You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Allah telah mengatur sesuatu termasuk rizki manusia yang satu dengan yang
lainnya. Tak bisa dielakkan lagi kita hidup didunia memerlukan segala sesuatu
termasuk harta. Mencari rizki merupakan suatu usaha dalam

rangkamemenuhi

kebutuhan, dalam pemenuhan kebutuhannya tentu saja dengan usaha berbagai cara.
Tetap perlu diingat sebagai seorang muslim dalam usaha mencari rizki harus dengan
cara yang benar artinya harus dihalalkan oleh hukum islam baik prosesnya maupun
hasilnya.
Bekerja dan berusaha dalam kehidupan duniawi merupakan bagian penting
dari kehidupan seseorang dalam mempraktekan Islam.Karena Islam sendiri
mengajarkan bahwa hidup tidak hanya semata-mata untuk beribadah dan
berorientasi kepada akhirat saja.Islam menghendaki terjadinya keseimbangan antara
duniawi dan ukhrawi.

B. TUJUAN
Islam telah mengajarkan tentang bagaimana mencari rizki yang halal tetapi tidak
semua orang dapat mengetahui dan memahami tentang hal itu maka berikut ini akan
kami bahas tentang mencari rizki yang halal.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Ada dua karakteristik rezeki yang direkomendasikan dalam Islam, yaitu Halal dan
Baik.Ada rezeki yang baik tapi tidak halal, dan ada pula rezeki yang halal tapi tidak
baik.
Rezeki yang baik tapi tidak halal, contohnya makanan yang baik dan segar tapi
prosedur mendapatkannya dengan cara mencuri. Sebuah mobil Kijang Innova,
makanan Burger di MC Donald, pakaian yang indah dan menarik, kalau hal tersebut
didapat dengan cara mencuri, atau uang yang digunakan untuk membelinya
merupakan hasil mencuri, adalah contoh jenis rezeki yang baik tapi tidak halal.
Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan
usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan
kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta
pertolongan kepada Allah Taala dalam semua usaha yang mereka lakukan.
Allah Taala berfirman,


{
}

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk
mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS al-Jumuah:10).
Dalam ayat lain Allah Taala berfirman,
{}
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepadaNya) (QS Ali Imraan:159).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih
dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing
(dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang
bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta
janganlah (bersikap) lemah.

B. PRINSIP KONSUMSI DALAM ISLAM


Menurut Manan, ada 5 prinsip konsumsi dalam islam :

Prinsip Keadilan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki
yang halal dan tidak dilarang hukum. Firman Allah dalam QS : Al-Baqarah : 173
173. Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Haram juga menurut ayat Ini daging yang berasal dari sembelihan yang
menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
Pelarangan dilakukan karena berkaitan dengan hewan yang dimaksud berbahaya
bagi tubuh dan tentunya berbahaya bagi jiwa , terkait dengan moral dan spritual
(Mempersekutukan tuhan)

Prinsip Kebersihan, makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak
kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.

Prinsip Kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai


makan dan minuman yang tidak berlebihan Firman Allah dalam QS : Al-Araaf :
31
31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid , makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Maksudnya: tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah


atau ibadat-ibadat yang lain.
Maksudnya: janganlah melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan
pula melampaui batas-batas makanan yang dihalalkan.
4

Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya
maupun dosa

ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang

disediakan Tuhannya. Firman Allah dalam QS : Al-Maidah : 96


96. Dihalalkan bagimu binatang buruan lautdan makanan (yang berasal) dari
lautsebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat,
selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah
kamu akan dikumpulkan.
Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti
mengail, memukat dan sebagainya. termasuk juga dalam pengertian laut disini
ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya.
Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, Karena Telah
mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
5

Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah


sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepadanya setelah makan.

C. KONSEP

MASLAHAH

DALAM

PRILAKU

KONSUMEN

ISLAMI
Syariah

Islam

menginginkan

manusia

mencapai

dan

memelihara

kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah maslahah, yang maknanya


lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi
konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan
jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di
muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau,
yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan
(al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang
dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di
atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi
meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran hyang menyangkut maslahah tersebut
harus dikerjakan sebagai suatu religious duty atau ibadah. Tujuannya bukan hanya
kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang
memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut needs atau kebutuhan. Dan semua
kebutuhan ini harus dipenuhi.
Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan adalah
tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah
satu kewajiban dalam beragama.

Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:


-

Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim
bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan
suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility,
kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi
semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank
memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan
keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.

Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak.
Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan
optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan
orang lain.

Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik


itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis:

pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan


akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya
kehidupan akhirat.
Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:

Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis


pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.

Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian


pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
dunia (dalam rangka mencapai kepuasan di akhirat) dan berapa bagian untuk
kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi

untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit
daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di
atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung
maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak
dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep kepuasan dengan
pemenuhan kebutuhan (yang

terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu

membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara yakni antara daruriyyah,


tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai
berikut:
Daruriyyah : Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar
bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya
lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,
keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka
tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan
kerugian yang nyata di akhirat.

Hajiyyah : Syariah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan


kesempitan. Hukum syara dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara
lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap
lima hal pokok tersebut.
Tahsiniyyah : syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di
dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk
mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah
dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan konsep
israf (berlebih-lebih) dalam membelanjakan harta dan tabzir. Islam memperingatkan
agen ekonomi agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba mencari harta (attakaatsur). Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertaqwa, bersyukur
dan menerima. Pola hidup konsumtivme seperti di atas tidak pantas dan tidak
selayaknya dilakukan oleh pribadi yang beriman dan bertaqwa. Satu-satunya gaya
hidup yang cocok adalah simple living ( hidup sederhana) dalam pengertian yang
benar secara syari.
Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih
mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Setidaknya
terdapat tiga kebutuhan pokok:
Pertama adalah kebutuhan primer, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia
yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal,

agama,keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia


tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum,
tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
Kedua, kebutuhan sekunder, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi
sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan inipun masih berkaitan dengan
lima tujuan syariat itu tadi.
Ketiga adalah kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini
tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder

serta,

sekali lagi, berkaitan dengan lima tujuan syariat.


Untuk mewujudkan lima tujuan syariat ini, ibu rumah tangga yang umumnya
merupakan manajer rumah tangga, mesti disiplin dalam menepati skala prioritas
kebutuhan tadi, sesuai dengan pendapatan yang diperoleh suaminya.
Meski satu rumah tangga sudah mampu memenuhi sampai kebutuhan ketiga
atau pelengkap, Islam tetap tidak menganjurkan, bahkan mengharamkan
pengeluaran

yang

berlebih-lebihan

dan

terkesan

mewah,

karena

dapat

mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman dalam . (QS al-Israa


ayat 16):

16. Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.
Untuk mencegah agar kita tidak terlanjur ke gaya hidup mewah, Islam
mengharamkan segala pembelanjaan yang tidak mendatangkan manfaat, baik
manfaat material maupun spiritual. Apalagi melakukan pembelanjaan untuk barangbarang yang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi juga dibenci Allah, seperti:
minuman alkohol, narkoba, dan barang haram lainnya. Juga pembelian yang
mengarah pada perbuatan bidah dan kebiasaan buruk.

D. KEBUTUHAN DAN KEINGINAN


Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa
ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu
maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya
yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan
barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan
(keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya
barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.

Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan


dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi,
yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan
dengan jelas antara keinginan (raghbah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu
yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam
ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs),
akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi
konvensional.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan
akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan
dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin.
Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan
kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo
Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya
nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka
menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan
fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di
sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan
Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan
dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan

penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak
yang makan karena lapar saja.
Anehnya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya
perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan
sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya
sumber-sumber

daya

alam

secara

membabi

buta

dan

menciptakan

ketidakseimbangan ekologi yang gawat. Maka tidak heran jika sekarang terjadi
bermacam-macam bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin
keinginan sama dengan kebutuhan.
Lebih jauh Imam al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan
konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam
rangka beribadah kepada Allah SWT. Di sini tampak pula pandangan integral beliau
tentang falsafah hidup seorang Muslim. Pandangan ini tentu sangat berbeda dari
dimensi

yang

melekat

pada

konsep

konsumsi

konvensional.

Pandangan

konvensional yang materialis melihat bahwa konsumsi merupakan fungsi dari


keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan dan lain-lain tanpa mempedulikan pada
dimensi spiritual karena hal itu dianggapnya berada di luar wilayah otoritas ilmu
ekonomi. Tidak ada yang dapat menghalangi perilaku homo economicus kecuali
kemampuan dananya. Tidak ada perasaan apakah konsumsi sekarang akan
berpengaruh kepada masa depan dirinya sendiri (misalnya mengkonsumsi alkohol
dan merokok), masa depan umat manusia ( misalnya, menguras minyak bumi,

menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi
masa depan kelak di akhirat.
Pembahasan tentang

tingkatan-tingkatan pemenuhan kebutuhan manusia

(hajaat) telah menarik perhatian para ulama di sepanjang zaman. Di antara mereka
ada yang lebih menonjol dari yang lain dan secara khusus membahasanya dalam
karya-karya ilmiahnya seperti Imam al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitabnya alBurhan fi Usul al-Fiqh, Imam al-Ghozali dalam al-Mustasfa dan Ihya, al-Izz bin
Abdus Salam (w. 660 H) dalam Qowaid al-Ahkam fi Masolih al-Anam, Imam asSyatibi (w. 790 H) dalam al-Muwafaqot dan Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam
Muqoddimah. Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam
memberikan norma-norma dan batasan-batasan (constraints) pada individu dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya
akan membentuk gaya hidup ( life style) dan pola perilaku konsumsi ( patterns of
consumption behaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari
gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.
Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin Imam al-Ghazali membagi
tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhorurah,
had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at-tanaum.
Yang dimaksud dengan had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan
konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya
mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Imam al-Ghazali
sendiri menolak gaya hidup seperti ini karena individu tidak akan mampu

melaksanakan kewajiban agama dengan baik dan akan meruntuhkan sendi-sendi


keduniaan yang pada gilirannya juga akan meruntuhkan agama karena dunia adalah
ladang akhirat (ad-Dunya Mazroah al-akhirah).
Tingkatan tanaum digambarkan bahwa individu pada tahapan ini
melakukan konsumsi tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhannya an
sich, tetapi juga bertujuan untuk bersenang-senang dan bernikma-nikmat. Menurut
Imam al-Ghazali gaya hidup bersenang-senang ini tidak cocok bagi seorang mukmin
yang tujuan hidupnya untuk mencapai derajat tertinggi dalam ibadah dan ketaatan.
Kendatipun begitu, gaya hidup demikian tidak seluruhnya haram. Sebagian
dihalalkan, yaitu ketika individu menikmatinya dalam kerangka menghadapi nasib
di akhirat, walaupun untuk itu, ia tetap akan diminta pertanggungjawabannya kelak.
Barangkali keadaan ini dapat lebih ditegaskan bahwa meninggalkan had tanaum
tidak diwajibkan secara keseluruhan begitu juga menikmatinya tidak dilarang
semuanya.
Antara had ad-dhorurah dengan tanaum terdapat area yang sangat luas
disebut had al-hajah di mana keseluruhannya halal dan mubah. Menurut al-Ghazali
area ini memiliki dua ujung batasan yang berbeda yaitu ujung yang berdekatan
dengan perbatasan dharurah dan ini dinilainya tidak mungkin dipertahankan karena
akan menimbulkan kelemahan dan kesengsaraan dan ujung yang lain berbatasan
dengan tanaum di mana individu yang berada di sini dianjurkan untuk ekstra
waspada. Hal ini disebabkan karena ujung perbatasan ini dapat menjerumuskannya
ke dalam hal-hal yang membuatnya terlena secara tidak sadar dan akhirnya

melalaikan tugasnya dalam beribadah kepada Allah. Beliau menasihati kita agar
sedapat mungkin menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin mendekati had
ad-dharurah dalam rangka meneladani para Nabi dan Wali.
Kajian al-Ghazali tentang tingkatan konsumsi ini banyak bersentuhan
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Imam al-Juwaini dan itu adalah wajar
karena Imam al-Haromain adalah salah satu gurunya dan al-Ghazali banyak belajar
dan mengambil ilmu dari padanya. Di samping itu kategorisasinya juga banyak
persamaannya dengan para ulama sesudahnya seperti al-Izz bin Abdus Salam, asSyatibi dan Ibnu Khaldun. Umumnya mereka membagi tiga kategori pemenuhan
kebutuhan, hanya ada sedikit perbedaan dalam penggunaan bahasa. Para ekonom
Muslim lebih menyukai istilah dan kategorisasi yang dikembangkan oleh Imam asSyatibi dalam al-Muwafaqot yaitu dhoruriyah, hajiyah dan tahsiniyah (kamaliyyah).
Sekalipun demikian, belakangan Imam Suyuthi ( w.911 H ) dalam al-Asybah wan
Nazhoir menulis lima tingkatan yaitu dhorurah, hajah, manfaah, ziinah, dan
fudhul.

E. USAHA MENCARI RIZKI HALAL YANG TIDAK


BERTENTANGAN DENGAN TAWAKKAL
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan
berusaha mencari rezki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh


mencari usaha yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah
usaha yang dilakukan seseorang dengan tangannya sendiri.
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali
tidak bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan
melakukan usaha yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Taala,
yang ini justru menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggambarkan
kesempurnaan tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang
halal, dalam sabda beliau,
Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya,
maka sungguh Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia
melimpahkan rezki kepada burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari
dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata:
Artinya: burung itu pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu
petang dalam keadaan perutnya telah penuh (kenyang). Namun, melakukan
usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan rezki (dengan sendirinya),
karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Taala (semata).

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan


bahwa tawakal (yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan
melakukan usaha (untuk mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus
dengan melakukan (berbagai) macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan
rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata:
Hadits ini tidak menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan
(sebaliknya) menunjukkan (kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna
hadits ini adalah: kalau manusia bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi
(untuk mencari rezki), ketika kembali, dan ketika mereka mengerjakan semua
aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua kebaikan ada di tanganNya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan mendapatkan
limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung.
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya:
Ketahuilah bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan
dengan usaha untuk (melakukan) sebab yang dengannya Allah Taala menakdirkan
ketentuan-ketentuan (di alam semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang
berlaku pada semua makhluk-Nya. Karena Allah Taala memerintahkan (kepada
manusia) untuk melakukan sebab (usaha) sebagaimana Dia memerintahkan untuk
bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk melakukan sebab (yang halal) dengan
anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya, sebagaimana bertawakal

kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya. Sebagaimana


firman Allah Taala,
{}
Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu (QS an-Nisaa:71).
Dan firman-Nya,
{}
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (QS alAnfaal:60).
Juga firman-Nya,


{
}


Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi
(untuk mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan
ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS al-Jumuah:10).
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari:
Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi)
iman, dan barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia
telah mencela sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

F. MAKNA TAWAKKAL YANG HAKIKI


Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, Tawakkal yang hakiki adalah
penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Taala dalam meraih berbagai
kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan
dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepadanya dan meyakini dengan
sebenar-benarnya

bahwa

tidak

ada

yang

dapat

memberi,

menghalangi,

mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah (semata).


Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi
dalam agama Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhiddalam semua jenisnya
tidak akan dicapai kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Taala.
Allah Taala berfirman,
{}
(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada
Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai
pelindung (QS al-Muzzammil:9).
Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan
dari Allah Taala bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan
urusannya. Allah Taala berfirman,
{ .}
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
baginya jalan ke luar (bagi semua urusannya).Dan memberinya rezki dari arah

yang tidada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada


Allah niscaya Allah akan mencukupkan (segala keperluan)nya (QS athThalaaq:2-3).
Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua)
urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya.
Salah seorang ulama salaf berkata: Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul
(sebab yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia
mengetahui (adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak
hamba-Nya yang memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi
(semua) keperluan hamba tersebut. Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di
atas.

G. TAWAKKAL YANG TERMASUK SYIRIK DAN YANG


DIPERBOLEHKAN
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakkal adalah salah satu ibadah agung
yang hanya boleh diperuntukkan bagi Allah Taala semata, dan mamalingkannya kepada
selain Allah Taala adalah termasuk perbuatan syirik.
Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung
dan bersandar hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan
manfaat, termasuk mendatangkan rezki, dan menolak bahaya adalah Allah Taala semata,
bukan usaha/sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya
dia melakukan usaha tersebut. Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan
mendatangkan hasil kecuali dengan izin Allah Taala.

Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik
yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal
(bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Taala dalam suatu perkara yang
tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Taala semata.
Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya)
kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti
memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik
kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat
besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Taala, dan juga
karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, nauudzu bilahi min dzalik.
Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab
tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang
menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan
dalam Islam.

H. PREFENSI KONSUMSI
1

Utamakan Akhirat dari pada dunia


Pada tataran dasar konsumsi dilakukan bersifat duniawi (CW) dan
bersifat Ibadah (Ci) Keduanya bukan subtitusi yang sempurna karena perbedaan
ekstrim. Ibadah lebih bernilai tinggi karena orientasinya pada meraih falah yaitu
pahala dari Allah swt.
Dalam Al-Quran & hadits konsumsi duniawi adalah untuk masa
sekarang (present consumption) sedangkan untuk konsumsi ibadah untuk masa

depan (future consumption), semakin besar konsumsi akhirat / ibadah semakin


besar menuju falah begitu juga sebaliknya .
2

Konsisten dalam prioritas pemenuhannya


Ulama telah membagi prioritas pemenuhan kebutuhan dalam tiga bagian:

Daruriyyah, yaitu kebutuhan tingkat dasar atau kebutuhan primer

Hajjiyah , yaitu kebutuhan pelengkap/ penunjang atau sekunder

Tahsiniyyah, yaitu kebutuhan akan kemewahan atau kebutuhan tersier

Memperhatikan etika dan norma


Islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam berkonsumsi. Diantaranya:
kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiban, keseimbangan dan lainlain.

I. HUBUNGAN DENGAN KESEHATAN


Makanan yang dikonsumsi akan mengalir di seluruh tubuhnya melalui aliran
darah. Sampai di otak akan membuat pikiran yang selalu kotor. Sampai di mata akan
membuat matanya selalu ingin melihat segala sesuatu yang haram. Sampai di mulut
akan membuat mulut dan pembicaraannya yang selalu menggunjing orang lain.
Sampai di tangannya akan tangan selalu ingin menyentuh segala sesuatu yang di
haramkan. Sampai di perutnya membuat seseorang malas untuk melakukan segala
amal kebaikan. Sampai di kakinya membuat langkah langkah maksiat yang
diharamkan oleh Allah SWT,dll. Inilah pengaruh besar bagi seseorang yang
memakan makanan yang tidak halallanthoyibah.Dapat dibayangkan akibatnya bila

kita terus menerus mengkonsumsi makanan-makanan yang tidak halalan thoyiban


kemudian kita konsumsikan lagi kekeluarga dan anak-anak kita, Akhirnya doa-doa
serta amalan kita tidak terijabah oleh Allah SWT.
Begitu pula dengan pengaruhnya bagi kesehatan, makanan yang tidak
halallantoyibah akan berdampak buruk bagi yang mengkonsumsinya. Salah satunya
contoh logika dan ilmiah kenapa Islam mengharamkan darah untuk dimakan.
Berdasarkan analisa kimia dari darah yang menunjukkan adanya kandungan yang
tinggi dari senyawa ini dikeluarkan sebagai kotoran dan dalam kenyataannya kita di
beritahukan bahwa 98 % dari uric acid dalam tubuh dikeluarkan dari dalam darah
oleh ginjal dan di buang keluar tubuh melalui air seni.

J. MAKANAN HALALLAN THOYIBAH


Dalam ajaran Islam pada prinsipnya makanan yang yang dikonsumsi harus
halallanthoyibah. Jadi, makanan tersebut tidak hanya halal dalam arti tidak
mengandung zat/jenis makanan yang diharamkan oleh Allah SWT saja. Akan tetapi,
makanan itu juga harus thoyib (baik).
Apakah makanan yang thoyib/baik itu? Yaitu makanan halal yang di dapatinya
karena ridho Allah SWT.Dengan kata lain makanan yang diperoleh dari hewan halal
yang disembelihnya juga harus dengan menyebut nama Allah.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan maka beberapa hal yang dapat
disimpulkan:
1

Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam menurut Manan yaitu : prinsip
keadilan,kebersihan, kesederhanaan , kemurahan hati dan moralitas

Maslahah mempunyai makna yang lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan
dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara yang paling utama.

Kebutuhan dan keinginan merupakan sesuatu yang berbeda, menurut Imam alGhazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menjalankan fungsinya.

B. SARAN
Hendaknya sorang muslim dapat memperjuangkan sesuatu yang halal,
banyak yang merasa apa yang ia makan sudah halal, faktanya masih banyak
makanan yang tidak memenuhi syariat mengalir ditubuh kita. Penuhi lah apa yang
diperintahkan oleh-Nya, sesungguhnya Dial ah yang Maha Pengasih Lagi Maha
pengampun.

DAFTAR PUSTAKA

Anto, Hendrie. M.B(2003),

Pengantar Ekonomika Mikro Islami, EKONISIA,

Yogyakarta
Karim, Adiwarman (2002), Ekonomi Mikro Islami, IIITI
Khan, Fahim (1995), Essay in Islamic Economy, The Islamic Foundation

You might also like