You are on page 1of 9

Kasus 4

Topik: Demam Tifoid


Presenter : dr. Sakena Nurza
Tanggal (kasus): 10 Desember 2012

Pendamping : dr. Syamsidar Sp. S


dr. Nazirah, MPH

Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Diagnostik
Neonatus

Keterampilan
Manajemen

Penyegaran
Masalah

Tinjauan Pustaka
Istimewa

Remaja
Dewasa
Lansia
Anak
Deskripsi : Anak, 7 tahun, panas tinggi, demam tifoid
Tujuan: menangani demam tifoid, pencegahan dan penanganan komplikasi, memperbaiki kualitas hidup pasien.
Bahan bahasan:
Tinjauan Pustaka
Riset
Kasus

Bumil

Bayi

Audit

Cara membahas:
Diskusi
Presentasi dan diskusi
Email
Pos
Data pasien:
Nama: M. Alfarisi
Nomor Registrasi: 239292/12
Nama klinik: RSUD dr.Fauziah
Telp: Terdaftar sejak: 10 Desember 2012
Bireun
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Demam tifoid, panas tinggi, mual, nyeri ulu hati, muntah, tidak BAB, keadaan umum tampak sakit
2. Riwayat Pengobatan: pasien sudah ke klinik pengobatan setempat.
3. Riwayat kesehatan/penyakit: Pasien belum pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat keluarga:
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Ayah dan Ibu pasien tidak sedang mengalami sakit yang sama
5. Riwayat pekerjaan: Siswa
6. Riwayat Kebiasaan : Pasien sering jajan makanan di luar rumah.
Daftar Pustaka:
a. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
b. Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008.

c. Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004.
d. Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan Infomedika, 2005
e.Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007.
f. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003.
g. Hartoyo E, Yunanto A, Budiarti L. UJi sensitivitas salmonella typhi terhadap berbagai antibiotik di bagian anak RSUD Ulin
Banjarmasin. Sari Pediatri. September 2006.
h. Concise Reviews of Pediatrics Infectious Diseases. Management of Typhoid Fever in Children. February 2002.
i. NN. Demam tifoid. Available from: http://www.medicastore.com
j. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deterding RR. Current pediatrics diagnosis & treatment., 18th ed. USA, 2007
k. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB. Pedoman imunisasi di Indonesia, ed 2. Jakarta : Badan Penerbit
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005.
l. Retnosari S, Tumbelaka AR. Pendekatan diagnostik serologik dan pelacak antigen salmonella typhi. Sari Pediatri. 2000.
m. World Health Organization. Backgroud Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Geneva: WHO,
2003. Available from: http://www.who.int/vaccines-documents/ .
n. Zulkarnain I. Patogenesis demam tifoid. Jakarta : Pusat informasi & penerbitan bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2000.
Hasil pembelajaran:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Definisi demam tifoid


Etiologi demam tifoid
Faktor resiko demam tifoid
Manifestasi klinis demam tifoid
Diagnosis demam tifoid
Pemeriksaan widal test
Penatalaksanaan demam tifoid
Pencegahan demam tifoid

Rangkuman
1. Subjektif:
Pasien datang dengan keluhan panas tinggi sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas timbul mendadak tinggi hingga 390C, bersifat
naik turun dan panas mulai meninggi ketika sore menjelang malam hari. Pasien tidak mengeluh nyeri sendi, tidak ada mimisan atau gusi
berdarah dan tidak timbul bintik merah pada kulit. Pasien juga mengeluh mual, nyeri ulu hati, dan muntah. Pasien juga mengeluh belum
buang air besar sejak 3 hari yang lalu.
2. Objektif:
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat demam tifoid. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan:
Gejala klinis ( panas tinggi, mual, nyeri ulu hati, muntah, tidak buang air besar selama 3 hari)
Pemeriksaan fisik (lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tidak ada tremor lidah)
Hasil Lab yang menunjang :
Widal test : titer O =1/320
titer AO =1/160
titer BO=1/160
titer CO=1/320
titer H=1/80
titer AH=1/80
titer BH=1/80
titer CH= 3. Asessment (penalaran klinis):
Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah
illeosekal) dengan gejala demam selama 7 hari atau lebih, gangguan saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran.
Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat
bervariasi, namun gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, (3) gangguan
kesadaran. Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam
hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam pada pasien demam tifoid disebut step ladder

temperature chart yang ditandai dengan demam timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila
terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti
kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran.
Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia,
malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan
gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare
hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak makulopapular)
berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama
dan awal minggu kedua, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu,
gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi. Diagnosa ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis:

Pasien demam 7 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam turun pagi harinya

Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan konstipasi

Pasien sering jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas kebersihannya
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung meningkat pada masyarakat dengan standar hidup dan

kebersihan yang rendah. 96 % kasus demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 91 %
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Kelompok penyakit menular ini merupakan

penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat pencucian tangan yang kurang bersih setelah
buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan ( oro-fecal ). Oleh karena
itu sering jajan makanan dan minuman di luar rumah yang tidak jelas kebersihannya merupakan faktor resiko terjadi demam tifoid.
Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :

Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, keadaan umum yang sedang, tanpa gangguan kesadaran

Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada pinggirnya, tremor (-)

Hasil Lab yang menunjang :


Widal test : titer O =1/320
titer AO =1/160
titer BO=1/160
titer CO=1/320
titer H=1/80
titer AH=1/80
titer BH=1/80
titer CH= Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan
Salmonella paratyphi C. Jika penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi.
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji Widal yang telah digunakan sejak
tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk membuat
diagnosis demam tifoid.
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk
membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan
yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya
bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat
imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari

kuman.
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai
peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak
antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan
antibodi bersilangan dengan kultur darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih banyak dijumpai
sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti H menetap selama beberapa tahun. Adanya
demam oleh sebab lain dapat menimbulkan reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O lebih
bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H. Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik
dijumpai peningkatan titer antibodi akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu diketahui titer
antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat disebabkan antibodi belum terbentuk karena
spesimen diambil terlalu dini atau antibodi tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk,
agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan
dini, akan menyebabkan titer antibodi tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.15
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman Salmonella typhi ( karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab tidak spesifik,
dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
- semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu
diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B).

- semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
- titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.
Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi
dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini
menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat
antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar (15% lebih) tidak terjadi
kenaikan titer O bermakna.
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi antibiotik sebelumnya. Spesifisitas
pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang
dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.
4. Plan:
Diagnosis:
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
(1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui biakan kuman dari spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja,
cairan duodenum dan rose spot,
(2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen,
(3) pemeriksaan melacak DNA kuman S. Tyhpi
Diagnosis demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari.
Biakan darah positif pada 40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan biakan feses atau urin akan positif setelah
minggu pertama. Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif.
Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam typhoid. Hal ini disebabkan
karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, antara lain (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan
media empedu, (3) waktu pengambilan darah.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan kultur darah karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengetahui hasilnya dan
pemeriksaan melacak DNA tidak dilakukan karena biaya yang mahal dan fasilitas rumah sakit yang terbatas.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif pada serologi Salmonella typhi O dan Salmonella
paratyphi CO sebesar 1/320.
Pengobatan:
1. Tirah baring
2. Diet tinggi kalori tinggi protein.

Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan
tingkat kekambuhan penderita. Banyak penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini mengakibatkan
keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan
makanan padat dini yang wajar sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas ternyata dapat
diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori, protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta
diusahakan makan yang rendah/bebas selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran maka
pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan padat dini banyak memberikan keuntungan seperti dapat
menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam
serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama perawatan.
3.Paracetamol 3 x 250 mg
4. Pemberian antibiotik ceftriaxone 500 mg/12 jam
Antimikroba yang sering digunakan :

Kloramfenicol

Ceftriaxone

Ampicilin

Amoxicylin

Cefixime

Cotrimoksazole

Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap

digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum
ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Di lain
pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik),
Grey Syndrome, kolaps serta tidak bermanfaat untuk pengobatan karier. Ceftriaxone Lebih aman dari Kloramfenikol dan merupakan drug of
choice jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol
Pendidikan: dilakukan pada keluarga pasien untuk membantu kualitas hidup pasien dan mencegah komplikasi demam tifoid.
Edukasi yang diberikan terutama tentang ajuran untuk istirahat dan mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik
sampai 5 hari bebas demam. Edukasi tentang kebersihan diri dan makanan juga diberikan agar penyakit ini tidak menular dan menjadi
suatu wabah
Konsultasi: Dijelaskan perlunya konsultasi dengan Spesialis Anak untuk memantau perawatan dan faktor komplikasi demam tifoid.
Penjelasan mengenai kemungkinan relaps dan prognosis pasien.

You might also like