Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Allah telah mengatur sesuatu termasuk rizki manusia yang satu dengan yang
lainnya. Tak bisa dielakkan lagi kita hidup didunia memerlukan segala sesuatu
termasuk harta. Mencari rizki merupakan suatu usaha dalam
rangkamemenuhi
kebutuhan, dalam pemenuhan kebutuhannya tentu saja dengan usaha berbagai cara.
Tetap perlu diingat sebagai seorang muslim dalam usaha mencari rizki harus dengan
cara yang benar artinya harus dihalalkan oleh hukum islam baik prosesnya maupun
hasilnya.
Bekerja dan berusaha dalam kehidupan duniawi merupakan bagian penting
dari kehidupan seseorang dalam mempraktekan Islam.Karena Islam sendiri
mengajarkan bahwa hidup tidak hanya semata-mata untuk beribadah dan
berorientasi kepada akhirat saja.Islam menghendaki terjadinya keseimbangan antara
duniawi dan ukhrawi.
B. TUJUAN
Islam telah mengajarkan tentang bagaimana mencari rizki yang halal tetapi tidak
semua orang dapat mengetahui dan memahami tentang hal itu maka berikut ini akan
kami bahas tentang mencari rizki yang halal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Ada dua karakteristik rezeki yang direkomendasikan dalam Islam, yaitu Halal dan
Baik.Ada rezeki yang baik tapi tidak halal, dan ada pula rezeki yang halal tapi tidak
baik.
Rezeki yang baik tapi tidak halal, contohnya makanan yang baik dan segar tapi
prosedur mendapatkannya dengan cara mencuri. Sebuah mobil Kijang Innova,
makanan Burger di MC Donald, pakaian yang indah dan menarik, kalau hal tersebut
didapat dengan cara mencuri, atau uang yang digunakan untuk membelinya
merupakan hasil mencuri, adalah contoh jenis rezeki yang baik tapi tidak halal.
Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan
usaha halal yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan
kewajiban utama untuk selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta
pertolongan kepada Allah Taala dalam semua usaha yang mereka lakukan.
Allah Taala berfirman,
{
}
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk
mencari rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung (QS al-Jumuah:10).
Dalam ayat lain Allah Taala berfirman,
{ }
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada
Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepadaNya) (QS Ali Imraan:159).
Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih
dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing
(dari keduanya) memiliki kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang
bermanfaat bagimu dan mintalah (selalu) pertolongan kepada Allah, serta
janganlah (bersikap) lemah.
Prinsip Keadilan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki
yang halal dan tidak dilarang hukum. Firman Allah dalam QS : Al-Baqarah : 173
173. Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Haram juga menurut ayat Ini daging yang berasal dari sembelihan yang
menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
Pelarangan dilakukan karena berkaitan dengan hewan yang dimaksud berbahaya
bagi tubuh dan tentunya berbahaya bagi jiwa , terkait dengan moral dan spritual
(Mempersekutukan tuhan)
Prinsip Kebersihan, makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak
kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya
maupun dosa
C. KONSEP
MASLAHAH
DALAM
PRILAKU
KONSUMEN
ISLAMI
Syariah
Islam
menginginkan
manusia
mencapai
dan
memelihara
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim
bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan
suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility,
kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi
semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank
memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan
keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak.
Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan
optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau
kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan
orang lain.
untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit
daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di
atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung
maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak
dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep kepuasan dengan
pemenuhan kebutuhan (yang
serta,
yang
berlebih-lebihan
dan
terkesan
mewah,
karena
dapat
16. Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan
kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku
terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya.
Untuk mencegah agar kita tidak terlanjur ke gaya hidup mewah, Islam
mengharamkan segala pembelanjaan yang tidak mendatangkan manfaat, baik
manfaat material maupun spiritual. Apalagi melakukan pembelanjaan untuk barangbarang yang bukan hanya tidak bermanfaat tetapi juga dibenci Allah, seperti:
minuman alkohol, narkoba, dan barang haram lainnya. Juga pembelian yang
mengarah pada perbuatan bidah dan kebiasaan buruk.
penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak
yang makan karena lapar saja.
Anehnya, ilmu ekonomi konvensional tidak terlalu merisaukan adanya
perbedaan ini. Mereka tetap berpendirian bahwa kebutuhan adalah keinginan dan
sebaliknya. Padahal konsekuensi dari penyamaan ini berakibat pada terkurasnya
sumber-sumber
daya
alam
secara
membabi
buta
dan
menciptakan
ketidakseimbangan ekologi yang gawat. Maka tidak heran jika sekarang terjadi
bermacam-macam bencana alam yang mengerikan disebabkan karena doktrin
keinginan sama dengan kebutuhan.
Lebih jauh Imam al-Ghazali menekankan pentingnya niat dalam melakukan
konsumsi sehingga tidak kosong dari makna dan steril. Konsumsi dilakukan dalam
rangka beribadah kepada Allah SWT. Di sini tampak pula pandangan integral beliau
tentang falsafah hidup seorang Muslim. Pandangan ini tentu sangat berbeda dari
dimensi
yang
melekat
pada
konsep
konsumsi
konvensional.
Pandangan
menebangi hutan, proses industri yang menimbulkan polusi udara dan air) apalagi
masa depan kelak di akhirat.
Pembahasan tentang
(hajaat) telah menarik perhatian para ulama di sepanjang zaman. Di antara mereka
ada yang lebih menonjol dari yang lain dan secara khusus membahasanya dalam
karya-karya ilmiahnya seperti Imam al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitabnya alBurhan fi Usul al-Fiqh, Imam al-Ghozali dalam al-Mustasfa dan Ihya, al-Izz bin
Abdus Salam (w. 660 H) dalam Qowaid al-Ahkam fi Masolih al-Anam, Imam asSyatibi (w. 790 H) dalam al-Muwafaqot dan Ibnu Khaldun (w. 808 H) dalam
Muqoddimah. Penyusunan tingkatan konsumsi ini menjadi menarik karena Islam
memberikan norma-norma dan batasan-batasan (constraints) pada individu dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada gilirannya
akan membentuk gaya hidup ( life style) dan pola perilaku konsumsi ( patterns of
consumption behaviour) tertentu yang secara lahiriah akan membedakannya dari
gaya hidup yang tidak diilhami oleh ruh ajaran Islami.
Dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumiddin Imam al-Ghazali membagi
tiga tingkatan konsumsi yaitu sadd ar-Ramq dan ini disebut juga had ad-dhorurah,
had al-hajah dan yang tertinggi adalah had at-tanaum.
Yang dimaksud dengan had ar-ramq atau batasan darurat adalah tingkatan
konsumsi yang paling rendah dan bila manusia berada dalam kondisi ini, ia hanya
mampu bertahan hidup dengan penuh kelemahan dan kesusahan. Imam al-Ghazali
sendiri menolak gaya hidup seperti ini karena individu tidak akan mampu
melalaikan tugasnya dalam beribadah kepada Allah. Beliau menasihati kita agar
sedapat mungkin menetap di had al-hajah dengan sedekat mungkin mendekati had
ad-dharurah dalam rangka meneladani para Nabi dan Wali.
Kajian al-Ghazali tentang tingkatan konsumsi ini banyak bersentuhan
dengan apa yang telah dikemukakan oleh Imam al-Juwaini dan itu adalah wajar
karena Imam al-Haromain adalah salah satu gurunya dan al-Ghazali banyak belajar
dan mengambil ilmu dari padanya. Di samping itu kategorisasinya juga banyak
persamaannya dengan para ulama sesudahnya seperti al-Izz bin Abdus Salam, asSyatibi dan Ibnu Khaldun. Umumnya mereka membagi tiga kategori pemenuhan
kebutuhan, hanya ada sedikit perbedaan dalam penggunaan bahasa. Para ekonom
Muslim lebih menyukai istilah dan kategorisasi yang dikembangkan oleh Imam asSyatibi dalam al-Muwafaqot yaitu dhoruriyah, hajiyah dan tahsiniyah (kamaliyyah).
Sekalipun demikian, belakangan Imam Suyuthi ( w.911 H ) dalam al-Asybah wan
Nazhoir menulis lima tingkatan yaitu dhorurah, hajah, manfaah, ziinah, dan
fudhul.
bahwa
tidak
ada
yang
dapat
memberi,
menghalangi,
Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik
yang dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal
(bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Taala dalam suatu perkara yang
tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Taala semata.
Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya)
kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti
memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik
kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat
besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Taala, dan juga
karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, nauudzu bilahi min dzalik.
Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab
tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang
menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan
dalam Islam.
H. PREFENSI KONSUMSI
1
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan maka beberapa hal yang dapat
disimpulkan:
1
Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam menurut Manan yaitu : prinsip
keadilan,kebersihan, kesederhanaan , kemurahan hati dan moralitas
Maslahah mempunyai makna yang lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan
dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum
syara yang paling utama.
Kebutuhan dan keinginan merupakan sesuatu yang berbeda, menurut Imam alGhazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menjalankan fungsinya.
B. SARAN
Hendaknya sorang muslim dapat memperjuangkan sesuatu yang halal,
banyak yang merasa apa yang ia makan sudah halal, faktanya masih banyak
makanan yang tidak memenuhi syariat mengalir ditubuh kita. Penuhi lah apa yang
diperintahkan oleh-Nya, sesungguhnya Dial ah yang Maha Pengasih Lagi Maha
pengampun.
DAFTAR PUSTAKA
Yogyakarta
Karim, Adiwarman (2002), Ekonomi Mikro Islami, IIITI
Khan, Fahim (1995), Essay in Islamic Economy, The Islamic Foundation