You are on page 1of 7

Ujian Demokrasi Lurah Susan

I.

Analisa

Berkaca dari peristiwa penolakan sebagian warga masyarakat terhadap luras susan kita dapat
melihat bahwa peran serta perempuan dalam politik masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh
masyarakat. Penolakan tersebut dapat dikarenakan pada berbagai hal baik kepentingan politik,
pemahaman hak dan kewajiban dalam hukum maupun kesadaran masyarakat tentang kesetaraan
perempuan dalam masyarakat.Dalam konteks Indonesia jikalau ditelusuri kepedulian Negara
terhadap perempuandapat dirunut sejak pemerintahan persiden RI pertama,Soekarno. Pada masa
itu,permpuan telah diakui haknya dalam politik,baik hak pilih dalam pemilu 1955, maupun juga
duduk sebagai anggota parlemen.
Keberadaan Kementerian Negara Urusan Wanita pada dasawarsa kedua pemerintahan Soeharto,
yang kini pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga tidak memiliki tugas pokok dan fungsi
sebagai lembaga yang memfasilitasi perempuan dalam arti perluasan peran dan partisipasinya
dalam relasi kekuasaan. Kebijakan affirmative action yang memberi kemudahaan bagi
perempuan untuk berpartisipasi lebih luas bagi perempuan sejak Pemilu 2004 juga tidak berjalan
mulus. Pemberlakuan kuota 30% bagi perempuan dan berdasar nomur urut secara berselangseling pada dan kabupaten pada daftar caleg juga digugat ke Mahkamah Konstitusi dan
ketentuannya diganti dengan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan. Pada Pemilu 2014
yang akan datang ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi perempuan kembali dibuka
melalui kuota sebesar 30% keanggotaan pada lembaga penyelenggara pemilu (KPU dan
Bawaslu) maupun calon anggota lembaga legisltatif di tingkat nasional maupun provinsi dan
kabupaten/kota.
A.

Analisa Hak Politik Perempuan terhadap Keberadaan Lurah Susan menurut HAM
Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama
untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan
perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara
lain :

1. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan
kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.
2. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk

menentukan wakil rakyat di pemerintahan.


3. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan nonpemerintah

dan

himpunan-himpunan

yang

berkaitan

dengan

kehidupan

pemerintah dan politik negara tersebut.


Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan dalam
instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang
umum dalam Pasal 21 DUHAM butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum
yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam
Pasal 7 dan 8 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan.
Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan dalam
instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : sistem
pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai
persyaratan yang ditentukan.
Pada UU No 39 tahun 1999 hak-hak perempuan dalam Poltik juga tercantum dalam
pasal 49 ayat 1 yaitu : Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan,
jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
Hak-hak tersebut yang bahwasannya setiap orang berhak atas kebebasan berpikir ;
memiliki dan menyatakan pendapatnya , berserikat dan berkumpul ; berpartisipasi dalam
pemerintahan , termaksud hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan.1
Membicarakan Hak Perempuan dalam politik tidak dapat dilepaskan dari sejarah baru
politik diindonesia sejak diundangkannya UU no 2 tahun 2008 tentang partai

Santi Wijaya Hesti Utami dkk,Perempuan Dalam Pusaran Demokrasi,Dari Pintu Otonomi ke Pemberdayaan
(Bantul : IP4 Lappera Indonesia,2001) hal.80

politik,didalam UU tersebut banyak diatur berbagai hal yang menjadi perbaikan dari
undang-undang sebelumnya yakni UU No31 tahun 2002.
Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 tahun 2002 adalah syarat menjadi badan hukum
untuk suatu partai politik diatur lebih ketat dari UU sebelumnya.dalam masalah
kesetaraan gender yang dapat diartikan sebagai hak-hak perempuan dalam politik juga
diatur secara tergas dengan menentukan tindakan keperansertaan perempuan dengan
berupaya sedikitnya memiliki keterwakilan sebesar 30 % dalam suatu parpol.Begitu pula
dengan jumlah kepengurusan 30% perempuan sedikitnya 30 % ditingkat Propinsi dan
kabupaten / Kota , hal ini harus dnyatakan dalam AD dan ART suatu partai.
Dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No.2 tahun 2008 tersebut pemerintah
dan DPR juga berusaha menyelaraskan peraturan dengan membuat UU No 10 Th 2008
sebagai pengganti dari UU 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat agar sesuai denga tuntutan dan dinamika demokrasi masyarakat.
Pada Undang-Undang ini keterwakilan perempuan secara tegas dinyatakan pada pasal 53
bahwa : Daftar bakal calon yang sebagai mana dimaksud dalam pasal 52 memuat paling
sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan..
Dan pada pasal 55 menyatakan bahwa : Didalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) , setiap 3 (tiga) orang bakal Calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu ) orang perempuan bakal calon.dari hal hal yang dicontohkan diatas sangat jelas
bahwa apa yang disebut affirmative action dilakukan melalui mekanisme ketentuanketentuan yang memungkinkan adanya tindakan khusus kepada perempuan dalam
penentuan calon legislative yang merupakan aplikasi nyata dari UU no 10 tahun 2008
yang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi semua golongan untuk memilih dan
dipilih pada kesempatan pemilu yang ditentukan.
Affirmative Action adalah upaya jalan keluar dari permasalahan kaum perempuan untuk
mengatasi ketertinggalannya,yang adapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi positif
yaitu pengecualian demokrasi dalam mengatasi kesenjangan gender2, kedua undangundang tersebut metrupakan instrument hukum yang cukup revolusioner dalam hal politik
di Indonesia terkait dengan hak-hak Politik perempuan yang dituangkan dalam hukum
positif seacara tegas.
2

Astrid Anugrah,Keterwakilan perempuan Dalam Politik, hal 58

I.

Hak-hak Politik perempuan dalam Islam.


Islam mengakui pentingnya kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat dan
pengaruhnya dalam kehidupan politik. Karena itu kaum perempuan telah diberikan
hakhak politik yang mencerminkan status mereka yang bermartabat, terhormat, dan mulia
dalam Islam. Di antara hak-hak politik perempuan yang diberikan Islam adalah hak untuk
berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Islam tidak pernah melarang perempuan untuk aktif dalam bidang politik. Karena itu,
pada masa Nabi Saw. kaum perempuan juga ikut terlibat dalam berbagai aktivitas publik
atau politik. Islam mengajarkan berbagai aspek yang terkait dengan kehidupan manusia
mulai dari aspek yang paling pokok hingga aspek-aspek lain sebagai pelengkap dari
aspek pokok tersebut. Islam mengajarkan aspek keimanan, ibadah, dan akhlak yang
merupakan inti dari ajarannya. Di samping itu, Islam juga mengajarkan persamaan di
antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan di antara bangsa, suku, dan
keturunan yang satu dengan yang lainnya. Yang menjadi titik perbedaan di antara
manusia yang kemudian meninggikan atau merendahkannya hanyalah nilai iman dan
takwanya kepada Allah Swt.
Demikianlah yang ditegaskan oleh Allah dalam QS. al-Hujurat (49) ayat 13. Ayat ini tidak
membeda-bedakan manusia atas dasar jenis kelamin, suku bangsa, dan kelompokkelompok tertentu, akan tetapi yang menjadi ukuran perbedaan manusia di hadapan Allah
hanyalah satu, yakni derajat ketakwaannya kepada Allah Swt.
Seorang pemikir feminis Muslim dari India, Asghar Ali Engineer, ketika meletakkan ayatayat al-Quran yang membicarakan hak-hak perempuan dan laki-laki, yakni QS. al-Nisa'
(4): 34, al-Baqarah (2): 228, dan al-Ahzab (33): 35 secara bersamasama dan melihatnya
dalam konteks yang tepat, menjelaskan bahwa Allah tidak membeda-bedakan jenis
kelamin atau kodrat yang dibawa sejak lahir. Al-Quran sebenarnya telah menegaskan
adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Untuk melihat kesetaraan tersebut bisa
dilihat misalnya al-Quran surat al- Nisa' (4): 1 yang menyatakan kedua jenis kelamin

(laki-laki dan perempuan) memiliki asal-usul dari satu makhluk hidup yang sama dan
memiliki hak sama.

pendapat ini dikuatkan oleh Muhammad Asad, Maulana Azad,

Maulana Qari Muhammad Tyeb .4


Dari sedikit uraian diatas dapat diketahui bahwa tidaklah benar bahwa dalam islam
seorang perempuan dilarang menjadi pemimpin, pembedaan antara laki-laki dan
perempuan didalam islam lebih banyak berkaitan dengan tata cara ibadah yang
menyangkut perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan serta tanggung jawab terkait
kodrat wanita yangberbeda dengan laki-laki tetapi tidak membedakan hak-hak yang
bersifat politik. Karena pada dasarnya islam mengakui bahkan menjunjung tinggi harkat
dan martabat perempuan.Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka memiliki hak untuk bekerja dan menduduki
jabatan-jabatan tertinggi.

Engineer, Asghar Ali. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Alih bahasa oleh Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. hal.57
4

Opcit hal.58

II.

Kesimpulan.
A.

Adanya kepemimpinan perempuan di Indonesia bukanlah merupakan hal baru


tetapi sudah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yang secara politik hakhaknya diakui melalui pemilu dan terus berkembang mengisi jabatan-jabatan yang
penting dan stategis.

B.

Protes yang terjadi terhadap lurah Susan Oleh sebagaian anggota masyarakat
terkait status gender dan agama merupakan pelanggaran terhadap hak hak nya
sebagai warga Negara yang memiliki kedudukan yang sama didalam hukum serta
hak atas kesetraaan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam
partisipasinya didalam hukum dan pemerintahan baik untuk memilih ,dipilih dan
menduduki jabatan dalam dalam pemerintahan sesuai ketentuan yang berlaku.

C.

Tidak ada satupun aturan hukum yang melarang kaum perempuan menduduki
jabatan dipemerintahan namun sebaliknya pemerintah terus berusaha mendorong
untuk peran serta mayarakat khususnya perempuan untuk dapat bersama-sama
membangun bangsa dengan memberlakukan diskrimanasi posistiv yang
dituangkan dalam UU No.2 tahun 2008 dan UU No.10 th 2008 yang bersifat
affirmative action.

D.

Dalam pandangan Islam Tidak pernah membedakan peran serta kaum perempuan
dalam hal politik dan tata laksana pemerintahan. Islam sebagai agama mengakui
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan karena yang membedakan dari manusia
adalah ketaqwaan nya terhadap ALLAH SWT. Sedangkan ketaqwaan tersebut
dapat tercermin dalam perilaku sosisal sehari-hari yang merupakan implementasi
dari ibadah yang dapat dilakukan dengan banyak jalan dan cara salah satunya
adalah dengan jalan partisipasi dalam pemerintahan yang dapat diartikan
berpolitik. Berpolitik yang didasarkan pada kemampuan mengelola segala sumber
daya yang ada serta bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai
kemakmuran dan kemaslahatan bersama yang merupakan salah satu nilai tertinggi
dari suatu ibadah yang bersifat sosial.

III. Saran

Setelah dibedah basis masalahnya, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana membenahi
permasalahan yang terpampang diuraian sebelumnya sehingga kualitas toleransi umat di
Indonesia membaik, menurut kelompok kami sudah seharusnya memperhatikan dua hal, yaitu
pembenahan dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang. Jangka pendek adalah negara
bersikap tegas sebagaimana yang dilontarkan oleh Wakil Bupati DKI Jakarta, Basuki Purnama
alias Ahok, "Pokoknya prinsipnya kita, tidak mau pindahkan orang karena alasan agama.
Enggak ada, ini negara Pancasila, mana ada pakai agama, mana boleh mindahin orang garagara agama".Untuk jangka panjang, dapat dilakukan dengan membongkar masalah struktural
dan sosio-kultural. Pembenahan masalah struktural bisa dilakukan dengan melakukan perubahan
terhadap segala macam peraturan atau legal formal yang diskriminatif.
Contoh tindakan perubahan struktural adalah sebagaimana yang dilakukan oleh mendiang Gus
Dur dengan mengakui kembali Konghucu sebagai salah satu agama yang diakui negara.
Sementara masalah sosio-kultural tidak bisa tidak dengan melibatkan segenap elemen institusi
masyarakat, pendidikan salah satunya. Melalui pendidikan inilah perspektif relasi mayoritasminoritas dibongkar dan digantikan dengan perspektif yang memungkinkan keragaman diterima
dan disikapi secara elegan tanpa ketakutan yang tidak berdasar. Hal ini bisa dilakukan dengan
tidak saja mempelajari agama masing-masing sesuai kepercayaan yang dianut, tapi juga dengan
memperkenalkan bahwa senyata-nyatanya terdapat realitas agama yang berbeda-beda yang
masing-masing memiliki logika serta nilai-nilai pegangan sendiri-sendiri. Materi ini paling
mungkin bisa masuk melalui pelajaran kewarganegaraan, cukup dengan memberikan pengenalan
mengenai berbagai macam agama. Dengan mengenal agama lain, maka akan timbul saling
pengertian antar satu sama lain, dari sinilah lantas kemudian muncul apresiasi sebagai bentuk
pengakuan akan eksistensi masing-masing pihak.

IV. Daftar Pustaka.

You might also like