasionalan pengobatan akibat dari pemilihan
pasien dengan spesifik obat dan dosis yang kurang tepat karena tidak tercantumnya umur
pasien di resep obat.
B. Saran
Diperlukan skrining resep yang lebih akurat dan tepat agar pasien dapat menerima regimen
pengobatan yang sesuai dengan kondisi pasien.
Kerjasama dengan tenaga kesehatan lain diperlukan untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan terapi. Tindak lanjut pasien juga harus dilakukan berupa Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE) yang tepat untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengikuti regimen
pengobatannya.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. DEPKES RI. Pedoman Pemantaun Terapi Obat. Jakarta: Direktorat Binfar Komunitas dan
Klinik Ditjen Binfar dan Alkes Depkes RI. 2009.
2. DEPKES RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2012.
3. http://pionas.pom.go.id diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pkl. 2018 WIB.
4. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2012.
5. Martindale The Complete Drug Reference 36th. 2009. London : The Pharmaceutical Press.
6. IAI. Informasi Spesialite Obat (ISO). Volume 49. Jakarta: IAI. 2014.
32