You are on page 1of 9

TANGGUNG JAWAB YAYASAN TERHADAP PELAKSANAAN KEGIATAN

USAHA YANG DILAKUKAN OLEH RUMAH SAKIT


Steffi Graf 1) , Badriyah Rifai 2) , dan Sakka Pati 2)
1) Mahasiswa

Jurusan Ilmu Hukum, Program Studi Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum,


Universitas Hasanuddin, Makassar.
2) Dosen Pengajar Jurusan Ilmu Hukum, Program Studi Hukum Keperdataan, Fakultas
Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar.
ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Yayasan Wakaf UMI Makassar, Yayasan Ratna Miriam Makassar,
Yayasan Sentosa Ibu Makassar, Rumah Sakit Ibnu Sina Makassar, Rumah Sakit Stella Maris
Makassar, berlangsung dari bulan Juni sampai Agustus 2012. Penelitian ini menggunakan
penelitian hukum empiris melalui metode wawancara dan pengamatan lapangan. Hasil penelitian
ini yaitu kegiatan usaha rumah sakit yang berupa laundry, parkir, salon, toko buku, toko kacamata,
bank, kantin, kafe atau minuman dan pemasangan alat pemancar tidak sesuai dengan visi dan misi
rumah sakit maupun yayaasan, sedangkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan masih
terdapat kontroversi (perbedaan sudut pandang) terhadap kesesuaian kegiatan usaha tersebut,
karena di dalam Undang-undang Yayasan dan Undang-undang Rumah Sakit justru terdapat
penafsiran yang saling bertentangan terhadap ketentuan di dalam pasal-pasal tersebut. Meskipun
demikian, kesesuaian terhadap kegiatan usaha tersebut dapat dapat ditinjau berdasarkan
kewajaran atau kepatutan. Dengan kata lain, apabila kegiatan usaha rumah sakit yang berada di
luar batas kewajaran dan kegiatan usahanya tidak sejalan lagi dengan keberadaan fungsi dan
tujuan dari rumah sakit itu sendiri, maka kegiatan usaha tersebut tidak dapat dilakukan oleh rumah
sakit. Hal ini terlepas dari visi dan misi yayasan maupun ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Pengurus yayasan telah memberikan kewenangan secara penuh kepada pimpinan rumah
sakit dalam melaksanakan kegiatan usahanya, namun pimpinan rumah sakit tetap memiliki
kewajiban untuk melaporkan perihal kegiatan usaha tersebut kepada pihak yayasan sebelum
hendak mengusahakan kegiatan tersebut. Dalam hal ini, pengurus yayasan tetap bertanggung
jawab dalam hal mengawasi seluruh kegiatan usaha rumah sakit agar kegiatan usaha rumah sakit
tersebut sejalan dengan pelaksanaan fungsi dari rumah sakit, atau menunjang keberadaan rumah
sakit. Pengurus Yayasan dapat memerintahkan kepada pimpinan rumah sakit untuk segera
menutup kegiatan usaha tersebut apabila dinilai sudah tidak sejalan dengan fungsi rumah sakit.
Kata kunci : Yayasan, Rumah Sakit, Kegiatan Usaha

PENDAHULUAN
Dewasa ini, Yayasan sulit dibedakan
dengan lembaga yang berorientasi laba. Bentuk
hukum Yayasan telah dijadikan payung untuk
menyiasati berbagai aktivitas di luar bidang
sosial, keagamaan, kemanusiaan, kesehatan,
serta pendidikan. Selain itu, motif pendirian
rumah sakit dengan bentuk hukum Yayasan,
tidak murni lagi untuk sosial, idiil atau
filantropis, melainkan karena adanya faktor
keterpaksaan, sehingga dalam kegiatannya
sangat mungkin sosok tujuan sosial tidaklah
diutamakan.

Fenomena yang ada di dalam praktik


penyelenggaraan rumah sakit menunjukkan
adanya pergeseran orientasi pelayanan rumah
sakit antara bentuk kelembagaan dengan
manajemen pengelolaannya, artinya rumah
sakit dengan bentuk kelembagaan Yayasan
dikelola dengan manajemen perusahaan
sebagaimana layaknya manajemen Perseroan
Terbatas (PT). Meskipun demikian, apabila
badan sosial (rumah sakit) melakukan
perusahaan atau badan usaha, tujuan
utamanya bukan untuk mencari keuntungan,
melainkan untuk melaksanakan sesuatu yang

idiil atau filantropis atau amal, walaupun tidak


mustahil bahwa Yayasan itu mendapat
keuntungan. Jadi, penekanannya bukan pada
keuntungan
(profit),
melainkan
pada
kemanfaatan (benefit).
Lahirnya Undang-undang Yayasan tidak
serta merta menjamin pelaksanaan kegiatan
usaha
Yayasan
tetap
berjalan
dalam
koridornya. Hal ini disebabkan oleh Undangundang Yayasan sendiri telah memberikan
peluang bagi Yayasan untuk melakukan
kegiatan usaha terutama dengan mendirikan
badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu
badan
usaha
yang
pada
gilirannya
menghendaki adanya perolehan laba, sehingga
kesempatan tersebut bisa saja disalahgunakan
dan disalahtafsirkan oleh organ Yayasan
dengan menomorduakan tujuan sosial dan
kemanusiaan demi memberikan prioritas utama
pada tujuan mengejar keuntungan. Dengan
kata lain, kebebasan (meskipun di batasi) yang
diberikan kepada Yayasan untuk melakukan
kegiatan usaha dapat celah bagi Yayasan
untuk melakukan hal yang menyimpang.
Namun, setelah lahirnya Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
Rumah Sakit Swasta, baik yang berbentuk
Yayasan maupun Perseroan Terbatas hanya
diperkenankan untuk memiliki kegiatan usaha
yang
hanya
bergerak
di
bidang
perumahsakitan. Dengan kata lain, tidak ada
lagi kesempatan bagi rumah sakit untuk
melakukan usaha lain yang berada di luar
rumah sakit dengan tujuan menunjang
operasionalnya.
Praktik yang terjadi saat ini, khususnya
dalam lingkungan rumah sakit menunjukkan
bahwa rumah sakit dapat memproduksi
berbagai kegiatan jasa yang bervariasi dan
mempunyai puluhan bahkan ratusan instalasi
yang berbeda-beda produknya, mulai dari
pelayanan rawat inap, yang terdiri dari berbagai
penggolongan kelas, pelayanan rawat jalan,
yang terdiri dari pemeriksaan kesehatan oleh
berbagai dokter unggulan dan dokter spesialis,
UGD, operasi (bedah), apotik, laboratorium,
fisioterapi,
radiologi,
citi-scan,
USG,
pemeriksaan hemadialisa, medical check up,
bank darah, gizi, endoscopy, EKG, EEG,
pemulasaran jenazah, excercise treatmill test,
forensik, dan pelayanan lainnya. Selain itu,
rumah sakit tidak hanya memproduksi
pelayanan untuk orang sakit, tetapi rumah sakit

juga memproduksi berbagai jenis pelayanan


bagi mereka yang ingin bertambah sehat, dan
tampil lebih prima misalnya pelayanan general
check-up, pelayanan tumbuh kembang anak,
pelayanan bagi orang-orang tua, klinik
perawatan wajah, klinik perawatan gigi, sampai
klinik kebugaran hingga pengkurusan berat
badan yang membutuhkan teknologi biomedik.
Bahkan ada rumah sakit yang didirikan untuk
mereka yang menginginkan pelayanan yang
prima, tidak berdesak-desakan, dan berada di
dalam rumah sakit seolah-olah berada di hotel
mewah.
Selain itu, rumah sakit tidak hanya
melakukan kegiatan usaha yang bergerak di
bidang pelayanan kesehatan, melainkan rumah
sakit juga melakukan kegiatan usaha lain yang
berupa pelayanan pendidikan bagi mahasiswa,
pelayanan parkir bagi pengunjung rumah sakit,
pelayanan laundry bagi pasien, pelayanan
warung telepon, bahkan pihak rumah sakit juga
menyewakan tempat bagi pihak lain untuk
melakukan kegiatan usaha di dalam lingkungan
rumah sakit yang terdiri dari usaha perbankan,
usaha kafe, usaha toko buku, usaha fotocopy,
usaha salon, usaha toko kacamata, dan usaha
koperasi karyawan.
Selanjutnya, berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi timbulnya masalah dalam
hubungan antara manajer dan pemilik rumah
sakit, antara lain: anggota Yayasan yang tidak
mempunyai
pemahaman
dan
keahlian
mengenai rumah sakit, terjadi perangkapan
jabatan Yayasan dengan direksi sehingga
menimbulkan conflict of interest; para manajer
tidak memahami akan pentingnya sistem
kontrol dan berbagai hal lainnya. Oleh karena
itu, setiap pihak harus mengetahui tugas dan
kewenangannya, serta batasan kegiatan usaha
yang dapat dilakukan oleh rumah sakit
khususnya rumah sakit yang berada di bawah
naungan Yayasan.
METODOLOGI PERCOBAAN
Penelitian ini dilaksanakan di kota
Makassar dan Pare-pare Provinsi Sulawesi
Selatan pada beberapa yayasan yang
mendirikan rumah sakit beserta rumah sakit,
antara lain Yayasan Wakaf UMI Makassar dan
Rumah Sakit Ibnu Sina, Yayasan Ratna Miriam
Makassar dan Rumah Sakit Stella Maris

Makassar. Penelitian ini berlangsung sejak


bulan Juni sampai Agustus 2012
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah : Daftar rumah sakit yang didirikan
oleh yayasan, terdiri dari 15 Yayasan pendiri
rumah sakit, Statuta Rumah sakit, Anggaran
Dasar Rumah Tangga Yayasan, Profil Rumah
Sakit, Daftar Kegiatan Pelayanan Medik Rumah
Sakit, Visi dan misi rumah sakit dan visi dan
misi Yayasan, serta pertanyaan wawancara
yang masing-masing ditujukkan kepada pihak
yayasan dan pihak rumah sakit.
Penulis menggunakan penelitian hukum
empiris melalui metode analisis deskriptif
kualitatif, yaitu penulis menganalisa data yang
sudah diperoleh dari studi kepustakaan, dan
melalui metode wawancara, serta pengamatan
di lapangan secara langsung kemudian
mengaitkan berbagai peraturan hukum yang
mempunyai korelasi dengan objek yang diteliti.
Pertama, penulis mendeskripsikan visi dan misi
Yayasan, visi dan misi rumah sakit, kegiatan
usaha rumah sakit, kesesuaian visi dan misi
tersebut dengan kegiatan usaha rumah sakit.
Kedua, penulis mendeskripsikan kesesuaian
antara
peraturan
perundang-undangan
mengenai kegiatan usaha rumah sakit yang
terdapat di dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 7 ayat
(1), dan Pasal 8 Undang-undang Yayasan,
serta Pasal 7 ayat (4) Undang-undang Rumah
Sakit dengan pelaksanaan kegiatan usaha
rumah sakit. Ketiga, penulis menjabarkan
tanggung jawab pengurus Yayasan, dan

organisasi sakit terhadap pelaksanaan kegiatan


usaha rumah sakit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Visi dan Misi
Hasil wawancara menunjukkan bahwa
pemisahan antara visi dan misi Yayasan
dengan visi dan misi rumah sakit sangatlah
diperlukan. Meskipun rumah sakit merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
Yayasan, namun rumah sakit tersebut
sebenarnya bersifat mandiri atau independen,
karena pengelolaan rumah sakit itu sendiri
terpisah dari Yayasan. Oleh karena itu,
pengurus Yayasan menganggap bahwa rumah
sakit itu sendiri harus memiliki visi dan misi
secara khusus yang dapat menjadi pedoman
bagi pihak rumah sakit di dalam menjalankan
operasionalnya.
Yayasan merupakan badan hukum,
sedangkan rumah sakit merupakan unit usaha
dari Yayasan. Oleh karena itu, visi dan misi
rumah sakit haruslah sejalan dengan visi dan
misi Yayasan, di mana maksud yang tertuang
di dalam visi dan misi rumah sakit harus sesuai
dengan maksud dan tujuan Yayasan, yaitu
masih berada di dalam bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, sedangkan misi
finansial sama sekali tidak sesuai maksud dan
tujuan Yayasan.

Tabel 1. Perbedaan antara Visi dan Misi Yayasan Ratna Miriam dan Rumah Sakit Stella Maris dengan
Visi dan Misi Yayasan Wakaf UMI dan Rumah Sakit Stella Maris
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Visi dan Misi


Visi Pelayanan Kesehatan
Visi Pendidikan
Visi Penginjilan / Dakwah
Misi Pelayanan Kesehatan
Misi Pendidikan
Misi Penginjilan / Dakwah
Misi Sosial
Misi Keadilan
Misi Kesejahteraan
Misi Perolehan Finansial

Yayasan Ratna Miriam dan


Rumah Sakit Stella Maris
Ada
Hanya ada pada visi Yayasan
Ada
Ada
Hanya ada pada misi Yayasan
Hanya ada pada misi Yayasan
Hanya ada pada misi Yayasan
Ada
Ada
Tidak ada

Yayasan Wakaf UMI dan


Rumah Sakit Ibnu Sina
Ada
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Hanya ada pada misi Yayasan
Tidak ada
Hanya ada pada misi rumah sakit
Hanya ada pada misi rumah sakit

Sumber : Hasil peninjauan visi dan misi Rumah Sakit Ibnu sina Yayasan Wakaf UMI dengan visi dan
misi Rumah Sakit Stella Maris Yayasan Ratna Miriam

Tabel 2. Kesesuaian Kegiatan Usaha Rumah Sakit dengan Visi dan Misi Yayasan Wakaf UMI dan Rumah
Sakit Ibnu Sina, serta Visi dan Misi Yayasan Ratna Miriam dan Rumah Sakit Stella Maris

No

1.

Kegiatan Usaha
RS Ibnu Sina &
RS Stella Maris

Visi & Misi


YW-UMI

Pelayanan
Apotek

Pelayanan
Transfusi
Darah (PMI)
Pelayanan
Pemulasaran
Jenazah

2.
3.

4.
5.
6.

7.

8.

9.
10

11

12

13
14

Pelayanan
Laundry
Pelayanan
Pendidikan
Penyewaan
tempat
(perbankan)
Penyewaan
tempat
(kantin)
Penyewaan
tempat
(minuman/kafe)
Penyewaan
tempat
(alat pemancar)

Pelayanan
Parkir

Penyewaan
tempat
(toko buku)
Penyewaan
tempat
(salon)
Penyewaan
tempat
(toko kacamata)
Koperasi
Karyawan

Visi & Misi


Visi & Misi Visi & Misi
RS
RS Stella
Yayasan
Kesesuaian
Kesesuaian Kepatutan
Ibnu Sina
Ratna Miriam Maris
sesuai misi
sesuai misi

pelayanan

pelayanan

kesehatan
kesehatan
sesuai misi

pelayanan

kesehatan
sesuai misi
sesuai misi

pelayanan

pelayanan

kesehatan
kesehatan
sesuai misi
sesuai misi

perolehan

kesejahteraan

finansial
masyarakat
sesuai misi
sesuai misi

pendidikan
pendidikan
sesuai misi
sesuai misi

perolehan

kesejahteraan

finansial
masyarakat
sesuai misi
sesuai misi

perolehan

kesejahteraan

finansial
masyarakat
sesuai misi
sesuai misi

perolehan

kesejahteraan

finansial
masyarakat
sesuai misi

perolehan

finansial
sesuai misi

perolehan

finansial
sesuai misi

kesejahteraan

masyarakat
sesuai misi

kesejahteraan

masyarakat
sesuai misi

kesejahteraan

masyarakat
sesuai misi

kesejahteraan

karyawan

Sumber : Hasil analisis kegiatan usaha Rumah Sakit berdasarkan visi dan misi Yayasan Wakaf UMI dan
Rumah Sakit Ibnu Sina, serta visi dan misi Yayasan Ratna Miriam dan Rumah Sakit Stella Maris.

Berdasarkan hasil tabel di atas


menunjukkan bahwa misi perolehan
finansial
dan
misi
kesejahteraan

masyarakat yang tercantum di dalam misi


Rumah Sakit Ibnu Sina dan misi Yayasan
Ratna Miriam tersebut tidaklah menjamin

bahwa rumah sakit boleh melakukansebagai peraturan yang harus ditaati. Namun,
kegiatan usaha secara bebas. Hal itupada kenyataannnya berbagai persoalan yang
disebabkan karena seluruh kegiatan usahaterkait dengan substansi hukum yang belum
yang dimiliki oleh rumah sakit harusjelas, perbedaan penafsiran yang didasari oleh
memperhatikan aspek kewajaran ataukepentingan masing-masing pelaku hukum, dan
kepatutan. Oleh karena itu, kegiatan usahapenegakan hukum yang lemah tidaklah
dapat
menimbulkan
adanya
rumah sakit yang tidak sesuai dengandipungkiri
peruntukkan rumah sakit atau tidakketidakpastian hukum, sedangkan ketertiban
pada
umumnya
berakar
dari
menunjang keberadaan rumah sakit, makahukum
tidak dapat dijalankan atau dilakukan olehketidakpahaman atas substansi dan kultur
hukum di dalam masyarakat.
rumah sakit.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa
Hasil wawancara dengan pihak rumah
adanya cacat di dalam peraturan perundangsakit menunjukkan bahwa selama ini rumah
undangan dan terutama dalam hal
sakit hanya memiliki kegiatan usaha yang
penegakkan hukumnya yang akan menjadi
berupa pemberian pelayanan kesehatan
faktor penghambat untuk mencapai tujuan
kepada masyarakat, dan pelayanan pendidikan
hukum.
Namun,
bekerjanya
hukum
kepada mahasiswa, sedangkan kegiatan usaha
sangatlah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yang berada di luar bidang perumahsakitan,
yaitu :
seperti kantin, salon, toko buku, toko kacamata,
1. Pengetahuan
masyarakat
tentang
kafe, bank, koperasi karyawan, dan parkir
hukum.
merupakan kegiatan usaha yang dimiliki dan
2. Eksistensi lembaga hukum. Keberadaan
diusahakan oleh pihak lain. Pihak rumah sakit
lembaga hukum
hanya sekedar membantu menyediakan tempat
3. Penegakkan hukum.
bagi para pihak yang bermaksud untuk
4. Budaya hukum masyarakat.
mengusahakan barang dagangannya di rumah
sakit.
Keempat faktor tersebut secara
Di samping itu, menurut pihak rumah
bersama-sama menentukan apakah hukum
sakit, keberadaan kegiatan usaha tersebut
dapat dijalankan. Jika salah satu faktor
merupakan hal yang sah-sah saja, karena
tersebut tidak ada, maka hukum tidak akan
kegiatan usaha tersebut sebenarnya bukanlah
dapat berjalan atau menjalankan fungsinya,
merupakan tujuan utama dari rumah sakit,
sehingga keempatnya harus terdapat di
melainkan hanya sebagai penunjang bagi
dalam sistem hukum.
kepentingan
pasien,
keluarga
pasien,
Peraturan perundang-undangan yang
pengunjung, dan karyawan rumah sakit.
dapat dijadikan sebagai pedoman dasar
Kegiatan usaha tersebut juga dapat dikatakan
dalam menilai kesesuaian kegiatan usaha
hanya mendatangkan penghasilan yang sangat
tersebut, antara lain :
kecil bagi rumah sakit, sehingga kegiatan
1. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 jo
usaha tersebut tidak terlalu berpengaruh
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004
terhadap penghasilan rumah sakit, namun
tentang Yayasan :
keberadaan
kegiatan
usaha
tersebut
a. Pasal 3 ayat (1) dan penjelasan
memberikan penghidupan bagi pedadang kecil
b. Pasal 7 ayat (1)
yang mengusahakan barang dagangannya di
c. Pasal 8 dan penjelasan
dalam rumah sakit, di mana hal ini secara tidak
2. Undang-undang No. 44 Tahun 2009
langsung telah mendukung misi sosial dan misi
tentang Rumah sakit (Pasal 7 ayat (4)
kesejahteraan masyarakat yang dimiliki oleh
dan penjelasan).
rumah sakit.

2. Peraturan Perundang-undangan
untuk

Kepastian hukum sangatlah diperlukan


menjamin hukum dapat berfungsi

Di dalam menafsirkan pasal-pasal


tersebut terdapat berbagai perbedaan
penafsiran yang terjadi terhadap kegiatan
usaha rumah sakit apabila ditinjau dari

ketentuan pasal-pasal yang terdapat di


dalam Undang-undang Yayasan. Hal ini
menyebabkan penilaian terhadap kewajaran
suatu kegiatan usaha rumah sakit adalah
hal yang sangat sulit, karena di dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (1), Pasal 7, dan
Pasal 8 Undang-undang Yaysasan sendiri
justru memuat 2 (dua) tolok ukur yang
saling berbeda tentang penilaian kewajaran
terhadap kegiatan usaha tersebut (tidak ada
tolok ukur yang objektif). Selain itu, di dalam
ketentuan Undang-undang Yayasan sendiri
tidak ada batasan atau kriteria yang jelas
tentang mencari keuntungan hanya sebagai
alat dan mencari keuntungan sebagai
tujuan, sehingga sangat sulit untuk
memisahkan atau membedakan antara
menjalankan bisnis sebagai alat dan
sebagai tujuan. Hal tersebut mendorong
rumah sakit menafsirkan kegiatan usaha
tersebut sesuai dengan selera mereka
sendiri, di mana mereka merasa ketentuan
tersebut menguntungkan mereka.
Menurut pendapat Anwar Borahima di
dalam bukunya Kedudukan Yayasan di
Indonesia bahwa perbedaan antara ukuran
mencari keuntungan sebagai tujuan dan
sebagai alat sangat tipis, bahkan sangat
sulit dibedakan. Salah satu kriteria yang
dapat
digunakan,
adalah
dengan
menekankan pada aspek kepentingan
umum atau kemanfaatan bagi publik
umumnya.
Jadi,
ukurannya
adalah
pemanfaatan hasil usaha Yayasan. Jika
hasil usaha itu dimanfaatkan untuk
kepentingan umum atau sesuai dengan
anggaran dasar, maka usaha tersebut
masih dapat dikategorikan sebagai alat.
Namun, jika hasil usaha tersebut untuk
kepentingan organ Yayasan atau pihak
lainnya yang tidak sesuai dengan anggaran
dasar, tidak lagi dapat dikatakan sebagai
alat, melainkan sudah merupakan tujuan.
Selain itu, menurut beliau bahwa untuk
dapat melihat apakah kegiatan bisnis
tersebut masih dapat dikategorikan sebagai
hanya alat untuk mencapai tujuan Yayasan
atau memang sudah merupakan tujuan
Yayasan dapat dilakukan dengan menilik
kembali latar belakang pembentukan
Yayasan tersebut, serta tujuan yang hendak

dicapai oleh Yayasan tersebut. Jika latar


belakang dan tujuan telah sesuai, maka
langkah berikutnya adalah mengetahui
tingkat pencapaian tujuan tersebut. Satu hal
yang perlu diperhatikan adalah kepatutan
dan kewajaran. Walaupun pelaksanaan
kegiatan ditujukan untuk kepentingan
umum, dan tujuannya bukan untuk
kepentingan pemilik atau pengurus, tetapi
melampaui batas kewajaran, maka ini tidak
dapat disebut tujuan sosial kemanusiaan
(charity).
Di dalam Undang-undang
Yayasan
dimungkinkan bagi Yayasan melakukan
bisnis yang terkait, sedangkan untuk bisnis
yang tidak terkait tidak diatur sama sekali,
termasuk sanksi jika Yayasan melakukan
bisnis yang tidak terkait. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kegiatan usaha rumah
sakit yang berupa apotek, transfusi darah,
pemulasaran jenazah, pendidikan, kafe,
kantin, parkir, bank, laundry, merupakan
bisnis yang terkait, sehingga kegiatan
usaha tersebut sangatlah mungkin untuk
dilakukan oleh rumah sakit. Hal tersebut
disebabkan oleh kegiatan usaha tersebut
menunjang keberadaan rumah sakit dan
tidak
melampaui
batas
kewajaran.
Sedangkan kegiatan usaha yang berupa
salon, toko buku, toko kacamata, koperasi
karyawan, alat pemancar merupakan bisnis
yang tidak terkait, sehingga kegiatan usaha
tersebut tidak boleh untuk dilakukan oleh
rumah sakit, terlepas dari ada atau tidak
adanya sanksi yang diberikan oleh Undangundang Yayasan. Hal tersebut disebabkan
oleh kegiatan usaha tersebut tidak
menunjang keberadaan rumah sakit dan
telah melampaui batas kewajaran.
Hasil penelitian penulis membuktikan
bahwa penerapan terhadap ketentuan yang
terdapat di dalam Pasal 7 ayat (4) Undangundang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit masih belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh semua rumah sakit
swasta. Meskipun Undang-undang Rumah
Sakit dengan jelas mencantumkan larangan
bagi pihak Rumah Sakit untuk melakukan
kegiatan usaha yang berada di luar bidang
perumahsakitan, namun pihak rumah sakit
dan pihak Yayasan tetap mengganggap

bahwa kegiatan usaha tersebut merupakan


hal yang termasuk wajar, asalkan
keberadaan kegiatan usaha tersebut berada
di dalam lingkungan rumah sakit dan
pengelolaan terhadap kegiatan usaha
tersebut tidak langsung berada pada pihak
rumah
sakit,
melainkan
pengelolaan
tersebut harus diserahkan kepada pihak
lain.
Pada dasarnya, Yayasan merupakan
badan hukum dan rumah sakit merupakan
unit kegiatan dari Yayasan, sehingga
rumah sakit bukan merupakan badan
hukum dan bukan merupakan subjek
hukum. Oleh karena itu, rumah sakit tidak
dapat bertanggung jawab secara hukum,
melainkan badan hukum Yayasan yang
wajib bertanggung jawab secara badan
hukum atas seluruh perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh organ rumah
sakit tersebut sesuai dengan Pasal 1367
KUHPerdata. Meskipun demikian, unit
kegiatan rumah sakit tersebut tidak
terlepas dari tanggung jawab hukum
sebagaimana terdapat di dalam ketentuan
Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit
yang
menyebutkan bahwa : rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum terhadap
semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan di rumah sakit. Mengenai
tanggung jawab rumah sakit tersebut tidak
hanya sebatas terdapat di dalam Undangundang Rumah Sakit, melainkan terdapat
juga di dalam Pasal 1367 ayat (1) dan (3)
KUHPerdata, bahkan rumah sakit juga
bertanggung jawab atas wanprestasi dan
perbuatan melawan hukum, apabila
perbuatan itu dilakukan oleh pegawainya
sesuai dengan Pasal 1243, 1370, 1371 dan
1365 KUH Perdata. Hal tersebut sesuai
dengan prinsip doktrin hospital liability.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
direktur rumah sakit memegang peranan
penting dalam pertanggungjawaban organ
rumah sakit yaitu sebagai payung yang
menaungi seluruh kesalahan dan kelalaian
yang dilakukan oleh organ rumah sakit
(mulai dari wakil direktur, komite medik,
kepala bagian dan kepala instalasi, dan staf

rumah sakit). Dengan kata lain, beban


pertanggungjawaban di dalam unit kegiatan
rumah sakit berada pada direktur rumah
sakit. Oleh karena itu, direktur rumah sakit
wajib bertanggung jawab atas seluruh
pelaksanaan kegiatan usaha rumah sakit
dan seluruh jumlah kerugian yang telah
ditimbulkan oleh orang-orang tersebut.
Selanjutnya, pimpinan rumah sakit tetap
mempunyai
kewajiban
untuk
menyampaikan mengenai seluruh kegiatan
usaha yang telah dilakukan oleh rumah
sakit melalui laporan tahunan yang terdiri
dari laporan kegiatan rumah sakit dan
laporan keuangan rumah sakit yang
disampaikan secara rutin setiap tahun oleh
pimpinan rumah sakit kepada pengurus
Yayasan.
Hasil wawancara dengan pihak rumah
sakit menunjukkan bahwa apabila organ
rumah sakit (tenaga kesehatan) dituduh
melakukan kesalahan yang menyangkut
praktek medis dan mengakibatkan rumah
sakit harus menanggung ganti kerugian
terhadap pihak lain, maka selain tenaga
kesehatan tersebut harus bertanggung
jawab secara pribadi, maka pihak rumah
sakit juga harus bertanggung jawab atas
perbuatan tenaga kesehatan tersebut
karena mereka bekerja atas nama rumah
sakit. Menurut Lambang Basri Said bahwa
Pengurus Yayasan Wakaf UMI hanya
bertanggung jawab secara moral atas
seluruh kesalahan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang bekerja pada
Rumah Sakit Ibnu Sina.
Meskipun pengurus Yayasan yang
bertindak sebagai perwakilan dari badan
hukum Yayasan, dan direktur rumah sakit
yang bertindak sebagai perwakilan dari unit
kegiatan rumah sakit bertanggung jawab
atas seluruh kerugian yang ditimbulkan oleh
orang-orang yang bekerja untuk mereka,
namun orang-orang yang melakukan
kesalahan tersebut tidak dapat terlepas dari
pertanggung jawaban secara pribadi atas
seluruh kesalahan yang ditimbulkan oleh
mereka sesuai dengan Pasal 1365 dan
1366 KUHPerdata, dan Pasal 35 ayat (5)
Undang-undang Yayasan. Jadi, organ
rumah
sakit
berkewajiban
untuk

mempertanggungjawabkan
seluruh
kesalahan dan kerugian yang telah mereka
timbulkan kepada atasan mereka.
Hasil wawancara dengan pihak rumh
sakit menunjukkan bahwa salah satu bentuk
pertanggungjawaban pimpinan rumah sakit
kepada pengurus Yayasan terhadap
kegiatan usaha Rumah Sakit Ibnu Sina,
yaitu apabila ternyata di kemudian hari
pihak Yayasan mendapatkan bahwa Rumah
Sakit telah melakukan kegiatan usaha yang
tidak sejalan lagi dengan pelaksanaan
fungsi rumah sakit itu sendiri, atau dengan
kata lain kegiatan usaha tersebut dinilai
oleh pihak Yayasan tidak lagi menunjang
keberadaan dari fungsi rumah sakit
tersebut, maka pihak Yayasan dapat
memerintahkan kepada pihak Rumah Sakit
Ibnu Sina untuk segera menutup kegiatan
usaha tersebut, dan selanjutnya Pimpinan
Rumah Sakit Ibnu Sina wajib untuk segera
menjalankan perintah penutupan kegiatan
usaha tersebut.
KESIMPULAN
1. Pada kenyataannya, apabila ditinjau
berdasarkan visi dan misinya, maka
kegiatan usaha rumah sakit yang berupa
laundry, parkir, salon, toko buku, toko
kacamata, bank, kantin, kafe/minuman
dan pemasangan alat pemancar tidak
sesuai dengan visi dan misi, sedangkan
apabila ditinjau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan,
maka
masih
terdapat
kontroversi
terhadap
kesesuaian kegiatan usaha tersebut,
karena
di
dalam
Undang-undang
Yayasan dan Undang-undang Rumah
Sakit justru terdapat penafsiran yang
saling bertentangan terhadap ketentuan
di dalam Pasal-Pasal tersebut. Meskipun
demikian, kesesuaian terhadap kegiatan
usaha
tersebut
dapat
ditinjau
berdasarkan
kewajaran
atau
kepatutan. Dengan kata lain, apabila
kegiatan usaha rumah sakit berada di
luar batas kewajaran dan kegiatan
usahanya tidak sejalan lagi dengan
keberadaan fungsi dan tujuan dari rumah
sakit itu sendiri, maka kegiatan usaha

tersebut tidak dapat dilakukan oleh


rumah sakit.
2. Pada dasarnya, pengurus Yayasan telah
memberikan kewenangan secara penuh
kepada pimpinan rumah sakit dalam
melaksanakan
kegiatan
usahanya.
Meskipun demikian, pimpinan rumah
sakit
memiliki
kewajiban
untuk
melaporkan perihal kegiatan usaha
tersebut kepada pihak Yayasan sebelum
hendak
mengusahakan
kegiatan
tersebut. Dalam hal ini, pengurus
Yayasan tetap bertanggung jawab dalam
hal mengawasi seluruh kegiatan usaha
rumah sakit agar kegiatan usaha rumah
sakit
tersebut
sejalan
dengan
pelaksanaan fungsi dari rumah sakit,
atau menunjang keberadaan rumah
sakit. Selain itu, apabila pengurus
Yayasan menemukan bahwa rumah sakit
telah melakukan kegiatan usaha yang
tidak sejalan lagi dengan pelaksanaan
fungsi rumah sakit itu sendiri, maka
pengurus Yayasan dapat memerintahkan
kepada pimpinan rumah sakit untuk
segera
menutup
kegiatan
usaha
tersebut.
SARAN
1. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang
ketentuan Pasal yang terdapat di dalam
Undang-undang Yayasan, khususnya
Pasal yang mengatur tentang kegiatan
usaha
Yayasan,
sehingga
tidak
menimbulkan penafsiran ganda terhadap
makna yang terkandung di dalam pasalpasal tersebut. Pemerintah juga harus
memperhatikan
setiap
pasal
yang
terdapat
di
dalam
undang-undang
Yayasan, sehingga tidak terdapat pasal
yang saling bertentangan, melainkan
sebaiknya pasal yang satu bisa
mendukung pasal yang lainnya. Selain
itu,
pemerintah
juga
harus
memperhatikan
dalam
menyusun
ketentuan isi pasal dan penjelasan yang
terdapat di dalam Undang-undang Rumah
Sakit, sehingga isi pasal dan penjelasan
tersebut tidak menimbulkan perbedaan

penafsiran
terhadap
makna
yang
terkandung di dalam ketentuan pasal
tersebut. Melainkan, sebaiknya isi pasal
dan penjelasan tersebut sejalan dan
saling mendukung maksud dari ketentuan
pasal tersebut.
2. Pemerintah
sebaiknya
segera
membentuk Badan Pengawas Rumah
Sakit untuk mengawasi pelaksanaan dari
ketentuan yang terdapat di dalam
undang-undang tersebut, khususnya yang
menyangkut kegiatan usaha rumah sakit
yang
berada
di
luar
bidang
perumahsakitan.
3. Bentuk pertanggungjawaban Yayasan
terhadap rumah sakit yang paling efektif
yaitu sesuai sistem Good Corporate
Governance
(GCG)
dengan
cara
membentuk Badan Pembina Rumah Sakit
yang bertujuan untuk menjamin tujuan
rumah sakit dapat tercapai seefisien
mungkin. Peranan badan tersebut

sebagai media penghubung antara


kepentingan rumah sakit dan kepentingan
Yayasan, sehingga keseimbangan di
antara keduanya dapat terpelihara
dengan baik. Selain itu, sebaiknya harus
ada batasan yang jelas antara tugas dan
kewenangan pengurus Yayasan dan
pimpinan rumah sakit terhadap kegiatan
usaha dan penyertaan modal rumah sakit,
sehingga seluruh hal yang merupakan
tugas dan kewenangan pimpinan rumah
sakit tidak boleh dicampuri oleh pengurus
Yayasan. Demikian juga halnya dengan
batasan kewenangan antara Pembina
Yayasan, Pengurus Yayasan, maupun
Pengawas Yayasan haruslah jelas,
sehingga baik Pembina, Pengurus,
maupun Pengawas dapat menjalankan
tugasnya dengan baik, tanpa adanya
tumpang tindih antara tugas dan
kewenangan
masing-masing organ.

You might also like