Professional Documents
Culture Documents
Daftar Isi
Daftar Isi...............................................................................................................................................
Daftar Gambar....................................................................................................................................
I.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja.......................................................................................
I.1. Latar Belakang..................................................................................................................5
I.2. Pengertian K3....................................................................................................................5
I.3. Pengertian Potensi Bahaya............................................................................................6
I.3.1.
Klasifikasi Bahaya, dapat daklasifikasikan sebagai berikut:.................
I.3.2.
Pengendalian Potensi Bahaya.......................................................................
I.3.2.1. Eliminasi.................................................................................................
I.3.2.2. Substitusi...............................................................................................
I.3.2.3. Isolasi......................................................................................................
I.3.2.4. Pengendalian Administrasi................................................................
I.3.2.5. Pelatihan.................................................................................................
I.3.2.6. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)..........................................
I.4. Kecelakaan Kerja..............................................................................................................8
I.4.1.
Sumber-sumber kecelakaan adalah sebagai berikut:..............................
I.4.2.
Jenis kecelakaan adalah:................................................................................
I.4.3.
Akibat Kecelakaan adalah sebagai berikut :..............................................
I.4.4.
Pengendalian Kecelakaan.............................................................................
I.5. Kesehatan Kerja..............................................................................................................10
I.5.1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesehatan Kerja adalah:..............
I.5.2.
Optimalisasi Beban Kerja dapat dicapai dengan cara sebagai
berikut :..............................................................................................................
I.5.3.
Disiplin ilmu untuk mencapai optimalisasi beban kerja adalah :........
I.5.4.
Peraturan perundangan Yang Berkaitan Dengan Kesehatan
Kerja:..................................................................................................................
I.5.5.
Tenaga Kerja yang sehat...............................................................................
I.5.6.
Penyakit Akibat Kerja (PAK) (Occupational Diseases)..........................
I.5.6.1. Faktor-Fakor Penyebab Penyakit Akibat Kerja, dapat
digolangkan pada...............................................................................
I.5.6.2. Beberapa Contoh Penyaki Akibat Kerja.......................................
I.6. Pengendalian Bahaya Tempat Kerja.........................................................................15
I.7. Rambu-Rambu K3..........................................................................................................16
I.8. Alat Pelindung Diri (APD).............................................................................................17
II. Kebakaran.................................................................................................................................
II.1. Pengertian Kebakaran dan Pemadaman Kebakaran.............................................20
II.2. Dasar Peraturan Pemadam Kebakaran di Perusahaan.........................................20
II.3. Konsep Api Dan Perpindahan Panas.........................................................................21
II.3.1. Konsep Api.......................................................................................................
II.3.1.1. Bahan Bakar (Fuel)...........................................................................
II.3.1.2. Oksigen (O2).......................................................................................
II.3.1.3. Panas ( Heat ).....................................................................................
II.3.2. Perpindahan Panas........................................................................................
Hal.1 / 75
Modul Operator - 1
Hal.2 / 75
Modul Operator - 1
III.
IV.
V.
VI.
VII.
VIII.
Hal.3 / 75
Modul Operator - 1
Daftar Gambar
Gambar 1: Rambu-rambu K3
17
Hal.4 / 75
Modul Operator - 1
I.
I.1.
Latar Belakang
Pada setiap pelaksanaan pekerjaan selalu ada kemungkinan terjadinya resiko kecelakaan
dan kesehatan kerja yang disebabkan oleh potensi bahaya yang yang ada. Potensi bahaya
yang ada dan kerawanan bahaya yang timbul tersebut dipengaruhi oleh faktor:
Manusia
Peralatan (proses, bahan dan metoda ) dan
Lingkungan Kerja
Kecelakaan tidak akan terjadi begitu saja, tetapi bermula dari rangkaian peristiwa yang
merupakan faktor-faktor penyebab yang mendorong munculnya kecelakaan atau karena
adanya penyimpangan dalam mata rantai rangkaian proses kegiatan / kerja. Dari hasil suatu
study terhadap kejadian kecelakaan, sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia.
Indikasi ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam manajemen, antara lain tidak adanya
program K3, program K3 tidak standar, atau ada program tetapi tidak dilaksanakan.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diberbagai sektor kegiatan
telah menerapkan peralatan berteknologi maju dan kompleks. Disatu pihak penerapan
teknologi akan dapat menaikan efisiensi, meningkatkan produktifitas serta optimalisasi biaya,
disisi lain akan terdapat potensi bahaya yang lebih besar sehingga memperbesar resiko
kecelakaan dan kesehatan bagi pekerja beserta resiko lingkungan.
Dengan demikian masalah keselamatan dan kesehatan kerja perlu mendapatkan perhatian
yang sungguh-sungguh. Maka pemerintah telah menetapkan kebijakan, dengan harus
menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) bagi setiap
tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 orang karyawan atau tempat kerja yang
mengandung potensi bahaya tinggi. Peraturan ini mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga
Kerja No. Per-05/Men/1996.
Salah satu tahapan penerapan Sistem Manajemen K3 adalah melakukan analisa dengan
menidentifikasi potensi bahaya pada setiap proses pekerjaan serta menentukan resiko, dan
selanjutnya menetapkan strategi pengendalian resiko dengan mmebuat program kerja
manajemen K3. Dengan harapan resiko kecelakaan dan kesehatan kerja yang
diterima/ditanggung oleh pekerja berada pada level yang paling rendah dan atau pada
batas-batas yang dibolehkan sesuai dengan ketetapan atau regulasi.
I.2.
Pengertian K3
Pengertian K3 secara Filosofi, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah Upaya atau
pemikiran dan penerapannya yang ditujukan untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmaniah maupun rohaniah bagi tenaga kerja khususnya dan pada manusia
umumnya, hasil karya dan budaya, serta untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja.
Hal.5 / 75
Modul Operator - 1
Secara Keilmuan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu ilmu pengetahuan dan
penerapannya dalam upaya mencegah kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran,
penyakit akibat kerja , dll.
Sedangkan pengertian secara praktisnya adalah suatu upaya perlindungan agar tenaga
kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat selama melakukan pekerjaan di tempat kerja
serta bagi orang lain yang memasuki tempat kerja maupun sumber dan proses produksi
dapat secara aman dan efisien dalam pemakaiannya.
Tujuan K3 adalah :
a. Mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
b. Menjamin setiap tenaga kerja dan orang lainnya yang berada di tempat kerja
mendapat perlindungan atas keselamatannya
c. Menjamin setiap sumber produksi dapat dipakai dan dipergunakan secara aman
dan efisien
d. Menjamin proses produksi berjalan lancar
I.3.
Potensi Bahaya (Hazard) adalah suatu kondis/keadaan pada suatu proses, alat, mesin,
bahan atau cara kerja yang secara intrisik/alamiah dapat menjadikan luka, cidera bahkan
kematian pada manusia serta menimbulkan kerusakan pada alat dan lingkungan. Contoh,
kopling pada mesin rotary, putaran yang tinggi pada kopling tersebut adalah Hazard.
Bahaya (danger) adalah suatu kondisi hazard yang terekspos / terpapar pada lingkungan
sekitar dan terdapat peluang besar terjadinya kecelakan/insident. Contoh, bila kopling mesin
rotari tersebut tidak dilengkapai safe guard (cover pelindung) dan personil sering berada
disana untuk suatu keperluan, maka dikatakan kondisinya sudah danger.
Sebelum memulai suatu pekerjaan,harus dilakukan Identifikasi Bahaya guna mengetahui
potensi bahaya dalam setiap pekerjaan dan poses lerja. Identifikasi Bahaya dilakukan
bersama pengawas pekerjaan atau petugas K3. Identifikasi Bahaya menggunakan teknik
yang sudah dibakukan, misalnya seperti Check List, JSA, JSO,What If, Hazops, dsb. Semua
hasil identifikasi Bahaya harus didokumentasikan dengan baik dan harus dijadikan sebagai
pedoman dalam melakukan setiap kegiatan.
I.3.1.
Hal.6 / 75
Modul Operator - 1
I.3.2.
Potensi bahaya yang terkandung dalam peralatan / material, proses dan lingkungan kerja,
perlu diakukan pengendalian dengan berbagai langkah hingga mencapai tingkat resiko
bahaya yang sekecil mungkin. Adapun hirarki pengendalian yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
I.3.2.1. Eliminasi
Suatu tindakan untuk menghilangkan potensi bahaya secara tuntas dengan melakukan
modifikasi-modifikasi baik metode/proses ataupun material. pengendalian dengan langkah ini
efektif dengan nilai ekspektasi 100%.
I.3.2.2. Substitusi
Suatu tindakan penggantian material ataupun proses dengan material / proses yang lebih
ringan tingkat potensi bahayanya, pengendalian dengan langkah ini efektif dengan nilai
ekspektasi 75%
I.3.2.3. Isolasi
Suatu tindakan isolasi / pembatasan bahaya dari pekerja dengan menggunakan media
pengaman atau ruang ataupun batasan waktu tertentu, pengendalian dengan langkah ini
efektif dengan nilai ekspektasi (50%)
I.3.2.4. Pengendalian Administrasi
Suatu tindakan pengendalian bahaya yang terpapar (exposure) terhadap pekerja dengan
melakukan pembatasan waktu atau prosedur kerja maupun lokasi pekerjaan, pengendalian
dengan langkah ini efektif dengan nilai ekspektasi (30%)
I.3.2.5. Pelatihan
Meningkatkan kemampuan kompetensi pekerja guna memperkecil tingkat bahaya yang
dihadapi di lokasi tempat kerja, pengendalian dengan langkah ini efektif dengan nilai (20%)
I.3.2.6. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Menggunakan alat pelindung diri sesuai standar guna memperkecil paparan (exposure)
bahaya yang ditimbulkan di lokasi dan kondisi kerja. Pengendalian efektif dengan nilai
ekspektasi (10%).
Syarat tersebut harus mengacu prinsip sebagai berikut:
o Efektif dalam menghindari terjadinya kecelakaan.
o Dapat dilakukan atau dikerjakan.
o Biaya yang dikeluarkan seminimal mungkin ( Murah ).
o Tidak mengganggu proses produksi dan pemeliharaan
Contoh tindakan berbahaya:
e. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang,
f. Bekerja dengan kecepatan berbahaya.
g. Membuat alat pengaman tidak berfungsi
Hal.7 / 75
Modul Operator - 1
h.
i.
j.
k.
l.
Kecelakaan Kerja
Insiden (Incident) adalah suatu kejadian nyaris menimbulkan kecelakaan (accident) atau
cidera pada manusia atau kerugian pada material (properti).
Kecelakaan (Accident) adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan yang menyebabkan
kematian, cidera/luka pada manusia dan kerugian materi (properti)
I.4.1.
I.4.2.
Hal.8 / 75
Modul Operator - 1
h. Penghisapan, penyerapan
i. Tersentuh aliran listrik.
j. Lain-lain.
I.4.3.
I.4.4.
Pengendalian Kecelakaan
Menurut International Labour Office (ILO) langkah-langkah yang dapat ditempuh guna
menanggulangi kecelakaan kerja adalah antara lain :
1
Peraturan Perundangan
Standarisasi
Suatu ukuran terhadap besaran-besaran/nilai. Dengan adanya standar K3 yang terukur
dan maju akan menentukan tingkat kemajuan K3, karena pada dasarnya baik buruknya
K3 di tempat kerja diketahui melalui pemenuhan standar K3
Inspeksi
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemeriksaan dan pengujian terhadap tempat
kerja, mesin, pesawat, alat dan instalasi, sejauh mana masalah-masalah ini masih
memenuhi ketentuan dan persyaratan K3
Riset
Dapat dilakukan dengan cara: teknis medis,psikologis dan statistic yang dimaksudkan
untuk menunjang tingkat kemajuan K3 sesuai dengan perkembangan IPTEK
Hal.9 / 75
Modul Operator - 1
Persuasif
Cara pendekatan K3 secara pribadi dengan tidak menerapkan dan memaksakan melalui
sanksi-sanksi
Asuransi
Dapat ditetapkan dengan pembayaran premi yang lebih rendah terhadap perusahaan
yang memenuhi syarat K3 dan mempunyai tingkat kekerapan dan keparahan
kecelakaan yang kecil di perusahaannya
I.5.
Kesehatan Kerja
Hal.10 / 75
Modul Operator - 1
I.5.3.
Ergonomi
Psikologi kerja
I.5.4.
Hal.11 / 75
Modul Operator - 1
13. Permenaker No. Per. 03/Men/1985 tentang keselamatan dan kesehatan kerja
pemakaian Asbes
14. Permenakertrans No. Per. 02/Men/1980 tentang pemeriksaan kesehatan tenaga
kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja
15. Permenakertrans No. Per. 01/Men/1981 tentang kewajiban melapor penyakit
akibat kerja
16. Permenakertrans No. Per. 03/Men/1982 tentang pelayanan kesehatan kerja
17. Permenaker No. Per. 03/Men/1986 tentang keselamatan dan kesehatan kerja di
tempat kerja yang mengelola pestisida
18. Permenaker No. Per. 01/Men/1998 tentang penyelenggaraan jaminan
pemeliharaan kesehatan dengan manfaat lebih baik
19. Kepmenaker No. Kepts. 333 tahun 1989 tentang Diagnosis dan pelaporan
penyakit akibat kerja
20. Kepmenaker No. Kep. 187/Men/1999 tentang Pengendalian Bahan Kimia
Berbahaya Di Tempat Kerja
21. Kepmenaker No. Kep. 51/Men/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Di
Tempat Kerja
22. Kepmenakertrans No. Kep. 79/Men/2003 tentang pedoman diagnosis dan
penilaian cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja
23. SE. Menakertrans No. SE. 01/Men/1979 tentang Pengadaan Kantin dan Ruang
Makan
24. SE. Menaker No. SE. 01/Men/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia Di
Udara Lingkungan Kerja
25. SE. Dirjen Binawas No. SE. 86/BW/1989 tentang perusahaan catering yang
mengelola makanan bagi tenaga kerja
26. Kepts. Dirjen Binawas No. Kepts. 157/BW/1989 tentang Tata Cara dan Bentuk
Laporan Penyelenggaraan Pelayananan Kesehatan Kerja
I.5.5.
I.5.6.
Hal.12 / 75
Modul Operator - 1
Hal.13 / 75
Modul Operator - 1
b. Dermatitis Kontak
i. Ada 2 jenis yaitu iritan dan allergi
ii. Lokasi di kulit
c. Penyakit Paru
i. Dapat berupa : Bronchitis kronis, emfisema, karsinoma bronkus, fibrosis,
TBC, mesetelioma, pneumonia, Sarkoidosis.
ii. Disebabkan oleh bahan kimia, fisis, microbiologi.
d. Penyakit Hati dan Gastro-intestinal
i. Dapat berupa : kanker lambung dan kanker oesofagus (tambang
batubara dan vulkanisir karet), Cirhosis hati(alkohol, karbon tetraklorida,
trichloroethylene, kloroform)
ii. Disebabkan oleh bahan kimia
e. Penyakit Saluran Urogenital
i) Dapat berupa : gagal ginjal(upa logam cadmium & merkuri ,pelarut
organik, pestisida, carbon tetrachlorid), kanker vesica urinaria (karet,
manufaktur/bahan pewarna organik, benzidin, 2-naphthylamin).
ii) Disebabkan bahan kimia.
f. Penyakit Hematologi
i. Dapat berupa : anemia (Pb), lekemia (benzena)
ii. disebabkan bahan kimia
g. Penyakit Kardiovaskuler
i. Disebabkan bahan kimia
ii. Dapat berupa : jantung coroner (karbon disulfida, viscon rayon, gliceril
trinitrat, ethylene glicol dinitrat), febrilasi ventricel (trichlorethylene).
h. Gangguan alat reproduksi
i. Dapat berupa : infertilitas (ethylene bromida, benzena, anasthetic gas,
timbal, pelarut organic, karbon disulfida, vinyl klorida, chlorophene),
kerusakan janin (aneteses gas, mercuri, pelarut organik) keguguran
(kerja fisik)
ii. Disebabkan bahan kimia dan kerja fisik
i. Penyakit muskuloskeletal
i. Dapat berupa : sindroma Raynaud (getaran 20 400 Hz), Carpal turnel
syndroma (tekanan yang berulang pada lengan), HNP/sakit punggung
(pekerjaan fisik berat, tidak ergonomis).
ii. Disebabkan : kerja fisik dan tidak ergonomis.
j. Gangguan telinga
i. Dapat berupa : Penurunan pendengaran (bising diatas NAB)
ii. Disebabkan faktor fisik
k. Gangguan mata
i. Dapat berupa : rasa sakit (penataan pencahayaan), conjungtivitis (sinar
UV), katarak (infra merah), gatal (bahan organik hewan, debu padi),
iritasi non alergi (chlor, formaldehid).
ii. Disebabkan faktor fisik, biologi.
Hal.14 / 75
Modul Operator - 1
l.
Riwayat penyakit
Riwayat pekerjaan
Pemeriksaan klinik
Pemeriksaan laboratoris
Pemeriksaan Rontgen
Hal.15 / 75
Modul Operator - 1
Eliminasi
Subsitusi
Engineering Control
Administrative Control
Personal Protective Equipment (PPE) / Alat Pelindung Diri (APD)
Rambu-Rambu K3
Rambu rambu K3 dimaksudkan agar personel (pekerja atau tamu) sadar akan potensi
bahaya yang terdapat pada area kerja yang mana mungkin dapat menimbulkan kecelakaan.
Rambu rambu kesalamatan bukanlah penganti kebutuhan akan
pengatuaran cara
pencegahan kecelakaan akan tetapi hanya mengingatkan kita akan bagaimana cara
bertindak dengan aman.
Rambu rambu dapat diartikan seperangkat alat komonikasi keselamatan yang mempunyai
bentuk, warna dan simbol grafis yang specific dengan tujuan menyampaikan pesan pesan
keselamatan kepada setiap orang terkait tampa resiko salah pengertian adapaun pesan
tersebut menginfomasikan dimana terdapat potensi bahaya ditempat kerja.
Penggunaan rambu K3 di Indonesia umumnya mengacu pada CSA International Standar
CAN/CSA Z 321-96.
Rambu K3 pada dasarnya dapat dibagi atas 3 katagori, yaitu:
1. Regulatory (to bring under the control of law or constituted authority)
a. Prohibition (an order to restrain or stop)
b. Mandatory (containing or constituting a command)
2. Warning (something that warns or serves to warn; especially : a notice or bulletin that
alerts the public to an imminent hazard (as a tornado, thunderstorm, or flood)
a. Caution (one that astonishes or commands attention)
b. Danger (exposure or liability to injury, pain, harm, or loss)
3. Information (something (as a message, experimental data, or a picture) which justifies
change in a construct (as a plan or theory) that represents physical or mental experience
or another construct)
a. Emergency
b. General Information
Hal.16 / 75
Modul Operator - 1
Gambar 1: Rambu-rambu K3
I.8.
Alat Pelindung Diri (APD) dirancang untuk mencegah atau mengurangi tingkat keparahan
cidera terhadap pekerja.
Pengurus/perusaha harus memeriksa tempat kerja dan
menentukan bahaya apa yang sesuai dengan penggunaan APD.
Beberapa contoh Alat Pelindung Diri (APD)
Hal.17 / 75
Modul Operator - 1
Hal.18 / 75
Modul Operator - 1
Hal.19 / 75
Modul Operator - 1
II.
II.1.
Kebakaran
Kebakaran adalah suatu peristiwa yang sangat merugikan baik terhadap manusia, harta
benda dan lingkungan. Untuk mengurangi kerugian akibat peristiwa kebakaran diharapkan
semua karyawan dapat mencegah dan atau melakukan pemadaman kebakaran agar
terhindar dari total loss.
Definisi api adalah:
a. Secara fisik. Api adalah proses pembakaran dari suatu material tertentu (dapat
terbakar), secara kasat mata dapat dilihat dengan indikasi cahaya dan asap serta
dapat dirasakan panas yang dipancarkanya, kadang kala mengeluarkan bunyi
gemerisik dan atau menderu disertai letupan-letupan (ledakan).
b. Secara kimia. Api dapat diartikan sebagai reaksi kimia berkelajutan (berantai)
dengan cepat antara material dapat terbakar dengan oksigen (terdapat diudara) pada
temperatur tertentu sehingga menghasilkan energi panas, gas-asap dan cahaya.
Pemadam Kebakaran atau Penanggulangan Kebakaran adalah segala daya upaya untuk
mencegah timbulnya kebakaran dan atau pemadaman kebakaran dengan berbagai cara,
teknik dan taktik. Kegiatan Pemadam Kebakaran adalah suatu system dimana terkait
dengan personel pemadam, peralatan pemadam dan pengoperasianya serta media ( agent )
yang digunakan.
II.2.
Hal.20 / 75
Modul Operator - 1
kebakaran (SOP) bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 orang tenaga
kerja. Hal-hal lain yang diatur dalam peraturan ini adalah :
Pembentukan Unit Penanggulangan Kebakaran (Bab II. Pasal 3 6)
Tugas dan Syarat Unit Penanggulangan Kebakaran(Bab III. Pasal 7 14)
II.3.
II.3.1.1.
Bahan Bakar (Fuel)
Dalam keseharian kita sudah biasa mendengar istilah bahan bakar gas dan minyak, tapi
dalam konteks ini bahan bakar memberikan makna luas yaitu semua material yang ada di
alam yang dapat terbakar, berwujut padat (kayu batubara - plastik - dll), cair (minyak tanah
- bensin - oli -tiner dll.) dan gas (LPG-LNG-asiteline-dll).
II.3.1.2.
Oksigen (O2).
Oksigen adalah salah unsur gas yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya untuk bernafas kita butuh oksigen. Di udara bebas secara umum terdapat 21%
oksigen, tidak dapat terbakar tapi mendukung proses pembakaran, kebutuhan minimal
proses pembakaran 16% oksigen diudara.
II.3.1.3.
Panas ( Heat ).
Panas adalah sebuah bentuk energi yang dapat digambarkan sebagai suatu kondisi
gerakan materi oleh pergerakan molekul. Semua materi mempunyai panas, meski
seberapa rendah temperaturnya. Bila suatu material dipanaskan maka kecepatan gerak
molekulnya naik, tentunya dengan kenaikan temperature material tersebut.
II.3.2. Perpindahan Panas.
Hukum aliran panas menyatakan bahwa panas cendrung mengalir dari materi / benda yang
panas ke benda dingin. Suatu benda dingin kita kontakan / hubungkan dengan benda panas
maka benda dingin akan menyerap panas dan pada akhirnya benda yang dingin tersebut
temperaturnya akan naik. Perpindahan panas terjadi dalam tiga metoda yaitu: 1. Konduksi;
2. Konveksi; 3. Radiasi.
Hal.21 / 75
Modul Operator - 1
II.3.2.1.
Perpindahan panas konduksi,
bila kontak antar body, panas akan mengalir dari suatu body ke
body yang lainya. Contohnya sepotong besi ujungnya kita
bakar maka perlahan panas yang bermula pada ujung yang
dibakar tersebut akan mengalir keujung yang tidak dibakar juga
ke besi yang kontak kepada besi yang dibakar tersebut.
Gbr..II.3.2.1. Konduksi
II.3.2.2.
Perpindahan panas konveksi,
bila fluida ( cair atau gas ) bergerak pada arah tertentu,
sepanjang pergerakan akan mengenai materi / benda yang
dilaluinya, pada saat itu terjadi perpindahan panas dari dan
atau ke materi / benda yang dilalui.
Gbr.II 3.2.2. Koveksi
II.3.2.3.
Perpindahan panas radiasi,
pembakaran atau mata hari menghasilakan gelombang
elektroktromagnetik, melalui gelombang inilah panas
dihantarkan kepada suatu objek sekitarnya.
Gbr. II.3.2.3. Radiasi
II.4.
Api akan memberikan prilaku yang berbeda pada setiap jenis material (padat, cair dan gas)
yang dibakarnya. karena material secara fisik dan kimia mempunyai karekteristik dan sifat
yang berbeda pula. Secara prinsip yang dibakar oleh api adalah bahan berbentuk gas.
Bahan bakar padat dapat terbakar terlebih dahalu akan mengalami proses decomposisi dari
padat ke gas yang dinamakan pyrolysis sedangkan bahan bakar cair mengalami proses
penguapan. Secara prinsip dapat dimengerti bahwa yang terbakar dari suatu zat (padat atau
cair) itu adalah gasnya.
Bahan bakar secara fisik dapat dibagi tiga:
II.4.1. Padat (Solid),
Karakteristik yang perlu dipahami:
Density terhadap air, ukuran dan bentuk, penyimpanan vertical /
horizontal, kandungan air, perpindahan panas, volatile, pyrolysis, titik
penyalaan dan titik api.
Hal.22 / 75
Modul Operator - 1
Perilaku Api
Hal.23 / 75
Modul Operator - 1
Hal.24 / 75
Modul Operator - 1
Sistem pemadaman kebakaran ditinjau dari konteks media pemadam / agent yang
digunakan untuk memadamkan dan atau pengendalian kebakaran dapat dikelompokan
kedalam tujuh kelompok.
II.6.1. Menggunakan Media Air
Air sebagai media pemadam dan pegendali kebakaran telah lama digunakan. Sistem
pemadam api dengan menggunakan media air sudah lama digunakan. Sistem ini umumnya
tebentuk dari instalasi pompa, piping, valve, water intake, control sistem, ditection device.
Dilihat dari system instalasi penyaluran media air dapat dibagi dua:
a. Sprinkler. Pada area yang diproteksi, dipasang sprinkler.
Instalasi line pipa selalu terisi dengan air yang dikenal
dengan instalasi sistem line basah. Sprinkler akan bekerja
memancarkan air bila sprinkler tersebut terpapar pada suhu
tertentu.
Gbr.II.6.1.a. Sprinkler
Hal.25 / 75
Modul Operator - 1
Modul Operator - 1
mengambil atau menekan konsentrasi oksigen dan atau meniterupsi reaksi berantai kimia.
Gas yang biasa digunakan adalah Co2, N2 dan gas Halon
II.6.6. Menggunakan media pemadam uap air (steam).
Uap air dapat digunakan untuk memadakan api, prisip kerjanya
adalah berfunsi sebagai media yang dapat mengurangi
konsentrasi oksigen, efektif pada ruangan tertutup.
Gbr, II.6.6. Media Uap Air
Penentuan dan penerapan sistem proteksi kebakaran yang terencana dengan baik serta
pengalokasian
sumberdaya yang ekonomis namun dapat mengantisipasi
bahaya
kebakaran sedini mungkin harus mengacu pada pertimbangan analisa tingkat potensi resiko
kebakaran ( total loss ) yang bisa terjadi terjadi disuatu tempat. Sistem proteksi kebakaran
dapat dibagi tiga bagian, yaitu:
o Sistem Proteksi Kebakaran Aktif,
o Sistem Proteksi Kebakaran Pasif dan
o Sistem Management.
II.7.1. Sistem Proteksi Kebakaran Aktif
Sistem Proteksi Kebakaran Aktif adalah pengaktifan items / sistem /peralatan secara
mekanis, elektris dan manual dimana diperlukan suatu aktifitas / gerakan awal tertentu
disaat terjadi kebakaran, diantaranya,
a.
Hal.27 / 75
Modul Operator - 1
b.
c.
Hydrant.
Hydrant adalah instalasi jaringan pipa air untuk
pemadam kebakaran, berfungsi
sebagai input suplai air pada hose atau mobil pemadam kebakaran. Sistem ini meliputi
sumber penyediaan air, sistem pompa, piping, sistem vale dll.
Sprinkler.
Hal.28 / 75
Modul Operator - 1
d.
e.
f.
Hose station.
Adalah lokasi penempatan slang pemadaman kebakaran, lokasinya disesuaikan
dengan potensi bahaya kebakaran. Hose stasion dapat berupa hose weel / reel atau
hose cabinet dimana slang / hose terpasang secara permanen pada pipa
g.
h.
Hal.29 / 75
Modul Operator - 1
o
II.7.3. System Manajement.
Setelah sistem proteksi aktif dan pasif ditentukan dan ditetapkan, maka diperlukan
manajemen ( planing, organising, actuating dan controlling ) sedemikian rupa sehingga
sistem aktif dan pasif dapat terlaksana dengan efektif dan sfisien yang didukung oleh:
o Kebijakan Perusahaan
o Prosedur
o Sumber Daya Manusia
o Standar dan Codes
o Undang Undang, Peraturan Pemerintah, PerMen.
II.8.
Hal.30 / 75
II.8.1.Segitiga Api
Modul Operator - 1
a.
Pengisolasian Oksigen,
Dengan dilakukan isolasi oksigen (udara) pada pembakaran
maka dengan sendirinya api akan padam, karena tidak
berlanjutnya proses oksidasi. Dalam praktek dapat dilakukan
dengan menutupi bahan yang terbakar dengan karung atau
handuk basah, contoh lain misalnya lilin menyala dalam gelas
kemudian kita tutup rapat dengan kardus basah maka segera
lilin akan padam karena kehabisan oksigen.
II.8.1.a. Pengisolasian Oksigen
b.
Pendinginan bahan terbakar,
Kita memahami bahwa bahan bakar akan terbakar pada
level temperatur tertentu, ingat pengertian flash point (titik
nyala), oleh karena itu kita lakukan usaha untuk menurunkan
temperatur bahan bakar ke suatu titik dibawah titik nyala.
Usaha yang umum dilakukan adalah dengan penyiraman
media air atau gas CO2 pada bahan yang terbakar.
II.8.1.b. Pendinginan bahab terbakar
c.
Pemisahan Bahan Bakar.
Bila ada suatu kebakaran, suplai bahan bakarnya kita hentikan
tentu dengan sendirinya tidak adalagi material yang akan
dibakar oleh api tersebut, ini artinya api akan padam. Usaha
ini dapat kita lakukan dengan memindahkan / meniadakan
material yang ada disekitar sumber api agar api tidak
membesar. Untuk kebakaran minyak pada suatu tangki
misalnya, dapat kita lakukan dengan pemompaan cairan yang
ada pada tangki tesebut ke tempat lain.
d.
Pumutusan Reaksi Rantai Kimia,
Metode lain untuk pemadaman api dapat juga dilakukan
dengan menginterupsi proses rantai reaksi kimia, hal ini
efektif bila dilakukan dalam suatu ruangan. Misalnya
menggunakan kimia kering (dry chemical), gas CO2 dan
hallon.
II.8.1.d. Pemutusan rantai kimia
Hal.31 / 75
Modul Operator - 1
Dalam system pengendalian kebakaran, api dapat dikelompokan kedalam empat kelas yaitu
kelas A, B, C dan D. Untuk setiap kelas ditetapkan penggunaan agent (material pemadam)
tertentu pula agar dicapai efektifitas dan efisiensi pemadaman kebakaran, lihat tabel
dibawah:
Kelas
A
II.9.
Bahan Yang
Terbakar
Kayu, Kertas, Kain,
Plastik
Bahan cair yang
mudah
terbakar
(Bensin, Terpentin,
Spiritus)
Air
Agent Pemadaman
Dry
CO2
Chemical
Busa
Bisa
Bisa
Peralatan Listrik
Logam
Hal.32 / 75
Modul Operator - 1
ini dicabut / dilepas. Pada bagian luar tabung dilengkapi label instruksi pengoperasian,
petunjuk aplikasi, kapasitas, MSDS dan lain lain.
II.9.2. Pengoperasian atau Penggunaan APAR
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) adalah suatu sistem alat pemadam api yang dapat
digunakan dengan simple dan efektif untuk kondisi api masih kecil.
Dalam perencanaan penempatan APAR, diperlukan analisa potensi bahaya kebakaran,
kelas api, jarak penempatan satu sama lain dan kapasitas tabung ( daya mampu ), mudah
dilihat, mudah dijangkau dan tidak terhalang oleh benda lain, hal ini sangat diperlukan untuk
optimalisasi pengalokasian biaya dan efektifitas pemadaman serta keselamatan bagi yang
menggunakannya.
Langkah lankah atau tindakan aman sebelum mengoperasikan APAR:
o Api harus relatif Kecil dan yakin bisa dipadamkan denagan apar
o Pemilihan / pengambilan APAR harus didesuaikan dengan Kelas api api kelas A, B,
C dan D / objek yang terbakar.
o Personil terlatih dan mampu menggunakan APAR dengan baik
o Perhatikan lingkungan sekeliling objek kebakaran seperti peralatan / material yg ada
dekat dengan kebakaran serta personil.
o Lakukan pengetesan / pemeriksaan awal peformance kerja APAR,. Seperti tekanan,
corong, pin pengunci handle.
o Perhatikan arah angin. Tiupan angin harus datang dari arah belakang personil
pemadam
o Media pemadam yang keluar dari corong APAR diarahkan pada pangkal api dan
tidak
o menekan material yang terbakar.
Hal.33 / 75
Modul Operator - 1
Pompa fire figting ( F/F) dilihat dari fungsi dapat dibagai dua:
Jokey pump, adalah pompa yang kapasitas kecil, fungsinya hanya mepertahankan
tekanan air di line pipa dan mampu mensaplai air untuk kebakaran yang memerlukan
air pemadam kecil. Bila pemakain air pemadam kebakaran besar, tekanan line
cendrung turun, pada set point tekanan tertentu, secara auto pompa utama start baik
yang berpenggerak disel maupun motor listrik sesuai dengan mode selektor
diposisikan on
Main pump, adalah pompa utama dengan flow rate besar, bekerja secara outomatik
bila tekanan air pemadam kebakaran diline pipa drop pada set point tekanan tertentu.
Sumber sumber air pemadam kebakaran untuk suction pompa utama maupun jokey , dapat
diambil dari beberapa sumber, tergantung rancangan sistem piping, diantaranya:
Fresh Water tank atau air laut
Waduk , sungai atau sumber lainnya
Rumah pompa dirancang sedenikian rupa dimaksudkan untuk melindungi peralatan pompa
dari atmosfir dan diakses oleh personil yang tidak dikehendaki / berkepentingan.
Untuk penoperasian pompa pemadam kebakaran mengacu pada Standar Operasion
Prosedur ( SOP ) dan atau Istruksi Kerja ( IK) berbasiskan pada buku istruction manual
rancangan/manufacturer sistem peralatan.
Hal.34 / 75
Modul Operator - 1
II.10.3. Valve
Modul Operator - 1
Hal.36 / 75
II.10.9.Smoke Detector
Modul Operator - 1
adalah bagian dari Alarm system yang fungsinya menditeksi perubahan intensitas asap
signifikan dan keberadaan konsentrasi asap. Penempatan Smoke ini didasari atas
analisis potensi bahaya kebakaran pada lokasi tertentu
II.11.
Dalam Pelaksanaan Pemadaman Api perlu menjadi perhatian bagi instititusi, berkaitan
dengan keselamatan personil pemadam serta organisasi personil pemadam kebakaran.
Untuk melakukan tugas pemadaman api, personel pemadam keabakaran (perlu dilengkapi
dengan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mencegah kemungkinan yang dapat
membahayakan jiwa personil pemadam kebakaran tesebut dalam melaksanakan tugas,
mengingant pekerjaan pemadam kebakaran adalah suatu pekerjaan penuh tantangan yang
beresiko tinggi. Tingginya potensi bahaya dan dan rawan terhadap kecelakaan dalam
melaksankan tugas pemadaman, maka banayak bahaya yang tak terduga sebelumnya,
dimana dapat terjadi pada diawal, sedang, dan pada akhir tugas pemadaman. Alat Pelindung
Diri menjadi suatu keharusan untuk digunkan dalam melaksanakan tugas pemadaman api.
APD tersebut mesti memenuhi usur keselamatan dan kesehatan didasari oleh mutu yang
telah di-standarkan oleh badan atau lembaga yang berwenang mengeluarkanya, seperti
NFPA-USA dan lain-lain. Dalam pelaksanaan pemadaman api, personil (Brikade Pemadam)
harus meperhatikan hal berikut:
II.11.1. Pelindung Diri Personil Pemadam Kebakaran, meliputi:
Topi Pelindung (Helmet) berfungsi melindungi kepala personil pemadan kebakaran
terhada benturan atau
tertimpa benda keras dan semprotan air seal.
Hood / kap Pelindung (Protective Hood) berfunsi
melindungi leher dan telinga personil pemadam kebakaran
dari material panas, seperti serpihan, debu dan lain-lain.
Pakaian /baju pelindung (Protevtive Coat) berfunsi
melindungi anggota tubuh dari panas radiasi, serpihan
bahan yang tebakar, abrasi material yang meluncur.
Sarung tangan (gloves) berfungsi melindungi jari dari
panas, lecet akibat memegang sesuatu dan benda asing
lainnya.
Sepatu pelindung (safety Shoes) berfungsi melindungi
kaki dari bahaya benturan, panas, benda tajam dan lainlain.
Kaca muka / mata berfunsi melindungi muka dan mata
dari dari partikel dan cairan yang berterbangan.
Alat pernafasan berfunsi melindungi paru-paru dari gas
beracun dan gas-gas produk kebakaran lainnya
Alat sistem keselamatan kewaspadaan diri. alat ini
berfungsi pemberi sinyal kepada tim pemadam
kebakaran yang lain bilamana salah seorang personil
Hal.37 / 75
Modul Operator - 1
Hal.38 / 75
Modul Operator - 1
organisasi harus dilenkapi dengan istruksi kerja yang jelas dan tegas.
Hal.39 / 75
Modul Operator - 1
III.
Lockout/Tagout Guide
Employees who service or maintain machines or equipment may be at risk due to the sudden
start-up or release of stored energy from this equipment. The Occupational Health and Safety
Administration (OSHA) has issued a lockout/tagout standard known as the Control of
Hazardous Energy Sources Standard, to protect workers. The basis of this standard is a
systemized approach to servicing or maintaining certain equipment. It includes development of
a written program, detailing procedures for disabling energy sources. The following
procedures will be followed when working in lockout/tagout situations:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Hal.40 / 75
Modul Operator - 1
4.2. Tag Out (Penandaan) adalah suatu tanda peringatan berupa kartu yang
digantungkan pada peralatan/mesin yang sedang diisolasi agar mudah
dibaca dan dikenal.
4.3. Kartu Tagging (warna merah) adalah untuk menandakan peralatan tidak
boleh dioperasikan.
4.4. Kartu Tagging (warna kuning) adalah untuk menandakan peralatan hanya
boleh dioperasikan saat kondisi darurat/emergency
4.5. LOTO = Lock Out Tag Out
4.6. SpS = Supervisor Senior
III.5. Uraian Prosedur
5.1.
Teknisi Bagian Pemeliharaan harus mengajukan permohonan ijin untuk LOTO
dengan mengisi Formulir Tagging Peralatan (FM-SLA/069) dan Formulir Daftar
Peralatan Yang Diisolasi (FM-SLA/070), diketahui oleh Supervisor atau SpS
Pemeliharaan.
5.2.
Formulir Tagging Peralatan (FM-SLA/069) telah disediakan di Bagian Operasi
berupa satu set dengan Formulir Daftar Peralatan Yang Diisolasi (FMSLA/070) dan Formulir Tagging & Release Record (FM-SLA/071)
5.3.
Supervisor atau SpS Operasi melakukan pengecekan apakah pengisian
Formulir Tagging Peralatan (FM-SLA/069) dan Formulir Daftar Peralatan Yang
Diisolasi (FM-SLA/070) sudah sesuai dengan keperluan
5.4.
Apabila masih ada kekurangan, Supervisor atau SpS Operasi dapat
menambahkan hal-hal yang dirasa perlu untuk dilengkapi
5.5.
Apabila Formulir Tagging Peralatan (FM-SLA/069) telah disetujui, maka
Operator dapat segera melaksanakan LOTO sesuai permintaan, dengan
melakukan penguncian dan pemberian Kartu Tagging sesuai kebutuhan
5.6.
Operator yang telah melakukan LOTO mengisi Formulir Tagging & Release
Record (FM-SLA/071) sebagai catatan pelaksanaan tagging
5.7.
Bagian Pemeliharaan dapat melaksanakan perbaikan atau pemeliharaan
apabila sudah dilakukan LOTO dan sudah diinformasikan boleh bekerja oleh
Bagian Operasi
5.8.
Apabila pelaksanaan perbaikan atau pemeliharaan melebihi batas waktu yang
telah dituliskan dalam Formulir Tagging Peralatan (FM-SLA/069), maka Bagian
Pemeliharaan harus mengajukan perpanjangan waktu dengan melaporkan
kepada Supervisor atau SpS Operasi
5.9.
Bagian Pemeliharaan harus melaporkan penyelesaian pekerjaannya kepada
Supervisor atau SpS Operasi jika pelaksanaan perbaikan atau pemeliharaan
telah selesai dengan mengisi Release Tagging (FM-SLA-71)
5.10. Apabila penyelesaian pekerjaan telah disetujui, maka Operator mengisi urutan
release tagging pada Formulir (FM-SLA-070) dan dapat segera melepaskan
LOTO, dengan melakukan pembebasan dan pengambilan Kartu Tagging
5.11. Operator yang telah melepaskan LOTO mengisi Formulir Tagging & Release
Record (FM-SLA/071) sebagai catatan pengambilan tagging
5.12. Selesai pekerjaan perbaikan atau pemeliharaan, Bagian Operasi bersamasama dengan Bagian Pemeliharaan akan melakukan tes/uji peralatan yang
Hal.41 / 75
Modul Operator - 1
5.13.
5.14.
Hal.42 / 75
Modul Operator - 1
Mulai
Disetuj
ui ?
Lepas
LOTO,
OK ?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Pelaksanaan LOTO
Tidak
Tidak
Pasang
LOTO, OK
?
Ya
Ya
Pelaksanaan
Pekerjaan
Perbaikan atau Pemeliharaan
Tidak
Hasil Tes,
sesuai ?
Selesai
Sesuai
Batas Waktu
?
Ya
Pelaporan
Penyelesaian
Pekerjaan
Perbaikan
atau
Pemeliharaan
Disetuj
ui ?
Tidak
Ya
Hal.43 / 75
Modul Operator - 1
Peralatan
: .. lembar
Disetujui Oleh,
Yang Melaksanakan,
()
Supervisor OP #
(..)
No
Pelaksanaan Tagging
Tanggal
Jam
Keterangan
Pelaksanaan Release
Tanggal
Jam
Keterangan
Hal.44 / 75
Modul Operator - 1
Warna tagging
TANDA HATI-HATI
TANDA HATI-HATI
DALAM
PERBAIKAN
DALAM
PERBAIKAN
LIHAT DIBALIK
LIHAT DIBALIK
Warna Kuning
Warna Merah
Hal.45 / 75
Modul Operator - 1
IV.
IV.1.
General
This documentation does not replace the Owners existing company safety operating
procedures and instructions. All normal safety precautions should be followed when
operating boilers, burners, and fuel systems. Consult the Owners plant operating and safety
authorities for complete details. In addition to the categorized hazards shown in the various
sections of this manual, there are general type categories, which need emphasis:
a. Manufacturer's Instructions - Equipment manufacturer's instructions should be
followed.
b. Training - Employees must be trained in safety prior to operation of the equipment. The
training in safety should be a continuous process for the purpose of educating employees
to recognize and to keep safety in their minds throughout their careers. A training
program should be established and maintained.
c. Housekeeping - Good housekeeping is essential for safety and good plant operation.
Poor housekeeping results in increased safety hazards. A clean and orderly environment
will foster safety.
d. Clothing and Protective Equipment - Proper clothing should be worn at all times. Avoid
loose clothing and jewelry. Protective equipment must be worn when necessary (i.e.:
hard hats, respirators, ear plugs, goggles, gloves, safety shoes, etc.). Never operate
rotating equipment, mechanically automated devices, or electrically and pneumatically
operated control components unless guides, shields, or covers are in place.
e. Hot Surfaces - Many hot surfaces exist in a boiler area and even non-heated surfaces
can become uncomfortably warm, therefore, employees, especially new employees, must
be made aware of these conditions. Refractory and insulation are typically provided to
encounter elevated surface temperatures in some installations. Care must be exercised
to prevent burns and other thermal hazards when near the boiler. Never enter the boiler
until an adequate cool-off period has been observed and the Owner's entry procedures
have been completed.
f.
Lockout and Tagout Procedures - Every plant should have a formalized lockout and
tagout procedure that is strictly enforced.
g. Remote Starting of Equipment - Much of the equipment in plants are started remotely
and/or automatically without warning; therefore, employees must be alert to avoiding that
equipment which can be started remotely. If work is to be done on any equipment,
lockout and tagout procedures must be followed. Attach signs to equipment such as "DO
NOT START - MEN AT WORK". Attach a similar sign on the equipment control panel.
Hal.46 / 75
Modul Operator - 1
h. Unexpected Noise - A sudden and/or unexpected noise may cause employees to move
involuntary. Such reaction may result in injury. Precautions against this are hard to take
out but experience probably is the best teacher to prevent such inadvertent responses.
i.
j.
Fire and Explosion Hazards - A fired boiler utilizes fuels which are flammable and
potentially explosive. Extreme care should be exercised when making fuel-piping
connections. Use the correct gasket, bolts, thread lubricants, and tightening torque to
prevent leaks. It is recommended that drain valve and/or vent piping be channeled to safe
locations. Valve packing should be periodically tightened and a rigorous leak check
program be implemented as part of the Owners preventative maintenance program.
IV.2.
Hazard
Cause
Effect
Prevention
Hal.47 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Low atomizing
air or steam
pressure
Wet steam
during
atomizing.
Worn or
damaged
atomizer
(sprayer plate).
Cause
Effect
Prevention
Insulate all steam lines.
Check proper trap
operation periodically.
Follow manufacturer's
instructions.
Hal.48 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
of safe discharge.
Damaged piping or
valves
Wet gas.
Hal.49 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
number of
weeks. No
visible difference
between hot and
cold fly ash.
"Quicksand"
action of fly ash
when stepped
on. Explosive
effect of water
on hot fly ash.
IV.2.5. Steam Explosion
Defective safety Obstruction between
valves.
boiler and valve.
Valve damaged or
corroded (internal).
Lever tied down.
Obstruction on valve
outlet.
Defective steam Broken gauge.
pressure
Gauge is not in
gauges.
calibration. Blockage
in line from boiler to
gauge. Gauge cock is
closed. Multiple
gauges not in
agreement.
Low water level. Defective low water
cutoff. Low water
cutoff bypassed.
Improper water
column blowdown
procedure. Equalizing
lines restricted or
plugged. Tampering
with low water
control. Defective
boiler water feed
system. Operator
error. Defective or
inoperative gauge
glass.
Calibrate gauge
regularly. Replace
defective gauges.
Inspect gauge
connection and piping to
boiler for blockage and/or
closed cock.
Hal.50 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Scaled or
corroded boiler
internal
surfaces.
Bypassed
controls.
Cause
Poor maintenance
procedures.
Inadequate
inspection. Improper
chemical cleaning.
Contaminated boiler
water. Poor feedwater
control. Improper
water treatment.
Defective electrical
wiring. Tampering
with controls and
electrical wiring.
Effect
Ruptured boiler. Loss of life
and/or injury to personnel.
Property damage. Boiler
overheating.
Prevention
Proper maintenance.
Regular inspections by
competent inspector.
Keep inspection log.
Proper boiler water
treatment.
Hal.51 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
series.
Insufficient
combustion air.
Tampering with
combustion
safety control.
Manual
operation of
combustion
safety controls.
Lack of or insufficient
boiler room air
openings. Dirty
combustion air
blower. Combustion
air blower running too
slow or slipping.
Incorrect fuel/air
ration setting. Blower
inlet blockage. Outlet
damper blockage.
Plugged boiler gas
passage.
Deliberate action by
personnel. Lack of
knowledge on the
part of personnel.
Inadequate operator
training.
Deliberate action by
personnel.
Prevention
Hal.52 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Leaking fuel
safety shutoff
valves.
Cause
Effect
Defective valve.
Fuel flows to the boiler.
Foreign matter under Uncontrolled ignition of fuel.
valve seat.
Fireside explosion. Loss of life
and/or injury to personnel. Boiler
damage. Property damage. Fire.
IV.2.7. Implosions
Excessive
Flame out. Induced
negative
draft fan runaway.
pressure.
IV.2.8. Maintenance
Equipment being Equipment not locked Physical injury or death.
serviced or
out, not tagged out,
repaired.
not placed in zero
Unexpected
mechanical state, or
starting of
not placed in zero
remotely
energy state.
controlled
equipment.
Movement of
equipment.
Release of
electrical energy.
Release of fluid
pressure.
Activities related Failure to observe
Potential injury or death to
to cleaning.
safety procedures
personnel.
applicable to
maintenance
cleaning.
Prevention
Hal.53 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
residue (ash, soot, slag)
frequently to prevent
excessive accumulation.
Report all unsafe
conditions and/or unsafe
practices.
Entering a
confined or
enclosed space
(includes but not
limited to
furnace, drums,
shell, gas
passes, ducts,
flues, bunkers,
hoppers, tanks).
Oxygen
deficiency
Hal.54 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
other suitable devices.
Observe all safety
regulations and normal
precautions. Report all
unsafe conditions and/or
unsafe practices.
Airborne
contaminants
I.e. gases,
vapors, fumes,
dust, and mist.
Lack of access
to equipment.
Accidental
Failure to bolt or lock Potential injury to personnel.
opening of the closed door.
access door.
IV.2.10. Electrical
Exposed
Damaged insulation Electrical shock resulting in
energized
or protective
death, injury, or burns.
electrical wiring. covering.
Hal.55 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
insulation.
Open electrical
boxes.
Failure to cover
boxes.
Opening switch
box without
turning off
power.
Working on
energized
electrical
equipment.
Improper use of
tools and lights.
Damaged safety
catch permitting
opening without
shutting off switch.
Second party closing
switch which
energizes equipment.
Combustible
dust entering the
electrical
equipment.
IV.2.11. Fire
Fire.
Lack of grounding.
Electrical shock resulting in
Cut off group prong. death, injury or burns.
Using two wire
extension cords. Not
grounding "cheater"
plug (adapter plug).
Body contact with wet
surface. Damaged
insulation. Using
lights without guards.
Death, injury or burns.
Equipment damage. Explosion
and/or fire.
Hal.56 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
operators in emergency
fire fighting and
extinguishing
procedures. Use fire
protection systems.
Hal.57 / 75
Modul Operator - 1
Hazard
Cause
Effect
Prevention
Worn or
damaged
atomizer.
(sprayer plate.)
Hal.58 / 75
Modul Operator - 1
V.
V.1.
V.1.1. Purpose
The Safety and Health of Combustible dust
Hazards associated with combustible dusts;
Work practices and guidelines that reduce the potential for a combustible dust
explosion, or that reduce the danger to employees if such an explosion occurs; and,
Training to protect employees from these hazards.
V.1.2. Background
Organic Dust Fire and Explosion: Massachusetts (3 killed, 9 injured)
In February 1999, a deadly fire and explosion occurred in a foundry in Massachusetts. The
Occupational Safety Health Administration (OSHA) and state and local officials conducted a
joint investigation of this incident. The joint investigation report 1 indicated that a fire initiated
in a shell molding machine from an unknown source and then extended into the ventilation
system ducts by feeding on heavy deposits of phenol formaldehyde resin dust. A small
primary deflagration occurred within the ductwork, dislodging dust that had settled on the
exterior of the ducts. The ensuing dust cloud provided fuel for a secondary explosion which
was powerful enough to lift the roof and cause wall failures. Causal factors listed in the joint
investigation report included inadequacies in the following areas:
Housekeeping to control dust accumulations;
Ventilation system design;
Maintenance of ovens; and,
Equipment safety devices.
Hal.59 / 75
Modul Operator - 1
the explosive cloud in the hidden ceiling space. The explosion severely damaged the plant
and caused minor damage to nearby businesses, a home, and a school. The causes of the
incident cited by CSB included inadequacies in:
Hazard assessment;
Hazard communication; and
Engineering management.
The CSB recommended the application of provisions in National Fire Protection Association
standard NFPA 654, Standard for the Prevention of Fire and Dust Explosions from the
Manufacturing, Processing, and Handling of Combustible Particulate Solids, as well as the
formal adoption of this standard by the State of North Carolina.
Organic Dust Fire and Explosion: Kentucky (7 killed, 37 injured)
In February 2003, a Kentucky acoustics insulation manufacturing plant was the site of
another fatal dust explosion. The CSB also investigated this incident. Their report 3 cited the
likely ignition scenario as a small fire extending from an unattended oven which ignited a
dust cloud created by nearby line cleaning. This was followed by a deadly cascade of dust
explosions throughout the plant. The CSB identified several causes of ineffective dust control
and explosion prevention/mitigation involving inadequacies in:
Hazard assessment;
Hazard communication;
Maintenance procedures;
Building design; and,
Investigation of previous fires.
Metal Dust Fire and Explosion: Indiana (1 killed, 1 injured)
Finely dispersed airborne metallic dust can also be explosive when confined in a vessel or
building. In October 2003, an Indiana plant where auto wheels were machined experienced
an incident which was also investigated by the CSB. A report has not yet been issued,
however, a CSB news release4 told a story similar to the previously discussed organic dust
incidents: aluminum dust was involved in a primary explosion near a chip melting furnace,
followed by a secondary blast in dust collection equipment.
Related Experience in the Grain Handling Industry
In the late 1970s a series of devastating grain dust explosions in grain elevators left 59
people dead and 49 injured. In response to these catastrophic events, OSHA issued a "Grain
Elevator Industry Hazard Alert" to provide employers, employees, and other officials with
information on the safety and health hazards associated with the storage and distribution of
grain.
In 1987, OSHA promulgated the Grain Handling Facilities standard (29 CFR 1910.272),
which remains in effect. This standard, other OSHA standards such as Emergency Action
Plans (29 CFR 1910.38), and updated industry consensus standards all played an important
role in reducing the occurrence of explosions in this industry, as well as mitigating their
Hal.60 / 75
Modul Operator - 1
effects. The lessons learned in the grain industry can be applied to other industries
producing, generating, or using combustible dust.
The addition of the latter two elements to the fire triangle creates what is known as the
"explosion pentagon" (see Figure 1). If a dust cloud (diffused fuel) is ignited within a confined
or semi-confined vessel, area, or building, it burns very rapidly and may explode. The safety
of employees is threatened by the ensuing fires, additional explosions, flying debris, and
collapsing building components.
Hal.61 / 75
Modul Operator - 1
If one of the elements of the explosion pentagon is missing, a catastrophic explosion can not
occur. Two of the elements in the explosion pentagon are difficult to eliminate: oxygen (within
air), and confinement of the dust cloud (within processes or buildings). However, the other
three elements of the pentagon can be controlled to a significant extent, and will be
discussed further in this document.
V.1.4. Facility Dust Hazard Assessment
A combustible dust explosion hazard may exist in a variety of industries, including: food (e.g.,
candy, starch, flour, feed), plastics, wood, rubber, furniture, textiles, pesticides,
pharmaceuticals, dyes, coal, metals (e.g., aluminum, chromium, iron, magnesium, and zinc),
and fossil fuel power generation. The vast majority of natural and synthetic organic materials,
as well as some metals, can form combustible dust. NFPAs Industrial Fire Hazards
Handbook5
states that "any industrial process that reduces a combustible material and some normally
noncombustible materials to a finely divided state presents a potential for a serious fire or
explosion."
V.1.5. Facility Analysis Components
Facilities should carefully identify the following in order to assess their potential for dust
explosions:
Materials that can be combustible when finely divided;
Processes which use, consume, or produce combustible dusts;
Hal.62 / 75
Modul Operator - 1
Hal.63 / 75
Modul Operator - 1
Electrical Installations in Chemical Process Areas. This document uses the same definition of
combustible dust as NFPA 484 and NFPA 654. The overall dust hazard designation for
electrical requirements is Class II. This is further broken down into Divisions which represent
the probability of dust being present at any given time. Additionally, each dust is assigned a
group (E, F, or G), representing the dust types (metal, carbonaceous, and other, respectively)
with different properties. For instance, group E dusts are electrically conductive and electric
current can pass through a layer of such dust under favorable circumstances, causing short
circuits or arcs.
V.1.8. Other Hazard Analysis Considerations
The amount of dust accumulation necessary to cause an explosive concentration can vary
greatly. This is because there are so many variables the particle size of the dust, the
method of dispersion, ventilation system modes, air currents, physical barriers, and the
volume of the area in which the dust cloud exists or may exist. As a result, simple rules of
thumb regarding accumulation (such as writing in the dust or visibility in a dust cloud) can be
subjective and misleading. The hazard analysis should be tailored to the specific
circumstances in each facility and the full range of variables affecting the hazard.
Many locations need to be considered in an assessment. One obvious place for a dust
explosion to initiate is where dust is concentrated. In equipment such as dust collectors, a
combustible mixture could be present whenever the equipment is operating. Other locations
to consider are those where dust can settle, both in occupied areas and in hidden concealed
spaces. A thorough analysis will consider all possible scenarios in which dust can be
disbursed,
both
in
the
normal
process
and
potential
failure
modes.
After hazards have been assessed and hazardous locations are identified, one or more of
the following prevention, protection and/or mitigation methods may be applied. The
references and information sources at the end of this document will assist in the decision
process for the methods suitable to specific work sites. Additional guidance and requirements
may be available from local or state fire and building code officials as well as OSHA Area or
Regional Offices.
Dust Control NFPA 654, Standard for the Prevention of Fire and Dust Explosions from the
Manufacturing, Processing, and Handling of Combustible Particulate Solids, contains
comprehensive guidance on the control of dusts to prevent explosions. The following are
some of its recommendations:
Hal.64 / 75
Modul Operator - 1
The OSHA ventilation standard, 29 CFR 1910.94, contains ventilation requirements for
certain types of operations (such as abrasives, blasting, grinding, or buffing) which involve
dusts, including combustible dusts. Additionally, 29 CFR 1910.22(a)(1) requires employers to
keep work places and other areas clean, which includes the removal of dust accumulations.
Ignition Control NFPA 654, Standard for the Prevention of Fire and Dust Explosions from the
Manufacturing, Processing, and Handling of Combustible Particulate Solids, also contains
comprehensive guidance on the control of ignition sources to prevent explosions. The
following are some of its recommendations:
Hal.65 / 75
Modul Operator - 1
comprehensive guidance to minimize the danger and damage from an explosion. The
following are some suggested protection methods:
V.2.
Training
V.2.1. Employees
Workers are the first line of defense in preventing and mitigating fires and explosions. If the
people closest to the source of the hazard are trained to recognize and prevent hazards
associated with combustible dust in the plant, they can be instrumental in recognizing unsafe
conditions, taking preventative action, and/or alerting management. While OSHA standards
require training for certain employees, all employees should be trained in safe work practices
applicable to their job tasks, as well as on the overall plant programs for dust control and
ignition source control. They should be trained before they start work, periodically to refresh
their knowledge, when reassigned, and when hazards or processes change.
Employers with hazardous chemicals (including combustible dusts) in their workplaces are
required to comply with 29 CFR 1910.1200, the Hazard Communication standard. This
includes having labels on containers of hazardous chemicals, using material safety data
sheets, and providing employee training.
V.2.2. Management
A qualified team of managers should be responsible for conducting a facility analysis (or for
having one done by qualified outside persons) prior to the introduction of a hazard and for
developing a prevention and protection scheme tailored to their operation. Supervisors and
managers should be aware of and support the plant dust and ignition control programs. Their
training should include identifying how they can encourage the reporting of unsafe practices
and facilitate abatement actions.
Material
Ignition Temp. of
Dust Cloud,C
Minimum Explosive
Concentration (oz/ft3)
Relative
Explosion
Hazard
Aluminum
650
0.045
Severe
0.02
Severe
Al-Mg alloy
Hal.66 / 75
Modul Operator - 1
Chromium
0.23
Strong
Coal
610
0.055
Strong
Copper
900
------
Fire
Epoxy Resin
530
0.020
Severe
Iron
420
0.100
Strong
Magnesium
520
0.020
Severe
0.11
Strong
Silicon
Tin
630
0.190
Moderate
Titanium
460
0.045
Severe
Uranium
20
0.060
Severe
Zinc
600
0.480
Moderate
Note: To the best of our knowledge, the above table is based on laboratory test results by the
U.S. Bureau of Mines (USBM) on dried samples of fine dusts (passing 200 mesh sieve). See
USBM Investigations No. 5624,
Hal.67 / 75
Modul Operator - 1
VI.
VI.1.
Definition
A Job Safety Analysis (JSA) is a method that can be used to identify, analyze and record 1)
the steps involved in performing a specific job, 2) the existing or potential safety and health
hazards associated with each step, and 3) the recommended action(s)/procedure(s) that will
eliminate or reduce these hazards and the risk of a workplace injury or illness.
VI.2.
Hazard Types.
1. Select jobs with the highest risk for a workplace injury or illness.
2. Select an experienced employee who is willing to be observed. Involve the employee
and his/her immediate supervisor in the process.
3. Identify and record each step necessary to accomplish the task. Use an action verb (i.e.
pick up, turn on) to describe each step.
4. Identify all actual or potential safety and health hazards associated with each task.
5. Determine and record the recommended action(s) or procedure(s) for performing each
step that will eliminate or reduce the hazard (i.e. engineering changes, job rotation, PPE,
etc.).
Hal.68 / 75
Modul Operator - 1
ORGANIZATION:
State Fair Park
SEQUENCE OF
BASIC
JOB
STEPS
1. Pull/push full
dumpster
into
hydraulic lift
gate.
2. Raise
hydraulic lift
gate to "UP"
position,
dumping
contents.
3. Spray
remaining
trash residue
from raised
dumpster
with water.
4. Lower
hydraulic lift
gate and
emptied
dumpster
back to
ground level.
5. Pull empty
dumpster
from the
JSA No.
SUPERVISOR:
DATE: 8/23/2008
ANALYSIS
PERFOMED BY:
Troy Tepp, Sentry
Insurance
REVIEWED BY:
LOCATION:
Refuse Collection
POTENTIAL
HAZARDS
DEPARTMENT: Grounds
Lower back,
arm, and
shoulder strain.
Pinched hand
between gate
and rolling
dumpster.
Hitting head on
horizontal gate
member.
None observed.
Trash particles
and water spray
into eyes.
Crushing injury
if a person is
under the
lowering gate.
Lower back,
arm, and
shoulder strain.
None observed.
Hal.69 / 75
Modul Operator - 1
JOB
SAFETY
ANALYSIS
gate to the
designated
area for
placement
on the
grounds.
JSA No.
DATE: 8/23/2008
wheels.
Push dumpsters to move, pull to steer/guide.
Wear protective canvas or leather gloves.
Use a tugger or other motorized cart to move
dumpsters.
Hal.70 / 75
Modul Operator - 1
VII.
Sejak diberlakunya Peraturan Mneteri No. Per 05/Men/1996 tentang Sistem Manajemen K3
terlihat beberapa kemajuan dimana jumlah perusahaan yang di audit dari tahun ke tahun
semakin meningkat, dan perusahaan yang diaudit bukan datang dari Rencana Tahunan
Audit (RTA) yang telah ditetapkan setiap tahunnya tetapi semakin banyaknya perusahaan
yang dating dan meminta ke Depnakertrans untuk di audit segera di luar RTA yang ada,
dimana hal seperti ini terjadi dikarenakan antara lain tekanan dari pasar terhadap
perusahaan tersebut atau semakin meningkatnya kesadaran pengusaha
terhadap
pentingnya pelaksanaan system manajemen K3 di perusahaannya.
Dengan di undangkannya Undang Undang No. 13 Tahun 2003 maka penerapan SMK3
landasan hukunmnya lebih kuat, karean pada pasal 87 (delapan tujuh) ayat 1 (satu) telah
ditetapakan bahwa setiap perusahaan wajib menerapakan SMK3 yang terintergrasi dalam
system manajemen perusahaan. Sebelum peraturan pemerintah sebagai peraturan
pelaksananya di tetapkan maka penerapan SMK3 di perusahaan tetap bersadasarkan
Permenaker N0. Per 5 / Men/ 1996.
Dalam Permenaker 05/96, SMK3
memiliki pengertian sebagai bagian dari sistem
manejemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, pernecanaan, tanggung
jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.
Dan untuk menerapkan SMK3 di tempat kerja, terdapat ketentuan-ketentuan yang wajib
dilakukan yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja serta menjamin komitmen
terhadap penerapan SMK3.
2. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan K3.
3. Menerapkan kebijakan K3 secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan
mekanisme pendukung yang diperlukan untuk mencapai kebijakan,tujuan dan sasaran
K3.
4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja serta
melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan.
5. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan SMK3 secara
berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja K3.
Dengan tujuan SMK3 untuk menciptakan sistem yang aman, produktif dan efisien serta
melibatkan pihak manajemen, tenaga kerja, lingkungan dan kondisi secara terintegrasi maka
perlu dilakukan pengukuran terhadap kinerjanya. Pengukuran tersebut dilakukan dalam
bentuk audit SMK3 yang sistematik dan independen dan atas nama pemerintah, dalam hal
ini Depertemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Hal.71 / 75
Modul Operator - 1
Dalam upaya pembuktian dan pengukuran efektifitas penerapan SMK3 dilakukan Audit
SMK3 dengan menggunakan 12 elemen utama yang terdiri dari 166 kriteria pada tempat
kerja yang ditunjuk oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi wajib melaksanakan
audit eksternal SMK3 dan dilakukan oleh badan audit independen yang telah ditunjuk.
Elemen-elemen Audit SMK3 sebagaimana dimaksud dalam Permenaker meliputi 12 elemenelemen sebagai berikut:
1. Pembangunan dan Pemeliharaan Komitmen
2. Strategi Pendokumentasian
3. Peninjauan Ulang Desain dan Kontrak
4. Pengendalian Dokumen
5. Pembelian
6. Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3
7. Standar Pemantauan
8. Pelaporan dan Perbaikan Kekurangan
9. Pengelolaan Material dan Perpindahannya
10. Pengumpulan dan Penggunaan Data
11. Audit SMK3
12. Pengembangan Ketrampilan dan Kemampuan
Prosedure dan Instruksi Kerja terkait dengan SMK3 yang telah diterapkan di UBP Suralaya:
a. Prosedur:
Prosedur PT-SLA-017 Pemantauan lingkungan dan K3
Prosedur PT-SLA-020 Pengelolaan limbah non B3
Prosedur PK-SLA-025 Penanganan kecelakaan kerja, insiden (nearmiss) dan
penyakit akibat kerja
Prosedur PK-SLA-028 Pemberian Briefing K3
Prosedur PT-SLA-018 Kesiagaan dan tanggap darurat
Prosedur PL-SLA-023 Identifikasi aspek dampak lingkungan
Prosedur PK-SLA-026 Perancangan (desain)
Prosedur PK-SLA-029 Penanganan bahan secara manual dan mekanis
Prosedur PT-SLA-019 Pengelolaan limbah B3
Prosedur PK-SLA-024 Identifikasi bahaya potensial,penilaian dan pengendalian
resiko
Prosedur PK-SLA-027 Ijin Kerja
prosedur PK-SLA-030 Lock out tag out (LOTO)
b. Instruksi Kerja
IK-SLA-088 Pemadaman Kebakaran
IK-SLA-095 Bekerja Di Tempat Panas
IK-SLA-099 Mengangkat Manual
IK-SLA-103 Pengukuran Kadar Radioaktif
IK-SLA-089 Pengoperasian Mobil DAMKAR
IK-SLA-096 Bekerja di Ruang Terbatas
Keselamatan Kerja & Pemadam Kebakaran
Hal.72 / 75
Modul Operator - 1
Hal.73 / 75
Modul Operator - 1
VIII.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Daftar Pustaka
Hal.74 / 75
Modul Operator - 1
1.
Hal.75 / 75