Professional Documents
Culture Documents
Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila
yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan baik, terpuji menurut akal dan syara maka
disebut akhlak baik, sebaliknya apabila yang timbul dari padanya adalah perbuatan yang jelek maka
dinamakan akhlak yang buruk.
Berdasarkan pengertian ini maka hakikat akhlak menurut Al-Ghazali harus mencakup dua syarat:
a. Perbuatan itu harus kontinu, yaitu dilakukan berulang kali (continued) dalam bentuk yang sama,
sehingga dapat menjadi kebiasaan. Misalnya seseorang yang memberikan sumbangan harta hanya
karena dorongan keinginan refleksi saja, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pemurah
selama sifat yang demikian itu belum tetap dan meresap dalam jiwa.
b. Perbuatan yang kontinu itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud refleksi dari jiwanya tanpa
pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan-tekanan, paksaan dari orang lain,
atau pengaruh-pengaruh atau bujukan yang indah.
Pengertian tasawuf
Tasawuf Akhlaki
Tasawuf akhlaki jika ditinjau dari sudut bahasa merupakan bentuk frase atau
dalam kaidah bahasa Arab dikenal dengan sebutan jumlah idhafah)(
Frase atau jumlah idhafah merupakan gabungan dari dua kata menjadi satu
kesatuan makna yang utuh dan menentukan realitas yang khusus. Dua kata itu
adalah tasawuf dan akhlak. Jika kata tasawuf dengan kata akhlak disatukan,
dua kata ini akan menjadi sebuah frase, yaitu tasawuf akhlaki. Secara etimologis,
Hasan Al-Bashri, memiliki nama lengkap Abu Said Al-Hasan bin Yasar adalah
seorang zahid yang termasyur dikalangan tabiin. Lahir di Madinah pada tahun
21 H (632 M) dan wafat pada tahun 10 H (728 M). Ia dikabarkan pernah bertemu
dengan 70 orag sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300
sahabat lainnya.[4]
Hasan Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran
kalau ia menjadi imam di Bashrah secara khusus dan daerah-daerah lainnya
secara umum. Tidak heran kalau ceramah-ceramahnya dihadiri oleh selurh
segmen masyarakat. Disamping dikenal sebagai zahid, ia juga dikenal sebagai
seorang wara dan berani memperjuangakan kebenaran. Diantara karya
tulisannya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir AlQuran.
Hamka mengemukakan sebagian ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti berikut:
[5]
a)
Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada
rasa tentram yang menimbulkan perasaan takut.
b)
Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan
perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya.
Akan tetapi, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya
tertambal dengan dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan
penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya.
c)
Tafakur membawa kita pada kebaikkan dan berusaha mengerjakannya.
Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita untuk tidak mengulanginya
lagi. Sesuatu yang fana-betapa pun banyaknya- tidak akan menyamai sesuatu
yang baqa-betapa pun sedikitnya. Waspadalah tehadap negeri yang cepat
datang dan pergi serta penuh tipuan.
d)
Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan beberapa kali
ditinggal mati suaminya.
e)
Orang yang beriman akan senantiasa berdukacita pada pagi dan sore hari
karena berada diantara dua perasaan takut, yaitu takut mengenang dosa yang
telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang
akan mengancam.
f)
Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa
mengancamnya, di hari kiamat yang akan menagih janjinya.
g)
Al-Muhasibi
Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi (wafat 243 H) menempuh jalan tasawuf karena
hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Al-Muhasibi memandang bahwa
jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah Swt.,
melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara, dan meneladani Rasullullah Saw.
Tatkala sudah melaksanakan hal-hal diatas menurut Al-Muhasibi- seseorang
akan diberi petunjuk oleh Allah SWT. berupa penyatuan antara fiqh dan tasawuf.
Ia akan meneladani Rasulullah Saw. dan lebih mementingkan akhirat daripada
dunia.[7] Al-Muhasibi berbicara tentang makrifat, bahwasanya makrifat itu harus
ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab dan sunnah.[8] AlMuhasibi menjelaskan sebagai berikut:
a)
Taat.
b)
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi
hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.
c)
Pada tahap ketiga ini Allah Swt. menyingkapkan khazanah-khazanah
keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua
tahap diatas. Ia akan menyaksikan bahwa rahasia yang selama ini disimpan
Allah Swt.
d)
Tahap keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana
yang menyebabkan baqa.
Dalam pandangan Al-Muhasibi, khauf (rasa takut) dan raja (pengharapan)
menempati posisi paling penting dalam perjalanan seseorang membersihkan
jiwa. Menurutnya, kedua hal tersebut dapat dilakukan dengan sempurna hanya
berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Al-Muhasibi mengatakan
bahwa Al-Quran menjelaskan tentang pembalasan (pahala) dan siksaan. Ajaranajaran Al-Quran dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). AlQuran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam tamantaman (syurga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala pemberian Rabb
mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang
berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan
selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (Q.S. Adz-Dzariyyat
(51): 15-19).
3)
Al-Qusyairi
Beliau adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima hijriah. Nama
lengkapnya Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin, lahir pada tahun 376 H
di Istiwa, kawasan Naishabur. Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu
mengompromikan syariat denga hakikat. Beliau wafat pada tahun 465 H.[9]
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa pengembalian arah tasawuf menurutnya harus
dengan merujuknya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang dalam hal ini
adalah dengan mengikuti para sufi sunni pada abad ketiga dan keempat hijriah
yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
4)
Al-Ghazali
Tasawuf Irfani
3.
Tasawuf Falsafi
Yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi
resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya
sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak
bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan
pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni)
karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi
mistis dan visi rasional.Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya,yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya.
Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang
kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajaran filsafat yang paling banyak
dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah Paham emanasi neo-Plotinus.
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan
syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali
mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokohtokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.
Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam
tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan,
suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan katakata : hai aku. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.
Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1.
2.
3.
ku.
Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang
mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil
tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.
Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut
(kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara
tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk
hulul.
Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan alBusthami, seperti : aku adalah yang haq. Karena ungkapannya yang di anggap
menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syiah
Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha yang
sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi
hukuman mati.
Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul
Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq
dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk
yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : maha suci dzat
yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri.
Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena
perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia
tasawuf di kenal istilah fana dan baqa sebagaimana telah di uraikan di depan.
Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah
mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni marifat dan hakikat,
sehingga muncul kesadaran bahwa al-marifah (pengetahuan), al-Arif (orang
yang mengetahui), dan al-Maruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang telah mencapai marifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifatsifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam marifat masih ada sia-sia
kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan
kesatuan ilahi merupakan prinsip marifat yang pertama dan yang terakhir.
Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh
peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu
yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu
dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya,
tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari
atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan.
Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut
di atas. Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi
falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan
suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam,
adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara
khalik dan makhluk, antara abid dan mabud tidak bisa di satukan.
Orang yang beriman dengan Allah dan hariak hirat akan dikesani dengan sifatsifat Allah yang termahal dan tertinggi yang akan mengesani pula berbagai
perlakuan dan kegiatan hidupnya. Perlakuandan kegiatan yang dikesani oleh sifat
tinggi dan mulia ini adalah perlakuan dan kegiatan yang bernilai baik. Nilai
kebaikan ini akan semakin meningkat dengan meningkatnya kesedaran kepada
nilai pembalasan di hari akhirat sebagai tempat dan masa kehidupan insan yang
hakiki. Demikian juga sebaliknya, orang yang tidak beriman dengan Allah tetapi
beriman dengan tuhan yang batil dan palsu atau yang menepikan langsung
konsep ketuhanan sudah tentu dikesani oleh sifat yang batil dan palsu yang
berikutnya akan menyesali perlakuan dan kegiatan dalam hidupnya, lebih-lebih
lagi yang langsung tidak mengakui pembalasan di atas perlakuan akan
kegiatannya.