You are on page 1of 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Konsep Dasar Lansia

2.1.1 Pengertian
Lanjut usia (Lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami
oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis,
tetapi juga meliputi psikologis dan sosial. Perubahan yang terjadi pada lansia
dapat disebut sebagai perubahan senses,, dan perubahan senilitas. Perubahan
senesens adalah perubahan-perubahan normal dan fisiologik akibat usia lanjut.
Sedangkan perubahan senelitas adalah perubahan-perubahan patologik permanen
dan disertai dengan semakin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut.
Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya adalah pada
bidang klinik, kesehatan jiwa, dan masalah dibidang sosial dan ekonomi. Oleh
karena itu lansia dikelompokkan dengan resiko tinggi dengan masalah fisik dan
mental (Murwani, 2010).
2.1.2 Pengelompokkan lansia
Pengelompokan lansia berdasarkan batasan umur menurut beberapa
pendapat yaitu: (Nugroho, 2000)
1. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO ada 4 tahap yaitu:
a. Usia pertengahan (middle age), adalah kelompok usia 45-59 tahun.
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60-74 tahun
c. Usia tua (old) antara 75-90 tahun
d. Usia sangat tua (very old ) diatas 90 tahun

2. Lanjut usia menurut DEPKES RI dibagi menjadi 3 yaitu:


a. Kelompok usia dalam masa virilitas (45-54 tahun), merupakan kelompok
yang berada dalam keluarga dan masyarakat luas.
b. Kelompok usia dalam masa pra-senium (55-64 tahun), merupakan
kelompok yang berada dalam keluarga, organisasi usia lanjut dan
masyarakat pada umumnya.
c. Kelompok usia masa senecrus (>65 tahun), merupakan kelompok yang
umumnya hidup sendiri, terpencil, hidup dalam panti, penderita penyakit
berat
Menurut BKKBN 1998, penduduk lansia adalah penduduk yang mengalami
proses penuaan secara terus menerus, ditandai dengan penurunan daya tahan fisik
dan rentan terhadap penyakit yang mengakibatkan kematian. Secara ekonomi
lansia dianggap sebagai beban sumber daya. Lansia merupakan kelompok umur
yang mengalami berbagai penurunan daya tahan tubuh dan berbagai tekanan
psikologis. (Murwani,2010). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lansia
adalah kelompok orang yang berumur lebih dari 50 tahun yang secara fisiologis
mengalami kemunduran baik dari segi biologis, ekonomi maupun sosial secara
bertahap hingga akhirnya sampai pada kematian.
2.1.3 Proses menua
Merupakan proses yang normal terjadi pada setiap manusia dan bukan
merupakan suatu penyakit. Penuaan juga dapat didefenisikan sebagai suatu
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga lebih rentan

10

terhadap infeksi dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang dideritanya.


Penuaan merupakan proses ilmiah yang terjadi secara terus-menerus dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup. Menjadi
tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2008). Menjadi tua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya.
Keadaan ini menyebabkan jaringan tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Disimpulkan bahwa manusia
secara perlahan mengalami kemunduran struktur dan fungsi organ. Kemunduran
struktur dan fungsi organ pada lansia dapat mempengaruhi kemandirian dan
kesehatan lanjut usia (Nugroho, 2008).
2.1.4 Perubahan yang terjadi pada proses menua terhadap kualitas tidur.
Proses menua adalah masalah yang akan selalu dihadapi oleh semua
manusia. Dalam tubuh terjadi perubahan-perubahan struktural yang merupakan
proses degeneratif. Sel-sel mengecil atau menciut, jumlah sel berkurang, terjadi
perubahan isi atau komposisi sel, pembentukan jaringan ikat baru meggantikan
sel-sel yang menghilang atau mengecil dengan akibat timbulnya kemunduran
fungsi organ tubuh. Menurut (Stanley, 2007) Perubahan yang terjadi pada lansia
terdiri dari perubahan fisik, perubahan psikologis dan perubahan sosial.
a. Perubahan Fisik.
Menurut Hutapea (2005), perubahan fisik yang dialami oleh lansia
adalah:

11

1. Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh menjadi rentan
terhadap alergi dan penyakit.
2. Konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya jumlah
energi yang dikeluarkan tubuh.
3. Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-sel yang
mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.
4. Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal, kemampuan
mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban dan kurang efisien,
gerakan peristaltik usus menurun sehingga sering konstipasi.
5. Perubahan

pada

sistem

metabolik,

yang

mengakibatkan

gangguan

metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi menurun


juga karena timbunan lemak.
6. Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat, kepekaan
bau dan rasa berkurang, kepekaan sentuhan berkurang, pendengaran
berkurang, reaksi lambat, fungsi mental menurun, dan ingatan visual
berkurang.
7. Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya elastisitas
paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat mengakibatkan
munculnya rasa sesak dan tekanan darah meningkat.
8. Menurunnya elastisitas dan fleksibilitas persendian.
b. Perubahan Psikologis
Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang semakin
egosentrik, mudah curiga dan bertambah pelit atau tamak bila memiliki sesuatu

12

yang merupakan akibat dari perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan,
keturunan dan lingkungan (Nugroho, 2008).
c.

Perubahan Sosial
Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dikaitkan dengan

peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang akan mengalami


kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan teman dan
kehilangan pekerjaan (Nugroho, 2008).

2.2 Konsep Dasar Tidur


2.2.1 Pengertian
Tidur adalah suatu perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkungan menurun. Tidur dikarakteristikkan dengan aktifitas fisik
yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologis
tubuh dan penurunan respon terhadap stimulus eksternal (Mubarak, 2006).
Tidur adalah kondisi organisme yang sedang istirahat secara reguler,
berulang dan reversible dalam keadaan mana ambang rangsang terhadap
rangsangan dari luar lebih tinggi jika dibandingkan dengan keadaan jaga.
(Prayitno, 2002). Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan
jasmani dan kelelahan mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang
dan akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi.

13

2.2.2 Fisiologi tidur.


Tidur juga merupakan suatu proses fisiologis yang bersiklus yang
bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Siklus tidur terjaga
mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respon perilaku. Peralatan
seperti Elektroencephalogram (EEG) yang mengukur aktifitas listrik dalam kortek
serebral,

Elektromiogram

(EMG)

yang

mengukur

tonus

otot,

dan

Elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan bola mata, memberikan


informasi struktur fisiologis tidur. (Potter & Perry, 2006). Kontrol dan pengaturan
tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang
mengaktivasi secara intermitten dan menekan puncak otak tertinggi untuk
mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang
lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2006)
Adanya irama sirkandian yaitu suatu irama siklus yang di alami seseorang
sebagai bagian dari kehidupan mereka setiap hari atau dikenal dengan siklus 24
jam, siang-malam. Pusat kontrol irama sirkandian terletak pada bagian ventral
anterior hypothalamus yaitu bagian susunan saraf pusat yang mengadakan
kegiatan sinkronisasi terletak pada sub-stansia ventrikulo retikularis medulo
oblogata yang disebut sebagai pusat tidur. Bagian susunan saraf pusat yang
menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo
oblogata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state, yang mana irama ini
mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi prilaku. Fluktuasi dan
prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon, kemampuan
sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24-jam.

14

Jika siklus bangun tidur seseorang berubah secara bermakna, maka akan
menghasilkan kualitas tidur yang buruk. Sebaliknya dalam siklus tidur-bangun
seperti tertidur pada siang hari (atau sebaliknya) dapat menunjukkan penyakit
yang serius. Kecemasan, kurang istirahat, mudah tersinggung dan gangguan
penilaian adalah gejala umum gangguan siklus tidur
2.2.3 Pengaturan tidur.
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh
integrasi tinggi aktifitas sistem syaraf pusat yang berhubungan dengan perubahan
dalam sistem syaraf peripheral, endokrin, kardiovaskuler, pernafasan dan
muskuler (Poter & Perry, 2006) kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada
hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten
dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga.
Adanya peranan aktifitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik,
noradrenergik, kholonergik, histaminergik sangat mempengaruhi sistim RAS
(Reticular Activity System) berlokasi pada batang otak teratas terdiri dari sel
khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. RAS akan mengeluarkan
katekolamin seperti norepinefrin (Poter & Perry, 2006) RAS akan menerima
stimulus dari sensori visual, auditori, nyeri, taktil, pikiran dan pada saat terbangun
Aktifitas RAS sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmitter

15

Gambar 1 : Pusat kontrol dan pengaturan sistem tidur

a. Sistem serotoninergik.
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin
yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila
serotonin dari trypthopan terhambat pembentukannya maka terjadi keadaan tidak
bisa tidur/terjaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotoninergik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis di nukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
b. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak dibadan
sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang

16

mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan


penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
c. Sistem Kholinergik
Dengan pemberian prostigimin intra vena dapat mempengaruhi episode tidur
REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG
seperti dalam keadaan jaga (Guyton & Hall, 2007). Gangguan aktifitas
kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada
orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari
lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
d. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
e. Sistem hormone
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone
seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon-hormon ini masing-masing disekresi
secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem
ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neuro-transmitter norepinefrin,
dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.
2.2.4 Siklus tidur
Secara normal, pada orang dewasa, pola tidur rutin dimulai dengan periode
sebelum tidur, selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap
berkembang secara teratur. Periode ini secara normal berakhir 10 hingga 30 menit.

17

Tapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung
satu jam atau lebih. Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
a. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
b. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi
secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Pola siklus biasanya
berkembang dari tahap 1 menuju ke tahap 4 NREM, diikuti kebalikan tahap 4 ke 3
lalu ke 2, di akhiri dengan periode dari tidur REM.

Gambar 2 : Gambaran EEG stadium tidur manusia

18

1. Tidur stadium Satu.


Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur atau fase transisi
yaitu fase menuju saatnya tidur. Seseorang dengan mudah akan terbangun. Fase
ini didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan
bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah
sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran
alfa, betha dan kadang gelombang tetha dengan amplitudo yang rendah. Tidak
didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K. Adapun Tahap
NREM stadium satu meliputi:
a) Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur.
b) Tahap berakhir beberapa menit
c) Pengurangan aktifitas fisiologis dimulai dengan penurunan secara bertahap
tanda-tanda vital dan metabolisme.
d) Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara
e) Ketika terbangun, seseorang merasa seperti lelah melamun.
2. Tidur stadium dua
Merupakan fase tidur ringan/fase relaksasi. Pada fase ini didapatkan bola
mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada
fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat
adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek K. Adapun
Tahap NREM stadium dua meliputi:
a) Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara.
b) Kemajuan relaksasi.

19

c) Untuk terbangun relative masih mudah.


d) Tahap berakhir 10 hingga 20 menit.
e) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban.
3. Tidur stadium tiga
Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat
lebih banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang
sleep spindle. Adapun Tahap NREM stadium tiga meliputi:
a) Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam.
b) Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak.
c) Otot-otot dalam keadaan santai penuh.
d) Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur.
e) Tahap berakhir 15 hingga 30 menit
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan dan pada tahap
tersebut merupakan saat terbesar terjadinya proses pemulihan. Gambaran EEG
didominasi oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle.
Adapun Tahap NREM stadium empat meliputi:
a) Tahap merupakan tahap tidur terdalam.
b) Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tertidur.
c) Jika teradi kurang tidur, maka orang yang tidur akan menghabiskan porsi
malam yang seimbang.
d) Tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama jam terjaga.
e) Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit.

20

f) Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi.


5. Tidur REM
Selama fase tidur REM, frekuensi pernafasan, denyut jantung dan tekanan
darah menjadi sangat bervariasi tidak teratur dan meningkat secara berkala.
Menurut Ebersole dan Hess (1998) mengatakan bahwa penurunan fase tidur REM
berhubungan dengan peningkatan iritabilitas dan kecemasan serta penurunan
kemampuan untuk berkontraksi. Adapun stadium tahap REM meliputi:
a) Mimpi yang penuh dengan warna dan tampak hidup dapat teradi pada REM.
Mimpi yang kurang hidup dapat pula terjadi pada tahap ini.
b) Biasanya dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur.
c) Hal ini dicirikan dengan respon otonom dari pergerakan mata yang cepat,
fluktuasi Jantung dan kecepatan respirasi dan peningkatan atau fluktuasi
tekanan darah.
d) Terjadi penurunan tonus otot skelet.
e) Peningkatan sekresi lambung
f) Sangat sulit sekali membangunkan orang yang tertidur.
g) Durasi dari tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 20 menit.
Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100
menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama
prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih intens dan panjang saat
menjelang pagi atau bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata
yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua
organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-

21

laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur
REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa
tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEGnya masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola
berubah sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai
dengan kematangan sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur yang
didahului oleh fase NREM kemudian fase REM pada dewasa muda dengan
distribusi fase tidur sebagai berikut: NREM (75%) yaitu stadium satu 5%, stadium
dua 45%, stadium tiga 12%, stadium empat 13%, sedangkan stadium REM 25 %.
2.2.5 Tidur pada lansia
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi,
kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia (Bliwise,1993)
Episode tidur REM cendrung memendek. Terdapat penurunan yang progresif
pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap 4
atau tidur yang dalam.
Lansia sering kali melaporkan mengalami kesulitan tidur saat berada ditempat
tidur. Ini terjadi pada 1 dari 3 lansia wanita dan 1 dari 5 lansia pria. Masalah untuk
dapat tertidur juga dikaitkan dengan penyebab yang mudah diatasi seperti
mengkonsumsi kafein atau makanan dalam porsi banyak pada waktu yang
berdekatan dengan waktu tidur (Lankford,1994). Biasanya terjadi peningkatan
pada fase I NREM sehingga lansia mudah terbangun oleh karena: suara, sentuhan,
atau cahaya. REM selama malam hari berubah seiring dengan bertambahnya usia
(Bliwise, 1994) dimana fase REM I terjadi lebih awal selama waktu tidur lansia.

22

Adanya perubahan tidur REM dan pengurangan tahap 3 dan 4 NREM akan
mengganggu efisiensi tidur lansia.
Perubahan pola tidur pada lansia disebabkan perubahan SSP yang
mempengaruhi pengaturan tidur. Kerusakan sensori, umum dengan penuaan,
dapat mengurangi sensitivitas terhadap waktu yang mempertahankan irama
sirkandian (Potter&Perry, 2005)
Tabel 1. Perubahan pola tidur pada usia lanjut
Pola tidur
Laporan subjektif
Lamanya di tempat tidur
Meningkat
Total waktu tidur
Menurun
Ancang-ancang tidur (Sleep latency)
Meningkat
Terjaga setelah dimulai tidur
Meningkat
Tidur singkat pada siang hari
Meningkat
(Daytime naps)
Efisiensi tidur
Menurun

Pantauan objektif
Meningkat
Bervariasi ( Umumnya menurun )
Bervariasi (Umumnya menurun)
Meningkat
Meningkat
Menurun

2.2.6 Kualitas tidur lansia


Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup
aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif
dari tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang pantas
(Khasanah, 2012). Kualitas tidur yang buruk telah dikaitkan dengan kesehatan
yang buruk. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan seseorang absen dari
pekerjaannya dan peningkatan risiko untuk gangguan kejiwaan termasuk depresi
(Buyese et al, 2008). Jadi untuk memproleh kualitas tidur terbaik adalah penting
untuk meningkatkan kesehatan yang baik dan pemulihan individu yang sakit.
Kecukupan tidur seseorang sebenarnya bukan hanya diukur dari lama
waktu tidur, tapi juga kualitas tidur itu sendiri. Tidur seseorang dikatakan

23

berkualitas adalah jika ia bangun dengan kondisi segar dan bugar. Pola tidur akan
berubah seiring dengan pertambahan usia dan semakin beragamnya pekerjaan atau
aktivitas. Semakin bertambah usia, efisiensi tidur akan semakin berkurang.
Efisiensi tidur diartikan sebagai jumlah waktu tidur berbanding dengan waktu
berbaring ditempat tidur. Kebutuhan tidur lansia semakin menurun karena
dorongan homeostatik untuk tidur pun berkurang (Prasadja, 2009). Tidur tahap IV
sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik. Para ahli tentang tidur mengetahui
bahwa tahap IV sangat jelas terlihat menurun pada lansia. Lansia mengalami
penurunan tahap III dan IV waktu NREM, lebih banyak terbangun selama malam
hari dibandingkan tidur, dan lebih banyak tidur selama siang hari. Kebanyakan
lansia yang sehat tidak melaporkan adanya gejala yang terkait dengan perubahan
ini selain tidak dapat tidur dengan cukup atau tidak bisa tidur. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa tidur disiang hari dapat mengurangi waktu dan kualitas tidur
di malam hari pada beberapa lansia. Setelah memasuki tahap IV, akan berlanjut
ketidur REM. Tidur REM terjadi beberapa kali dalam siklus tidur dimalam hari
tetapi lebih sering terjadi dipagi hari sekali. Tidur REM membantu melepaskan
ketegangan dan membantu metabolisme system saraf pusat. Kekurangan tidur
REM telah terbukti menyebabkan iritasi dan kecemasan (Stockslager, 2007).
2.2.7 Parameter kualitas tidur
Ada beberapa parameter untuk melihat kualitas tidur seseorang antar lain
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat tidur, Total jam tidur, Frekuensi terbangun,
Lama waktu tidur siang hari, Perasaan segar saat bangun pagi, Kepuasan tidur,

24

Kedalaman tidur, serta perasaan ngantuk disiang hari, faktor-faktor tersebut dapat
digunakan sebagai tolak ukur baik tidaknya kualitas tidur seseorang.
Waktu yang dibutuhkan untuk dapat tidur adalah waktu yang dihabiskan
oleh seseorang sejak munculnya keinginan untuk tidur sampai tercapainya tidur
tahap REM (Buyese et al 2000).
Total jam tidur adalah lamanya waktu tidur dikurang dengan lamanya
waktu terbangun saat tidur (Buyese et al 2000). Total jam tidur merupakan jumlah
waktu individu dalam kehidupannya yang digunakan untuk tidur (Uliyah, 2006)
Frekuensi terbangun adalah sering atau tidak nya seseorang terbangun dari
tidurnya yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan atau akibat dari keinginan untuk
buang air kecil. Seseorang dewasa muda normal selama tidur malam akan
terbangun sekitar satu sampai dua kali. Terbangun dimalam hari berpengaruh pada
pengurangan total waktu tidur (Buyese et al. 2000)
Lama waktu tidur pada siang hari normalnya kurang dari satu jam pada
orang dewasa. Individu yang kurang tidur pada malam hari akan menambah jam
tidurnya pada siang/sore hari. Individu yang tidur sesuai dengan jumlah tidur pada
tahap perkembangannya akan merasa segar saat bangun dipagi hari refreshing on
awakenings (Musbikin 2005)
Waktu tidur seorang wanita lebih sedikit dibanding seorang pria. Hal ini
disebabkan oleh faktor fisiologis yang selalu terjadi pada seorang wanita termasuk
kehamilan yang menyebabkan wanita kurang puas dalam merasakan tidur yang
nyenyak.

25

Kepuasan tidur tergantung pada kondisi lingkungan, kesehatan fisik dan


kesehtan jiwa (Buyese et al 2000). Ketidakpuasan tidur disebabkan tidur yang
tidak melewati seluruh tahapan normal baik NREM dan REM (Musbikin, 2005).
Sulit tidur sering terjadi pada lansia. Hal ini dikarenakan proses
degenerative yang mengakibatkan perubahan-perubahan baik pada ritmik
sirkandian. Neuro-transmitter maupun neuro-hormon sehingga terjadi fase
penurunan tidur dalam. Penurunan kedalaman tidur ini berbanding lurus dengan
kualitas tidur.
Kelelahan disiang hari baik karena aktifitas maupun kondisi fisik
seseorang dapat mengakibatkan perasaan yang mengantuk disiang hari (Uliyah,
2006).
2.2.8 Metode pengukuran kualitas tidur
Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium
yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman ini dapat
menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus-menerus timbul dalam otak. Ini
sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur,
keadaan siaga, atau karena penyakit lain yang di derita. Tipe gelombang EEG
diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, tetha dan delta (Guyton dan Hall,
2007)
Menurut Poter&Perry, 2005 untuk mengukur dan mengetahui informasi
tentang proses dan kecepatan tidur serta persepsi tentang pemenuhan kebutuhan
tidur pasien maka dapat menggunakan kuessioner yang terdapat pada St Marrys
Hospital Sleep (SMH) Questionnaire yaitu questioner rumah sakit St Marry

26

tentang tidur. Untuk mengukur kebutuhan tidur seseorang adalah dengan


mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan kuesioner yang terdapat pada
SMH.

SMH adalah sebuah alat/instrument efektif yang digunakan untuk

mengukur kualitas tidur pada lansia (Buyese et al., 2000)


Komponen-komponen yang dinilai dalam instrument SMH ini yaitu:
Kualitas tidur subyektif, Latensi tidur, lama tidur malam, efisiensi tidur, gangguan
tidur malam, penggunaan obat-obat tidur serta terganggunya aktifitas disiang hari.
Dari semua komponen dilakukan penilaian (scoring) Pertanyaan dengan kriteria
jawaban pada masing-masing pertanyaan adalah Skor 0 untuk kualitas tidur sangat
baik, skor 1 untuk kualitas tidur baik, skor 2 untuk kualitas tidur kurang dan skor
3 untuk kualitas tidur sangat kurang. Contoh kuesioner SMH dan komponen
penilaian ada dilampiran 6.
2.2.9 Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan tidur
Hubungan yang harmoni antara sistem imun, neuro-endokrin, dan sistem
tidur terjaga menghasilkan pola sirkardian tidur dan terjaga. Ketidak seimbangan
interaksi antara faktor psikososial, psikofisiologik, perkembangan syaraf dan
kesehatan dapat menyebabkan gangguan pola tidur
a. Faktor Internal
1. Faktor fisiologis
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau
masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi
masalah tidur. Penyakit juga memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak
biasa, seperti memperoleh posisi yang aneh saat tangan atau lengan diimobilisasi

27

pada traksi dapat mengganggu tidur. Faktor-faktor yang berhubungan pada lansia
yang mengalami penyakit kritis adalah nyeri, stres akut, depresi, gangguan suhu
tubuh, gangguan pernafasan saat tidur, gangguan eleminasi gangguan siklus tidur,
gangguan pergerakan kaki saat tidur, gejala menopause, penyakit parkinson.
Kesemua perubahan fisiologis ini dapat mencetuskan gangguan pola tidur pada
lansia dan diperburuk dengan penyakit terutama jika terdapat demam.
2. Faktor psikologis
Kecemasan tentang masalah pribadi dapat mempengaruhi situasi tidur. Stres
menyebabkan seseorang mencoba untuk tidur, namun selama siklus tidurnya klien
sering terbangun atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat
mempengaruhi kebiasaan tidur yang buruk.
b. Faktor External
1. Lingkungan
Lingkungan tempat seorang tidur berpengaruh pada kemampuan untuk
tertidur. Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang.
Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Tingkat
cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Klien ada
yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan, remang-remang atau tetap
menyala. Suhu yang panas atau dingin menyebabkan klien mengalami
kegelisahan. Beberapa orang menyukai kondisi tenang untuk tidur dan ada yang
menyukai suara untuk membantu tidurnya seperti dengan musik lembut dan
televisi.

28

2. Gaya hidup
Menurut Stockslanger, (2007). kebiasaan mengkonsumsi kafein dan alkohol
mempunyai efek insomnia. Makan dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada
makan malam juga menyebabkan makanan sulit dicerna, menghabiskan waktu
yang berlebihan ditempat tidur, tidur siang yang berlebihan, merokok serta
olahraga yang kurang sehingga dapat mengganggu tidur.
3. Pengobatan
Obat tidur seringkali membawa efek samping. Dewasa muda dan dewasa
tengah dapat mengalami ketergantungan obat tidur untuk mengatasi stresor gaya
hidup. Obat tidur golongan hipnotik maupun sedative juga seringkali digunakan
untuk mengontrol atau mengatasi sakit kroniknya. Beberapa obat juga dapat
menimbulkan efek samping penurunan tidur REM
2.2.10 Penatalaksanaan gangguan tidur
Evaluasi terhadap pasien lansia dengan gangguan pola tidur memerlukan
pemeriksaan yang komprehensif dan upaya terintegrasi dari semua tim pelayanan
kesehatan. Unsur-unsur dari riwayat yang lebih rinci memerlukan data dari pasien,
pasien lain, keluarga serta petugas kesehatan sehingga dapat dilakukan intervensi
yang bertujuan untuk memelihara kondisi fungsional pasien. Manipulasi
lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan yang
terbaik (Prayitno, 2002).
Penatalaksanaan umum gangguan tidur yaitu dengan penatalaksanaan
farmakologis dan non-farmakologis yang meliputi: pendekatan hubungan antara

29

pasien dan tenaga medis, konseling dan psikoterapi serta Sleep hygiene. (Japardi
2002). Mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua
obat yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari
RAS di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang menekan susunan
syaraf pusat, mulai dari obat anti ansietas dan beberapa obat anti depresan. Selain
itu obat hipnotik juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada
hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu
pula bila pemakaian obat dalam jangka panjang dapat menimbulkan over dosis
dan ketergantungan obat. Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih
dahulu ditentukan jenis gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase
latensi panjang (NREM) gangguan pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang
hari kurang tidur pada malam hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau
akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun obat hipnotik tidak ditunjukkan
dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat dipergunakan hanya untuk
sementara sambil mencari penyebab yang mendasari. Jadi yang terpenting dalam
penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi dari masalah gangguan tidur
sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati pada
pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang akan menyebabkan terselubungnya
kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang
memuaskan (Japardi, 2002)
Pendekatan hubungan antara pasien dengan tenaga medis bertujuan untuk
mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat untuk mengubah

30

kebiasaan tidur yang jelek serta mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan
oleh penggunaan obat hipnotik, alkohol dan gangguan mental.
Melakukan konseling dan psikoterapi akan sangat membantu pada pasien
dengan gangguan psikiatri (depresi, obsesi, konvulsi) maupun penderita dengan
gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi akan dapat membantu mengatasi
masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa penggunaan
obat hipnotik.
Tidur sehat yaitu membiasakan diri tidur dan bangun secara regular,
menghindari tidur pada siang hari, tidak mengkonsumsi kafeine pada malam hari
atau menggunakan obat-obat stimulant seperti dekongestan, menghindari makan
pada saat mau tidur, tidak tidur dengan perut kosong, segera bangun dari tidur bila
tidak dapat tidur (15-30 menit), menghindari rasa cemas atau frustasi, membuat
suasana ruang tidur yang sejuk, sepi, aman dan nyaman serta melakukan latihan
atau olahraga (senam) yang ringan secara teratur,

2.3 Konsep Dasar Senam Lansia


2.3.1 Pengertian
Upaya- upaya yang dapat dilakukan untuk membina kesehatan jasmani dan
memelihara kebugaran lansia adalah dengan cara promotif yaitu dengan
peningkatan kesehatan pada lansia yang salah satunya dapat dilakukan dengan
olahraga atau senam secara teratur (Prayitno, 2002). Semua jenis olahraga yang
pada prinsipnya dapat dilakukan oleh lansia, asalkan jenis olahraga tersebut sudah
dikerjakannya secara teratur sejak muda. Namun untuk amannya olahraga yang

31

dianjurkan oleh para ahli adalah olahraga yang sifatnya aerobik yang dinamis
misalnya jalan kaki, berenang dan senam.
Senam berasal dari bahasa yunani yaitu gymnastic (gymnos) yang berarti
telanjang, dimana pada zaman tersebut orang yang melakukan senam harus
telanjang, dengan maksud agar keleluasaan gerak dan pertumbuhan badan yang
dilatih dapat terpantau (Suroto, 2004). Dalam bahasa Inggris terdapat istilah
exercise atau aerobic yang merupakan suatu aktifitas fisik yang dapat memacu
jantung dan peredaran darah serta pernafasan yang dilakukan dalam jangka waktu
yang cukup lama sehingga menghasilkan perbaikan dan manfaat kepada tubuh.
Senam adalah serangkaian gerak nada yang teratur dan terarah serta
terencana yang dilakukan secara tersendiri atau berkelompok dengan maksud
meningkatkan kemampuan fungsional raga. Senam merupakan bentuk latihanlatihan tubuh dan anggota tubuh untuk mendapatkan:
1. Kekuatan otot. Merupakan kemampuan otot untuk membangkitkan tegangan
atau kekuatan terhadap suatu tahanan.
2. Kelenturan persendian. Merupakan kemampuan untuk bergerak dalam ruang
gerak sendi.
3. Kelincahan gerak. Merupakan kemampuan seseorang untuk dapat berubah
arah posisi tertentu dengan kecepatan.
4. Keseimbangan gerak merupakan kemampuan seseorang mengendalikan
organ-organ syaraf otot dalam mencapai posisi seimbang.

32

5. Daya tahan (Endurance) merupakan keadaan atau kondisi tubuh yang dapat
berlatih untuk waktu yang lama tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan
setelah menyelesaikan latihan.
6. Kesegaran jasmani merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas seharihari dengan giat dan dengan penuh kewaspadaan tanpa mengalami kelelahan
yang berarti dan dengan energy yang cukup menikmati waktu senggangnya
dan menghadapi hal-hal yang darurat yang tidak terduga.
7. Stamina. Merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan terhadap
kelelahan.
Senam lansia yang dibuat oleh Menteri Negara Pemuda dan Olahraga
(MENPORA) merupakan upaya peningkatan kesegaran jasmani kelompok lansia
yang jumlahnya semakin bertambah. Senam lansia sekarang sudah diberdayakan
diberbagai tempat seperti di panti wredha, posyandu, klinik kesehatan, dan
puskesmas. (Suroto, 2004). Senam lansia merupakan olahraga ringan yang mudah
dilakukan dan tidak memberatkan yang dapat dilakukan lansia (Angriana, 2010).
Olahraga ini akan membantu tubuh tetap segar dan bugar karena senam lansia
mampu melatih tulang tetap kuat, mendorong kerja jantung semakin optimal dan
membantu menghilangkan radikal bebas yang ada dalam tubuh (Angriana, 2010).
Senam lansia disamping mempunyai dampak yang baik bagi organ tubuh juga
dapat berpengaruh dalam peningkatan sistem imunitas setelah melakukan latihan
secara teratur. jadi senam lansia menurut Suroto (2004) dan Angriana (2010)
merupakan suatu bentuk kegiatan olahraga ringan yang dapat diberikan kepada
lansia.

33

2.3.2 Jenis-jenis senam lansia


Menurut Sobarna, (2009) olahraga usia lanjut perlu diberikan dengan
berbagai patokan, beberapa senam yang dapat dilakukan oleh lansia yaitu senam
tera, senam yoga, senam kegel dan senam ergonomis. Jenis olahraga yang sering
dan banyak dilakukan pada lansia antara lain adalah senam tera. Aktivitas
olahraga ini akan membantu tubuh tetap bugar dan segar karena melatih tulang
tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal, dan membantu menghilangkan
radikal bebas yang berkeliaran didalam tubuh.
Senam tera merupakan latihan phisik dan mental, memadukan gerakan
bagian-bagian tubuh dengan teknik dan irama pernapasan melalui pemusatan
pemikiran yang dilaksanakan secara teratur, serasi, benar dan berkesinambungan.
Senam ini bersumber dari senam pernapasan Tai Chi yaitu senam yang mepunyai
dasar olah pernapasan yang dipadukan seni bela diri, yang di Indonesia
dikombinasikan dengan gerak peregangan dan persendian jadilah sebagai olah
raga kesehatan."Tera" berasal dari kata "terapi" yang mempunyai arti
penyembuhan/pengobatan. Dalam praktek Senam tera bukan saja mempunyai
manfaat pengobataan (kuratif) tetapi juga besifat pencegahan (preventif) dan
mempunyai sifat penyembuhan sakit.
Senam tera terdiri dari 17 gerakan peregangan, 25 gerakan persendian dan
20 gerakan pernapasan, yang secara umum senam tera akan meningkatkan derajat
kesehatan jasmani dan rohani tubuh manusia. Secara khusus / jasmani bertujuan
memperbaiki dan meningkatkan kondisi dan fungsi: jantung dan peredaran darah,
sistem pernafasan, sistem susunan syaraf, pencernakan makanan, kelenjar

34

endokrin, kekuatan dan daya tahan otot, kelenturan otot dan sendi, keseimbangan
dan koordinasi dan proses metabolisme. Secara rohani: memelihara kestabilan
penguasan diri, mengurangi dan menghilangkan stress / ketegangan, mengurangi /
menghilangkan ketergantungan obat, melatih konsentrasi, meningkat kepekaan,
memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan. Gambar senam tera dapat dilihat
pada lampiran 7.
2.3.3 Manfaat senam lansia
Olahraga dapat memberi beberapa manfaat, yaitu: meningkatkan peredaran
darah, menambah kekuatan otot dan merangsang pernafasan dalam. Selain itu
dengan olahraga dapat membantu pencernaan, menolong ginjal, membantu
kelancaran pembuangan bahan sisa, meningkatkan fungsi jaringan, menjernihkan
dan

melenturkan

kulit,

merangsang

kesegaran

mental,

membantu

mempertahankan berat badan, memberikan tidur nyenyak, memberikan kesegaran


jasmani. Depkes (2003). Senam lansia selain memiliki dampak positif terhadap
peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas
dalam tubuh manusia setelah latihan teratur. (Depkes,1995 dalam Indonesian
Nursing, 2008,)
Menurut Indonesian Nursing (2008) manfaat dari aktivitas olahraga akan
membantu tubuh tetap bugar dan segar karena melatih tulang tetap kuat,
mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas
yang ada di dalam tubuh.
a. Menghambat proses penuaan. Senam sangat dianjurkan untuk mereka yang
memasuki usia pralansia (45 tahun) dan usia lansia (>65 tahun).

35

b. Mendapatkan kesegaran jasmani yang baik yang terdiri dari unsur kekuatan
otot, kelenturan persendian, kelincahan gerak, keluwesan, cardiovascular
fitness dan neuromuscular fitness.
c. Peredaran darah akan lancar dan meningkatkan jumlah volume darah. Selain
itu 20% darah terdapat di otak, sehingga akan terjadi proses indorfin hingga
terbentuk hormon norepinefrin yang dapat menimbulkan rasa gembira, rasa
sakit hilang, adiksi (kecanduan gerak) dan menghilangkan depresi.
d. Merasa berbahagia, senantiasa bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, pikiran
tetap segar.
e. Meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur.
f. Meningkatkan keseimbangan antara osteoblast dan osteoclast. Apabila senam
terhenti maka pembentukan osteoblast berkurang sehingga pembentukan
tulang berkurang dan dapat berakibat pada pengeroposan tulang.
Senam yang disertai dengan latihan stretching dapat memberi efek otot
yang tetap kenyal karena ditengah-tengah serabut otot ada impuls saraf yang
dinamakan muscle spindle, bila otot diulur (recking) maka muscle spindle akan
bertahan atau mengatur sehingga terjadi tarik-menarik, akibatnya otot menjadi
kenyal. Orang yang melakukan stretching akan menambah cairan sinoval
sehingga persendian akan licin dan mencegah cedera (Suroto, 2004).

36

2.3.4 Kontra indikasi


Dalam melakukan senam lansia terdapat juga kontra indikasi. Antara lain:
Infark miokard baru atau angina tidak stabil dalam dua minggu, gagal jantung,
aritmia dan stenosis aorta berat, setiap penyakit akut yang serius (demam , batuk,
flu dan pusing).
2.3.5 Tahap-tahap gerakan senam
Adapun tahap-tahapan gerakan senam yaitu: peregangan/pemanasan,
kondisionng (latihan inti), pendinginan/penenangan (Sumintarsih, 2006).
a. Pemanasan
Pemanasan dilakukan sebelum latihan. Pemanasan bertujuan menyiapkan
fungsi organ tubuh agar mampu menerima pembebanan yang lebih berat pada saat
latihan sebenarnya. Penanda bahwa tubuh siap menerima pembebanan antara lain
detak jantung telah mencapai 60% detak jantung maksimal, suhu tubuh naik 1C2C dan badan berkeringat. Pemanasan yang dilakukan dengan benar akan
mengurangi terjadinya cidera atau kelelahan (Irianto, 2004).
b. Kondisioning
Setelah pemanasan cukup diteruskan tahap kondisioning yakni melakukan
berbagai rangkaian gerak dengan model latihan yang sesuai dengan tujuan
program latihan, misalnya jogging untuk meningkatkan daya tahan paru-jantung
atau untuk pembakaran lemak tubuh, latihan stretching untuk meningkatkan
kelentukan persendian dan latihan beban untuk kekuatan dan daya tahan otot.
Latihan ini kurang lebih berlangsung antara 20-30 menit, atau disesuaikan dengan
tujuan atau latihan yang dilakukan.

37

c. Penenangan
Penenangan merupakan periode yang sangat penting dan esensial. Tahap ini
bertujuan:
1. Mengembalikan kodisi tubuh seperti sebelum berlatih dengan melakukan
serangkaian gerakan berupa stretching. Tahapan ini ditandai dengan
menurunnya frekuensi detak jantung, menurunnya suhu tubuh, dan semakin
berkurangnya keringat.
2. Mengembalikan darah ke jantung untuk reoksigenasi sehingga mencegah
genangan darah diotot kaki dan tangan. Lama tahapan ini kira-kira 5 menit
sampai 10 menit.
2.3.6

Frekuensi latihan senam lansia


Latihan akan bermanfaat untuk meningkatkan kesegaran jasmani jika

dilaksanakan dalam zone latihan paling sedikit 15-30 menit (Mariam, 2008).
(Dianingtyas, 2008) melaksanakan latihan senam dapat dilakukan selama 30-45
menit. Waktu pelaksanaan latihan dilakukan paling sedikit tiga kali atau sebanyak
banyaknya lima kali dalam satu minggu. (Mariam, 2008) sedangkan (Dianingtyas,
2008) menjelaskan latihan dapat dilakukan setiap 2 hari sekali selama 2 minggu.
Bila latihan dilakukan diluar gedung sebaiknya di lakukan dipagi hari sebelum
jam 10.00 atau sore hari setelah pukul 15.00 (Mariam, 2008) karena pada saat
tersebut kondisi lingkungan masih cukup optimal dimana matahari tidak tepat

38

berada diatas kepala sehinggga tidak mengganggu proses pengeluaran panas tubuh
dan tidak beresiko menimbulkan cedera (Ariwandi, 2010).

2.3.7

Standar Operasional Prosedur


Sebelum melakukan latihan olahraga sebaiknya para lansia harus

dilakukan tes dan pengukuran yang bertujuan untuk mengukur kebugaran jasmani
lanjut usia. Menurut (Bustami, 2003) sebelum dilakukan tes kebugaran jasmani
ada beberapa syarat yang harus dipatuhi antara lain sebagai berikut:
a. Peserta dalam kondisi sehat berdasarkan hasil pemeriksaan dokter yang
meliputi pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan.
b. Malam sebelum pengukuran kebugaran jasmani dilakukan, peserta harus
cukup tidur (6jam).
c. Makan terakhir paling tidak 4 jam sebelum pengukuran kebugaran jasmani
dilakukan.
d. Sebaiknya mengenakan pakaian dan sepatu olahraga.
e. Pelaksanaan pengukuran sebaiknya pada pagi hari.
Orang yang sudah lanjut usia apabila melakukan olahraga tidak boleh
mengalami kelelahan yang berlebihan, bila intensitasnya berlebihan dapat terjadi
sesak napas, nyeri dada, atau pusing berkunang-kunang. Maka kegiatan olahraga
harus segera dihentikan. Intensitas olahraga yang boleh dilakukan oleh lansia
bersifat individual tergantung pada usia, jenis kelamin, usia awal menekuni
olahraga, keteraturan dan kondisi fisik organ-organ tubuhnya.

39

Rumus umum yang dapat digunakan untuk mengetahui batas lansia boleh
melakukan olahraga yaitu dengan menentukan denyut nadi maksimal atau dikenal
sebagai maksimal pulse. Adapun cara pengukurannya dapat dilakukan dengan
meraba serta menghitung denyut pembuluh darah pada nadi brakialis, radialis,
carotis ataupun pada nadi dorsal pedis. Penghitungan dilakukan selama 1 menit.
Ambang yang aman bila aktivitas olahraga hanya mencapai (denyut nadi sub
maksimal) 70%-85% dari denyut nadi maksimal yang disebut sebagai target Zone,
dengan rumus 220-umur. Seorang berumur 70 tahun denyut jantung maksimalnya
adalah 220-70 = 150/menit, ia hanya boleh berolahraga sampai denyut nadi sub
maksimal, dengan perhitungan (220 - 70 ) X 70 % sampai dengan 85%= 105127 kali permenit.

2.4

Hubungan senam lansia tera terhadap kualitas tidur


Proses degenerasi yang terjadi pada lansia menyebabkan waktu tidur efektif

akan semakin berkurang sehingga tidak tercapai kualitas tidur yang adekuat dan
akan menimbulkan berbagai macam keluhan tidur (Japardi,2002). Berkurangnya
jumlah jam tidur tersebut tidak menjadi suatu masalah jika lansia itu sendiri
merasakan kualitas tidur yang nyenyak karena dengan kualitas tidur yang bagus
meskipun hanya dua jam sudah dapat memulihkan fungsi tubuh dan otak.
(Prayitno, 2002). Gangguan tidur pada lansia juga dapat disebabkan juga oleh
faktor biologis dan faktor psikis. Faktor biologis seperti adanya penyakit tertentu
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat tidur dengan baik. Faktor psikis bisa
berupa kecemasan, stres psikologis, ketakutan dan ketegangan emosional

40

(Erliana, 2008). Otot akan mengalami ketegangan ketika lansia mengalami stres
(ketegangan emosional) sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatis. Kecepatan
jantung, tekanan darah, dan kecepatan pernapasan meningkat, serta otot menjadi
tegang. Aktifnya saraf simpatis membuat lansia tidak dapat santai atau relaks
sehingga tidak dapat memunculkan rasa kantuk (Erliana, 2008 dan Rahmawati
2013). Dengan berolahraga akan merangsang kelenjar pineal untuk mensekresi
serotonin dan melatonin (berperan dalam mengontrol irama sirkandian,
sekresinya terutama pada malam hari yang berhubungan dengan rasa
mengantuk). Dari hipotalamus rangsangan akan diteruskan ke pituitary untuk
pembentukan beta endorphin dan enkephalin. Efek dari Beta endorphin dan
enkephalin akan menimbulkan suasana rileks dan senang. Dalam kondisi rileks,
lansia akan mudah dalam memenuhi kebutuhan tidurnya. (Sumedi, 2010)
Akibat aktifitas fisik otot tubuh membutuhkan oksigen yang cukup untuk
membakar glukosa menjadi adenosine triphospate (ATP) yang akan diubah
menjadi energi yang dibutuhkan oleh sel-sel tubuh. Ketika glukosa habis, barulah
lemak dibakar. Pada saat glukosa habis dibakar inilah enhorphine mulai muncul.
Jawaban pentingnya melakukan aktivitas olahraga yang teratur untuk membakar
glukosa melalui aktivitas otot yang akan menghasilkan ATP sehingga endorphin
akan muncul dan membawa rasa nyaman, senang, dan bahagia. (Guyton,2007)
Olahraga senam lansia juga merangsang penurunan aktifitas saraf simpatis
dan peningkatan aktifitas saraf para simpatis yang berpengaruh pada penurunan
hormon adrenalin, norepinefrin dan katekolamin serta vasodilatasi pada pembuluh
darah yang mengakibatkan transport oksigen keseluruh tubuh terutama otak lancar

41

sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal. Pada kondisi
ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi melatonin yang optimal
dan pengaruh beta endorphin dan membantu peningkatan pemenuhan kebutuhan
tidur lansia (Rahayu, 2008). Peningkatan kualitas dan kuantitas pemenuhan
kebutuhan tidur juga akan mempengaruhi tekanan darah dan nadi untuk tetap
dalam batas normal ketika lansia bangun tidur.

You might also like