You are on page 1of 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1.

Definisi
Trauma tumpul abdomen adalah cedera pada abdomen tanpa penetrasi ke

dalam rongga peritoneum. Trauma tumpul abdomen didefinisikan sebagai kerusakan


terhadap struktur yang terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh
luka tumpul. Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusio atau laserasi jaringan atau
organ di bawahnya. Trauma tumpul abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ
berongga berupa perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan. 1
2.

Anatomi
Abdomen adalah bagian tubuh yang terletak antara diaphragma di bagian atas

dan pintu masuk pelvis dibagian bawah. Untuk kepentingan klinik, biasanya abdomen
dibagi dalam sembilan

regio oleh dua garis vertikal, dan dua garis horizontal.

Masing-masing garis vertikal melalui pertengahan antara spina iliaca anterior


superior dan symphisis pubis. Garis horizontal yang atas merupakan bidang
subcostalis, yang mana menghubungkan titik terbawah pinggir costa satu sama lain.
Garis

horizontal

yang

bawah

merupakan

bidang

intertubercularis,

yang

menghubungkan tuberculum pada crista iliaca. Bidang ini terletak setinggi corpus
vertebrae lumbalis V. 2
Pembagian regio pada abdomen yaitu : pada abdomen bagian atas : regio
hypochondrium kanan, regio epigastrium dan regio hypocondrium kiri. Pada
abdomen bagian tengah : regio lumbalis kanan, regio umbilicalis dan regio lumbalis
kiri. Pada abdomen bagian bawah : regio iliaca kanan, regio hypogastrium dan regio
iliaca kiri. 2

Gambar 1.

Pembagian 9 regio

abdomen.
Sedangkan
juga

dipermudah

kuadran
garis
yang

pembagian

dengan

vertikal

dan
saling

umbilicus. Kuadran

abdomen

menjadi
menggunakan

empat
satu

satu garis horisontal


berpotongan
tersebut

pada
adalah

kuadran kanan atas, kuadran kiri atas, kuadran kanan bawah dan kuadran kiri bawah.
2

Gambar 2. Pembagian abdomen menjadi empat kuadran


Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Di
bagian belakang, struktur ini melekat pada tulang belakang, di sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri atas beberapa

lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kutis dan subkutis; lemak
subkutan dan fasia superfisial (fasia Scarpa); kemudian ketiga otot dinding perut, m.
oblikus abdominis eksternus, m. oblikus abdominis internus, dan m. tranversus
abdominis; dan akhirnya lapisan preperitoneal, dan peritoneum. Otot di bagian depan
terdiri atas sepasang otot rektus abdominis dengan fasianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba. 2
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh
pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari
kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica
inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun
vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani
secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis I. 2
Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis
mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal.
Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum
parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di
sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan
menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa
pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf. Bagian-bagian peritoneum sekitar
masing-masing organ diberi nama-nama khusus. 2
Mesenterium

ialah bangunan peritoneal yang berlapis ganda, bentuknya

seperti kipas, pangkalnya melekat pada dinding belakang perut dan ujungnya yang
mengembang melekat pada usus halus. Di antara dua lapisan membran yang
membentuk mesenterium terdapat pembuluh darah, saraf dan bangunan lainnya yang
memasok usus. Bagian mesenterium di sekitar usus besar dinamakan mesokolon.
Lapisan ganda peritoneum yang berisi lemak, menggantung seperti celemek di
sebelah atas depan usus bernama omentum majus. Bangunan ini memanjang dari tepi

lambung sebelah bawah ke dalam bagian pelvik abdomen dan kemudian melipat
kembali dan melekat pada colon tranversum. Ada juga membran yang lebih kecil
bernama omentum minus yang terentang antara lambung dan liver. Organ dalam
rongga abdomen dibagi menjadi dua, yaitu : 2
a. Organ Intraperitoneal
1. Hepar
Merupakan kelenjar terbesar dan mempunyai tiga fungsi dasar, yaitu : (1)
pembentukan dan sekresi empedu yang dimasukkan ke dalam usus halus; (2)
berperan pada aktivitas metabolisme yang berhubungan dengan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; (3) menyaring darah untuk membuang bakteri dan
benda asing lain yang masuk dalam darah dari lumen usus. Hepar bersifat lunak dan
lentur dan menduduki regio hypochondrium kanan, meluas sampai regio epigastrium.
Permukaan atas hati cembung melengkung pada permukaan bawah diaphragma.
Permukaan postero-inferior atau permukaan viseral membentuk cetakan visera yang
berdekatan, permukaan ini berhubungan dengan pars abdominalis oesophagus,
lambung, duodenum, flexura coli dextra, ginjal kanan, kelenjar suprarenalis, dan
kandung empedu.
Dibagi dalam lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang kecil, yang
dipisahkan oleh perlekatan peritonium ligamentum falciforme. Lobus kanan terbagi
menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus oleh adanya kandung empedu, fissura
untuk ligamentum teres hepatis, vena cava inferior, dan fissura untuk ligamentum
venosum. Porta hepatis atau hilus hati ditemukan pada permukaan postero-inferior
dengan bagian atas ujung bebas omentum majus melekat pada pinggirnya. Hati
dikelilingi oleh capsula fibrosa yang membentuk lobulus hati. Pada ruang antara
lobulus-lobulus terdapat saluran portal, yang mengandung cabang arteri hepatica,
vena porta, dan saluran empedu (segitiga portal). 2
2. Limpa

Merupakan massa jaringan limfoid tunggal yang terbesar dan umumnya


berbentuk oval, dan berwarna kemerahan. Terletak pada regio hypochondrium kiri,
dengan sumbu panjangnya terletak sepanjang iga X dan kutub bawahnya berjalan ke
depan sampai linea axillaris media, dan tidak dapat diraba pada pemeriksaan fisik.
Batas anterior limpa adalah lambung, cauda pankreas, flexura coli sinistra. Batas
posterior pada diaphragma, pleura kiri ( recessus costodiaphragmatica kiri ), paru kiri,
costa IX, X, dan XI kiri. 2
3. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai 3 fungsi
utama: (1) menyimpan makanan dengan kapasitas 1500 ml pada orang dewasa; (2)
mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah
padat, dan (3) mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga
pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat berlangsung. Lambung terletak pada
bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan
regio umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah.
Batas anterior lambung adalah dinding anterior abdomen, arcus costa kiri, pleura dan
paru kiri, diaphragma, dan lobus kiri hati. Sedangkan batas posterior lambung adalah
bursa omentalis, diaphragma, limpa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri,
arteri lienalis, pankreas, mesocolon tranversum, dan colon tranversum. Secara kasar
lambung berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan
ostium pyloricum, dua curvatura yang disebut curvatura mayor dan minor, serta dua
permukaan anterior dan posterior. Lambung dibagi menjadi fundus, corpus dan
antrum. Fundus berbentuk kubah dan menonjol ke atas terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus terisi gas. Sedangkan corpus adalah badan dari lambung.
Antrum merupakan bagian bawah dari lambung yang berbentuk seperti tabung.
Dinding ototnya membentuk sphincter pyloricum, yang berfungsi mengatur
kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum. Membran mukosa lambung tebal
dan memiliki banyak pembuluh darah yang terdiri dari banyak lipatan atau rugae.
Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular dan serabut

oblik. Serabut longitudinal terletak paling superficial dan paling banyak sepanjang
curvatura, serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi fundus lambung,dan
menebal pada pylorus untuk membentuk sphincter pyloricum. Sedangkan serabut
oblik membentuk lapisan otot yang paling dalam, mengelilingi fundus berjalan
sepanjang anterior dan posterior. 2
4. Kandung empedu (Vesica Fellia)
Vesica Fellia adalah kantong seperti buah pear yang terletak pada permukaan
viseral hati. Secara umum dibagi menjadi tiga bagian yaitu : fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hati;
dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan
costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan viseral hati dana arahnya
keatas, belakang dan kiri. Sedangkan collum dilanjutkan sebagai ductus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
communis membentuk ductus choledochus. Batas anterior vesica fellia pada dinding
anterior abdomen dan bagian pertama dan kedua duodenum. Batas posterior pada
colon tranversum dan bagian pertama dan kedua duodenum. 2
Vesica Fellia berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas 50 ml.
Vesica Fellia mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk membantu proses
ini, maka mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain
saling berhubungan seperti sarang tawon. Empedu dialirkan ke duodenum sebagai
akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali
dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum . lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum; hormon kemudian masuk
ke dalam darah menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama
otot polos yang terletak pada ujung distal ductus choledochus dan ampula relaksasi
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum.
Garam-garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan serta absorbsi lemak. 2

5. Usus halus
Usus halus merupakan bagian pencernaan yang paling panjang, dibagi
menjadi 3 bagian : duodenum, jejunum, dan ileum. Fungsi utama usus halus adalah
pencernaan dan absorpsi hasil-hasil pencernaan. 2
Duodenum berbentuk huruf C yang panjangnya sekitar 25 cm, melengkung
sekitar caput pankreas, dan menghubungkan lambung dengan jejunum. Di dalam
duodenum terdapat muara saluran empedu dan saluran pankreas. Sebagian duodenum
diliputi peritonium, dan sisanya terletak retroperitonial. Duodenum terletak pada
regio epigastrium dan regio umbilikalis. Dibagi menjadi 4 bagian : 2
Bagian pertama duodenum. Panjangnya 5 cm, mulai pada pylorus dan berjalan
keatas dan ke belakang pada sisi kanan vertebra lumbalis pertama. Bagian ini terletak
pada bidang transpilorica. Batas anterior pada lobus quadratus hati dan kandung
empedu. Batas posterior pada bursa omentalis (2,5 cm pertama), arteri
gastroduodenalis, ductus choledochus dan vena porta, serta vena cava inferior. Batas
superior pada foramen epiploicum Winslow dan batas inferior pada caput pankreas. 2
Bagian kedua duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan ke bawah di depan hilus ginjal
kanan di sebelah vertebra lumbalis kedua dan ketiga. Batas anterior pada fundus
kandung empedu dan lobus kanan hati, colon tranversum, dan lekukan- lekukan usus
halus. Batas posterior pada hilus ginjal kanan dan ureter kanan. Batas lateral pada
colon ascenden, flexura coli dextra, dan lobus kanan hati. Batas medial pada caput
pancreas. 2
Bagian ketiga duodenum. Panjangnya 8 cm, berjalan horisontal ke kiri pada bidang
subcostalis, mengikuti pinggir bawah caput pankreas. Batas anterior pada pangkal
mesenterium usus halus, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada ureter
kanan, muskulus psoas kanan, vena cava inferior, dan aorta. Batas superior pada
caput pankreas, dan batas inferior pada lekukan-lekukan jejunum. 2

Bagian keempat duodenum. Panjangnya 5 cm, berjalan ke atas dan kiri, kemudian
memutar ke depan pada perbatasan duodenum dan jejunum. Terdapat ligamentum
Treitz yang menahan junctura duodeno-jejunalis. Batas anterior pada permulaan
pangkal mesenterium dan lekukan-lekukan jejunum. Batas posterior pada pinggir kiri
aorta dan pinggir medial muskulus psoas kiri. 2
Jejunum dan Ileum panjangnya 6 m, dua perlima bagian atas merupakan
jejunum. Jejunum mulai pada junctura duodenojejunalis dan ileum berakhir pada
junctura ileocaecalis..
6. Usus besar
Usus besar dibagi dalam caecum, appendix vermiformis, colon ascenden,
colon tranversum, colon descenden, dan colon sigmoideum, rectum dan anus. Fungsi
utama usus besar adalah absorpsi air dan elektrolit dan menyimpan bahan yang tidak
dicernakan sampai dapat dikeluarkan dari tubuh sebagai feses. 2
Caecum terletak pada fossa iliaca, panjang 6 cm, dan diliputi oleh
peritonium. Batas anterior pada lekukan-lekukan usus halus, sebagian omentum
majus, dan dinding anterior abdomen regio iliaca kanan. Batas posterior pada m.
psoas dan m. iliacus, n. femoralis, dan n. cutaneus femoralis lateralis. Batas medial
pada appendix vermiformis. 2
Appendix vermiformis panjangnya 8 13 cm, terletak pada regio iliaca
kanan. Ujung appendix dapat ditemukan pada tempat berikut : (1) tergantung dalam
pelvis berhadapan dengan dinding kanan pelvis; (2) melekuk di belakang caecum
pada fossa retrocaecalis; (3) menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum; (4) di
depan atau di belakang bagian terminal ileum. 2
Colon ascenden terletak pada regio iliaca kanan dengan panjang 13 cm.
Berjalan ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus kanan hati, di mana
colon ascenden secara tajam ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan dilanjutkan
sebagai colon tranversum. Peritonium menutupi pinggir dan permukaan depan colon

ascenden dan menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. Batas anterior


pada lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen.
Batas posterior pada m. Iliacus, crista iliaca, m. Quadratus lumborum, origo m.
Tranversus abdominis, dan kutub bawah ginjal kanan. 2
Colon tranversum panjangnya 38 cm dan berjalan menyilang abdomen,
menduduki regio umbilikalis dan hipogastrikum. Batas anterior pada omentum majus
dan dinding anterior abdomen. Batas posterior pada bagian kedua duodenum, caput
pankreas, dan lekukan-lekukan jejunum dan ileum. 2
Colon descenden terletak pada regio iliaca kiri, dengan panjang 25 cm.
Berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis. Batas anterior pada
lekukan-lekukan usus halus, omentum majus, dan dinding anterior abdomen. Batas
posterior pada pinggir lateral ginjal kiri, origo m. Tranversus abdominis, m.
Quadratus lumborum, crista iliaca, m. Iliacus, dan m. Psoas kiri. 2
b. Organ Retroperitoneal
Ginjal
Berperan penting dalam mengatur keseimbangan air dan elektrolit dalam
tubuh dan mempertahankan keseimbangan asam basa darah. Kedua ginjal berfungsi
mengekskresi sebagian besar zat sampah metabolisme dalam bentuk urin. Ginjal
berwarna coklat-kemerahan, terletak tinggi pada dinding posterior abdomen, sebagian
besar ditutupi oleh tulang iga. Ginjal kanan terletak lebih rendah dibanding ginjal kiri,
dikarenakan adanya lobus kanan hati yang besar.
Ginjal dikelilingi oleh capsula fibrosa yang melekat erat dengan cortex ginjal.
Di luar capsula fibrosa terdapat jaringan lemak yang disebut lemak perirenal. Fascia
renalis mengelilingi lemak perirenal dan meliputi ginjal dan kelenjar suprarenalis.
Fascia renalis merupakan kondensasi jaringan areolar, yang di lateral melanjutkan diri
sebagai fascia tranversus. Di belakang fascia renalis terdapat banyak lemak yang
disebut lemak pararenal. 2

Batas anterior ginjal kanan pada kelenjar suprarenalis, hati, bagian kedua
duodenum, flexura coli dextra. Batas posterior pada diaphragma, recessus
costodiaphragmatica pleura, costa XII, m. Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m.
Tranversus abdominis. Pada ginjal kiri, batas anterior pada kelenjar suprarenalis,
limpa, lambung, pankreas, flexura coli kiri, dan lekukan-lekukan jejunum. Batas
posterior pada diaphragma, recessus costodiaphragmatica pleura, costa XI, XII, m.
Psoas, m. Quadratus lumborum, dan m. Tranversus abdominis. 2
Ureter
Mengalirkan urin dari ginjal ke vesica urinaria, dengan didorong sepanjang
ureter oleh kontraksi peristaltik selubung otot, dibantu tekanan filtrasi glomerulus.
Panjang ureter 25 cm dan memiliki tiga penyempitan : (1) di mana piala ginjal
berhubungan dengan ureter;(2) waktu ureter menjadi kaku ketika melewati pinggir
pelvis;(3) waktu ureter menembus dinding vesica urinaria. Ureter keluar dari hilus
ginjal dan berjalan vertikal ke bawah di belakang peritonium parietal pada m. Psoas,
memisahkannya dari ujung processus tranversus vertebra lumbalis. Ureter masuk ke
pelvis dengan menyilang bifurcatio a. Iliaca comunis di depan articulatio sacroiliaca,
kemudian berjalan ke bawah pada dinding lateral pelvis menuju regio ischiospinalis
dan memutar menuju angulus lateral vesica urinaria. 2
Pada ureter kanan, batas anterior pada duodenum, bagian terminal ileum, av.
Colica dextra, av. Iliocolica, av. Testicularis atau ovarica dextra, dan pangkal
mesenterium usus halus. Batas posterior pada m. Psoas dextra.Batas anterior ginjal
kiri pada colon sigmoideum, mesocolon sigmoideum, av. Colica sinistra, dan av.
Testicularis atau ovarica sinistra. Batas posterior pada m. Psoas sinistra. 2
Pankreas
Merupakan kelenjer eksokrin dan endokrin, organ lunak berlobus yang
terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritonium. Bagian eksokrin
kelenjer menghasilkan sekret yang mengandung enzim yang dapat menghidrolisis

protein, lemak, dan karbohirat. Bagian endokrin kelenjer, yaitu pulau langerhans,
menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang berperan penting dalam
metabolisme

karbohidrat.

Pankreas

menyilang

bidang

transpilorica.

Dibagi menjadi empat bagian, yaitu : (1) caput pankreas berbentuki seperti cakram,
terletak pada bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas ke kiri di belakang av.
Mesenterica superior dan dinamakan processus uncinatus; (2) collum pancreas
merupakan bagian yang mengecil dan menghubungkan caput dengan corpus
pankreas. Terletak di depan pangkal vena porta dan pangkal arteri mesenterica
superior dari aorta; (3) corpus berjalan ke atas dan kiri menyilang garis tengah; (4)
cauda berjalan menuju ke ligamentum lienorenalis dan berhubungan dengan hilus
limpa. 2
Batas anterior pankreas dari kanan ke kiri : colon tranversum, perlekatan
mesocolon tranversum, bursa omentalis, dan lambung. Sedangkan batas posterior
pankreas dari kanan ke kiri : ductus choledochus, vena porta, vena lienalis, vena cava
inferior, aorta, pangkal arteri mesenterica superior, m. Psoas kiri, kelenjer
suprarenalis kiri, ginjal kiri, dan hilus limpa. 2
3.

Insiden
Etiologi dari trauma tumpul abdomen tergantung dari lingkungan di sekitar

institusi rumah sakit tersebut berada. Di sentral trauma metropolitan, penyebab


tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50-75%) yang meliputi tabrakan antar
kendaraan bermotor (antara 45-50%) dan tabrakan antara kendaraan bermotor dengan
pejalan kaki.3,4 Tindakan kekerasan, jatuh dari ketinggian, dan cedera yang
berhubungan dengan pekerjaan juga sering ditemukan. Trauma tumpul abdomen
merupakan akibat dari kompresi, crushing, regangan, atau mekanisme deselerasi.
Enam hingga 25% dari insidensi trauma tumpul abdomen yang memerlukan
tindakan laparotomi eksplorasi.3,5 Organ yang terkena adalah lien (40-55%), hepar
(35-45%), dan organ retroperitoneal (15%).3

4.

Biomekanisme Trauma Tumpul


Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,

sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ
terjepit dari belakang oleh bagian belakangtorakoabdominal dan kolumna vertebralis
dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi
khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan
jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada
tabrakan, maka penderita akan refleks menarik napas dan menahannya dengan
menutup glotis. Kompresi abdominal mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal
dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ abdomen ke
dalam rongga toraks. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai akibat
tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan
rupturnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang
closed loop terjepit antara tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah
memakainya.
Trauma seat belt
Sabuk pengaman yang tidak dipakai dengan benar akan menimbulkan trauma.
Agar berfungsi dengan baik, sabuk pengaman harus dipakai dibawah spina iliaka
superior dan diatas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan harus mengikat
penumpang dengan baik. Bila dipakai diatas SIAS maka hepar, lien, pankreas, usus
halus, duodenum dan ginjal akan terjepit diantara sabuk pengaman dan tulang
belakang yang dapat menimbulkan burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vertebra
lumbalis akibat sabuk yang terlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior
dan vertebra lumbal.
Cedera akselerasi-deselerasi
Trauma deselerasi terjadi bila bagian yang menstabilisasi organ seperti
pedikel ginjal, ligamentum teres berhenti bergerak, sedangkan organ yang
distabilisasi seperti hepar, ginjal, limpa tetap bergerak. Shear force terjadi bila
pergerakan ini terus berlanjut, contoh pada ginjal dan limpa dengan pedikelnya, pada

haepar terjadi laserasi bagian sentral jika deselerasi lobus kanan dan kiri sekitar
ligamentum teres.
5.

Klasifikasi
Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :6

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan

2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
1.
2.

Organ Intraperitoneal : Ruptur HatiRuptur LimpaRuptur Usus Halus


Organ Retroperitoneal. Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter,
pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram.trauma pada daerah ini menyebabkan
ruptur Ginjal, ruptur Pankreas,ruptur Ureter

6.

Penatalaksanaan
Pasien dengan trauma abdomen, secara umum diklasifikasikan menjadi 2,

berdasarkan kondisi hemodinamik setelah resusitasi awal:

Hemodinamik normal
Pemeriksaan lengkap dan penatalaksanaan dapat segera direncanakan
Hemodinamik stabil
Pemeriksaan lebih terbatas dan ditujukan untuk menentukan apakah pasien dapat
ditangani secara non operatif, apakah angioembolisasi dapat digunakan ataukah

membutuhkan pembedahan
Hemodinamik tidak stabil
Membutuhkan intervensi bedah segera untuk menghentikan perdarahan
Laparotomi trauma merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk

menggambarkan cedera intra abdomen. Adakalanya sulit untuk menentukan sumber


perdarahan pada pasien dengan trauma multiple, dan apabila masih ada keraguan,
laparotomi dapat menjadi pilihan.

Penatalaksanaan pada pasien-pasien trauma tumpul abdomen pada dasarnya


sama dengan trauma-trauma lainnya berupa primary survey yang cepat, resusitasi,
secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
a.
Primary survey
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenalidan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Tindakan primary survey dilakukan secara
berurutan sesuai prioritas tapi dalam praktenya hal-hal tersebut sering dilakukan
bersamaan (simultan).
Airway
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas berupa obstruksi
jalan napas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur
mandibula, maksila atau trakea. Membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra
servikal dengan melakukan jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara dapat
dianggap bahwa jalan napas bersih dan tetap harus dinilai ulang. Pada pasien yang
masih sadar dapat memakai nasopharingeal airway, sedanglkan pada pasien yang
tidak sadar dan tidak ada gag reflex dapat menggunakan oropharingeal airway. Pasien
dengan GCS kurang dari 8 atau adanya keraguan mengenai kemampuan menjaga
airway perlunya airway definitif.
Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma. Buka dada pasien
untuk melihat ekspansi pernapasan. Auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru. Perkusi untuk menilai adanya udara atau cairan dalam rongga pleura.
Inspeksi dan palpasi untuk melihat abnormalitas gerakan atau getaran dinding dada.
Jika ada gangguan ventilasi atau gangguan kesadaran diatasi dengan face mask,
intubasi endotrakeal yaitu nasopharingeal airway atau oropharingeal airway.
Kemudian pasang pulse oximetry untuk menilai saturasi O2 yang adekuat.
Circulation
Penilaian pada tahap ini meliputi volume darah, tingkat kesadaran, warna kulit
dan nadi.
1.
Volume darah

Adanya hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia sampai


terbukti sebaliknya. 3 jenis penilaian secara cepat yang dapat memberikan gambaran
keaadaan tersebut yaitu tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi.
2.
Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat

berkurang

yang

mengakibatkan penurunan kesadaran.


3.
Warna kulit
Pasien trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas
jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya wajah pucat keabu-abuan dan kulit
ekstremitas yang pucat sebagai tanda hipovolemia.
4.
Nadi
Periksa pada nadi besar seperti arteri femoralis, arteri karotis, untuk kekuatan,
kecepatan dan irama nadi. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur merupakan
normovolemia ( bila tidak minum beta bloker). Nadi yang cepat dan kecil merupakan
hipovolemia. Kecepatan nadi yang normal tidak menjamin normovolemia. Nadi yang
tidak teraur biasanya tanda gangguan jantung. Tidak ada pulsasi dari arteri besar
mengindikasikan perlunya resusitasi segera.
5.
Perdarahan
Perdarahan eksternal yang tampak dihentikan dengan penekanan pada luka.
Spalk udara ( pneumatic splinting device) sebagai pengontrol perdarahan yang
tembus cahaya. Torniquet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan
menyebabkan iskemia distal, kecuali pada amputasi traumatik. Sedangkan pemakaian
hemostat memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan seperti saraf dan pembuluh
darah.
Jika ada gangguan sirkulasi atau syok hipovolemia minimal pasang 2 IV line
untuk resusitasi cairan kristaloid (ringer laktat / RL) 2-3 liter. Jika tidak ada respon
diberikan tranfusi darah segolongan. Jika tidak ada darah segolongan, dapat diberikan
darah tipe O rhesus negatif atau darah tipe O rhesus positif dengan titer rendah.
Jangan memberikan vasopresor, steroid atau bikarbonas natricus. Jangan memberikan
resusitasi cairan RL atau transfusi darah secara terus menerus, karena keadaan ini
harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan perdarahan.
Sebelum resusitasi, lakukan dengan cepat pemeriksaan genitalia dan colok
dubur untuk menilai ada tidaknya tanda-tanda ruptur uretra yaitu prostat letak tinggi

atau tidak teraba. Tanda lain ruptur uretra berupa adanya darah di orifisium uretra
eksternal (metal bleeding), hematom skrotum atau di perineum. Jika tidak ada tandatanda tersebut maka selama resusitasi, pasang kateter urin untuk menilai perfusi ginjal
dan hemodinamik pasien. Namun, jika diduga adanya ruptur uretra, jangan pasang
kateter urin tetapi lakukan uretrogram terlebih dahulu.
Nasogastric tube (NGT) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan
mengurangi kemungkinan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan karena
traumatik karena pemasangan NGT atau perlukaan lambung. Jika ada dugaan patah
pada lamina kibrosa, NGT yang dipasang hanya bisa yang melaluui mulut untuk
mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.
Disability
Pada tahap ini dilakukan penilaian neurologis secara cepat berupa tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
Exposure
Pada tahap ini, pakaian pasien dibuka keseluruhan kemudian dinilai kelainan
yang tampak secara cepat. Selanjutnya selimuti pasien agar tidak hipotermi.
b.
Secondary survey
Secondary survey adalah pemeriksaan kepala hingga kaki (head to toe)
termasuk anamnesis dan reevaluasi pemeriksaan tanda vital. Tahap ini baru dilakukan
setelah primary survey dan resusitasi selesai serta pasien dipastikan sudah membaik.
Jika kondisi hemodinamik pasien sudah stabil tanpa tanda-tanda peritonitis bisa
diperiksa lebih detail untuk menentukan apakah ada trauma spesifik atau apakah
selama observasi timbul tanda peritonitis atau perdarahan.
Anamnesis
Pada trauma tumpul abdomen terutama akibat kecelakaan lalu lintas,
Pemeriksaan fisik
Meskipun pemeriksaan fisik merupakan langkah awal untuk evaluasi perlu
tidaknya dilakukan tindakan pembedahan, tetapi validitasnya diragukan pada trauma
tumpul abdomen. Pemeriksaan fisik ini tidak dapat diandalkan terutama bila
ditemukan adanya efek dari alkohol, obat terlarang, analgesik atau narkotik, atau
penurunan kesadaran.3,4,7 Selain itu juga sulitnya akses untuk palpasi organ-organ
pelvis, abdomen atas, dan retroperitoneal menyebabkan pemeriksaan fisik ini tidak
dapat diandalkan.7 Fraktur iga bawah, fraktur pelvis, dan kontusio dinding abdomen

juga dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Powell et al melaporkan bahwa


pemeriksaan fisik saja hanya memiliki tingkat akurasi sebesar 65% dalam mendeteksi
ada tidaknya perdarahan intra-abdomen.4 Pemeriksaan fisik abdomen inisial
menghasilkan 16% positif palsu, 20% negatif palsu, 29% nilai perkiraan positif, dan
48% nilai perkiraan negatif untuk menentukan perlu tidaknya laparotomi eksplorasi.3
Pemeriksaan fisik pada trauma abdomen ditujukan untuk secara cepat
mengidentifikasi pasien yang membutuhkan laparotomi. Cedera abdomen sering
menyebabkan nyeri dan kejang pada dinding perut dan membuat diagnosis menjadi
sulit . Patah tulang rusuk bawah, patah tulang panggul, atau kontusio dinding perut
dapat menyerupai tanda-tanda peritonitis. Karena manifestasi utama dari trauma
tumpul organ padat adalah perdarahan, pasien harus dipantau secara ketat selama
penilaian awal, dan adanya syok refrakter dianggap akibat perdarahan masif. Pasien
harus diperiksa dari kepala sampai kaki untuk tanda-tanda trauma tumpul dan luka
tembus. Lecet kecil atau ekimosis menunjukkan cedera intraabdominal lokal yang
signifikan. Dinding dan belakang perut harus diperiksa secara hati-hati, dan adanya
ekimosis posterior meningkatkan kemungkinan cedera retroperitoneal . Tidak adanya
bising usus berhubungan dengan ileus, dalam konteks unit gawat darurat, adanya
bising usus tidak sensitif untuk membedakan antara pasien yang memerlukan
laparotomy atau tidak.
Pada palpasi dapat ditemukan nyeri lokal, kejang, atau kekakuan dinding
perut. Temuan ini dan temuan rebound tenderness konsisten dengan peritonitis dan
perforasi organ berongga. Nyeri suprapubik dan panggul dapat menunjukkan patah
tulang panggul, dinilai pada pasien sadar. Pemeriksaan perineum dan meatus uretra
rutin dilakukan untuk mencari tanda-tanda fraktur panggul dan kemungkinan cedera
uretra. Pemeriksaan rectal toucher dilakukan dan tonus sfingter ani dievaluasi.
Integritas dinding rektum, posisi dan mobilitas prostat terkait dengan cedera uretra
juga dievaluasi. Tinja harus diperiksa untuk mencari adanya darah samar. Kateter
uretra dipasang, dan sampel urin dikirim untuk analisis adanya hematuria
mikroskopik. Jika cedera pada uretra dicurigai, urethrography retrograde ( RUG )
harus dilakukan sebelum mencoba kateterisasi. Perforasi viskus berongga mungkin

memerlukan beberapa jam sebelum peritonitis menjadi jelas . Perforasi kolon atau
lambung menyebabkan peritonitis lebih cepat.
a. Tingkat kesadaran dan tanda-tanda vital
b. Regio kepala
Pemeriksaan berupa konjungtiva anemis, dan tanda-tanda trauma kepala yang terjadi
bersamaan dengan trauma abdomen yaitu adanya luka dan kontusio pada kulit kepala,
fraktur, edema palbebra, benda asing dalam mata, perdarahan konjungtiva, ukuran
dan respon pupil.
c. Regio maksilofasial
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang
mungkin terjadi bersamaan dengan trauma abdomen yaitu fraktur tulang wajah yang
mungkin juga ada fraktur lamina kribosa.
d. Regio vertebra servikalis dan leher
Pada regio ini diperiksa untuk menilai adanya tanda-tanda trauma kepala yang
mungkin terjadi bersamaan dengan trauma abdomen. pasien dengan trauma kepala
atau trauma maksilofasial dianggap ada fraktur servikal. Maka dilakukan imobilisasi
hingga vertebra servikal diperiksa teliti dengan foto servikal. Melakukan pemeriksaan
neurologis untuk menilai defisit neurologis yang disesuaikan dengan penjalaran
persarafan servikal.
Pemeriksaan leher meliputi inspeksi adanya jejas, palpasi dan auskultasi pada arteri
karotis.
e. Regio toraks
Pemeriksaan toraks diutamakan jika ada trauma torakas yang juga terjadi bersamaan
dengan trauma abdomen. inspeksi dari depan dan belakang untuk menilai adanya flail
chest atau open pneumothorax, hematom pada dinding dada, distensi vena jugularis.
Palpasi pada setiap kosta dan klavikula untuk menilai adanya fraktur. Auskultasi
bising napas pada atas toraks untuk menentukan pneumotoraks dan bagian posterior
untuk menilai adanya hemotoraks. Bunyi jantung yang jauh disertai nadi yang kecil
mungkin disebabkan tamponade jantung. Suara napas yang menurun pada auskultasi
dan hipersonor pada perkusi disertai syok mengarahkan pada pneumotoraks.
f. Regio abdomen
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua. Amati adanya :

a) Hematom, seat belt sign, vulnus ekskoriatum, vulnus laseratum, vulnus puctum,
benda asing yang tertancap
b) Keluarnya isi perut
c) Distensi abdomen, yang biasanya berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi
gaster, atau ileus akibat iritasi peritoneal.
d) Kebiruan pada regio flank, punggung bagian bawah ( grey turner sign) menandakan
adanya perdarahan retroperitoneal yang melibatkan ginjal, pankreas, atau fraktur
pelvis.
e) Kebiruan disekitar umbilikus (cullen sign) menandakan adanya perdarahan pankreas.
2. Auskultasi
Penurunan peristaltik usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena
perdarahan atau ruptur organ berongga. Cedera pada struktur yang berdekatan seperti
tulang iga, tulang belakang atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus
meskipun tidak ada cedera intraabdomen sehingga tidak ada peristaltik usus bukan
berarti pasti ada cedera intraabdomen. Adanya peristaltik usus pada toraks
menandakan adanya cedera pada diafragma.
3. Perkusi
Perkusi pada dinding abdomen menyebabkan pergerakan peritoneum dan

dapat

menunjukkan peritonitis. Perkusi timpani pada kuadran atas akibat dari dilatasi
lambung akut atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat
menyulitkan pemeriksaan. Sebaliknya, defans muskular (voluntary guarding)
merupakan tanda iritasi peritoneum.palpasi dilakukan selain menilai haltersebut juga
untuk mengetahui adanya nyeri tekan superfisial,nyeri tekan dalam. Nyeri tekan lepas
menandakan peritonitis akibat darah atau isis usus.
Pada kasus trauma tumpul ini, perlu curiga akan adanya fraktur pelvis. Oleh karena
itu, untuk menilai stabilisasi pelvis dengan cara menekankan tangan pada tulangtulang iliakauntuk membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang.
g. Regio penis, perineum, rektum dan vagina
Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan dugaan kuat robeknya uretra. Adanya
ekimosis atau hematom pada inspeksi skrotum dan perineum dapat diduga kuat
robeknya uretra.
h. Regio muskuloskeletal
i. Pemeriksaan khusus neurologis

Pemeriksaan diagnostik pada trauma tumpul abdomen


Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan hematokrit adalah studi darah utama nilai dalam evaluasi awal
pasien dengan trauma abdomen . Jumlah leukosit, kreatinin serum , glukosa , serum
amilase/ lipase, dan penentuan serum elektrolit sering diperoleh untuk referensi tetapi
biasanya memiliki sedikit nilai pada periode manajemen langsung, tapi sangat
penting untuk penilaian serial. Diagnosis perdarahan masif biasanya jelas dari
parameter hemodinamik, dan hematokrit hanya menegaskan diagnosis. Anemia
delusional iatrogenik umum terjadi, dengan adanya stabilitas hemodinamik,
ditoleransi dengan baik. Hematokrit serial yang mengalami penurunan terus-menerus
mengidentifikasi perdarahan yang sedang berlangsung dan membutuhkan intervensi
operasi segera. Urinalisis menegaskan kehadiran hematuria mikroskopik. Untuk
trauma tumpul, evaluasi radiografi ( biasanya dengan CT ) dari ginjal dan kandung
kemih harus dimulai pada pasien dengan gross hematuria atau hematuria mikroskopik
dan syok (tekanan darah sistolik < 90 mm Hg pada orang dewasa) pada setiap titik
selama pra-rumah sakit atau instalasi gawat darurat. Serum amilase tidak sensitif dan
spesifik sebagai penanda untuk cedera pankreas. Cedera pada kepala dan wajah
sering menyebabkan peningkatan konsentrasi amilase plasma. Tingkat lipase serum
tidak meningkat pada trauma wajah dan mungkin lebih spesifik daripada tingkat
amilase. Sensitivitas dan spesifisitas kadar lipase , bagaimanapun, terutama pada
periode postinjury awal masih relatif rendah.
Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas yang menunjukan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan waktu banyak tidak perlu
dilakukan. Pemeriksaan seperti ini antara lain pemeriksaan rontgen foto dengan
kontras untuk gastrointestinal maupun urologi, DPI, maupun CT scan.
Pemeriksaan Radiografi

Studi radiologis yang pernting untuk evaluasi trauma abdomen adalah rontgen dada,
uretrografi retrograde, sistografi, CT scan, USG, dan angiografi. Selain itu, semua
luka dari trauma tembus harus dievaluasi dengan radiograf polos dengan penggunaan
penanda radiodense di situs luka untuk memungkinkan evaluasi dari lintasan rudal .
Pada trauma tumpul, foto anteroposterior panggul dapat menggambarkan patah tulang
panggul yang tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik. Fraktur transversal dari
vertebra hrus meningkatkan pencarian cedera usus tumpul serius.
Nilai foto polos abdomen setelah trauma tumpul sangat terbatas dan tidak secara rutin
diperoleh . Nilai yang lebih besar adalah pemeriksaan CT scan, USG, dan angiografi.
CT memiliki nilai nyata dalam penilaian yang akurat tentang cedera organ padat,
terutama dari hati, ginjal, dan limpa, CT kontras memiliki akurasi yang besar dalam
penggambaran perdarahan intraabdominal. Keakuratan CT scan dalam evaluasi
cedera viskus berongga agak lebih terbatas, namun perbaikan teknolohi CT telah
menigkatkan sensitivitas CT dalam mendeteksi tanda-tanda yang lebih halus dari
cedera pada usus . CT juga sangat spesifik dalam evaluasi cedera retroperitoneal dan
merupakan studi diagnostik yang paling berguna dan informatif untuk pasien dengan
trauma abdomen.
Pasien dengan tanda-tanda peritonitis atau ketidakstabilan hemodinamik setelah
trauma tembus jelas bukan merupakan kandidat untuk diagnostik CT scan, juga setiap
pasien trauma dengan ketidakstabilan hemodinamik. Angiografi dicadangkan untuk
situasi tertentu, seperti yang dicurigai cedera aorta atau arteri ginjal , atau perdarahan
yang sedang berlangsung dari panggul, hati, limpa atau cedera . Pemeriksaan ini tidak
dianggap sebagai penyelidikan screening awal .
Laparoskopi telah digunakan untuk diagnosis dan mengobati pasien trauma.
Meskipun terbatas pada evaluasi diafragma pada trauma tumpul, setelah menembus
trauma laparoskopi sangat membantu bila tidak jelas apakah peritoneum telah
ditembus. Pada pasien yang penetrasi peritoneal terlihat, penggunaan laparoskopi
untuk lebih mengeksplorasi rongga peritoneal dan perbaikan cedera lebih

kontroversial. Kecukupan eksplorasi perut, khususnya pemeriksaan usus dan


retroperitoneum telah dipertanyakan, dan perbaikan cedera besar melalui laparoskop
bukan merupakan pilihan yang baik. Pada pasien dengan luka dada bagian bawah,
laparoskopi dapat mengidentifikasi baik penetrasi peritoneal dan cedera diafragma.
Cedera diafragma terisolasi atau berhubungan nonbleeding laserasi hati adalah salah
satu daerah di mana perbaikan diafragma melalui laparoskop telah terbukti
layak . Dari catatan, saat laparoskopi digunakan pada pasien dengan potensi cedera
diafragma, tekanan positif di rongga peritoneal dapat menyebabkan tension
pneumothorax jika dada tidak cukup vented .
X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa alasan.
Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal tersebut
ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama cedera hepar
dan lien meningkat dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut dengan CT scan
abdomen-pelvis. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera diafragma. Pada keadaan
ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada 85% kasus dan diagnostik pada
27% kasus.3 Ketiga, dapat menemukan adanya pneumoperitoneum yang terjadi akibat
perforasi hollow viscus. Sama dengan fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang
ditemukan pada x-ray pelvis dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera
intra-abdominal sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan
abdomen-pelvis. Pyelografi intravena dan sistogram retrograd merupakan tes yang
berguna dalam evaluasi penderita dengan hematuria.3,4
Pemeriksaan Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST) telah diterima
secara luas sebagai alat untuk evaluasi trauma abdomen. Alatnya yang portabel
sehingga dapat dilakukan di area resusitasi atau emergensi tanpa menunda tindakan
resusitasi, kecepatannya, sifatnya yang non-invasif, dan dapat dilakukan berulang kali
menyebabkan FAST merupakan studi diagnostik yang ideal. Namun tetap didapatkan
beberapa kekurangan, terutama karena ketergantungannya terhadap jumlah koleksi
cairan bebas intraperitoneal untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang positif.

Cedera hollow viscus dan retroperitoneal sulit dideteksi dengan pemeriksaan ini.
Mengenai keuntungan dan kerugian FAST dapat dilihat pada tabel berikut ini.4
Tabel 1. Keuntungan dan kerugian FAST4
KEUNTUNGAN
Nonivasif
Tidak menghasilkan radiasi
Dapat dilakukan berulang kali

KERUGIAN
Hasilnya tergantung keahlian pemeriksa
Sulit dilakukan pada penderita obesitas
Terdapat interposisi dengan udara

Dapat dilakukan di area resusitasi atau


emergensi tanpa menunda tindakan
resusitasi

Sensitifitas rendah untuk koleksi cairan


bebas < 500 ml

Dapat dilakukan pada evaluasi awal

Negatif palsu : cedera retroperitoneal dan


hollow viscus

Murah
Ambang

minimun

jumlah

hemoperitoneum

yang

dapat

terdeteksi

masih

dipertanyakan. Kawaguchi et al dapat mendeteksi sampai 70 cc, sedangkan Tilir et al


mengemukakan bahwa 30 cc adalah jumlah minimum yang diperlukan untuk dapat
terdeteksi dengan USG. Mereka juga menyimpulkan strip kecil anekoik di Morison
pouch menggambarkan cairan sebanyak kurang lebih 250 cc, sementara strip selebar
0,5 dan 1 cm menggambarkan koleksi cairan sebesar 500 cc dan 1 liter. 4
Beberapa penelitian akhir-akhir ini mempertanyakan keandalan FAST pada evaluasi
trauma tumpul abdomen. Stengel et al melakukan meta-analisis dari 30 penelitian
prospektif dengan kesimpulan pemeriksaan FAST memiliki sensitifitas rendah yang
tidak dapat diterima (unacceptably) untuk mendeteksi cairan intra-peritoneal dan
cedera organ padat. Mereka merekomendasikan penambahan studi diagnostik lain
dilakukan pada penderita yang secara klinis dicurigai trauma tumpul abdomen,
apapun hasil temuan pemeriksaan FAST.3 Literatur lain menunjukkan sensitifitas
berkisar antara 78-99% dan spesifisitas berkisar antara 93-100%.2,3 Rozycki et al dari
studinya yang melibatkan 1540 penderita melaporkan sensitifitas dan spesifisitas
sebesar 100% pada penderita trauma tumpul abdomen.4

Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi ,yang
secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun
terapeutik lainnya. Indikasi pemakainya sama dengan indikasi DPL. Faktor yang
mempengaruhi penggunaannya antara lain adalah obesitas , adanya udara subkutan
ataupun bekas operasi abdomen sebelumnya. Scaning dengan ultrasound bisa dengan
cepat dilakukan untuk mendeteksi hemoperitoneum. Dicari scan dari kantung
perikard ,fossa hepatorenalis ,fossa splenorenalis ataupun cavum douglas. Sesudah
scan pertama ,30 menit berikutnya idealnya dilakukan lagi scan kedua atau scan
kontrol scan kontrol ini

gunanya adalah untuk melihat pertambahan

hemoperitoneum pada pasien dengan perdarahan yang berangsur-angsur.


Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan CT scan abdomen dapat dilihat pada tabel
berikut ini. Kekurangannya adalah penderita yang harus dibawa ke ruangan CT scan
dan biayanya mahal dibandingkan dengan modalitas lainnya. CT scan pada cedera
organ padat digunakan untuk menentukan derajat cedera dan evaluasi ekstravasasi
kontras. 4
Tabel 2. Indikasi dan kontraindikasi CT scan abdomen4
INDIKASI
Hemodinamik stabil
Pemeriksaan
fisik

normal

KONTRAINDIKASI
Laparotomi eksplorasi yang sudah jelas
atau Hemodinamik tidak stabil

meragukan
Penurunan hematokrit pada penderita Agitasi
yang ditangani secara non operatif
Trauma duodenal atau pancreas

Alergi terhadap media kontras

CT abdomen dan pelvis adalah studi diagnostik utama pada trauma abdomen dengan
hemodinamik stabil. Sensitifitasnya berkisar antara 92% dan 97,6% dengan spesifitas
yang tinggi sekitar 98,7%.1 CT dapat menyediakan informasi yang berguna berkaitan
dengan cedera organ spesifik dan lebih unggul dalam hal mendiagnosis cedera
retroperitoneal dan pelvis. Namun, CT kurang sempurna dalam mengidentifikasi

cedera hollow viscus sehingga bila timbul kecurigaan terjadinya cedera tersebut, DPL
dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan. 4
Diagnostik peritoneal lavage
Root et al pada tahun 1965 memperkenalkan DPL sebagai tes diagnostik yang
cepat, akurat, dan murah untuk deteksi perdarahan intra-peritoneal pada trauma
abdomen. Kerugiannya adalah bersifat invasif, risiko komplikasi dibandingkan
tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi cedera yang signifikan
(ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas, renal, duodenal, dan vesica
urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas yang rendah.
Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan adalah imbibisi dari
hematom retroperitoneal atau dinding abdomen. Adapun indikasi dan kontraindikasi
DPL dapat dilihat pada tabel berikut ini. 7
Kriteria untuk DPL positif pada trauma tumpul abdomen tercantum pada tabel 3.
Pada penderita dengan hemodinamik tidak stabil, DPL positif mengindikasikan
perlunya tindakan laparotomi segera. Namun pada penderita dengan hemodinamik
stabil, kriteria DPL terlalu sensitif dan non-spesifik. Oleh karena itu, bila DPL positif
berdasarkan aspirasi darah gross atau hitung sel darah merah (SDM) pada populasi
penderita dengan hemodinamik stabil, tidak mutlak artinya diperlukan tindakan
laparotomi segera untuk menghindari dilakukannya eksplorasi yang non-terapetik.3,7
Tabel 3. Indikasi dan Kontraindikasi DPL7
INDIKASI
KONTRAINDIKASI
Pemeriksaan fisik yang meragukan
Mutlak : indikasi untuk laparotomi
eksplorasi sudah jelas
Syok atau hipotensi yang tidak dapat Relatif : riwayat laparotomi eksplorasi
dijelaskan
sebelumnya, kehamilan, morbid obesity
Penurunan kesadaran( cedera kepala
,sirrhosis yang lanjut ,dan adanya
tertutup, obat-obatan)
Penderita dalam narkose umum untuk koagulopati sebelumnya .
prosedur ekstra abdominal
Cedera medula spinalis

ATLS juga menyebutkan indikasi DPL yaitu pasien hemodinamik tidak stabi dengan:
a.
b.
c.
d.
e.

Perubahan sensorium-trauma capitis ,intoksikasi alcohol ,kecanduan obat obatan


Perubahan sensasi-trauma spinal
Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis ,vertebra lumbalis
Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas
Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak
lama-pembiusan untuk cedera extraabdominal,pemeriksaan X-ray yang lama

,mis.angiografi
f. Adanya lap-belt sign (kontusio dindingf perut) dengan kecurigaan trauma usus.
Juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil bila dijumpai hal seperti
diatas, dan disini tidak kita miliki fasilitas USG ataupun CT scan.
Beberapa penelitian menunjukan tingkat akurasi sebesar 98-100%, sensitifitas sebesar
98-100%, dan spesifisitas sebesar 90-96%. Pemeriksaan CT scan abdomen-pelvis
lebih lanjut dapat meningkatkan spesifitas untuk menentukan cedera yang
memerlukan tindakan pembedahan. 7
Kriteria DPL positif pada trauma tumpul abdomen meliputi :3,7
1. sel darah merah 100.000 /mm3
2. sel darah putih lebih dari 500 /mm3
3. Adanya sisa makanan, bile, atau bakteri
4. Pewarnaan Gram positif
5. Kadar amilase > 175 IU/dL
Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal ,sarat sayuran atau empedu yang
keluar,melalui tube DPL pada pasien dengan hemodinamik yang abnormal
menunjukan indikasi kuat untuk laparatomi . bila tidak ada darah segar (>10 cc)
ataupun cairan feces , dilakukan lavase dengan 1000 cc ringer laktat (pada anak-anak
10cc/kg) .sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan logroll , cairan di tempung kembali dan diperiksa dilaboratorium untuk melihat isi
gastrointestinal ,serat maupun empedu.

Laparoskopi
Laparoskopi diagnostik pada trauma tumpul abdomen merupakan ilmu yang masih
dalam perkembangan dan masih terbatas penggunaannya. Bila dilakukan secara
selektif pada penderita dengan hemodinamik stabil, laparoskopi merupakan tindakan
yang aman dan secara teknis memungkinkan. Chol et al melaporkan terjadi
pengurangan angka laparotomi negatif atau non-terapetik dengan laparoskopi
diagnostik tersebut.3 Namun laparoskopi adalah tindakan yang bersifat invasif serta
mahal dan nampaknya saat ini tidak lebih unggul dari modalitas lain dalam penentuan
keputusan.4
PENATALAKSANAAN NON-OPERATIF
Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil. Angka
keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan berdasarkan CT
scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi. 3 Keuntungan dari penatalaksanaan
non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi non-terapetik beserta
komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan komplikasi intra-abdominal
yang lebih sedikit.1 Belum ada literatur yang menegaskan bahwa penatalaksanaan
non-operatif meningkatan risiko tidak terdiagnosisnya cedera intra-abdominal lain
yang berhubungan.3
CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya kontras
yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan indikasi untuk
angiografi dan embolisasi.3
Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital, pemeriksaan fisik, dan
nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila salah satu memburuk, maka hal
tersebut merupakan indikasi untuk intervensi pembedahan. Tirah baring total atau
pembatasan aktifitas dan CT scan serial telah dibantah kegunaannya oleh beberapa

literatur.1 Waktu untuk kembali ke aktifitas normal tergantung pada luas dan derajat
cedera.3

PENATALAKSANAAN OPERATIF
Apapun mekanisme traumanya, prinsip utama pada operatif trauma adalah pemaparan
(exposure) dan hemostasis, terutama pada trauma hepar. Setelah dilakukan mobilisasi
hepar yang adekuat, laserasi simpel dapat ditangani dengan penekanan langsung,
elektrokauterisasi, koagulasi sinar argon, dan agen hemostatik topikal.3 Teknik finger
fracture dengan ligasi langsung pada pembuluh darah yang ruptur juga dapat
dilakukan.
Pada cedera yang berat akan lebih sulit untuk mencapai hemostasis. Jika teknik yang
telah disebutkan gagal, dilakukan kompresi portal triad (the Pringle maneuver) yang
akan mengontrol perdarahan yang berasal dari vena porta dan sistem arterial hepatik.
Jika manuver tersebut efektif, pada laserasi dapat dilakukan finger fractionation dan
ligasi langsung pembuluh darah yang ruptur. Setelah hemostasis tercapai, dilakukan
tampon pada laserasi dengan menggunakan flap omental. Jahitan-dalam hepar
sebaiknya tidak dilakukan lagi.3
Bila manuver Pringle tersebut gagal, perlu dicurigai adanya cedera vena hepatik atau
cedera vena cava inferior retrohepatik. Pada keadaan ini, mendapatkan kontrol
vaskuler adalah sangat menantang. Eksklusi hepatik total atau atriocaval shunt
merupakan pilihan yang tidak dapat dianggap mudah. Pada cedera seperti ini perlu
dipertimbangkan lebih dalam untuk melakukan teknik damage control, yang meliputi
abdominal packing dan penutupan abdomen sementara.3,4
Penggunaan angiografi pasca-bedah dan embolisasi dapat membantu. Pada penderita
dengan ekstravasasi arterial aktif, beberapa metode embolisasi dapat membantu

menghentikan sumber perdarahan. Reseksi hepar dicadangkan untuk operasi


selanjutnya ketika debridement jaringan hepar yang mati dilakukan. 3,4

KOMPLIKASI RUPTUR ORGAN


Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul abdomen karena
adanya ruptur pada organ. Penyebab yang paling serius dari peritonitis adalah
terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga peritoneal dari organ-organ
intra-abdominal (esofagus, lambung, duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung
empedu, apendiks, dan saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah
yang menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami
strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana vaskular
(trombosis dari mesenterium/emboli). 8
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis),
ruptur saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang sering
menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks,
sedangkan stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar. Pada luka tembak
atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda peritonitis karena ini merupakan
indikasi untuk segera dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun pada trauma tumpul
seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan berulang karena tanda rangsangan
peritoneum bisa timbul perlahan-lahan. 8
Menegakkan diagnosis peritonitis secara cepat adalah penting sekali. Diagnosis
peritonitis didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis. Kebanyakan
pasien datang dengan keluhan nyeri abdomen. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau
tersembunyi. Pada awalnya, nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak

spesifik (peritoneum viseral) dan kemudian infeksi berlangsung secara progresif,


menetap, nyeri hebat dan semakin terlokalisasi (peritoneum parietale). Dalam
beberapa kasus (misal: perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia intestinal) nyeri
abdomen akan timbul langsung secara umum/general sejak dari awal. Mual dan
muntah biasanya sering muncul pada pasien dengan peritonitis. Muntah dapat terjadi
karena gesekan organ patologi atau iritasi peritoneal sekunder.9
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik.
Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan
muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator
inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual dan muntah,
demam, kehilangan cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya
dehidrasi yang berlangsung secara progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi.
Hal ini bisa menyebabkan produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis
hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis. 9
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan
untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan. Pada inspeksi,
pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan
usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan
ditemukan

perut

yang

membuncit

dan

tegang

atau

distended.9

Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling terasa sakit di
abdomen, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuik pasien.
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus.
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama
sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus
ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising
usus dapat terdengar normal.9

Palpasi. Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterior dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi
harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal
ini berguna sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang
nyeri. Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses
inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni
adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Pada saat pemeriksaan penderita
peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans
muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari
gerakan atau tekanan setempat. 9
Perkusi. Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan
pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi. Pada
pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis. Nyeri pada
semua arah menunjukkan general peritonitis. 9

DAFTAR PUSTAKA
1. Pusponegoro, A.D. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011, Bab
6; Trauma dan Bencana.
2. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter
Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.
3. Ahmadsyah, I. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher, 2009, Bab 2; Digestive.
4. Fabian, Timothy C. Infection in Penetrating Abdominal Trauma: Risk Factors
and Preventive Antibiotics. The American Surgeon 2002; 68: 29-35
5. Udeani, J., Geibel, J., 2011. Blunt Abdominal Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1980980-workup#aw2aab6b5b3.

Di

akses Mei 2016


6. Eastern Association for the Surgery of Trauma. Practice Management
Guidelines for The Evaluation of Blunt Abdominal Trauma. EAST Practice
Management Guidelines Work Group: Brandywine Hospital, 2001, p; 2-27
7. American College of Surgeons, 2003. Evaluation of Abdominal Trauma.
Committee on Trauma: Subcommittee on Publications. Available from:
8. Demetriades, D., Velmahos, G. Technology-Driven Triage of Abdominal
Trauma: The Emerging Era of Nonoperative Management. Annu Rev Med
2003; 54: 1-15
9. Sivit, C.J. Abdominal

Trauma

Imaging:

Imaging

Appropriateness. Pediatr Radiol 2009; 39: S158-S160

Choices

and

You might also like