You are on page 1of 10

TUGAS KULIAH

HUKUM dan HAK ASASI MANUSIA


Hak Atas Rasa Aman
Dalam Permasalahan Hak Atas Tanah di Indonesia

FX. Sigit L. Prabowo


1106074405

Fakultas Hukum Universitas Indonesia


2013

Hak Atas Rasa Aman


Dalam Permasalahan Sengketa Hak Atas Tanah di Indonesia
I.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam
penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait
dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga merupakan sesuatu
yang harus diperoleh. Selanjutnya dalam HAM menurut UU No. 39/1999 Tentang Hak
Asasi Manusia meliputi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Hak untuk hidup


Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Hak mengembangkan diri
Hak keadilan
Hak kemerdekaan (kebebasan pribadi)
Hak rasa aman
Hak kesejahteraan
Hak turut serta dalam pemerintahan
Hak wanita dan anak

Hak-hak tersebut harus ,dijunjung dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Untuk penekanan kali ini, hak yang saya akan tuangkan lebih jelas ialah Hak rasa aman
atau Hak Atas Rasa Aman, Pasal 29 ayat (1) Hak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, hak milik , Pasal 29 ayat (2) Pengakuan didepan
hukum, Pasal 30 Hak atas rasa aman dan tentram, perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu ,dan Pasal 30 Hak atas rasa aman
dan tentram, perlindungan

terhadap

ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak

berbuat sesuatu .
Hak atas rasa aman dikaitkan dengan permasalahan dalam kasus sengketa Hak atas
Tanah, tanah sebagai obyek sengketa mempunyai arti dan peranan yang sangat penting
bagi kehidupan manusia, karena semua orang memerlukan tanah semasa hidupnya
sampai meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian

sebagian besar yang masih bercorak agraris, Indonesia sebagai negara yang bersistem
agraris, tanah merupakan lahan penghidupan yang sangat layak dan kompleks bagi tiaptiap masyarakat Indonesia untuk mencapai kemakmuran hidup, yang mana tanah itu
sendiri juga merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu bangsa dan manfaatnya
harus dapat diusahakan dengan sebaik-baiknya. Dalam sengketa Hak atas Tanah telah
terjadi pelanggaran HAM, yaitu Hak Atas Rasa Aman , sengketa Hak Atas Tanah
dengan Negara, sengketa Hak Atas Tanah dengan Pengusaha atau Perusahaan dan bahkan
masyarakat yang juga mengalami sengketa Hak atas tanah dengan masyarakat lainnya ,
membuat masyarakat tidak aman, terjadi masalah lain dari kasus tersebut misalnya
perpecahan warga yang menyangkut ganti rugi sehingga membuat masyarakat tidak
aman, serta hilangnya Hak Atas Tanah karena Sengketa.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa semua tanah
yang ada diseluruh wilayah

Republik Indonesia adalah Hak Bangsa Indonesia 1.

Kataadalah disini berarti kepunyaan2. Dikatakan sebagai Hak Bangsa Indonesia,


tiada lain adalah adalah Hak yang berakar dari Hak Ulayat berdasarkan Hukum Adat
diangkat pada tingkat paling atas, dan Hak Ulayat inilah yang dipakai oleh UUPA sebagai
konsepsi Hukum Tanah Nasional di Indonesia3.
Hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanahnya adalah hubungan yang bersifat
abadi, pada tingkatan tertinggi dikuasakan pelaksnaanya kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia ( pasal 1 ayat 3 jo. pasal 2 ayat 1
UUPA),bahwa ternyata hubungan bangsa Indonesia dengan tanahnya tidak pernah putus
dan tidak pernah diserahkan kepada siapapun, tidak pula kepada Negara karena Negara
hanya merupakan organisasi kekuasaan seluruh Bangsa Indonesia untuk melaksanakan
apa yang menjadi kehendak Bangsa Indonesia itu sendiri. Jadi Negara hanya memiliki
Hak untuk menguasai bukan memiliki tanah4.

Arie S Hutagalung, Suparjo Sujadi dan Rahayu Nurwidari, Asas-Asas Hukum Agraria,
(Jakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001),hal.20.
2
Ibid, hal .21.
3
. Ibid,hal.21.
4
Hutagalung, Op Cit., hal.22.

Sudah jelas ketentuan dalam pasal 2 UUPA , bahwa pelimpahan tugas kewenagan kepada
Negara itu terbatas pada unsur yang bersifat hukum Publik , dan tidak meliputi unsur
kepunyaan yang bersifat perdata. Tanah di wilayah Republik Indonesia adalah tanah
kepunyaan bangsa Indonesia yaitu tanah kepunyaaan bersama rakyat Indonesia, para
warga Indonesia dan bukan kepunyaan Negara, bahwa Negara memberikan tanah kepada
Rakyat yang memerlukannya dengan berbagai Hak Atas Tanah yang disediakan dalam
Hukum Tanah kita bukan dalam kedudukannya sebagai pihak yang mempunyai tanah,
melainkan sebagai petugas Bangsa Indonesia sebagai Badan Penguasa yang diberi
kewenangan5.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan data Deputi Bidang Pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik
pertanahan (Deputi V) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aryanto terdapat 13.000 kasus
sengketa tanah di Indonesia belum terselesaikan. Periode Januari 2011 hingga Juni 2011,
baru sekitar 1.333 dari 14.337 perkara tanah yang terselesaikan. Hingga akhir Tahun
2010, terkumpul kasus-kasus pertanahan sebanyak 12.267 ribu perkara pertanahan.
Kemudian, akhir Juni 2011 perkara pertanahan bertambah 2110 perkara sehingga total
perkara adalah 14.337 perkara.Seiring dengan bertambahnya perkara tersebut, ada juga
perkara yang dapat diselesaikan, yaitu sebanyak 1333 perkara 6. Kasus pertanahan yang
seringkali terjadi bila dilihat dari konflik kepentingan para pihak dalam sengketa
pertanahan antara lain :
1. Rakyat berhadapan dengan birokrasi negara ;
2. Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara ;
3. Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta ;
4. Konflik antara rakyat.
Dari 34 wilayah, ada 5 wilayah yang memiliki kasus pertanahan terbanyak, yakni Jawa
Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah. Jawa Barat
sebanyak 2427 kasus, disusul Sumatera Utara 1863 kasus, kemudian Sulawesi
5

Ibid, hal .24.


http://www.bpn.go.id/old/layanan/warta/2012 January/perkara pertanahan . Diunduh 7
Desember 2013.
6

Selatan1858 kasus, Sumatera Barat 1307 kasus, dan Jawa Tengah 1145 kasus. Banyaknya
perkara sengketa tanah yang tidak terselesaikan lantaran tidak tegasnya sanksi yang ada
dalam Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2011. Selama ini BPN tidak benar-benar
menindaklanjuti kasus sengketa tanah sehingga banyak kasus yang mengambang dan
tidak selesai. Selama ini BPN tidak menindaklanjuti kasus yang ada, bahkan kasus yang
sudah diputuskan di MA pun juga tidak sedikit yang diabaikan, sehingga banyak kasus
yang terbengkalai.
II.

PEMBAHASAN

II.1 Sengketa Tanah merupakan Konflik Laten


Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik
laten. Dari berbagai kasus yang terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah
terjadi seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang sekian lama
memang telah terendap.
Pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut, hampir
seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal. Keterlibatan
secara komunal inilah yang memungkinkan sengketa tanah merebak menjadi kerusuhan
massal yang menelan banyak korban. Tatkala kerusuhan meledak, rakyat lah yang kerap
menanggung akibat yang paling berat.
Pada konteks kasus-kasus sengketa tanah ini, kiranya bukan sekadar desas-desus jika ada
cerita, negara justru kerap bersekongkol dengan para pemilik modal. Rakyat cukup diberi
ilusi semua demi negeri ini, demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang gemah ripah
loh jinawi repeh rapih toto tengtrem kerto raharjo. Mereka yang menolak ilusi tersebut,
gampang saja solusinya tinggal memberinya shock therapy dengan teror, intimidasi, dan
tindakan represif.
Cerita semacam ini kiranya bukan hanya tersimpan sebagai milik Rezim Orde Baru. Di
alam keindonesiaan kita hari ini yang konon tengah menyuarakan reformasi, berbagai
bentuk intimidasi dan kekerasan oleh (aparat) negara terhadap masyarakat masih kerap
terjadi dalam konteks sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya. Sebut
saja, kasus penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, NTT yang dituduh

telah melakukan perampasan tanah negara pada tahun 2002 atau kasus penangkapan
dan intimidasi terhadap delapan anggota Serikat Petani Pasundan di Garut yang dituduh
sebagai perambah dan perusak hutan pada awal Maret 2006.
Padahal, Tap MPR No. IXatau2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam telah mengamatkan bahwa menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia adalah salah satu prinsip yang wajib ditegakkan oleh (aparat) negara dalam
penanganan sengketa agraria. Dengan merujuk pada Tap MPR ini saja, cara-cara yang
ditempuh oleh (aparat) negara itu tentu saja menjadi tindakan yang tragis-ironis. Sekali
lagi hal itu pun bisa menunjukkan, betapa bobroknya implementasi hukum kita, dan
betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu berada dalam posisi tidak berdaya,
selalu dipersalahkan, dan menjadi korban. Malangnya, hampir dalam setiap kasus
sengketa tanah, posisi masyarakat selalu lemah atau dilemahkan. Masyarakat sering tidak
memiliki dokumen-dokumen legal yang bisa membuktikan kepemilikan tanahnya.
Mereka bisanya hanya bersandar pada kepemilikan historis dimana tanah yang mereka
miliki telah ditempati dan digarap secara turun-temurun.
Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)
sebenarnya termaktub satu ketentuan akan adanya jaminan bagi setiap warga negara
untuk memiliki tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya (pasal 9 ayat 2). Jika
mengacu pada ketentuan itu dan juga merujuk pada PP No. 24atau1997 tentang
Pendaftaran Tanah (terutama pasal 2) Badan Pertanahan Nasional (BPN) semestinya
dapat menerbitkan dokumen legal (sertifikat) yang dibutuhkan oleh setiap warga negara
dengan mekanisme yang mudah, terlebih lagi jika warga negara yang bersangkutan
sebelumnya telah memiliki bukti lama atas hak tanah mereka. Namun sangat disayangkan
pembuktian dokumen legal melalui sertifikasi pun ternyata bukan solusi jitu dalam kasus
sengketa tanah. Seringkali sebidang tanah bersertifikat lebih dari satu, pada kasus Meruya
yang belakangan sedang mencuat, misalnya. Bahkan, pada beberapa kasus, sertifikat
yang telah diterbitkan pun kemudian bisa dianggap aspro (asli tapi salah prosedur).
Dari hal tersebut setidaknya ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah
sengketa tanah, diantaranya yaitu :

1.

Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak
beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan
mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah
hukum yang lemah.

2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam


distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap
tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas
dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de
jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para
pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik
tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika
masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan
menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya
mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
Ketetapan MPR No. IXatau2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi
kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah untuk menuntaskan masalah-masalah
agraria. Adalah sudah selayaknya terlepas dari berbagai kekurangan yang tersimpan,
di dalam instrumen-instrumen hukum itu jika kewenangan tersebut dimplementasikan,
dengan prinsip-prinsip yang tidak melawan hukum itu sendiri tentunya.
Sementara itu, gagasan untuk membentuk kelembagaan dan mekanisme khusus untuk
menyelesaikan sengketa tanah semacam Komisi Nasional Penyelesaian Sengketa Agraria
dan juga pembentukan lembaga sejenis di daerah sebagaimana yang pernah diusulkan
oleh berbagai kalangan, kiranya menjadi relevan pula untuk semakin didesakkan, terlebih

jika pemerintah memang benar-benar berkehendak untuk menjalankan reforma agraria


dan menangani permasalahan agraria secara serius. Belajar dari tragedi Pasuruan, jika
Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang berskala
nasional, maka boleh dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak
jika kasus-kasus tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang
layak dan yang berpihak pada kepentingan rakyat.
Negara mengatur pengelolaan sumber daya agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, sampai hari ini barangkali masih hanya sebatas retorika. Yang kerap terjadi justru
sebaliknya dimana rakyat yang kehilangan kemakmuran sebesar-besarnya.
II.2 Tanggung Jawab Negara Terhadap Kasus Sengketa Hak Atas Tanah
Dalam tataran hukum nasional, konsep mengenai tanggung jawab negara terhadap
pemenuhan, penghormatan dan perlindungan HAM diwujudkan dalam bentuk pengaturan
didalam konstitusi negara/dasar hukum negara, yaitu dalam UUD 1945 amandemen ke II,
tepatnya pada Pasal 28 A sampai dengan 28 J dan beberapa pasal lain yang terkait dengan
perlindungan dan Pemenuhan HAM yaitu pada Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.
Pengaturan beberapa hak dalam konstitusi atau UUD 1945 amandemen ke II telah
menyiratkan

bahwa negara memiliki kewajiban moral atau state obilgation untuk

memberikan jaminan bagi pengakuan dan penegakaan HAM setiap warga Negara
Indonesia.
Sementara itu di dalam sistim perundang-undangan Indonesia pada hakiktanya telah
dikenal konsep tanggung jawab negara dan pengakuan negara terhadap HAM. Ketentuan
tersebut telah diatur di dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM tepatnya dalam Pasal
2 yang menyatakan : Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang secara kodrati melekat pada dan tidak
terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi
penigkatan martabat manusia, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan
Bunyi ketentuan pasal tersebut, memberikan ruang penafsiran yang tegas. Bahwa setiap
pemenuhan dan penegakkan HAM warga Negara merupakan kewajiban Negara sebagai

organisasi kekuasaan melalui perangkatnya. Perangkatnya disini bermakna setiap


penyelenggara negara baik eksekutif, yudikatif maupun legislatif sebagai kesatuan
negara.
III.

KESIMPULAN
Dari penjabaran diatas maka dapat disimpulkan Hak atas rasa aman dalam sengketa Hak
atas Tanah, maka kata aman dikaitkan dengan keadaan tanpa gangguan, tanpa bahaya,
tanpa kekhawatiran atau kecemasan.

Suasana yang membuat manusia

dapat

melaksanakan aktivitas sesuai kehendaknya, Untouched by danger; not exposed to


danger, secure from danger, harm or loss. UUD NRI Amandemen 4 Pasal 28G ayat (1):
Setiap orang berhak atas perlindungan , berhak atas rasa aman dan berdasar Pasal
29 ayat (1) Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak
milik , Pasal 29 ayat (2) Pengakuan didepan hukum, Pasal 30 Hak atas rasa aman
dan tentram, perlindungan

terhadap

ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak

berbuat sesuatu , Pasal 31 tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu, dari
semua dasar hukum yang telah dikaitkan dengan Hak atas aman maka permasalahan
sengketa Hak atas Tanah atau lebih sering disebut sebagai sengketa tanah dikatakan
sebagai permasalahan yang tak kunjung selesai juga sebagai sebuah konflik lanten.
Dalam menegakan Hak Asasi Manuasia di Indonesia, perwujudan Hak atas rasa aman
merupakan tanggung jawab bersama, pelimpahan tugas kewenagan kepada Negara itu
terbatas pada unsur yang bersifat hukum Publik , dan tidak meliputi unsur kepunyaan
yang bersifat perdata, dan Negara dituntut lebih selain sebagai pemegang kekuasaan ,
Negara hanya merupakan organisasi kekuasaan seluruh Bangsa Indonesia untuk
melaksanakan apa yang menjadi kehendak Bangsa Indonesia itu sendiri tetapi juga
sebagai lembaga yang harus mampu membuat kebijakan dan aturan yang jelas tidak
tumpang tindih serta lebih tegas untuk memutuskan permasalahan mengenai Hak
masyarakat atas tanahnya, agar Hak Ulayat yang dijunjung tinggi dapat diwujudkan,
sebagaimana termaktub dalam Undang Undang Pokok Agararia.
IV.

SARAN
Permasalahan tingginya kasus sengketa tanah termasuk di kawasan hutan yang
mengakibatkan konflik diperlukan upaya nyata yaitu dengan pembenahan sistem

adminstrasi pertanahan termasuk kawasan hutan. Untuk menghindari terjadinya kasuskasus sengketa yang selalu merugikan masyarakat maka perlu dilakukan Rencana Aksi
berupa :
1. Legalisasi asset tanah termasuk di kawasan hutan secara menyeluruh dan akurat.
2. Meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dalam proses legalisasi asset tanah
termasuk kawasan hutan
3. Meningkatkan pelaksanaan penegakan hukum yang berkeadilan.
Namun ada pula alternatif yang sekiranya dapat menyelesaikan kasus sengketa dengan
mendorong atau memotivasi Panitia RANHAM Daerah baik itu Propinsi dan Kabupaten
atau Kota untuk membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, dimana
lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase
mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada
di pengadilan. Adapun penanggung jawab pelaksanaan kegiatan itu adalah Kementerian
Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kepolisian,
Kejaksaaan, Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten
atau Kota.
V.

DAFTAR PUSTAKA
Indonesia. Undang-Undang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999. LN No. 165
Tahun 1999.
Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria . UU No.5 Tahun 1960.
Hutagalung, S Arie, Suparjo Sujadi dan Rahayu Nurwidari, Asas-Asas Hukum Agraria,
Jakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2001.
http://www.bpn.go.id/old/layanan/warta/2012 January/perkara pertanahan . Diunduh 7
Desember 2013.

You might also like