You are on page 1of 2

http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/2868-ujiandemokrasi-lurah-susan.

html
Ujian Demokrasi Lurah Susan
Rabu, 02 Oktober 2013 | 10:31
Penolakan sekelompok warga terhadap Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Susan Jasmine
Zulkifli, menjadi catatan hitam pada lembaran demokrasi di negeri ini. Sudah 15 tahun reformasi
kehidupan bernegara kita berjalan, namun nyatanya masih tumbuh berkembang kelompokkelompok intoleran. Di Lenteng Agung, sekelompok warga antipati terhadap lurahnya hanya
karena ia berbeda gender dan agama dengan mayoritas rakyat kelurahan yang dipimpinnya.
Mereka menolak bukan karena kinerjanya.
Ironisnya, penolakan yang berwujud unjuk rasa ini terjadi bukan di pelosok negeri di mana
pendidikan politik, melalui jalur formal maupun media massa sangat minim. Bukan juga di
wilayah konflik yang sarat kepentingan kelompok-kelompok sektarian berbasis suku dan agama.
Kejadiannya di Jakarta! Ibu kota negara yang pada anggapan umum adalah wilayah modern.
Jakarta bukan kampung yang dihuni segolongan orang tertentu, melainkan metropolitan, di mana
berbagai suku berbaur menjadi satu. Akses informasi sudah terbuka lebar.
Kenyataan ini membuka mata bahwa mereka yang tidak sejalan dengan demokrasi, yang
mengedepankan intoleransi dan diskriminasi, masih ada di sekitar kita. Pandangan yang berbeda
seperti itu tidak menjadi masalah bila tidak disebarluaskan hingga menjadi sebuah mobilisasi
yang bermuara pada terganggunya stabilitas berbangsa dan bernegara, meski dalam lingkup kecil
seluas kelurahan. Kalaupun ada permasalahan, kembalikan kepada filosofi Pancasila yang kini
mulai banyak dilupakan.
Pada kasus penolakan lurah Lenteng Agung ini kita mengapresiasi sikap tegas Pemprov DKI
Jakarta yang mempertahankan lurahnya. Bahkan, ketika Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan
gubernur DKI Jakarta sebaiknya mempertimbangkan untuk memindahkan Lurah Susan ke
wilayah lain, Joko Widodo (Jokowi) tetap pada pendiriannya.
Mendagri khawatir demo penolakan yang dilakukan warga dapat menurunkan kinerja si lurah.
Kekhawatiran Gamawan tidak perlu dikedepankan karena kesannya seolah lebih
mengakomodasi kepentingan kelompok intoleran. Penilaian mendagri seakan keluar dari kubu
minim informasi tentang tingkah laku dan latar belakang para pendemo. Bukankah sudah
menjadi rahasia umum bahwa demo itu, seperti demo berlatar balakang SARA lainnya, adalah
rekayasa pihak tertentu yang terlibat persaingan?
Bila memang Lurah Susan berkualitas maka kinerjanya tidak akan menurun hanya gara-gara
unjuk rasa, seperti yang dikhawatirkan mendagri. Sebaliknya, penolakan itu akan menjadi batu
ujian dalam tugasnya. Mendagri sebaiknya menyemangati Lurah Susan dan para perempuan
maupun kaum minoritas agar semakin terlecut dengan segenap upaya meningkatkan kinerjanya.

Layak dikutip di sini sindiran Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang menyatakan
gubernur DKI Jakarta bisa juga diganti atau dipindah bila kekhawatiran kinerjanya turun akibat
unjuk rasa menjadi acuan. Sikap Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine yang tidak reaksioner
patut diapresiasi. Sebagai lurah yang baru pertama kali menjabat dan baru tiga bulan, sikapnya
yang tenang telah menunjukkan kualitasnya. Ia menyatakan bahwa para pengunjuk rasa tetap
warganya.
Waktu enam bulan masa evaluasi, sesuai target yang diberikan oleh gubernur DKI Jakarta
terhadap lurah, yang akan menentukan. Bila sampai masa itu hasil penilaian kinerja Lurah Susan
dinilai tidak sesuai target, maka tak ada jalan lain kecuali menggantinya. Bukan karena agama
dan jenis kelaminnya. Perlakuan ini sama dan setara bagi semua lurah, bukan hanya kepada
Lurah Susan karena kebetulan ia yang didemo. Pandangan seperti ini seharusnya menjadi mind
set setiap pejabat negara, termasuk presiden dan para menteri. Warga dapat melakukan penilaian
secara objektif dari hasil kinerjanya aparat pemerintahan.
Menyikapi fenomena ini, pertama, penempatan Lurah Susan tidak menyalahi dan melanggar
hukum. Tak ada undang-undang yang diterabas. Bahkan, langkah lelang jabatan di DKI Jakarta
ini demi mendapatkan pejabat yang benar-benar berkualitas dan kapabel, perlu dilanjutkan.
Lelang yang terbuka dengan kriteria dan target jelas, meniadakan diskriminasi dan lebih
menguntungkan masyarakat.
Kedua, mereka yang tidak sepaham dengan keberadaan Lurah Susan karena alasan SARA perlu
mendapatkan penjelasan. Tanpa harus menyingkirkan dan memusuhi, mereka harus diberi
pengertian. Kasus intoleransi dan diskriminasi akan mewabah bila terjadi pembiaran.
Dalam hal ini, aparat Kepolisian saja tidak cukup menanganinya. Polisi yang menurut UU adalah
pihak yang diberitahu pengunjuk rasa, mungkin memiliki cukup cara mengantisipasi keributan
atau gangguan terhadap kepentingan umum. Namun, untuk mencegah menyebarnya pemikiran
atau paham intoleransi, perlu melibatkan aparat pemerintahan kota lainnya, termasuk tokoh
agama yang mampu meluruskan fanatisme sempit. Mengatasnamakan kebebasan
mengemukakan pendapat kemudian menoleransi paham yang melenceng dalam bernegara berarti
juga membawa demokrasi Indonesia ke jurang kehancuran.

You might also like