You are on page 1of 35

Presentasi Kasus Bedah Anak

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 2 BULAN


DENGAN ATRESIA BILIER

Oleh :
Sarah Nadya Roosana
G99142104

Periode : 18 April 12 Juni 2016


Pembimbing:
dr. Nunik Agustriani, Sp.B, Sp.BA.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
STATUS PASIEN

A.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: An. H

Umur

: 2 bulan

Pekerjaan

:-

Agama

: Islam

Alamat

: Pabongan, Karanganyar

Tanggal masuk

: 11 April 2016

Tanggal Pemeriksaan : 18 April 2016


No. RM
B.

: 013353xx

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kuning di seluruh tubuh
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan dari TS pediatri dengan kolestasis
ekstrahepatal dd intrahepatal.
Alloanamnesis didapatkan dari ibu dan ayah pasien dengan
keluhan utama tampak kuning sejak usia 1 bulan, semakin lama semakin
bertambah kuning, awalnya kuning tampak di mata kemudian di seluruh
badan. BAB lancar dengan frekuensi 1-2 kali/hari, konsistensi lunak dan
berwarna putih (seperti dempul). BAB berwarna putih di alami pasien
sejak lahir. BAK berwarna gelap seperti teh juga dialami pasien sejak
lahir. Ibu pasien juga mengeluhkan perut pasien yang membesar sejak
satu bulan yang lalu, nafsu makan pasien menurun, dan lebih sering
rewel dibandingkan dengan sebelumnya. Pasien tidak disertai demam,
mual muntah dan batuk pilek.
Sebelumnya anak telah dibawa berobat ke RS PKU Surakarta
namun tidak ada perbaikan, kemudian pasien berobat ke klinik dokter
dan dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi dengan keterangan prolong ikterik.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa

: disangkal

Riwayat operasi
Riwayat trauma
Riwayat mondok
Riwayat alergi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: belum diketahui

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa

: disangkal

Riwayat penyakit bawaan : disangkal


Riwayat sakit kuning

: disangkal

5. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu G3P2A0 pada usia kehamilan 39 minggu lahir
secara normal pervaginam di bidan. Saat lahir APGAR 7-8-9, ketuban
jernih, tidak berbau, pasien menangis kuat (+)
Panjang badan

: 48 cm

Berat badan lahir

: 4000 gram

6. Riwayat Kehamilan
Riwayat Ibu ANC
Riwayat keguguran
Riwayat Ibu sakit saat hamil
Riwayat konsumsi jamu saat hamil
Riwayat sakit kuning saat hamil

: rutin di bidan setempat


: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

7. Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah mendapatkan imunisasi sejak lahir.
C.

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum

: Compos mentis, menangis

kuat, gerak aktif, berat bayi


2. Vital Sign
3

Temperature

: 36,3 C

Respiration Rate : 34x/ menit

Heart Rate

: 130x/ menit

Saturasi O2: 98 %

3. Kulit :

Kulit

tampak

ikterik,

kering

(-),

hiperpigmentasi (-)
4. Kepala

: mesocephal
5. Mata : konjungtiva anemis (-/-), air mata (+/+),
sklera ikterik (+/+)

6. Telinga

: sekret (-/-), darah (-/-)


7. Hidung

: bentuk simetris, nafas cuping

hidung (-), sekret (-), darah (-)


8. Mulut

: mukosa basah (+), sianosis (-), jejas (-)

9. Leher

: pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-)

10. Thoraks

: bentuk normochest, retraksi (-)

11. Jantung
a. Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

b. Palpasi

: ictus cordis kuat angkat

c. Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar


d. Auskultasi

: bunyi jantung I-II intensitas

normal reguler, bising (-)


12. Pulmo
a. Inspeksi

: pengembangan dada kanan sama dengan kiri

b. Palpasi

: fremitus raba kanan sama dengan kiri

c. Perkusi

: sonor/ sonor

d. Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)

13. Abdomen
a. Inspeksi

: dinding perut lebih tinggi daripada

dinding dada
b. Auskultasi

: bising usus (+)

c. Perkusi

: timpani
d. Palpasi

: supel, hepar 2 cm bawah arcus

costae dekstra abdomen distended (+)

14. Genitourinaria

: anus (+), urin (+), BAK darah (-)

15. Ekstremitas

: Capillary refill time kurang dari 2 detik, arteri

dorsalis pedis (+) teraba kuat


Akral dingin

Oedema

- - -- - -

D.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium darah (11/4/2016)

1. Pemeriksaa

2. Hasil

3. S

4. Rujuka

t
u
a
n
5. Hematologi
Rutin
9. Hemoglobin

6.
10. 9.4

7.

8.

11. g

12. 9.4

13.0

d
13. Hematokrit
17. Leukosit

14. 27
18. 11.1

L
15. %
19. r
i

16. 28 42
20. 5.0
19.5

b
u
/

21. Trombosit

22. 612

l
23. r
i

24. 150
450

b
u
/

25. Eritrosit

26. 2.97

l
27. j
u

28. 3.10
4.30

t
a
/

l
29. Indeks
Eritrosit
33. MCV

30.

31.

32.

34. 89.2

35. /

36. 80.0

u
37. MCH

38. 31.6

m
39. p

41. MCHC

42. 35.5

g
43. g
/
d

96.0
40. 28.0
33.0
44. 33.0
36.0

3. Pemeriksaan laboratorium darah (13/4/2016)

101.

Pemeri

ksaan

102.
Hasil

103.
Satua

105.

Hemato

106.

n
107.

logi
109.

PT

110.

111.

13.8

104.

ujukan
108.
112.

detik

1
0.0
15.0

113.

APTT

114.
36.0

115.

116.

detik

2
0.0
40.0

117.

INR

118.

119.

120.

121.

Kimia

1.130
122.

123.

124.

Klinik
125.
Glukosa

126.

127.

128.

darah sewaktu
129.
SGOT

119
130.

mg/dl
131.

0 80
132.
<

133.

SGPT

130
134.

u/l
135.

136.

137.

Bilirubi

129
138.

u/l
139.

140.

n total

8.37

31
<
34

mg/dl

0
.00
1.00

141.

Albumin

142.

143.

144.

145.

Elektrol

3.7
146.

g/dl
147.

.8 5.4
148.

it
149.

Natrium

150.

151.

152.

darah
153.

133
Kalium

darah
157.
darah

154.
4.4

Chlorida

158.
108

mmol

29

/l
155.

147

mmol
/l
159.

156.

.6 6.1
98 106

mmol
/l

5.
6. Pemeriksaan urinalisa (13/4/2016)
7. Pemeriksaan

8. Has
il

9. Sa

10. Rujukan

tu

11. Makroskopis
15. Warna

12.
16. Kun

an
13.
17.

19. Kejernihan

ing
20. Cle

21.

22.

23. Kimia urin


27. Berat jenis

ar
24.
28. 1.01

25.
29.

26.
30. 1.015-

31. Ph
35. Leukosit

4
32. 6.0
36. Neg

33.
37. /uI

1.025
34. 4.5-8.0
38. Negatif

39. Nitrit

atif
40. Neg

41.

42. Negatif

43. Protein

atif
44. Neg

45. m

46. Negatif

atif

g/

48. Nor

dl
49. m

mal

g/

52. Neg

dl
53. m

atif

g/

56. Nor

dl
57. m

mal

g/

60. Neg

dl
61. m

atif

g/

64. Neg

dl
65. m

atif

g/

47. Glukosa

51. Keton

55. Urobilinogen

59. Bilirubin

63. Eritrosit

14.
18.

50. Normal

54. Negatif

58. Normal

62. Negatif

66. Negatif

67. Mikroskopis
71. Eritrosit
75. Leukosit

68.
72. 8.5
76. 0.2

dl
69.
73. /uI
77. /

70.
74. 0-8.7
78. 0-12

L
P
79. Epitel

80. 1-2

squamous

B
81. /

82. Negatif

L
P

83. Epitel

84. -

transisional

B
85. /

86. Negatif

L
P

87. Epitel bulat

88. -

B
89. /

90. Negatif

L
P
91. Silinder
95. Hyaline

92.
96. 0

B
93.
97. /

94.
98. 0-3

L
P
99. Granulated

100.

K
101.

103.

Lekosit

104.

/LPK
105.

106.

gatif
Ne

107.

Bakteri

108.

/LPK
109.

110.

gatif
0.0

Kristal

12257.1
112.

/uI
113.

-2150.0
114.
0.0

Yeast

0.3
116.

/uI
117.

0-0.00
118.
0.0

like cell
119.
Small

0.0
120.

/uI
121.

122.

111.
115.

102.

Ne

-0.0
0.0

10

round cell
123.
Mukus

0.0
124.

/uI
125.

127.

0.00
128.

/uI
129.

vitas

Kondukti

3.9

m5/c

126.

-0.0
0.0

0-0.00
129.1

32.0

m
130.
131.
USG Abdomen (Hepar), Lien, Pankreas, Ginjal (12/4/2016)
132.

11

133.

12

134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.

Kesimpulan:
Hepatosplenomegali
Tak tampak GB di fossa GB sesuai gambaran atresia bilier

MRI Abdomen atas dengan kontras (12/4/2016)

13

145.

14

146.

147.

15

148.

149.

16

150.
151. Kesimpulan :
152. Hepatosplenomegali
153. GB dan sistema bilier tidak tervisualisasi sesuai gambaran atresia
bilier
154.
E.

ASSESMENT
155.

Atresia bilier

156.
F.

PLANNING
1.

Pro Cholangiografi dan Kassai procedure

2.

Cek laboratorium bilirubin, SGOT, SGPT, PT, APTT, elektrolit

3.

Terapi lain sesuai TS pediatri

4.

Awasi KUVS
157.
158.

INSTRUKSI PRE OPERASI:

1. Informed Consent
2. Daftar OK IBS

17

3. Konsul kardiologi anak dan anestesi


4. Antibiotik profilaksis sesuai program
5. Puasa 6 jam pre operasi
159.
160.

LAPORAN OPERASI

1. Tempat dan Tanggal Operasi:


161.

OK IBS RS Dr Moewardi, 14 April 2016

2. Tim Operasi
162.

Leader : dr. Suwardi, Sp.BA

163.

Asisten : dr. Suryo, dr. Terry

164.

Perawat : Kusnanto

3. Tim Anestesi
165.

Leader : dr. Septian, Sp.An

166.

Asisten : dr. Diana

167.

Perawat : Sugeng

168.

Jenis Anestesi : GA

4. Diagnosa Pre-operasi:
169.

Ikterik e.c Obstruktif jaundice

5. Diagnosa Post operasi:


170.

Atresia bilier

6. Nama Tindakan:
171.
Kassai Prosedur
7. Prosedur:

Pasien diposisikan supinasi dengan General Anastesi. Toilet medan


operasi dan tutup dengan duk steril berlubang

Insisi tranversal infraumbilicalis sepanjang 2 jari, perdalam lapis


demi lapis sampai dengan peritoneum

Peritoneum dibuka, identifikasi hepar dan bilier. Atasi perdarahan,


evaluasi hepar

Reseksi ileum bagian proksimal, kemudian hubungkan ileum


proksimal ke bagian hepar, dan hubungkan ileum distal dengan
ileum proksimal (Roux en Y connection)

18

Pasang drain subsiatal

Jahit dengan simple interupted pada subkutis lapis demi lapis

Jahit kulit dengan jaringan subkutis

Operasi selesai
172.

173.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

INSTRUKSI POST OPERASI


Stabilisasi stabil pindah PICU
Inj. Ceftriaxon 125 mg/12 jam
Inj. Paracetamol 75 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Awasi KU/VS/Balance Cairan
Puasa 3 hari
NGT alirkan
Lain-lain lapor jaga bedah
174.
175.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

176.
A. Embriologi dan Anatomi Traktus Biliaris
177.

Cikal bakal saluran empedu dan hati adalah penonjolan

sebesar 3 mm yang timbul di daerah ventral usus depan. Bagian kranial


tumbuh menjadi hati, bagian kaudal menjadi pankreas, sedangkan bagian
sisanya menjadi kandung empedu. Dari tonjolan berongga yang bagian
padatnya kelak menjadi sel hati, tumbuh saluran empedu yang bercabangcabang seperti pohon di antara sel hati tersebut.3
178.

Kandung empedu berbentuk pir, kapasitas rata- rata 30-

50cc. Bagian fundus umumnya menonjol sedikit ke luar tepi hati, di bawah
lengkung iga kanan, di tepi lateral m. Rektus abdominis. Sebagian besar
korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati. Kandung empedu
tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung
empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peitoneum.3,4
179.

Duktus sistikus, dinding lumennya mengandung katup

berbentuk spiral Heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk


ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya.3
19

180.

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum

hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas


bawahnya distal papila vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik
berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang
meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus
lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus.3
181.

Duktus hepatikus kanan dan kiri, memiliki diameter 4 mm.

Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan


pankreas dan dinding duodenum membentuk papila vater yang terletak di
sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot
sfingter oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papila Vater, tetapi juga dapat terpisah.3,4
182.
183.

184.

Gambar Traktus Biliaris

B. Metabolisme Bilirubin

20

185. Bilirubin

berasal

dari

pemecahan

hemoglobin

di

sistem

retikuloendotelial. Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin.


Globin akan didegradasi menjadi asam amino dan akan kembali ke sirkulasi,
sedangkan heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi
biliverdin, Fe, dan karbon monoksida. Kemudian biliverdin akan direduksi
menjadi bilirubin indirek oleh biliverdin reduktase. Semua proses tersebut
terjadi di limpa. Bilirubin indirek kemudian dibawa ke hati melalui darah.
karena sifatnya yang tidak larut dalam air maka dibutuhkan ikatan dengan
albumin.1
186.

Di hati, bilirubin indirek di uptake oleh protein Y yang ada di

hepatosit kemudian dikonjugasikan dengan asam glukoronat oleh enzim


glukoronil transferase sehingga terbentuk bilirubin direk yang bersifat larut
dalam air. Bilirubin direk kemudian diekskresikan ke usus melalui sistem
bilier. Oleh bakteri usus, bilirubin direk adan diubah menjadi urobilinogen.
Sebagian besar urobilinogen akan dioksidasi menjadi sterkobilin dan
dikeluarkan bersama feses. Sisanya direarbsorbsi oleh sel- sel usus
kemudian dibawa ke hepar dan di reekskresi lagi ke usus, yang dikenal
sebagai siklus enterohepatik serta dibawa ke ginjal dan dioksidasi menjadi
urobilin yang kemudian dieksresikan bersama urin.1

21

187.

188.

Skema Metabolisme Bilirubin


189.

C. Definisi Atresia Bilier


190.

Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada

sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan

22

hambatan aliran empedu. Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi


penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk. Hanya tindakan
bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada
usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan
dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%.5
191.
192.

D. Epidemiologi
193.

Atresia biliaris merupakan penyebab tersering kolestasis pada bayi,

dengan prevalensi antara 1: 8000 di Asia sampai 1:18.000 di Eropa dari


kelahiran hidup. Menurut sumber lain insidensi dari atresia bilier bervariasi,
di negara- negara Eropa berkisar antara 5- 32 dari 100.000 kelahiran hidup.
Insiden terbesar terdapat di regio Asia dan Pasifik. Perempuan lebih banyak
dari laki- laki, Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
1,4 : 1. Atresia biliaris merupakan penyebab tersering kematian karena
penyakit hati dan indikasi utama transplantasi hati pada anak (lebih dari
50% kasus). 1, 2, 5
194.
E. Etiologi dan Patofisiologi
195. Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti.
Sebagian ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang
dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17,18 dan 21; serta
terdapatnya anomali organ pada 10

30% kasus atresia bilier. Namun,

sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses
inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.5
196. Patofisiologi atresia bilier juga belum diketahui dengan pasti.
Berdasarkan gambaran histopatologik, diketahui bahwa atresia bilier terjadi
karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan duktus bilier
ekstrahepatik mengalami kerusakan secara progresif. Pada keadaan lanjut
proses inflamasi menyebar ke duktus bilier intrahepatik, sehingga akan
mengalami kerusakan yang progresif pula.5

23

197. Kasai mengajukan klasifikasi atresia bilier sebagai berikut :


198. I.

Atresia (sebagian atau total) duktus bilier komunis, segmen

proksimal paten.
199. IIa. Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus bilier komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya normal).
200. IIb. Obliterasi duktus bilier komunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus. Kandung empedu normal.
201. III. Semua sistem duktus bilier ekstrahepatik mengalami obliterasi,
sampai ke hilus.
202. Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi
(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi
(non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10%
yang tergolong tipe I dan II. 5

203.
204. Gambar Klasifikasi Atresia Bilier
205.
F. Gambaran klinik
206. Atresia biliaris lebih banyak ditemukan pada bayi perempuan, lahir
dengan berat lahir normal dan cukup bulan, serta pertumbuhan normal pada
awal terjadinya penyakit. Terdapat ikterus berkepanjangan, feses akolik, dan
apabila sudah lanjut dapat dijumpai gagal tumbuh, pruritus, dan

24

koagulopati. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali.


Splenomegali, ascites dan tanda- tanda sirosis lain dapat ditemukan apabila
penyakit sudah sampai ke tahap lanjut.1
207. Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama
kolestasis neonatal adalah iktcrus, tinja akolik, dan urin yang berwarna
gelap. Namun, tidak ada satu pun gejala atau tanda klinis yang
patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik.
Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3- 5.
Kolestasis ekstrahepatik hampir selalu menyebabkan tinja yang akolik.
Sehubungan dengan itu sebagai upaya penjaring kasar tahap pertama,
dianjurkan melakukan pengumpulan tinja 3 porsi. Bila selama beberapa hari
ketiga porsi tinja tetap akolik, maka kemungkinan besar diagnosisnya
adalah kolestasis ekstrahepatik. Sedangkan pada kolestasis intrahepatik,
warna tinja dempul berfluktuasi pada pcmcriksaan tinja 3 porsi.5
208.
G. Pendekatan Diagnostik
209. Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat
sepenuhnya diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik
dan ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
210.

1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan

mengetahui fungsi hati (darah, urin, tinja);


211.

2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan

menilai parenkim hati;


212.

3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang


diagnosis atresia bilier.5

213.
214.

1) Pemeriksaan laboratorium
215. a) Pemeriksaan rutin
216. Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan
kadar

komponen

bilirubin

untuk

membedakannya

dari

25

hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah


tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk <
4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT> 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali,
lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya,
peningkatan SGOT< 5 kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali,
lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald,
kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier. 5
217. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total
atau bilirubin direk, dan alkali fosfatase mempunyai spesifisitas
92,9% dalam menentukan atresia bilier.5

Serum

bilirubin

(total

dan

langsung):

hiperbilirubinemia

Konjugasi, didefinisikan sebagai setiap tingkat baik melebihi 2


mg / dL atau 20% dari total bilirubin, selalu abnormal.
Menariknya, bayi dengan atresia empedu biasanya hanya
menunjukkan peningkatan moderat dalam bilirubin total, yang
umumnya 6-12 mg / dL, dengan langsung (konjugasi) fraksi yang
terdiri dari 50-60% dari total serum bilirubin.6

Alkaline phosphatase (AP), 5' nucleotidase, gamma-glutamyl


transpeptidase (GGTP), serum aminotransferases, serum bile
acids Alkaline phosphatase (AP), nucleotidase 5 ', transpeptidase
gamma-glutamil (GGTP), aminotransferases serum, serum asam
empedu6

Tes-tes ini telah diusulkan sebagai alat untuk meningkatkan


sensitivitas dan spesifisitas baik evaluasi laboratorium rutin.
Sayangnya, tidak ada penentuan biokimia tunggal secara akurat
membedakan antara atresia bilier dan penyebab lain dari
kolestasis neonatal.6
26

Selain hiperbilirubinemia langsung (sebuah temuan universal


dalam kolestasis neonatal), kelainan enzim meliputi peningkatan
kadar AP. Dalam beberapa kasus, sumber kerangka AP dapat
dibedakan dari sumber hati dengan mengukur fraksi AP hatispesifik, nucleotidase 5 '.6

GGTP adalah protein membran yang tidak terpisahkan dari


canaliculus empedu dan meningkat pada kondisi kolestasis.
Tingkat GGTP berkorelasi erat dengan temuan AP dan meningkat
dalam segala kondisi obstruktif empedu. Namun, tingkat GGTP
mungkin dalam rentang referensi dalam beberapa bentuk
kolestasis asal hepatoseluler.6

Tingkat

aminotransferase

tidak

terlalu

membantu

dalam

menetapkan diagnosis, meskipun tingkat alanine aminotransferase


meningkat pesat (> IU 800 / L) menunjukkan cedera
hepatoseluler signifikan dan lebih konsisten dengan sindrom
hepatitis neonatal.6

Serum alpha1-antitrypsin with Pi typing: Serum alpha1antitrypsin dengan Pi mengetik: defisiensi Alpha1-antitrypsin
adalah warisan yang paling umum penyakit hati yang hadir
dengan kolestasis neonatal. PiZZ fenotipe abnormal, seperti yang
ditetapkan oleh elektroforesis, terkait dengan kolestasis neonatal
di sekitar 10% dari subyek.6

klorida (Cl): keterlibatan saluran bilier adalah komplikasi yang


diakui baik dari cystic fibrosis (CF) , dan hubungan antara ileus
mekonium pada bayi baru lahir dan kolestasis telah dijelaskan.
Diagnosis CF harus benar-benar dipertimbangkan dalam setiap
bayi dengan hiperbilirubinemia secara langsung, terutama jika
tanda-tanda atau gejala terkait lainnya (yaitu, pernafasan, GI)

27

yang hadir. Cairan iontoforesis Cl tetap standar kriteria untuk


mendiagnosis CF. 6
218. b) Pemeriksaan khusus
219. Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa
pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.
Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu
hanya 10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka asam empedu di dalam cairan duodenum dapat
menentukan adanya atresia bilier. 5
220.

2) Pencitraan
221. a) Pemeriksaan ultrasonografi
222. Akurasi diagnostik USG 77% dan dapat ditingkatkan bila
pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat
minum dan sesudah minum.5
223. Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu
berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat
disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya
kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat
mendukung diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya
kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
yaitu atresia bilier tipe I/distal. 5
224. b) Sintigrafi hati
225. Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum

pemeriksaan

dilakukan,

kepada

pasien

diberikan

fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5


hari. 5
226. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh
hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal,

28

sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal


tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak terjadi sama sekali. 5
227. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang berat juga
tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi,
dilakukan penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop di hati
dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik
< 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik
sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi
diagnosis sebesar 98,4%.5
228. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia
bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG
dan sintigrafi. 5
229. c) Pemeriksaan kolangiografi
230. Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography) mcrupakan upaya diagnostik dini yang berguna
untuk

membedakan

antara

atresia

bilier

dengan

kolestasis

intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat


dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. 5
231.

Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap

sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis intrahepatik


dengan atresia bilier. 5
232. 3) Biopsi hati
233. Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang
paling dapat diandalkan. Di tangan seorang ahli patologi yang
berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%, sehingga
dapat

membantu

pengambilan

keputusan

untuk

melakukan

laparatomi eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi


Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai ditentukan
oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. 5

29

234. Bila diameter duktus 100- 200 u atau 150- 400 u maka
aliran empedu dapat terjadi. 5
235.

Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen

section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah


portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati
yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah
secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling
optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya
proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong
diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan
waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi
pada usia < 6 minggu. 5
236.
H. Diagnosis dan Diagnosis Banding
237. Diagnosis atresia bilier ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis utama
atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada
empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk
membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat
badan lahir, warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan
hepar.
238.

Diagnosis banding kolestasis pada bayi adalah :

239. 1. Kelainan ekstrahepatik


a.Atresia bilier
b.Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
c.Perforasi spontan duktus bilier
d.Massa (neoplasma, batu)
e.Inspissated bile syndrome 5
240. 2. Kelainan intrahepatik
241.

a. Idiopatik

242.

1) Hepatitis neonatal idiopatik

243.

2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain :

30

244. a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alagille)


245. b) Sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal)
246. c) Intrahepatic bile duct paucity5
247.

b. Anatomik

248.1) Hepatik fibrosis kongenital atau penyakit polikistik infantil


(pada hati dan ginjal)
249.2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik).
5

c. Kelainan metabolisme5

250.
251.

1) Kelainan metabolisme asam amino: tyrosinemia

252.

2)

Kelainan

metabolisme

lipid:

penyakit

Wolman,

NiemannPick dan Gaucher


253.

3)

Kelainan

metabolisme

karbohidrat:

galaktosemia,

fruktosemia, glikogenosis IV
254.

4) Kelainan metabolisme asam empedu

255.

5) Penyakit metabolik tidak khan, antara lain: defisiensi

alfa- 1-antitripsin, fibrosis kistik, hipopituitarisme idiopatik,


hipotiroidisme
256.
257.

d. Hepatitis
1) Infeksi (hepatitis pada neonatus), antara lain: TORCH,

virus hepatitis B, Reovirus tipe 3


258.
259.

2) Toksik: kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis


e. Genetik atau kromosomal: Trisomi E, Sindrom Down,

Sindrom Donahue
260.

f. Lain-lain: Histiositosis X, renjatan atau hipoperfusi,

obstruksi intestinal, sindrom polisplenia, lupus neonatal. 5


261.
I. Penatalaksanaan
262. Selama evaluasi, pasien diberikan :
263. a) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :

31

264.

1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh

hati terutama asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan :


a) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
b) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase
c) (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+K+ATPase (menginduksi aliran empedu).
d) Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai
jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder. 3
265.

2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :


266. Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis,

per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif


terhadap asam litokolat yang hepatotoksik. 5
267.b) Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
268.

1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain

triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak.


269.

2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. 5

270. c) Terapi bedah


271.

Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk

menegakkan diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka


Fitzgerald menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai
berikut:
272. Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk> 4 mg/dl atau
terus meningkat, meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah
dilakukan uji prednison selama 5 hari. Gamma-GT meningkat > 5
kali. Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin Pada sintigrafi hepatobilier
tidak ditemukan ekskresi ke usus. 5
273. Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka segera
dilakukan intervensi bedah portoenterostomi terhadap atresia bilier
yang correctable yaitu tipe I dan II. Pada atresia bilier yang non-

32

correctable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk


menentukan patensi duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan
bantuan frozen section. Bila masih ada duktus bilier yang paten, maka
dilakukan operasi Kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang
paten, tetap dikerjakan operasi Kasai dengan tujuan untuk
menyelamatkan penderita (tujuan jangka pendek) dan bila mungkin
untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). 5
274. Ada peneliti yang menyatakan adanya kasus-kasus atresia
bilier tipe III dengan keberhasilan hidup > 10 tahun setelah menjalani
operasi Kasai. 5
275.

Pada prosedur Kasai, traktus biliaris akan diangkat dan loop

dari usus dibawa untuk menggantikan traktus biliaris. Akibatnya,


empedu mengalir langsung ke usus. 8
276.

277.
278. Gambar Prosedur Kasai
279.
280. Di negara maju dilakukan transplantasi hati terhadap
penderita atresia bilier tipe III yang telah mengalami sirosis. 5
281.
J. Prognosis

33

282. Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat


dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis,
dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. 5
283. Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka
keberhsilannya 71-86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8
minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-43,6%.5
284. Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1-60 hari, 61-70 hari, 71-90
hari dan > 90 hari, maka masing-masing akan memberikan kebcrhasilan
hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan 11%. Scdangkan bila operasi
tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami
operasi Kasai berusia 76 jam. 5
285. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah
usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan
histologik, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila
terjadi pcnyulit hipertensi portal. 5
286.
287.

34

288.

DAFTAR PUSTAKA

289.
290.
1. Juffrie M, Mulyani NS (editor). Modul Pelatihan Kolestasis. UKK GastroHepatologi IDAI, Jakarta. 2009
2. Chardot C. Biliary atresia. Orphanet encyclopedia, 2005. Downloaded from
http://orpha.net/data/patho/GB/ uk-biliaryatresia.pdf. Accessed on 11 Juni
2016
3. Sjamsuhidajat R, Jong WJ. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Kedua. EGC. 2005.
Jakarta
4. Oddsdottir M, Hunter JG. Gall blader and extrahepatic billiary system in
Schwartzs manual Of Surgery Eigth Edition. Brunicardi FC, Andersen DK,
Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE (Eds). The Mc-Graw Hill
Companies. 2006. USA
5. Ringoringo P. Atresia Bilier.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.


Jakarta.

Diunduh

dari

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15AtresiaBilier086.pdf/15AtresiaBilie
r086.html. Tanggal : 11 Juni 2016
6. Steven SM. Atresia Bilier: Diagnosis Diferensial dan Hasil Pemeriksaan.
Downstate, 2009. Diunduh dari : www.emedicine.com. Tanggal : 18 Juni
2016
291.

35

You might also like