You are on page 1of 31

Spondylosis

1.

Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi

intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang
juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi
pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif
tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan
diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya
pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild,
2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan
sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis,
sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal
cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang
terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi
pada segmen L4 L5 dan L5 S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami
spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama
ligamen flavum) (John J. Regan, 2010).
2.

Etiologi

Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan
degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya
hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce
M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun.
Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang
dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991) :
a.

Kebiasaan postur yang jelek

b.

Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan

mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.


c.

Tipe tubuh

Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal
yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a.

Faktor usia

Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan
faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu
penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara
linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar
16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
b.

Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif


menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap
hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh
tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan
kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c.

Peran herediter

Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian
Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis
berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari
perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar (47 66%) spondylosis berkaitan
dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan beban fisik
dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan
dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses
degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit
dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan
pada vertebra lumbar.

3.

Patologi Terapan

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan
ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah
usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara
dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang
cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang
menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada
end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan
fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and
Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya
beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-plate.
Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago endplate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel
vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole
dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit
degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak
mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and
Randolph M. Kessler, 2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006), terdapat
sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi.
Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a.

Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal

pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak
masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini
sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat
menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk
suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan
cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain
melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang
(corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan

melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada
lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah.
Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi
suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential
yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan
dengan hilangnya kandungan proteoglycan.
b.

Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang

berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari
instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahuntahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau
formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan
osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya
osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak
yang stabil.
c.

Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior

dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon
terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang
terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan
gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat
pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur endplate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen
tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian
bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet
terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L5 S1 dan pada L4
L5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan,
dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang
melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60%
pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).

Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif
pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial
spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya
akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis
intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat
memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas
spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari
processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari
intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan
perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang
mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular
inferior superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis
sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya penurunan
space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan
penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga
menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat
mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith,
2009).
4.

Gambaran Klinis

Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang
diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf
duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish,
2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari
stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang
progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari
ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik
claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan
motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan
saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya
segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena
gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada
vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti
pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010).
5.

Anatomi Biomekanik Lumbal

Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio lumbal
tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra lumbal
berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan kuat.
Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi pada
L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal terdapat
foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina bagian
atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan
lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah
posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga
hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari
tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah
inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian
antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra
bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah
bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah dalam
segmentasi regional sebagai berikut :
a.

Thoracolumbal junction

Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th12 arah
superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang
sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine memaksa

th12 hingga Th10mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi
550dan ekstensi 250.
b.

Lumbal spine

Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak L3 sebesar 2
4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen. Stabilitas dan
gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang sagital
sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi
lumbal.
c.

Lumbosacral joint

L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai gerak
yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban gerakan
dan berat badan paling besar pada regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada setiap level
vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint
dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis
joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional
adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2
segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks.
a.

Diskus Intervertebralis

Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan fibrocartilago
compleks yang membentukarticulasio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint.
Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar dari tinggi spine.
Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis
yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat
memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan,
mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsurunsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic

yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung
ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak
mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang
sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan
beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang
nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral.
Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur
ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabutserabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan
suatu perubahan organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi
diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya
prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan
pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan
melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh.
Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal.
Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur
tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4
menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson
menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 25 kp dan tidur miring menjadi
2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan
tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat
berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan
intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika
mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
b.

Facet Joint

Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan processus
articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial diarthrodial joint.
Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang

terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra
sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat kedalam
bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet
bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian atas
mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk
facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi
lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal
daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya rotasi
torsion dan shear, dimana -nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang sekitar
30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang
paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamen-ligamen
yang memperkuat segmen gerak adalah :
a.

Ligamen longitudinal anterior

Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke sacrum
pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke dalam
bagian

anterior

diskus

intervertebralis

dan

melekat

pada

antero-superior

corpus

vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.
b.

Ligamen longitudinal posterior

Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian
posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada
regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga
ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus
intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal
posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A
delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai
stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
c.

Ligamen flavum

Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra.
Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi
facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen
dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan
fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang kearah
posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat
gerakan fleksi lumbal.
e.

Ligamen supraspinosus

Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen ini
kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

f.

Ligamen intertransversalis

Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik
pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral.
Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
a.

Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal,

serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco
lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator
vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.

b.

Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding

abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m.
rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group
otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva
lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam
memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal
bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external
bekerja sebagai brace kearah anterior.
c.

Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri

dari :
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi
lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus
fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian
atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis
superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami
peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen
interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus bagian
anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami
penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus
articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus
dapat saling bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral
sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser kearah
kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi
ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain
sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik
sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.

Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra bagian bawah, tetapi
gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan processus
articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan
rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B.
Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10odan
ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.
B.
1.

Tinjauan Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Spondylosis Lumbal


Problematik Fisioterapi

Spondylosis lumbal umumnya menimbulkan nyeri dan kekakuan gerak pada regio lumbal,
khususnya muncul pada pagi hari. Nyeri dapat bersifat menjalar baik ke dorsal paha maupun ke
daerah kaki. Rasa nyeri dan kekakuan dapat menyebabkan spasme pada otot erector spine
sehingga membatasi gerakan pada lumbal. Dengan demikian, kondisi ini dapat menimbulkan
problematik fisioterapi, antara lain : nyeri menjalar, spasme otot erector spine lumbal,
keterbatasan gerak vertebra lumbal yang menyebabkan gangguan fleksibilitas lumbal.
2.

Tindakan Fisioterapi

a.

Short Wave Diathermy (SWD)

Diathermy merupakan aplikasi energi elektromagnetik dengan frekuensi tinggi yang terutama
digunakan untuk membangkitkan panas dalam jaringan tubuh. Diathermy juga dapat digunakan
untuk menghasilkan efek-efek nonthermal. Diathermy yang digunakan sebagai modalitas terapi
terdiri atas short wave diathermy (yang akan dibahas) dan microwave diathermy.
Short wave diathermy adalah modalitas terapi yang menghasilkan energi elektromagnetik dengan
arus bolak balik frekuensi tinggi. Federal Communications Commision (FCC) telah menetapkan
3 frekuensi yang digunakan pada short wave diathermy, yaitu :
1) Frekuensi 27,12 MHz dengan panjang gelombang 11 meter
2) Frekuensi 13,56 MHz dengan panjang gelombang 22 meter
3) Frekuensi 40,68 MHz (jarang digunakan) dengan panjang gelombang 7,5 meter
Frekuensi yang sering digunakan pada SWD untuk tujuan pengobatan adalah frekuensi 27,12
MHz dengan panjang gelombang 11 meter.
Short wave diathermy yang digunakan dalam pengobatan mempunyai 2 arus yaitu
arus Continuos SWD dan Pulsed SWD.

1) Sifat Pancaran energi elektromagnetik


Telah dijelaskan diatas bahwa arus SWD menghasilkan energi elektromagnetik, dimana energi
tersebut memancarkan medan listrik dan medan magnet. Arus tersebut tidak menimbulkan aksi
potensial pada serabut saraf motorik maupun sensorik, dengan kata lain tidak merangsang saraf
motorik untuk berkontraksi, karena arus frekuensi tinggi mempunyai osilasi lebih dari 500.000
siklus/detik yang akan memberikan 1.000.000 impuls setiap detik, sehingga durasinya 0,001 ms
tiap detik.
Kuatnya medan listrik dan medan magnet yang dihasilkan bergantung pada sumber medan
elektromagnetik. Pada medan elektromagnetik yang terputus-putus (pulsed) akan terjadi
pemutusan medan pada moment tertentu. Energi elektromagnetik yang dihasilkan tergantung
pada metode yang digunakan.
a)

Metode medan kondensor

Pada prinsipnya, medan listrik dari energi elektromagnetik dihasilkan oleh plat metal elektrode
dan medan magnet dihasilkan oleh magnetode (kumparan kawat). Pada metode ini, medan listrik
lebih kuat dihasilkan daripada medan magnet karena menggunakan plat metal elektrode.
b) Metode kumparan (kabel/spul/magnetode)
Pada metode kumparan, kumparan-kumparan kawat menghasilkan medan magnet yang lebih
kuat didalam dan disekitar kumparan dibandingkan dengan diluar kumparan. Distribusi medan
elektromagentik yang dihasilkan oleh kumparan paling besar terjadi di jaringan superfisial
apabila pemasangannya dililitkan.
2) Metode Aplikasi
Metode aplikasi SWD terdiri atas :
a)
(1)

Metode Induktive
Menggunakan sebuah kumparan metal yang kecil datar, tertutup dalam suatu plastic

drum (dengan suatu kapasitor yang paralel), kadang-kadang dinamakan dengan monode.
(2)

Menggunakan pipa panjang dengan konduktor yang fleksibel, tertutup dalam karet yang

tebal, dinamakan dengan kabel atau kumparan. Kabel atau kumparan ini terbungkus mengelilingi
bagian yang diobati dalam pola spiral atau dalam bentuk flat spiral. Kabel tersebut membentuk
suatu inductance dan terpisah dari kulit oleh adanya handuk sebagai perantara.
b) Metode Capacitive/Condensor

(1)

Menggunakan metal plate yang kaku, tertutup dalam plastic, dinamakan dengan rigid

atau plate electrode atau space plate dan diposisikan oleh lengan penyanggah.
(2)

Menggunakan elektrode yang fleksibel atau lunak, terbungkus dalam karet yang tebal

dimana dapat diposisikan dibawah bagian yang diobati dengan perantara bahan yang sesuai
(seperti handuk).
Pada metode capacitive ini mempunyai 3 macam posisi elektrode, yaitu aplikasi
contraplanar/transversal, aplikasi coplanar dan aplikasi longitudinal (long methode). Dalam
penelitian ini, kami menggunakan aplikasi coplanar sehingga kami hanya membahas aplikasi
tersebut.
Aplikasi Coplanar
Pada aplikasi ini, lokasi kedua elektrode dalam bidang yang sama terhadap jaringan yang
diterapi. Karena energi thermal yang tinggi terjadi pada jaringan lemak dan tidak terjadi aliran
arus energi elektromagnetik secara transversal melewati seluruh lapisan jaringan sehingga
absorbsi energi akan rendah pada jaringan yang lebih dalam. Dengan demikian, metode ini hanya
bersifat superfisial. Jika metode ini menginginkan efek yang dalam, maka dianjurkan untuk
menerapkan jarak elektrode kulit yang cukup jauh dan jarak tersebut tetap dipertahankan pada
jarak kali dari diameter elektrode/condensator.
Hal-hal yang perlu dihindari dalam ketiga aplikasi ini adalah :
a)

Penggunaan elektrode yang besar secara berlebihan dapat menyebabkan lokalisasi energi

yang rendah dan efek terapi yang optimum tidak tercapai.


b) Jarak elektrode kulit yang sangat rapat dengan area jaringan yang menonjol dapat
menyebabkan konsentrasi energi elektromagnetik sehingga menghasilkan point effek.
3) Continous Short Wave Diathermy (CSWD)
Pada penerapan CSWD, energi thermal dominan terjadi dalam jaringan. Setiap jaringan yang
menerima panas memiliki tahanan yang berbeda-beda. Jaringan lemak cepat menyerap panas
daripada otot (1 : 10), sedangkan jaringan otot lebih cepat menyerap panas daripada kulit. Secara
fisiologis, jaringan otot tidak memiliki thermosensor tetapi hanya pada jaringan kulit, sehingga
dengan adanya rasa panas di kulit saat pemberian CSWD maka sebenarnya sudah
terjadi overthermal pada jaringan otot dibawahnya karena jaringan otot lebih cepat menerima
panas daripada kulit. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika panas yang diterima

jaringan melebihi batas tertentu maka jaringan akan menjadi rusak; menurut Thomas H (1963)
ukuran subyektif sebagai batas tertentu adalah jika penderita merasa hangat.
Menurut Hollander JS (1949) bahwa para peneliti menyatakan pemberian CSWD pada kondisi
artrose adalah kontraindikasi, dan bahkan sebagian besar penelitian melarang pemberian CSWD
pada arthritis. Hal ini disebabkan karena didalam sendi terdapat suatu asam Hyaluronikyang
suhu optimalnya adalah 36,7o, dan sangat sensitif terhadap penambahan suhu. Dengan
penambahan suhu 1o saja (terjadi pada pemberian CSWD) maka suhunya menjadi 37,4o,
sementara pada suhu 37o saja akan mengaktifkan cairan/enzym hyaluronidase yang dapat
merusak ujung-ujung tulang rawan sendi, dan kita ketahui bahwa kerusakan tulang rawan sendi
tidak akan pernah mengalami regenerasi/reparasi.
Continous SWD utamanya menimbulkan efek thermal, sehingga menghasilkan efek fisiologis
berupa peningkatan sirkulasi darah dan proses metabolisme.
4) Pulsed Short Wave Diathermy (PSWD)
Sekitar tahun 1940, mulai digalakkan penelitian terhadap PSWD sebagai salah satu efek terapi
baru bagi SWD. Dalam penelitian tersebut dilakukan penerapan PSWD pada hapusan susu, dan
ternyata pada hapusan susu tersebut terlihat suatu bentuk untaian kalung. Kemudian bentuk
tersebut juga terjadi pada cairan darah, limpha dan eiwit. Penemuan tersebut menunjukkan
bahwa PSWD sangat bermanfaat dalam menghasilkan efek terapeutik, sedangkan efek
fisiologisnya hanya timbul sedikit (pengaruh panas hanya minimal). Pada Pulsed SWD,
mempunyai energi/power output yang maksimum sampai 1000 W. Meskipun demikian,
energi/power output rata-rata adalah jauh lebih rendah yaitu antara 0,6 80 watt (tergantung
pada pemilihan frekuensi pulse repetition) sehingga memungkinkan aplikasi pengobatan
subthermal dengan peningkatan efek-efek biologis. Oleh karena itu, terapi Pulsed SWD sangat
cocok untuk pengobatan terhadap gangguan-gangguan akut dimana terapi panas merupakan
kontraindikasi.
Jika kita menerapkan Pulsed SWD (PSWD), maka akan menghasilkan pulsasi rectangular
dengan durasi pulsasi 0,4 ms. Power maksimum dari pulsasi tersebut dapat diatur sampai 1000
W. Ketika menggunakan aplikasi kondensor maka energi power dapat diatur sampai nilai
maksimum. Interval pulsasi yang dihasilkan bergantung pada pemilihan frekuensi pulsasi
repetition (15 200 Hz), sedangkan ukuran produksi panas dalam Pulsed SWD adalah mean
power (watt). Mean power yang dihasilkan sangat bergantung pada pemilihan intensitas arus dan

frekuensi pulsasi repetition. Semakin rendah frekuensi pulsasi repetition yang dipilih maka
semakin

rendah

mean

powernya.

Dengan

demikian,

penerapanPulsed

SWD dapat

memungkinkan kita memilih intensitas arus yang tinggi (power pulsasi) dengan pemilihan
frekuensi pulsasi repetition yang selektif dan sesuai dengan kondisi penyakit/gangguan.
Dengan demikian, indikasi Pulsed SWD adalah :
a)

Kondisi-kondisi post traumatik dan post-operasi seperti arthropathy, kontusio, distorsio,

hematoma.
b) Gangguan-gangguan lain seperti ankylopoietik spondylosis, bursitis, coccygodinia, myalgia,
(akut) humeroscapular periarthritis, periostitis, neuralgia, (akut) sciatica, tendovaginitis, akut dan
kronik furuncle sinusitis, cervical lymphadenitis non-spesifik, laryngitis dan peritonsilar abcess,
adneksitis dan mamma abcess.
5) Efek Fisiologis
a)

Perubahan panas/temperatur

(a)

Reaksi lokal/jaringan

(1)

Meningkatkan metabolisme sel-sel lokal sekitar + 13% setiap kenaikan temperatur 1o C.

(2)

Meningkatkan vasomotion sphincter sehingga timbul homeostatik lokal dan akhirnya

terjadi vasodilatasi lokal.


(b)

Reaksi general

(1)

Mengaktifkan sistem thermoregulator di hipothalamus yang mengakibatkan kenaikan

temperatur darah untuk mempertahankan temperatur tubuh secara general.


(2)

Penetrasi dan perubahan temperatur terjadi lebih dalam dan lebih luas.

b) Jaringan ikat
Meningkatkan elastisitas jaringan ikat lebih baik seperti jaringan collagen kulit, tendon, ligament
dan kapsul sendi akibat menurunnya viskositas matriks jaringan; pemanasan ini tidak akan
menambah panjang matriks jaringan ikat sehingga pemberian SWD akan lebih berhasil jika
disertai dengan latihan peregangan.
c)

Otot

(1)

Meningkatkan elastisitas jaringan otot.

(2)

Menurunkan tonus otot melalui normalisasi nocisensorik, kecuali hipertoni akibat

emosional dan kerusakan SSP.


d) Saraf

(1)

Meningkatkan elastisitas pembungkus jaringan saraf.

(2)

Meningkatkan konduktivitas saraf dan meningkatkan ambang rangsang (threshold).

6) Indikasi
Indikasi SWD baik continuos SWD maupun pulsed SWD adalah kondisi-kondisi subakut dan
kronik pada gangguan neuromuskuloskeletal (seperti sprain/strain, osteoarthritis, cervical
syndrome, NPB dan lain-lain).
7) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari continuos SWD adalah pemasangan besi pada tulang, tumor atau kanker,
pacemaker pada jantung, tuberkulosis pada sendi, RA pada sendi, kondisi menstruasi dan
kehamilan, regio mata (kontak lens) dan testis. Kontraindikasi dari pulsed SWD adalah tumor
atau kanker, pacemaker pada jantung, regio mata dan testis, kondisi menstruasi dan kehamilan.
Pada gangguan akut neuromuskuloskeletal merupakan kontraindikasi dari continuos SWD tetapi
bagi pulsed SWD bisa diberikan dengan pulsasi yang rendah.

b.

William Flexion Exercise

1) Pengertian
William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937. Pada tahun
1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi
degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang
dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami
lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala
kronik LBP.
William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang
menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise
telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk
mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam
beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint
(kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa
posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik.
2) Tujuan

Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan
stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus,
dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower
back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara
group otot postural fleksor & ekstensor.
3) Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi
sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William Flexion
Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus.
4) Prosedur Pelaksanaan
Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah sebagai
berikut :
a)

Latihan I (pelvic tilting)

Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan
punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian
pertahankan 5 10 detik.
Gambar 2.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise
b) Latihan II (single knee to chest)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai. Secara
perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 10 detik. Kemudian diulangi untuk
knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.
Gambar 2.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise
c)

Latihan III (double knee to chest)

Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee kanan
ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 10 detik. Dapat
diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu
tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.
Gambar 2.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise
d) Latihan IV (partial sit-up)

Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara
perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian
kembali secara perlahan ke posisi awal
Gambar 2.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise
e)

Latihan V (hamstring stretch)

Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk
ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh
mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.
Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise
f)

Latihan VI (hip fleksor stretch)

Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee
dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak).
Ulangi dengan kaki yang lain.
Gambar 2.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise
g) Latihan VII (squat)
Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan
pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas
lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

C.
1.

Tinjauan Alat Ukur


Visual Analogue Scale (VAS)

Menurut International Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho DS (2001),
disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun
potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif
dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak
secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari
manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan
nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan

derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan
faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang,
riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas
nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992).
Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif.
Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat
diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat
intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar
rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif
nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks
dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus
noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang
cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri
hebat yang dirasakan.
Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif nyeri
adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang rangsang
untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat secara
berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada waktu
yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan
dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada
setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa
nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan
komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien.
Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa
intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan ujung kanan diberi tanda
bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai
dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri
sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan
level

intensitas

nyeri.

Kemudian

skore

tersebut

dicatat

untuk

melihat

kemajuan

pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri

daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas.
Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut
(Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa
pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala
verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit
untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi
yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986).
Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap
pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly,
1992).
VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE)
Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya

Tidak ada nyeri

sgt nyeri tk
terthnkan

2.

Fleksibilitas Lumbal

Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of motion (ROM)
yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas adalah kemampuan
jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada pengaruh dari jaringan
lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya beberapa ligamen, fascia, dan jaringan
konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi otot-otot antagonis harus relaks (otot-otot yang
melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa terbatas).

Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif
digerakkan (oleh fisioterapis atau dokter), sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan pada
ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi
otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi,
dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup
atau tidak membatasi ROM yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau
aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah
independen satu sama lain.
Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual fleksibilitas
merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya fleksibilitas yang
luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas yang sama pada seluruh
sendi.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang pembentuk sendi
dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau mengakhiri gerakan pada
ROM yang luas.
Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas jaringan kolagen
dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan otot yang
membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi. Ketika
jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari
diskus cartilaginous yang ada pada beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendi-sendi
tersebut.
Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot. Ekstensibilitas otot
adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau kemampuan otot untuk
memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan ekstensibilitas kapsul-ligamen
pada sendi atau laxitas dari sendi.
Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot erector
spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine lumbal saat fleksi lumbal. Disamping
itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang mencakup diskus intervertebralis dan facet
joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas.

Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi facet joint atau
penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas intervertebral joint dan menurunnya
ekstensibilitas otot erector spine sehingga mempengaruhi fleksibilitas lumbal.
Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton flexometer, dan
metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk dan
tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur
fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur fleksibilitas
lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut :
a.

Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam

posisi 0o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya
anterior tilting.
b.

Cara pengukuran :

1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur jarak
antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saaat
pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM saat
fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir menunjukkan besarnya jarak gerak
fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita meteran
adalah normal untuk pengukuran. AAOS menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu
pengukuran rata-rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat.
2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur
fleksi thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai
pada saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau fleksi lumbal
merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi
dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur fleksi
thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksa fleksibillitas tubuh secara umum.
3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu :
a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri.
b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama
(midline).

c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis lurus
kedua (midline).
d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm).
e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak dari
tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus.
f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20 cm.

D.

Kerangka Berpikir

Faktor usia
Kebiasaan postur yang jelak
Aktifitas fisik yg berat & berlebihan
Degenerasi diskus dan facet joint
Spondylosis lumbal
Nyeri dan gangguan fleksibilitas
SWD dan William Flexion Exercise
Penurunan nyeri dan penambahan fleksibilitas

Definisi
Spondilitis ankilosa (SA) merupakan penyakit jaringan ikat yang ditandai

dengan peradangan pada tulang


belakang dan sendi-sendi
yang besar, menyebabkan kekakuan progresif,nyeri dan dengan penyebab yang
tidak diketahui. Penyakit ini dapat melibatkan sendi-sendi perifer, sinovia, dan
rawan sendi, serta terjadi osifikasi tendon dan ligamen yang akan
mengakibatkan fibrosis dan ankilosis tulang. Terserangnya sendi sakroiliaka
merupakan tanda khas penyakit ini. Ankilosis vertebra biasanya terjadi pada
stadium lanjut dan jarang terjadi pada penderita yang gejalanya ringan. Nama
lain SA adalah Marie Strumpell disease atau Bechterew's disease.
Insidens

2-10 kali lebih banyak pada pria dibanding pada wanita


Umur 15-25 tahun
Lebih bayak pada orang Eropa daripada orang Jepang dan Negro
Etiologi
Faktor predisposisi genetik memegang peranan pada spondilitis ankilosa. Penyakit ini sering
ditemukan pada kelompok keluarga dengan HLA B-27, meskipun demikian tidak setiap orang
dengan HLA B-27 menderita spondilitis ankilosa sehingga diduga ada faktor pemicu lainnya.
Gejala Klinis
Peradangan ringan sampai menengah biasanya bergantian dengan periode tanpagejala. Gejala
yang paling sering ditemukan adalah nyeri punggung, yang intensitasnya bervariasi dari satu
episode ke episode lainnya dan bervariasi pada setiap penderita. Nyeri sering memburuk di
malam hari.

Kekakuan di pagi hari yang akan hilang jika penderita melakukan aktivitas,juga sering
ditemukan. Nyeri punggung dan kejang otot-ototnya seringkali bisa berkurang jika penderita
membungkukkan badannya ke depan. Karena itu penderita sering mengambil posisi
membungkuk, yang bisa menyebabkan bungkuk menetap bila tidak diobati.
Pada penderita lainnya, tulang belakang dengan jelas tampak lurus dan kaku. Nyeri punggung
bisa disertai dengan hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, kelemahan dan anemia.
Jika sendi yang menghubungkan tulang iga dan tulang belakang meradang, rasa nyeri akan
membatasi kemampuan dada untuk mengembang dan untuk menarik nafas dalam. Kadangkadang nyeri dimulai di sendi yang besar, seperti panggul, lutut dan bahu.
Sepertiga penderita mengalami serangan berulang dari peradangan mata (iritisakut),yang
biasanya tidak mengganggu penglihatan.
Pada penderita lainnya, peradangan bisa menyerang katup jantung. Jika kerusakan tulang
belakang menekan saraf atau urat saraf tulang belakang, bisa timbul mati rasa, kelemahan atau
nyeri di daerah yang dipersarafinya.
Sindroma kauda equina (Sindroma Ekor Kuda) merupakan komplikasi yang jarang, berupa
gejala yang timbul jika kolumna tulang belakang yang meradang, menekan sejumlah saraf yang
berjalan

dibawah

ujung

urat

saraf

tulang

belakang.

Gejalanya berupa impotensi, inkontinensia uri di malamhari, sensasi yang berkurang pada
kandung kemih dan rektum dan hilangnya refleks mata kaki.
Manifestasi pada Tulang.
Keluhan yang umum dan karakteristik awal penyakit ialah nyeri pinggang dan sering menjalar ke
paha. Nyeri biasanya menetap lebih dari 3 bulan, disertai dengan kaku pinggang pada pagi hari,
dan membaik dengan aktivitas fisik atau bila dikompres air panas. Nyeri pinggang biasanya
tumpul dan sukar ditentukan lokasinya, dapat unilateral atau bilateral. Nyeri bilateral biasanya
menetap, beberapa bulan kemudian daerah pinggang bawah menjadi kaku dan nyeri. Nyeri ini
lebih terasa seperti nyeri bokong dan bertambah hebat bila batuk, bersin, atau pinggang
mendadak terpuntir. Inaktivitas lama akan menambah gejala nyeri dan kaku. Keluhan nyeri dan

kaku pinggang merupakan keluhan dari 75% kasus di klinik. Nyeri tulang juksta-artikular dapat
menjadi keluhan utama, misalnya entesis yang dapat menyebabkan nyeri di sambungan
kostosternal, prosesus spinosus, krista iliaka, trokanter mayor, tuberositas tibia atau tumit.
Keluhan lain dapat berasal dari sendi kostovertebra dan manubriosternal yang menyebabkan
keluhan nyeri dada, sering disalahdiagnosiskan sebagai angina.
Manifestasi di Luar Tulang
Manifestasi di luar tulang terjadi pada mata, jantung, paru, dan sindroma kauda ekuina.
Manifestasi di luar tulang yang paling sering adalah uveitis anterior akut, biasanya unilateral, dan
ditemukan 25--30% pada penderita SA dengan gejala nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan
kabur. Manifestasi pada jantung dapat berupa aorta insufisiensi, dilatasi pangkal aorta, jantung
membesar, dan gangguan konduksi. Pada paru dapat terjadi fibrosis, umumnya setelah 20 tahun
menderita SA, dengan lokasi pada bagian atas, biasanya bilateral, dan tampak bercak-bercak
linier pada pemeriksaan radiologis, menyerupai tuberculosis
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pola gejala-gejalanya dan foto rontgen dari tulang belakang
dan sendi yang terkena, dimana bisa dilihat adanya erosi pada persendian antara tulang belakang
dan tulang panggul (sendi sakroiliaka) dan pembentukan jembatan antara tulang belakang, yang
menyebabkan kekakuan pada tulang belakang. Laju endap darah cenderung meningkat. Pada
90% penderita ditemukan gen spesifik HLA-B27.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada uji diagnostik yang spesifik. Terdapat anemia normositik ringan dan laju endap darah
ynag meninggi. Faktor reuma negatif. HLA-B27 pada keadaan tertentu dapat membantu
diagnosis.
2. Pemeriksaan radiologi

Perubahan yang karakteristik terlihat pada sendi


aksial, terutama pada sendi sakroiliaka. Pada bulan-bulanpertama perubahan hanya dapat
dideteksi dengan tomografi komputer. Perubahan yang terjadi bersifat bilateral dan simetris,
dimulai dengan kaburnya gambaran tulang subkondral diikuti erosi. Selanjutnya terjadi
penyempitan celah sendi akibat adanya jembatan interoseus dan osifikasi. Beberapa tahun
kemudian terjadi ankilosis komplit. Pemeriksaan anteroposterior sederhana sudah cukup untuk
mandeteksi sakroilitis yang merupakan awal perubahan. Terlihat pengapuran ligamen-ligamen
spina

anterior

dan

posterior

disertai

demineralisasi

korpus

vertebra

gambaran bamboo spine.

Pengobatan
1. mengurangi/menghilangkan nyeri serta tidak ada pengobatan yang kausatif
2. mencegah progresivitas penyakit
3. fisioterapi berupa latihan tulangbelakang untuk mencegah deformitas
terapi okupasi
Prognosis

membentuk

Prognosis dari SA sangat bervariasi dan susah diprediksi. Secara umum, penderita lebih
cenderung dengan pergerakan yang normal daripada timbulnya restriksi berat. Keterlibatan
ekstraspinal yang progresif merupakan determinan penting dalam menentukan prognosis.
Beberapa survei epidemiologis menunjukkan bahwa apabila penyakitnya ringan, berkurangnya
pergerakan spinal yang ringan, dan berlangsung dalam 10 tahun pertama maka perkembangan
penyakitnya tidak akan memberat. Keterlibatan sendi-sendi perifer yang berat menunjukkan
prognosis buruk. Sebagian besar penderita dengan SA memperlihatkan keluhan serta
perlangsungan yang ringan dan dapat dikontrol sehingga dapat menjalankan tugas dan kehidupan
sosial dengan baik.
Secara umum, wanita lebih ringan dan jarang progresif serta lebih banyak memperlihatkan
keterlibatan sendi-sendi perifer. Sebaliknya,bamboo spine lebih sering terlihat pada pria.
Terdapat dua gambaran yang secara langsung berpengaruh terhadap morbiditas, mortalitas, dan
prognosis. Keduanya dianggap sebagai akibat dari trauma, baik yang tidak disadari maupun
trauma berat. Awalnya, terjadi lesi destruksi pada salah satu diskovertebra, biasa terjadi pada
segmen spinal yang bisa dilokalisir, dan ditandai dengan nyeri akut atau berkurangnya tinggi
badan yang mendadak. Skintigrafi dan tomografi tulang memperlihatkan kelainan, baik elemen
anterior maupun posterior. Imobilisasi yang tepat dan diperpanjang dapat memberikan
penyembuhan pada sebagian besar kasus. Komplikasi kedua yang menyusul trauma berat
maupun yang ringan berupa fraktur yang dapat menyebabkan koropresi komplit atau inkomplit.

b.

William Flexion Exercise


William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang

menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise
telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk
mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam
beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint
(kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa
posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik.
Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan
stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus,
dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower
back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara
group otot postural fleksor & ekstensor.
Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah sebagai
berikut :
a)

Latihan I (pelvic tilting)

Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan
punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian
pertahankan 5 10 detik.
b) Latihan II (single knee to chest)
Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai. Secara
perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 10 detik. Kemudian diulangi untuk
knee kiri dan pertahankan 5 - 10 detik.
c)

Latihan III (double knee to chest)

Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee kanan
ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 10 detik. Dapat
diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu
tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya.
d) Latihan IV (partial sit-up)

Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara
perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian
kembali secara perlahan ke posisi awal
e)

Latihan V (hamstring stretch)

Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk
ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh
mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.
Gambar 2.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise
f)

Latihan VI (hip fleksor stretch)

Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee
dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak).
Ulangi dengan kaki yang lain.
g) Latihan VII (squat)
Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan
pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas
lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee.

You might also like