You are on page 1of 9

Pengertian akhlak

Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila
yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan baik, terpuji menurut akal dan syara maka
disebut akhlak baik, sebaliknya apabila yang timbul dari padanya adalah perbuatan yang jelek maka
dinamakan akhlak yang buruk.
Berdasarkan pengertian ini maka hakikat akhlak menurut Al-Ghazali harus mencakup dua syarat:

a. Perbuatan itu harus kontinu, yaitu dilakukan berulang kali (continued) dalam bentuk yang sama,
sehingga dapat menjadi kebiasaan. Misalnya seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya
karena dorongan keinginan refleksi saja, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pemurah
selama sifat yang demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.

b. Perbuatan yang kontinu itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa
pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan dari orang lain,
atau pengaruh-pengaruh atau bujukan yang indah.
Pengertian tasawuf

Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: , ) adalah ilmu untuk


mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun
dhahir dan batin serta untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Tasawuf pada
awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan
dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai
aliran dalam Sufi) sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang
lain, atau kombinasi dari beberapa tradisi[butuh rujukan]. Pemikiran Sufi muncul
di Timur Tengah pada abad ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh
belahan dunia. Sufisme merupakan sebuah konsep dalam Islam, yang
didefinisikan oleh para ahli sebagai bagian batin, dimensi mistis Islam; yang lain
berpendapat bahwa sufisme adalah filosofi perennial yang eksis sebelum
kehadiran agama, ekspresi yang berkembang bersama agama Islam.[1]
Pengertian sunni
Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab:
) atau lebih sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: ) atau
Sunni adalah mereka yang senantiasa tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an
dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut
tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10%
menganut aliran Syi'ah.
Macam-macam Tasawuf
1.

Tasawuf Akhlaki

Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau
dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah)(

Frase atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu
adalah tasawuf dan akhlak. Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan,
dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis,

tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling


membersihkan yang menjadi sasarannya. Tasawuf akhlaki ini bisa dipandang
sebagai sebuah tatanan dasar untuk menjaga akhlak manusia atau dalam
bahasa sosialnya moralitas masyarakat.
Para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik,
di perlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriah. Untuk itu dalam tasawuf
akhlaki,sistem pembinaannya di susun sebagai berikut: Takhalli : mengosongkan
diri dari perilaku buruk atau akhlak tercela. Tahalli : upaya mengisi atau
menghiasi diri dengan perilaku dan akhlak yang terpuji. Tajalli : Usaha
pemantapan dan pendalaman materi yang telah di lalui pada fase sebelumnya
untuk mencapai kesucian jiwa.
Oleh karena itu, tasawuf akhlaki merupakan kajian ilmu yang sangat
memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa teori sebagai
sebuah pengetahuan, tetapi harus terealisasi dalam rentang waktu kehidupan
manusia. Agar mudah menempatkan posisi tasawuf dalam kehidupan
bermasyarakat atau bersosial, para pakar tasawuf membentuk spesifikasi kajian
tasawuf pada ilmu tasawuf akhlaki, yang didasarkan pada sabda Nabi Saw.
Sesungguhnya aku telah diutus (dengan tujuan) untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak.[3]
Tasawuf akhlaki merupakan gabungan dari ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf.
Akhlak erat kaitannya denga perilaku dan kegiatan manusia dalam interaksi
sosial pada lingkungan tempat tinggalnya. Jadi, tasawuf akhlaki dapat terealisasi
secara utuh, jika pengetahuan tasawuf dan ibadah kepada Allah Swt. dibuktikan
dalam kehidupan sosial.
a.
1)

Tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran tasawuf akhlaki


Hasan Al-Bashri

Hasan Al-Bashri, memiliki nama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah
seorang zahid yang termasyur dikalangan tabiin. Lahir di Madinah pada tahun
21 H (632 M) dan wafat pada tahun 10 H (728 M). Ia dikabarkan pernah bertemu
dengan 70 orag sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300
sahabat lainnya.[4]
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran
kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya
secara umum. Tidak heran kalau ceramah-ceramahnya dihadiri oleh selurh
segmen masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia juga dikenal sebagai
seorang wara dan berani memperjuangakan kebenaran. Diantara karya
tulisannya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir AlQuran.
Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti berikut:
[5]
a)
Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada
rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b)
Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya.

Akan tetapi, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya
tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan
penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c)
Tafakur membawa kita pada kebaikkan dan berusaha mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya
lagi. Sesuatu yang fana-betapa pun banyaknya- tidak akan menyamai sesuatu
yang baqa-betapa pun sedikitnya. Waspadalah tehadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan.
d)
Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggal mati suaminya.
e)
Orang yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari
karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang
telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang
akan mengancam.
f)
Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, di hari kiamat yang akan menagih janjinya.
g)

Banyak duka cita didunia memperteguh semangat amal shaleh.

Berkaitan dengan ajaran tasawuf diatas, Muhammad Mustafa menyatakan


bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari atas rasa takut siksa Tuhan didalam
neraka. Akan tetapi, setelah dikaji lebih mendalam ternyata bukan perasaan
takut terhadap siksaan yang menjadi dasar tasawufnya melainkan kebesaran
jiwanya akan kekurangan dan kelalaian dirinya yang mendasari tasawufnya.
Sikap itu selalu seirama dengan sabda Nabi Saw. Orang beriman yang selalu
mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya laksana orang yang duduk
dibawah sebuah gunung besar yang senantiasa merasa takut gunung itu akan
menimpa dirinya.[6]
2)

Al-Muhasibi

Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (wafat 243 H) menempuh jalan tasawuf karena
hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa
jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah Swt.,
melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara, dan meneladani Rasullullah Saw.
Tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi- seseorang
akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf.
Ia akan meneladani Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan akhirat daripada
dunia.[7] Al-Muhasibi berbicara tentang makrifat, bahwasanya makrifat itu harus
ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.[8] AlMuhasibi menjelaskan sebagai berikut:
a)

Taat.

b)
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi
hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
c)
Pada tahap ketiga ini Allah Swt. menyingkapkan khazanah-khazanah
keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua
tahap diatas. Ia akan menyaksikan bahwa rahasia yang selama ini disimpan
Allah Swt.

d)
Tahap keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana
yang menyebabkan baqa.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja (pengharapan)
menempati posisi paling penting dalam perjalanan seseorang membersihkan
jiwa. Menurutnya, kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan sempurna hanya
berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Muhasibi mengatakan
bahwa Al-Quran menjelaskan tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajaranajaran Al-Quran dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). AlQuran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam tamantaman (syurga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb
mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang
berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan
selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (Q.S. Adz-Dzariyyat
(51): 15-19).
3)

Al-Qusyairi

Beliau adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima hijriah. Nama
lengkapnya Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin, lahir pada tahun 376 H
di Istiwa, kawasan Naishabur. Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu
mengompromikan syariat denga hakikat. Beliau wafat pada tahun 465 H.[9]
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa pengembalian arah tasawuf menurutnya harus
dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang dalam hal ini
adalah dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriah
yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
4)

Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin


Muhammad bin Taus Ath-Thusi Asy-Syafii Al-Ghazali. Lahir pada tahun 450
H/1058 M di kota Khurasan, Iran.
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Quran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad Saw. ditambah dengan doktrin Ahlu Sunnah Wa AlJamaah. Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis
yang memengaruhi para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syiah, Ikhwan AhShafa, dan lain sebagainya. Ia menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak tasawufnya adalah
psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat terlihat dari
karya-karyanya, seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al-Hidayah, Miraj As-Salikin, Ayuhal Walad.
Menurut Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf baru dapat dicapai dengan
mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang
tercela, sehingga kalbu dapat terlepas dari sesuatu selain dari Allah Swt.
Makrifat menurut Al-Ghazali adalah mengetahui rahasia Allah Swt. dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[10] Alat
memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Dijelaskan bahwa qalb

dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Ringkasnya, makrifat menurutnya


tidak seperti makrifat menurut orang awan ataupun menurut ulama atau
mutakallim, tetapi makrifat suci yang dibangun atas dasar dzauq rohani dan
kasyf Ilahi. Yaitu tanpa melalui perantara langsung dari Allah Swt.
As-Saadah (kebahagiaan) menurut Al-Ghazali sesuai dengan tabiat (watak),
sedangkan tabiat sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya, nikmatnya mata
terletak saat kita melihat gambar yang bagus dan indah, nikmatnya telinga
terletak saat mendengar suara yang merdu. Demikian seluruh tubuh, masingmasing memiliki kenikmatan tersendiri.[11]Kenikmatan qalbsebagai alat
memperoleh makrifat, terletak saat kita melihat Allah Swt. hal inilah merupakan
kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat agung dan mulia.
Kenikmatan dan kebahagiaan dunia akan hilang setelah manusia mati,
sedangkan kenikmatan dan kelezatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan
tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati,
bahkan kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju
cahaya terang.[12]
2.

Tasawuf Irfani

Untuk menemukan pengenalan (marifat) seorang sufi harus melalui beberapa


fase yang dikenal dengan maqom (tingkatan) dan hal (keadaan). Lingkup
perjalanan menuju Allah ini dalam kalangan sufi sering disebut sebagai karangan
irfani. Ciri-ciri tasawuf sunni antara lain :
1. Melandaskan diri pada Al-quran dan As-Sunnah.
2. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat
pada ungkapan-ungkapan Syahahat.
3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan
manusia.
4. Kesinambungan antara hakikat dengan syariat.
5. Lebih terkonsentrasi pada pembinaan, pendidikan akhlak, dan pengobatan
jiwa dengan cara riyadhah (latihan-latihan) dan langkah takhalli, tahalli, dan
tajalli.
Berikut tokoh-tokoh beserta ajaran dari tasawuf irfani.
a). Robiah Al-Adawiyah
Nama lengkap dari Robiah adalah Robiah Al-adawiyah bin Ismail Al-Adawiyah
Al-Bashariyah Al-Qarisyah. Ia lahir pada tahun 95H/713 M disuatu perkampungan
dekat kota Basrah dan wafat dikota itu juga pada tahun 185H. Ia dilahirkan
sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Ia putri keempat,
orangtuanya menamakannya rabiah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia
masih kecil. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan
penjahat dan dijual kepada keluarga atik dari suku quraisyah dan al adawiyah , ia
bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang
memancar diatas kepala rabiah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada
saat ia sedang beribadah.
b). Ajaran Tasawuf Rabiah Al adawiyah

Rabiah Al adawiyah tercatat dalam perkembangan mistisme dalam islam


sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Rabiah pula
yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang
berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabiah Al
adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun
yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika
bermunajat Rabiah menyatakan doanya , tuhanku, akankah Kau bakar kalbu
yang mencintaimu oleh api neraka? tiba- tiba terdengar suara, kami tidak akan
melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepda kami.[13]
Hasan al-Basri: Keprihatinannya melihat gaya hidup dan kehidupan masyarakat
yang telah terpengaruh oleh duniawi .Dasar pendiriannya yang paling utama
adalah zuhud terhadap kehidupan duniawi sehingga ia menolak segala
kesenangan dan kenikmatan duniawi. Prinsip kedua Hasan al-Bashri adalah alkhouf dan raja. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena
berbuat dosa dan sering melalakukan perintahNya.

3.

Tasawuf Falsafi

Yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi
resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak
bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan
pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni)
karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.
Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak
dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan
syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali
mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokohtokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.
Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam
tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan katakata : hai aku. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.
Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1.

tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku.

2.

maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-

3.

tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah.

ku.

Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang
mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil
tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut
(kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara
tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk
hulul.
Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan alBusthami, seperti : aku adalah yang haq. Karena ungkapannya yang di anggap
menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syiah
Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha yang
sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi
hukuman mati.
Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul
Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq
dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk
yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : maha suci dzat
yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri.
Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena
perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia
tasawuf di kenal istilah fana dan baqa sebagaimana telah di uraikan di depan.
Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah
mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni marifat dan hakikat,
sehingga muncul kesadaran bahwa al-marifah (pengetahuan), al-Arif (orang
yang mengetahui), dan al-Maruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang telah mencapai marifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifatsifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam marifat masih ada sia-sia
kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan
kesatuan ilahi merupakan prinsip marifat yang pertama dan yang terakhir.
Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh
peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu
yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu
dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya,
tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari
atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan.
Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut
di atas. Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi
falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan
suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam,
adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara
khalik dan makhluk, antara abid dan mabud tidak bisa di satukan.

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN


Akhlak dan iman adalah dua perkara yang perlu kita miliki. Sebagai seorang
muslim, kita haruslah mengetahui bahawa terdapat hubungan di antara akhlak
dan iman. Akhlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada
keimanan. Iman tidak cukup sekadar disimpan di dalam hati,melainkan harus
dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal soleh atau
tingkah laku yang baik. Jika iman melahirkan amal soleh,barulah dikatakan iman
itu sempurna karna dapat direalisasikan.
Jelaslah bahawa akhlaq adalah mata rantai kepada keimanan. Sebagai
contoh,sifat malu (dalam membuat kejahatan) adalah satu dari pada akhlaqul
mahmudah. Dalam hadis Nabi ada menegeaskan bahawa malu itu adalah
cabang dari pada keimanan. Sebaliknya,akhlak yang dipandang buruk adalah
akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Seterusnya sekalipun sesuatu
perbuatan pada lahirnya baik, tetapi titik tolak nya bukan kerana iman,maka
perbuatan itu tidak dapat penilaian di sisi Allah s.w.t.
Hubungan antara akhlak dan iman tercermin dalam pernyataan Rasulullah yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a: yang berbunyi "Orang mukmin yang
sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya(akhlak)" (Riwayat AlTarmidzi).
Selain itu,akhlak dan iman mempunyai hubungannya yang lain. Kita dapat lihat
hubungan itu berdasarkan motivasi iman itu sendiri.Tindakan dan pekerjaan
manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu. Motivasi itu ada
bermacam-macam,ada yang kerana kepentingan kekayaan,ingin masyhur
namanya dan sebagainya.Adapun dalam pandangan Islam, maka yang menjadi
pendorong paling dalam dan paling kuat untuk melakukan sesuatu amal
perbuatan yang baik, adalah akidah,iman yang tersemat dalam hati. Iman itulah
yang membuat seseorang muslim ikhlas hendak bekerja keras bahkan rela
berkorban. Iman itulah sebagai motivasi dalam peribadi nya yang membuatkan
seseorang tidak boleh diam dari pada melakukan kegiatan kebajikan dan amal
soleh.
Jikamotor iman itu bergerak,maka keluarlah produknya berupa amal soleh dan
akhlaqul karimah. Dengan demikian hanya daripada jiwa yang di hayati iman
dapat diharapkan memancarkan kebaikandan kebajikan yang sebenarnya.
Kebaikan yang lahir tanpa bersumberkan keimanan, adalah kebaikan yang tidak
mendapat penilaian di sisi Allah s.w.t.
Daripada rukun iman yang enam,dua dari padanya adalah kepercayaan kepada
Allah dan kepercayaan kepada hari akhirat. Dua rukun iman ini menjadi asas dan
teras yang membezakan antara islam dan akhlak-akhlak lainnya serta dengan
sendirinya membezakan kesannya kepada akhlak. Keimanan kepada kedua-dua
hakikat ini memberikan kesan yang positif. Sebaliknya kepercayaan kepada yang
lain atau penafian kepada kedua-dua hakikat tersebut memberikan kesan yang
negatif. Hubungan yang lazim antara keimanan kepada Allah dan hari akhirat
dengan keberkesanannya membentuk akhlak yang baik atau sebalik nya, jika
tidak beriman dengan dua hakikat tadi dengan keberkesanan nya membentuk
akhlakyang jahat dan buruk.

Orang yang beriman dengan Allah dan hariak hirat akan dikesani dengan sifatsifat Allah yang termahal dan tertinggi yang akan mengesani pula berbagai
perlakuan dan kegiatan hidupnya. Perlakuandan kegiatan yang dikesani oleh sifat
tinggi dan mulia ini adalah perlakuan dan kegiatan yang bernilai baik. Nilai
kebaikan ini akan semakin meningkat dengan meningkatnya kesedaran kepada
nilai pembalasan di hari akhirat sebagai tempat dan masa kehidupan insan yang
hakiki. Demikian juga sebaliknya, orang yang tidak beriman dengan Allah tetapi
beriman dengan tuhan yang batil dan palsu atau yang menepikan langsung
konsep ketuhanan sudah tentu dikesani oleh sifat yang batil dan palsu yang
berikutnya akan menyesali perlakuan dan kegiatan dalam hidupnya, lebih-lebih
lagi yang langsung tidak mengakui pembalasan di atas perlakuan akan
kegiatannya.

You might also like