You are on page 1of 46

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC


OBSTRUCTIVE PULMONARY DISEASE (COPD) DI RUANG SAKURA
RSD Dr. SOEBANDI JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN
disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)
Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB)

oleh
Haidar Dwi Pratiwi, S.Kep
NIM 112311101012

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

A. Review Anatomi FisiologiRespirasi


Pernapasan adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O) yang dibutuhkan
tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru. Fungsi sistem
pernapasan adalah untuk mengambil Oksigen dari atmosfer kedalam sel-sel tubuh
dan untuk mentranspor karbon dioksida yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke
atmosfer (Sloane, 2004). Organ-organ respiratorik juga berfungsi dalam produksi
wicara dan berperan dalam keseimbangan asam basa, pertahanan tubuh melawan
benda asing, dan pengaturan hormonal tekanan darah. Sistem pernapasan pada
manusia mencakup dua hal, yakni saluran pernapasan dan mekanisme pernapasan.
Urutan saluran pernapasan yaitu rongga hidung - faring - laring - trakea - bronkus
- paru-paru (bronkiolus dan alveolus) (Setiadi, 2007).
1) Saluran Pernapasan Bagian Atas
a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago).
Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago
dan jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu
lubang yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum).
Rongga hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring
(filter) kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung
terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan
lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran
pernapasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat
reseptor. Reseptor bau terletak pada cribriform plate, didalamnya terdapat ujung
dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius).
Hidung berfungsi sebagai jalan napas, pengatur udara, pengatur kelembaban
udara (humidifikasi), pengatur suhu, pelindung dan penyaring udara, indra
pencium, dan resonator suara. Fungsi hidung sebagai pelindung dan penyaring
dilakukan oleh vibrissa, lapisan lendir, dan enzim lisozim. Vibrissa adalah rambut
pada vestibulum nasi yang bertugas sebagai penyaring debu dan kotoran (partikel

berukuran besar). Debu-debu kecil dan kotoran (partikel kecil) yang masih dapat
melewati vibrissa akan melekat pada lapisan lendir dan selanjutnya dikeluarkan
oleh refleks bersin. Jika dalam udara masih terdapart bakteri (partikel sangat
kecil), maka enzim lisozim yang menghancurkannya. Dari rongga hidung, udara
selanjutnya akan mengalir ke faring (Somantri, 2007).

Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan bagian atas

b. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala. Sinus
paranasalis terdiri dari sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan
sinus maxilaris. Fungsi sinus yaitu sebagai berikut.
1. membantu menghangatkan dan humidifikasi
2. meringankan berat tulang tengkorak
3. mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.
c. Faring
Faring merupakan pipa berotot yang berbentuk cerobong ( 13 cm) yang
letaknya mulai dari dasar tengkorak sampai persambungan dengan esophagus
pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat

digestion (menelan) seperti pada saat bernafas. Berdasarkan letaknya, faring


dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. dibelakang hidung (nasofaring) berfungsi untuk menjaga tubuh dari invasi
organisme yang masuk ke hidung dan tenggorokan. Nasofaring terdapat pada
superior di area terdapat epitel bersilia (pseudo stratified) dan tonsil
(adenoid), sertamerupakan muara tube eustachius. Adenoid atau faringeal
tonsil berada di langit-langit nasofaring. Tenggorokan dikelilingi oleh tonsil,
adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur tersebut penting sebagai mata
rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh dari invasi organisme yang
masuk ke hidung dan tenggorokan.
2. belakang mulut (orofaring) yang berfungsi untuk menampung udara dari
nasofaring dan makanan dari mulut. Pada orofaring terdapat tonsili palatina
(posterior) dan tonsili lingualis (dasar lidah).
3. belakang faring (laringofaring) yang berfungsi pada saat menelan dan
respirasi.

Laringofaring

merupakan

bagian

terbawah

faring

yang

berhubungan dengan esofagus dan pita suara (vocal cord) yang berada dalam
trakhea. Laringofaring terletak di bagian depan pada laring, sedangkan
trakhea terdapat di belakang.
d. Laring
Laring sering disebut dengan voice box dibentuk oleh
struktur epitelium-lined yang berhubungan dengan faring (di
atas) dan trakhea (di bawah). Laring terletak di anterior tulang
belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari esofagus
berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk
pembentukan suara, sebagai proteksi jalan nafas bawah dari
benda asing, dan untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.
Laring terdiri atas :
1. Epiglotis: katup kartilago yang menutup dan membuka
selama menelan.
2. Glotis: lubang antara pita suara dan laring.

3. Kartilago tiroid: kartilago yang terbesar pada trakhea,


terdapat bagian yang membentuk jakun (Adams apple).
4. Kartilago krikoid: cincin kartilago yang utuh di laring (terletak
di bawah kartilago tiroid).
5. Kartilago aritenoid: digunakan pada pergerakan pita suara
bersama dengan kartilago tiroid.
6. Pita suara: subuah ligamen yang dikontrol oleh pergerakan
otot yang menghasilkan suara dan menempel pada lumen
laring.

Gambar 2. Anatomi laring


2) Saluran Pernapasan Bagian Bawah
Saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas saluran
udara konduktif dan saluran respiratorius terminal.
Saluran Udara Konduktif
a. Trakhea
Trakhea merupakan perpanjangan dari laring pada ketinggian tulang
vetebrae torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang
trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan memiliki

panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C. Pada cincin tersebut


epitel bersilia tegak (pseudostratified ciliated columnar epithelium) yang
mengandung banyak sel goblet yang mensekresikan lendir (mucus).
b. Bronkus dan Bronkhiolus
Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih besar, dan cenderung lebih
vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih
mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada cabang bronkhus sebelah
kiri. Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi dan membentuk seperti
ranting masuk ke paru-paru. Bronkhus disusun oleh jaringan kartilago sedangkan
bronkhiolus, yang berakhir di alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak hanya
kartilago menyebabkan bronkhiolos mampu menagkap udara, namun juga dapat
mengalami kolaps. Agar tidak kolaps, alveoli dilengkapi dengan porus/lubang
kecil yang terletak antaralveoli (kohn pores) yang berfungsi untuk mencegah
kolaps alveoli. Saluran pernafasan mulai trakhea sampai bronkhus terminalis tidak
mengalami pertukaran gas dan merupakan area yang dinamakan Anatomical Dead
Space. Banyaknya udara yang berada dalam area tersebut adalah sebesar 150 ml.
Awal dari proses pertukaran gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.

Gambar 3. Bronkhus dan bronkhiolus

Saluran Respiratorius Terminal


a. Alveoli
Parenkim paru-paru merupakan area yang aktif bekerja dari jaringan paruparu. Parenkim tersebut mengandung jutaan unit alveolus. Alveoli merupakan
kantong udara yang berukuran sangat kecil dan merupakan akhir dari bronkhiolus
respiratorius sehingga memungkinkan pertukaran O2 dan CO2. Seluruh unit dari
alveoli (zona respirasi) terdiri dari bronkhiolus respiratorius, duktus alveolus, dan
alveolar sacs (kantong alveolus). Fungsi utama dari unit alveolus adalah
pertukaran O2 dan CO2 di antara kapiler pulmonar dan alveoli. Diperkirakan
terdapat 24 juta alveoli pada bayi yang baru lahir. Seiring dengan pertambahan
usia, jumlah alveoli pun bertambah dan akan mencapai jumlah yang sama dengan
orang dewasa pada usia 8 tahun, yakni 300 juta alveoli. Setiap unit alveoli
menyuplai 9-11 prepulmonari dan pulmonari kapiler.

Gambar 4. Alveolus
b. Paru-paru
Paru-paru terletak pada rongga dada, berbentuk kerucut yang ujungnya
berada diatas tulang iga pertama dan dasarnya berada pada diafragma. Paru-paru
kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri mempunyai dua lobus.
Kelima lobus tersebut dapat terlihat dengan jelas. Setiap paru-paru terbagi lagi
menjadi beberapa sub-bagian menjadi sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut
bronchopulmonary segments. Paru-paru kanan dan kiri dipisahkan oleh ruang

yang disebut mediastinum. Jantung, aorta, vena cava, pembuluh paru-paru,


esofagus, bagian dari trakhea dan bronkhus, serta kelenjar timus terdapat pada
mediastinum.

Gambar 5. Paru-paru
c. Dada, Diafragma, dan Pleura
Tulang dada (sternum) berfungsi melindungi paru-paru, jantung, dan
pembuluh darah besar. Bagian luar rongga dada terdiri atas 12 pasang tulang iga
(costae). Bagian atas dada pada daerah leher terdapat dua otot tambahan inspirasi
yaitu otot scaleneus dan sternocleidomastoid. Otot scaleneus menaikkan tulang
iga ke-1 dan ke-2 selama inspirasi untuk memperluas rongga dada atas dan
menstabilkan dinding dada, sedangkan otot sternocleidomastoid mengangkat
sternum. Otot parasternal, trapezius, dan pectoralis juga merupakan otot tambahan
inspirasi dan berguna untuk meningkatkan kerja nafas. Di antara tulang iga
terdapat otot interkostal. Otot interkostal eksternus menggerakan tulang iga ke
atas dan ke depan sehingga akan meningkatkan diameter anteroposterior dinding
dada.
Diafragma terletak di bawah rongga dada. Diafragma berbentuk seperti
kubah pada keadaan relaksasi. Pengaturan saraf diafragma (Nervus Phrenicus)

terdapat pada susunan saraf spinal pada tingkat C3 akan menyebabkan gangguan
ventilasi.

Gambar 6. Proses Inspirasi dan Ekspirasi

Pleura merupakan membran serosa yang menyelimuti paru-paru. Pleura ada


dua macam yaitu pleura parietal yang bersinggungan dengan rongga dada (lapisan
luar paru-paru)dan pleura visceral yang menutupi setiap paru-paru (lapisan dalam
paru-paru). Di antara kedua pleura terdapat cairan pleura seperti selaput tipis yang
memungkinkan kedua permukaan tersebut bergesekan satu sama lain selama
respirasi dan mencegah pelekatan dada dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga
pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paruparu. Masuknya udara maupun cairan kedalam rongga pleura akan menyebabkan
paru-paru tertekan dan kolaps.

Gambar 7. Pleura

d. Sirkulasi Pulmoner
Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkhialis dan
arteri pulmonalis. Sirkulasi bronkhial menyediakan darah teroksigenasi dari
sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paruparu. Arteri bronkhialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding
posterior bronkhus. Vena bronkhialis akan mengalirkan darah menuju vena
pulmonalis.Arteri pulmonalis berasal dari ventrikel kanan yang mengalirkan darah
vena ke paru-paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalam pertukaran
gas. Jalinan kapiler paru-paru yang halus mengitari dan menutupi alveolus
merupakan kontak yang diperlukan untuk pertukaran gas antara alveolus dan
darah.

B. Konsep TeoriCOPD
1) Pengertian
Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) atau Chronic obstructive
pulmonary diseases (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif non-reversibel atau
reversibel parsial. PPOK atau Chronic obstructive pulmonary diseases (COPD)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru
yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran
udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Somantri, 2007). PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik
adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003).

Gambar 8. Perbandingan PPOK dan Paru normal

2) Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa tahun 2020
prevalensi PPOK akan meningkat. Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat
tentang kekerapan PPOK. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat
Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2013,
menunjukkan PPOK menempati urutan ke-2 penyumbang angka kesakitan
(morbiditas) (Depkes RI, 2013). Prevalensi terjadinya penyakit ini lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia.
PPOK lebih sering terjadi pada orang yang masih aktif merokok dan bekas
perokok serta meningkat dengan banyak jumlah rokok yang dikonsumsi (GOLD,
2014)
3) Etiologi
Penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
ireversibel. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama
dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama
adalah emfisema, bronkitis kronik, dan faktor resiko lain.
a. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis adalah keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus
trakheobronkhial yang berlebihan, sehingga menimbulkan batuk yang terjadi
paling sedikit selama tiga bulan dalam waktu satu tahun untuk lebih dari dua
tahun secara berturut-turut(Somantri, 2007). Somantri (2007) menjelaskan bahwa
terdapat 3 jenis penyebab bronkhitis yaitu sebagai berikut.
1. Infeksi stafilokokus, streptokokus, pneumokokus,haemophilus influenzae.
2. Alergi
3. Rangsangan lingkungan misalnya asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
b. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh

pelebaran

ruang

udara

di

dalam

paru-paru

disertai

destruksi

jaringan(Somantri, 2007). Etiologi emfisema menurut Somantri (2007) yaitu


sebagai berikut.
1. Genetik yaitu atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imunoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper-responsive bronkus,
riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa-1
anti tripsin.
2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak sehingga timbul emfisema.
3. Rokok menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi, dan
hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran
pernapasan.
4. Infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkhiolitis akut, dan asma
bronkial dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
5. Polusiudara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan
pada silia yang dapat menghambat fungsi makrofag alveolar.
6. Faktor Sosial Ekonomi
7. Usia
c. Faktor resiko lainnya
Faktor resiko lainnya menurut PDPI (2003) yaitu kebiasaan merokok,
riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas
bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi antitripsin alfa1.Merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan

1. Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun
a. Kategori Ringan : 0-200
b. Sedang : 200-600
c. Berat : >600
Sedangkan menurut Mansjoer (2001) Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya
PPOK, yaitu:
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja
4. Riwayat infeksi saluran napas
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi -1 antitripsin
4) Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan
klasifikasi (derajat) PPOK yaitu sebagai berikut (GOLD, 2014).

Gambar 9. Klasifikasi PPOK

Gambar 10. Skala sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Manifestasi klinis PPOK berdasarkan peenyakit menurut Somantri (2007)


yaitu sebagai berikut.
a. Bronkhitis kronik
1. Penampilan umum: cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh
sekunder polisitemia, edema (akibat CHF), dan barrel chest
2. Usia: 45-65 tahun
3. Pengkajian: Batuk persisten, produksi sputum seperti kopi, dispnea
dalam beberapa keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, serta

seringnya infeksi pada sistem respirasi. Gejala biasanya timbul pada


waktu yang lama
4. Jantung: pembesaran jantung, cor pulmonal, dan Hematokrit > 60%
5. Riwayat merokok positif (+)
b. Emfisema
1. Penampilan umum: kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma.
Tidak ada tanda CHF dengan edema dependen pada stadium akhir. Berat
badan biasanya menurun akibat nafsu makan yang menurun
2. Usia 65-75 tahun
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium: nafas pendek persisten dengan
peningkatan dipsnea, infeksi sistem respirasi, auskultasi terdapat
penurunan suara nafas meskipun dengan nafas dalam, wheezing
ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas, produksi sputum dan batuk
jarang
4. Hematokrit <60%
5. Pemeriksaan jantung: tidak terjadi pembesaran jantung, Cor pulmonal
timbul pada stadium akhir
6. Riwayat merokok biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat
merokok

5) Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu pengambilan
oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran karbondioksida dan air
sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi
dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk dan keluarnya udara dari dalam paru.
Difusi adalah peristiwa pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah,
sedangkan perfusi adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan
ventilasi terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter
yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital (KV),
sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap
kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap
rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan
menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan (GOLD, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan
kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak
struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan
kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara
pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2014).

Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan berupa


eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada PPOK predominan
dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi makrofag untuk melepaskan
Neutrophil Chemotactic Factors dan elastase, yang tidak diimbangi dengan
antiprotease, sehingga terjadi kerusakan jaringan. Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi.
Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan napas, edema,
bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus. Kelainan perfusi berhubungan dengan
konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003).
Pada bronchitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitaan saluran
napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas dan
menimbulkan sesak. Pada bronchitis kronik, saluran pernapasan kecil yang
berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok.
Penyempitan ini terjadi karena hipertrofi dan hiperplasi jaringan mucus. Pada
emfisema paru terjadi obstruksi pada pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida
akibat kerusakan dinding aveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara
dalam paru (Bruner & Suddarth, 2002; Mansjoer, 2001).
6) Prognosis dan Komplikasi
Prognosis pada pasien PPOK dapat dinilai dengan BODE Index yang
dikemukakan oleh Celli, et al. pada tahun 2004. BODE Index terdiri atas nilai
FEV1/VEP1, jarak jalan yangdapat ditempuh dalam 6 menit, skala dispnea
(Gambar 9), dan indeks massa tubuh (IMT) untuk menilai angkaharapan hidup
pasien PPOK.
BODE index adalah singkatan dariBody mass index, Obstruction [FEV1],
Dyspnea (modified Medical Research Council dyspnea scale), dan Exercise
capacity. Penghitungannya melalui perhitungan skor 4 faktor berikut ini.
a. Body Mass Index
1) Lebih dari 21 = 0 poin
2) Kurang dari 21 = 1 poin
b. Obstruction ; dilihat dari nilai FEV1

1) >65% = 0 poin
2) 50-64% = 1 poin
3) 36-49% = 2 poin
4) <35% = 3 poin
c. Dyspnea scale [MMRC]
1) MMRC 0= Sesak dalam latihan berat = 0 poin
2) MMRC 1 = Sesak dalam berjalan sedikit menanjak = 0 poin
3) MMRC 2 = sesak ketika berjalan dan harus berhenti karena kehabisan
napas = 1 poin
4) MMRC 3 = sesak ketika berjalan 100 m atau beberapa menit = 2 poin
5) MMRC 4 = tidak bisa keluar rumah; sesak napas terus menerus dalam
pekerjaan sehari-hari = 3 poin
d. Exercise dihitung dari jarak tempuh pasien dalam berjalan selama 6 menit
1) > 350 meter = 0 poin
2) 250 349 meter = 1 poin
3) 150-249 meter = 2 poin
4) < 149 meter = 3 poin
Berdasarkan skor diatas, angka harapan hidup dalam 4 tahun pasien dapat
diketahui dengan menjumlahkan semua poin yang didapat.
a. 0-2 points = 80%
b. 3-4 points = 67%
c. 5-6 points = 57%
d. 7-10 points = 18%
Komplikasi yang dapat muncul pada pasien PPOK yaitu sebagai berikut.
a. Insufisiensi pernapasan
Pasien PPOK dapat mengalami gagal napas kronis secara bertahap ketika
struktur paru mengalami kerusakan secara ireversibel. Gagal nafas terjadi
apabila

penurunan

oksigen

terhadap

karbondioksida

dalam

paru

menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan oksigen. Hal ini

akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri <50 mmHg (hipoksia) dan


peningkatan tekanan karbondioksida <45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer &
Bare, 2008).
b. Atelektasis
Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama terjadinya kolap
pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar. Sumbatan akan
mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara dari bronkus. Udara
alveolar yang terperangkap menjadi terserap kedalam pembuluh darah tetapi
udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap karena obstruksi.
Akibatnya paru menjadi terisolasi karena kekurangan udara danukurannya
menyusut dan bagian sisa paru lainnya berkembangsecara berlebihan
(Smelzer & Bare, 2008).
c. Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang disebabkan oleh
agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni karena flora normal
terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini menyebabkan tubuh
menjadi rentan terhadap infeksi termasuk diantaranya pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid dan agen imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare,
2008).
d. Pneumothoraks
Pneumotorak spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari PPOK
karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumototak tertutup.
Pneumotorak terjadi apabila adanya hubungan antara bronkus dan alveolus
dengan rongga pleura, sehingga udara masuk kedalam rongga pleura melalui
kerusakan yang ada (Price & Wilson, 2006)
e. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan muncul pada
kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah kecil paru. Keadaan ini akan menyebabkan perubahan struktural yang
meliputi hiperplasia intimal dan hipertrophi atau hiperplasia otot halus. Pada
pembuluh darah saluran udara yang sama akan mengalami respon inflamasi

dan sel endotel mengalami disfungsi. Hilangnya pembuluh darah kapiler


paru pada emfisema memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan
sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal yang progresif akan menyebabkan
hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menyebabkan gagal jantung kanan
(cor pulmonale) (GOLD, 2014)

7) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien PPOK menurut
Mansjoer et al.(2000) adalah sebagai berikut.
a. Pemeriksaan radiologis
Pada bronkhitis kronik yang perlu diperhatikan yaitu
1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah.

Gambar 11. Bronkhitis kronik

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:


1

Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia


dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer.

Corakan paru yang bertambah.

Gambar 12. Bula pada kasus emfisema parah

b. Pemeriksaan faal paru


Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan
VEP1, KV, dan KAEM (Kecepatan Arum Ekspirasi Maksimal) atau MEFR
(Maximal Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP
bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut,
sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small
airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
c. Analisis gas darah
Pada bronkhitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis,
terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia
yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan
polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun, polisitemia menyebabkan
jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab
payah jantung kanan.
d. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clockwise jantung. Bila sudah
terdapat kor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada
hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio R/S lebih dari 1
dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
e. Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi
f. Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih
8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat
kembali normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari
perburukan penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4
kelompok, sebagai berikut.

a. Penatalaksanaan umum
Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien dan keluarga,
menghentikan

merokok

dan

zat-zat

inhalasi

yang

bersifat

iritasi,

menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan,


mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien
yang punya riwayat alergi.Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada
pasien dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang
bersifat iritasi, menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan
cairan, mengkonsumsi diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi
pasien yang punya riwayat alergi.
b. Pemberian obat-obatan
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif.
Obat-obat golonganbronkodilator adalah obat-obat utama untuk
manajemen PPOK. Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai
terutama jenis long acting karena lebih efektif dan nyaman, pilihan
obat diantarnya adalah golongan 2 Agonis, Antikolinergik, Teofilin
atau kombinasi. (GOLD, 2014).
2. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai efek
bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan golongan
simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien yang telah
mendapatkan golongan simpatomimetik akan mendapatkan efek
bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010)
3. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase

yang

menginaktifkan

siklik

AMP.

Pemberian

kombinasi xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis


sehinga efek optimal dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih
rendah dan efek samping juga berkurang. Golongan ini tidak hanya

bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek yang kuat untuk


meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan terhadap
kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).
4. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi PPOK,
dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru
dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu glukokortikosteroid juga
dapat mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan
pengobatan dan memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2014)
5. Obat-obatan lainnya
Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang
parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50%. Vaksin
mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan
kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun
sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk pasien
PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2014).
Alpha 1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK dengan
usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin
sangat berat. Terapi ini sangat mahal dan belum tersedia disetiap
negara (GOLD, 2014).
Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya
berasal dari Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza dan
Moraxella catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian antibiotika
adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut, yang
ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan
leukositosis (GOLD, 2014; Sharma, 2010)

Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat
glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2014)
Agen antioksidan
Agen antioksidan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD,
2014)
Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi
(GOLD, 2014)
Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang
merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai
mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan antitusif
secara rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil (GOLD,
2014)
Vasodilator
Berbagai upayaa pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan
curah jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan.
Hipoksemia

pada

PPOK

terutama

disebabkan

oleh

ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena


peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru
nonkardiogenik)

dimana

pemberian

oksida

nitrat

dapat

memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi. Sehingga oksida


nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil (GOLD, 2014)
Narkotin (Morfin)

Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi


dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut.Nikotin juga
diberikan sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan
sindrom paska merokok (GOLD, 2014; Sharma, 2010)
c. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian terapi
oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru. Terapi
oksigen jangka panjang dapat meningkatkan kelangsungan hidup 2 kali lipat
pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia didefinisikan sebagai PaO 2< 55
mmHg atau saturasi oksigen <90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit
kepala merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Terapi oksigen
dengan konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus dapat
memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja, dan
pola tidur. Terapi oksigen bertujuan memperbaiki kandungan oksigen arteri
dan memperbanyak aliran oksigen ke jantung, otak serta organ vital lainnya,
memperbaiki vasokonstriksi pulmonal, dan menurunkan tekanan vaskular
pulmonal (Shama, 2010).
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi pulmonal melibatkan berbagai multidisiplin keilmuan termasuk
diantaranya dokter, perawat, fisioterapis pernapasan, fisioterapi secara
umum, okupasional terapi, psikolog, dan pekerja soisal. Sharma (2010)
menjelaskan program rehabilitasi paru secara komprehensif adalah meliputi
sebagai berikut.
1. Exercise training dan respiratory muscle training
Latihan otot ekstremitas maupun latihan otot pernapasan merupakan
latihan dasar dari proses rehabilitasi paru. Latihan ditargetkan
mencapai 60% dari beban maksimal selama 20-30 menit diulang 2-5
kali seminggu. Latihan mengacu pada otot-otot tertentu yang terlibat
dalam aktifitas kesehariannya, terutama otot lengan dan otot kaki
(Sharma, 2010).

2. Pendidikan kesehatan
a.Konservasi energi dan penyederhanaan kerja
Prinsip ini membantu pasien PPOK untuk mempertahankan
aktifitas sehari-hari dan pekerjaannya. Metode kegiatannya
meliputi latihan pernapasan, optimalisasi mekanika tubuh, prioritas
kegiatan dan penggunaan alat bantu (Sharma, 2010).
b.

Obat dan terapi lainnya


Pendidikan kesehatan tentang obat-obatan termasuk didalamnya
jenis, dosis, cara penggunaan, efek samping merupakan hal penting
untuk diketahui oleh pasien PPOK (Sharma, 2010).

c.Pendidikan kesehatan mempersiapkan akhir kehidupan


Risiko kegagalan pernapasankarena ventilasi mekanik yang
memburuk pada PPOK mengakibatkan penyakit ini bersifat
progresif. Pendidikan kesehatan tentang bagaimana melakukan
perawatan diri yang tepat dalam mempertahankan kehidupan perlu
dilakukan kepada pasien PPOK (Sharma, 2010).
3. Penatalaksanaan fisik
a. Fisioterapi dada dan teknik pernapasan Ada 2 teknik utama
pernapasanyang dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut.
Pursed lip breathing
Pasien menghirup nafas melalui hidung sambil menghitung
sampai 3 (waktu yang dibutuhkan untuk mengatakan smell a
rose). Hembuskan dengan lambat dan rata melalui bibir yang
dirapatkan
(merapatkan

sambil
bibir

mengencangkan
meningkatkan

otot-otot
tekanan

abdomen
intratrakeal,

menghembuskan udara melalui mulut memberikan tahanan


lebih sedikit pada udara yang dihembuskan). Hitung hingga 7
sambil memperpanjang ekspirasi melalui bibir yang dirapatkan
yang dibutuhkan untuk menagatakan blow out the candle.
Sambil duduk dikursi lipat tangan diatas abdomen, hirup nafas
melalui hidung sambil menghitung hingg 3, membungkuk

kedepan dan hembuskan dengan lambat melalui bibir yang


dirapatkan sambil menghitung hingga 7. Pernapasan bibir akan
memperpanjang ekshalasi dan meningkatkan tekanan jalan
nafas selama ekspirasi sehingga mengurangi jumlah udara
yang terjebak dan jumlah tahanan jalan nafas (Black, 2005)

Gambar 13. Pursed lip breathing

Diaphragmatic breathing
Pasien diminta meletakkan satu tangan diatas abdomen (tepat
dibawah iga) dan tangan lainnya ditengah-tengah dada untuk
meningkatkan kesadaran diafragma dan fungsinya dalam
pernapasan. Nafaslah dengan lambat dan dalam melalui
hidung,

biarkan

abdomen

menonjol

sebesar

mungkin.

Hembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan sambil


mengencangkan (mengkonstraksi) otot-otot abdomen. Tekan
dengan kuat kearah dalam dan kearah atas pada abdomen
sambil menghembuskan nafas. Ulangi selama 1 menit, ikuti
dengan periode istirahat selama 2 menit. Lakukan selama 5
menit, beberapa kali sehari (sebelum makan dan waktu tidur).
Pernapasandiafragma dapat menguatkan diafrgama selama
pernapasansehingga meningkatkan asupan oksigen (Black &
Jacob, 2005)

Gambar 14. Diaphragmatic breathing


b. Nutrisi
Penurunan berat badan pada pasien dengan penyakit pernapasan
kronis menunjukkan prognosis yang buruk. Pasien PPOK yang
dirawat di rumah sakit sebanyak 50% dilaporkan kekurangan gizi
kalori dan protein. Ketidakseimbangan energi dan penurunan berat
badan progresif terjadi karena asupan makanan yang tidak
memadai, pengeluaran energi yang meningkat, dan kegagalan
respon adaptif gizi. Pemeliharaan status gizi yang memadai sangat
penting bagi pasien PPOK untuk menjaga berat badan dan massa
jaringan otot (Sharma, 2010). Diet cukup protein 1,2-1,5 gr/BB,
karbohidrat 40- 55% dari total kalori, lemak mudah dicerna 3040%, cukup vitamin dan mineral untuk memenuhi asupan nutrisi
(Taatuji, 2004)
4. Penatalaksanaan psikososial
Kecemasan, depresi dan ketidakmampuan dalam mengatasi penyakit
kronis memberikan kontribusi terjadinya kecacatan. Intervensi
psikososial dapat diberikan melalui pendidikan kesehatan secara
individu, dukungan keluarga ataupun dukungan kelompok sosial yang
berfokus pada masalah pasien. Relaksasi otot progresif, pengurangan
stres, dan pengendalian panik dapat menurunkan dipsneaserta
kecemasan (Sharma, 2010).

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

C. Clinical Pathway

Induksi aktivasi makrofag dan leukosit ke paru

D. Asuhan Keperawatan
1) Pengkajian
a.
Demografi
Penurunan nafsu makan
PPOK banyak terjadi pada usia pertengahan dan sering terjadi pada
jenis kelamin laki-laki. Pekerjaan yang beresiko terkena PPOK yaitu
penambang batu bara, petani, pekerja pabrik.
b. Riwayat penyakit sekarang dan keluhan utama
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien
PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu
kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan
Respon inflamasi

produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian


berubah menjadi banyak dan purulen. Pasien juga mengeluhkan sesak
yang berlangsung lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari,
dan tidak pernah hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya

Kerusaka

obstruksi jalan nafas yang menetap. Keluhan sesak inilah yang


Kolaps saluran nap
Kelamahan, keletihan

biasanya membawa penderita PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak


Intoleran aktivitas
dirasakan memberat saat melakukan aktivitas dan pada saat mengalami

eksaserbasi akut.
c. Riwayat penyakit dahulu

Emfi

Obstruksi jalan napas


obstruksi pada pertukaran

Kemungkinan pernah menderita penyakit bronkitis kronis, emfisema,

Ketidakefektifan ber

atau asma.Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa


gejala pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja. TerdapatPenurunan
faktor predisposisi
masa
bayi/anak,
Gangguan
pertukaran
gas misalnya berat
perfusipada
O2
ke
jaringan
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara.
d. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem

(B1-B6) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari


pasien (Muttaqin, 2009).
B1 (Breathing) Pernapasan

Inspeksi
Terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan serta
penggunaan otot bantu napas. Bentuk dada barrelchest (akibat
udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan
dengan bibir dirapatkan. Pernafasan abnormal tidak efektif dan
penggunaan otot-otot bantu nafas (sternokleidomastoideus). Pada
tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas
kehidupan sehari-hari seprti makan dan mandi. Pengkajian batuk
produktif dengan sputum purulen diserti demam mengindikasikan
adanya tanda pertama infeksi pernafasan.

Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil biasanya menurun.

Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menurun.

Auskultasi
Sering didapatakan adanya bunyi nafas ronkhi dan wheezing
sesuai tingkat beratnya obstruksi pada bronkiolus. Pada pengkajian
lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan
kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap
lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekali pun
seperti seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu,
mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersonial). Paru
yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi
dan bronkiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yang
dihasilkannya. Pasien rentan terhadap reaksi imflamasi dan infeksi
akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi terjadi, pasien
mengalami wheezing yang berkepanjangan saat ekspirasi.

B2 (Blood) Kardiovaskuler
Sering didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum. Denyut nadi
takikardi. Tekanan darah biasanya normal. Batas jantung tidak
mengalami pergeseran. Vena jugularis mungkin mengalami distensi
selama ekspirasi. Kepala dan wajah jarang terlihat adanya sianosis.
B3 (Brain) Persyarafan
Kesadaran biasanya compos mentis apabila tidak ada komplikasi
penyakit yang serius.
B4 (Bladder) Perkemihan
Produksi urin biasanya dalam batas normal dan tidak ada keluhan pada
sistem perkemihan, namun perawat perlu memonitori adanya oliguria
yang merupakan salah satu tanda awal dari syok.
B5 (Bowel) Pencernaan
Pasien biasanya mual dan nyeri lambung yang menyebabkan tidak
nafsu makan, kadang disertai penurunan berat badan.
B6 (Bone) Muskuloskeletal
Karena penggunaan otot bantu nafas yang lama,pasien akan terlihat
kelelahan, sering didapatkan intoleransi aktivitas dan gangguan
pemenuhan ADL (Activity Daily Living)
e. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang

Pemeriksaan radiologis
Tubular shadows atau farm lines (bronkhitis kronis), gambaran
defisiensi arteri, terjadi over inflasi, pulmonary oligoemia dan
bula (emfisema panlobular dan pink puffer), corakan paru yang

bertambah.
Pemeriksaan faal paru
VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang
normal (bronkhitis kronik). Penurunan VEP1, KV, dan KAEM
(Kecepatan Arum Ekspirasi Maksimal) atau MEFR (Maximal
Expiratory Flow Rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP

bertambah atau normal (emfisema paru)


Analisis gas darah

Pada bronkhitis kronis, PaCO2 naik, saturasi hemoglobin


menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru

dan penambahan eritropoesis


Pemeriksaan EKG
Rotasi clockwise jantung, deviasi aksis kekanan dan P pulmonal
pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah pada V1 rasio

R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.


Kultur sputum untuk mengetahui petogen penyebab infeksi

Laboratorium darah lengkap: hitung sel darah putih

2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat sesuai dengan pathway adalah
sebagai berikut (NANDA, 2013).
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan napas pendek, mukus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan
anoreksia, mual muntah.
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upayapernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

3) Rencana Tindakan Keperawatan


N
o
1

Diagnosa
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas
berhubungan dengan
bronkokontriksi,
peningkatan produksi
sputum, batuk tidak
efektif,
kelelahan/berkurangny
a tenaga dan infeksi
bronkopulmonal

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)
NOC :
a. Respiratory status :
Ventilation
b. Respiratory status : Airway
patency
c. Aspiration Control

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan ....x 24jam jalan
napas kembali bersih dengan
kriteria hasil:
a) Mendemonstrasikan batuk
efektif dan suara nafas
yang bersih, tidak ada
sianosis dan dispneu
(mampu mengeluarkan
sputum, mampu bernafas
dengan mudah, tidak ada
pursed lips)
b) Menunjukkan jalan napas
yang paten (pasien tidak
merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara

Intervensi (NIC)
1
2
3
4

Beri pasien 6 sampai 8 gelas 1


cairan/hari kecuali terdapat
kor pulmonal
2
Ajarkan dan berikan dorongan
penggunaan teknik pernapasan3
diafragmatik dan batuk.
4
Bantu dalam pemberian
5
tindakan nebulizer, inhaler
dosis terukur
Lakukan drainage postural
dengan perkusi dan vibrasi 6
pada pagi hari dan malam hari
sesuai yang diharuskan
7
Instruksikan pasien untuk
8
menghindari iritan seperti
asap rokok, aerosol, suhu yang
ekstrim, dan asap.
Ajarkan tentang tanda-tanda
dini infeksi yang harus
dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan
sputum, perubahan warna
sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek,

Rasional
Air dapat membantu
mengencerkan dahak
Untuk mempermudah
mengeluarkan sekret
Membantu melebarkan bronkus
Membantu mengeluarkan dahak
Mencegah kekambuhan
khususnya yang disebabkan
oleh asma dan dapat
memperparah kondisi
Mencegah infeksi dan
komplikasi lebih lanjut
Membunuh kuman penyebab
Meningkatkan kekebalan tubuh

N
o

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)
nafas abnormal)
c) Mampu
mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang
dapat menghambat jalan
nafas

NOC
Ketidakefektifan pola
a. Respiratory status :
napas berhubungan
Ventilation
dengan napas pendek,
b.
Respiratory status : Airway
mukus, bronkokontriksi
patency
dan iritan jalan napas
c. Vital sign Status

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan ....x 24jam pola
napas kembali efektif dengan
kriteria hasil:
a) RR normal (16-20x/menit)
b) Pergerakan dada normal
c) Penggunaan otot-otot
bantu pernapasan
berkurang

Intervensi (NIC)
7
8

Rasional

rasa sesak didada, keletihan


Kolaborasi pemberian
antibiotik
Berikan dorongan pada pasien
untuk melakukan imunisasi
terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.

Manajemen jalan napas


1) Atur posisi pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
2) Anjurkan bernafas yang pelan
dan dalam
3) Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan atau ketiadaan
ventilasi dan adanya suara
nafas tambahan
4) Monitor respirasi dan
oksigenasi
5) Kolaborasi pemberian
oksigen yang sudah
terhumidifikasi

1)

2)
3)

4)

5)

Memudahkan ekspansi paru


dan menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh
yang menyumbat jalan
napas
Membantu keefektifan
pernafasan pasien
Perubahan dapat
menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau
menandakan lokasi/
luasnya keterlibatan otak
Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
akan terapi
Memaksimalkan oksigen

N
o

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)

Intervensi (NIC)

Rasional
pada darah arteri dan
membantu dalam
pencegahan hipoksia

Gangguan pertukaran
gas berhubungan
dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi

Intoleran aktivitas
berhubungan dengan
ketidakseimbangan

NOC

1. Deteksi bronkospasme saat


auskultasi
2. Pantau adaya dispnea dan
hipoksia.
Setelah dilakukan tindakan
3. Berikan terapi aerosol
keperawatan selama .......x24
sebelum waktu makan, untuk
jam diharapkan pertukaran gas
membantu mengencerkan
tidak mengalami gangguan
sekresi sehingga ventilasi
dengan kriteria hasil:
paru mengalami perbaikan.
a) Frekuensi nafas normal
4. Pantau pemberian oksigen
(16-24x/menit)
5. Kolaborasi pemberian obatb) Itmia
obatan bronkodialtor dan
c) Tidak terdapat disritmia
kortikosteroid dengan tepat
d) Melaporkan penurunan
dan waspada kemungkinan
dispnea
efek sampingnya.
e) Menunjukkan perbaikan
dalam laju aliran
ekspirasi

1. Mengetahui status fungsi


jalan pernafasan pasien
2. Memonitor kondisi
fisiologis pasien
3. Aerosol dapat
mengencerkan dahak
4. Pemberian oksigen yang
adekuat dapat mengatasi
sesak pasien
5. Melebarkan bronkus agar
pasien tidak mengalami
sesak napas

NOC

1. Mengetahui kondisi fisik


pasien
2. Mengetahui kemampuan

Respiratory Status: Gas


Exchange

a. Energy conservation
b. Self Care : ADLs

1. Kaji respon pasien terhadap


aktivitas (nadi, tekanan darah,
pernapasan)

N
o

Diagnosa
antara suplai dengan
kebutuhan oksigen

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama .......x24
jam diharapkan pasien
kembali toleran terhadap
aktivitas dengan kriteria hasil:
a) Berpartisipasi dalam
aktivitas fisik tanpa
disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan
RR
b) Mampu melakukan
aktivitas sehari hari
(ADLs) secara mandiri

Intervensi (NIC)

Rasional

2. Ukur tanda-tanda vital segera


setelah aktivitas, istirahatkan
klien selama 3 menit
kemudian ukur lagi tandatanda vital.
3. Dukung pasien dalam
menegakkan latihan teratur
dengan menggunakan
treadmill dan exercycle,
berjalan atau latihan lainnya
yang sesuai, seperti berjalan
perlahan.
4. Kaji tingkat fungsi pasien
yang terakhir dan
kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status
fungsi dasar.
5. Kolaborasi pemberian
oksigen.
6. Tingkatkan aktivitas secara
bertahap; pasien tirah baring
lama mulai melakukan
rentang gerak sedikitnya 2
kali sehari.
7. Tingkatkan toleransi terhadap
aktivitas dengan mendorong

fisik pasien
3. Meningkatkan kemampuan
pasien secara bertahap
4. Mengetahui latihan yang
sesuai dengan kondisi pasien
5. Mencegah hipoksia
6. Membantu pasien untuk
beradaptasi
7. Membantu pasien agar tidak
kelelahan
8. Memaksimalkan dengan
kondisi yang dimiliki pasien
agar pasien dapat mampu
untuk beradaptasi

N
o

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)

Intervensi (NIC)

Rasional

pasien beraktivitas lebih


lambat, atau waktu yang lebih
singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan
banyak bantuan.
8. Secara bertahap tingkatkan
toleransi latihan.

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan dengan
nausea, vomiting akibat
peningkatan asam
lambung

NOC :
Nutritional Status : food and
Fluid Intake

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama .......x24
jam diharapkan pasien
mempertahankan status nutrisi
adekuat dengan kriteria hasil:
a) Adanya peningkatan berat
badan
b) Berat badan ideal sesuai
dengan tinggi badan
c) Mampu mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
d) Tidak ada tanda-tanda

Manajemen nutrisi
1. Kaji status nutrisi pasien
2. Ukur masukan diet harian
dengan jumlah kalori
3. Bantu dan dorong pasien
untuk makan, jelaskan alasan
tipe diet. Beri makan pasien
bila pasien mudah lelah atau
biarkan orang terdekat
membantu pasien.
Pertimbangkan pemilihan
makanan yang disukai.
4. Berikan makanan sedikit tapi
sering
5. Timbang BB tiap hari.
6. Lakukan perawatan mulut,

1. Mengetahui status nutrisi


pasien
2. Memberikan informasi
tentang kebutuhan
pemasukan/defisiensi
3. Diet yang tepat penting
untuk penyembuhan.
4. Membantu meningkatkan
nafsu makan pasien
5. Membantu pasien untuk
mendapatkan BB
ideal/normal.
6. Kebersihan dan kesegaran
mulut dapat meningkatkan
nafsu makan pasien.

N
o

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria


Hasil(NOC)
malnutrisi
e) Menunjukkan peningkatan
fungsi pengecapan dari
menelan
f) Tidak terjadi penurunan
berat badan yang berarti

Intervensi (NIC)
berikan penyegar mulut.

Rasional

Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah pasien
diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan. Evaluasi
keperawatan ditulis dengan format SOAP dimana:
S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi
Discharge Planning
1. Menghindari iritasi. Memakai alat pelindung atau masker jika tempat kerja
klien terkena paparan debu atau bahan kimia yang mengganggu klien.
Menetaplah di dalam ruangan jika kualitas udara di luar buruk.
2. Mencegah infeksi pernafasan. Hindari kerumunan banyak orang terutama
ketika musim influenza dan hindari orang yang terinfeksi saluran nafas atas.
3. Mencari pengobatan jika gejala penyakit tersebut muncul kembali atau keadaan
klien semakin memburuk.
4. Latihan. Klien dapat melakukan latihan nafas dalam dan olahraga-olahraga
sederhana. Olahraga dapat membantu mengurangi masalah pernapasan dan
meningkatkan kesehatan klien.
5. Menganjurkan klien untuk meningkatkan tidur. Menganjurkan klien untuk
latihan relaksasi sebelum tidur untuk meningkatkan kenyamanan tidur klien.
6. Posisi tidur khusus. Klien dapat tidur dengan posisi semi fowler jika
mengalami kesulitan bernafas ketika berbaring. Gunakan busa atau bantal
untuk meninggikan kepala pada saat tidur. Posisi tersebut dapat membantu
memperlancar proses pernafasan.

7. Meningkatkan toleransi aktivitas. Mendorong klien untuk meningkatkan


aktivitas secara bertahap.
8. Hubungi penyedia layanan kesehatan utama, jika :
b. mengalami demam.
c. kesulitan melakukan aktivitas yang biasa karena sulit untuk bernapas.
d. batuk dahak lebih dari yang normal bagi klien.
e. kaki atau pergelangan kaki bengkak.

DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M., & Hawk,J.H. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management
For Continuity of Care. St. Louis: Elsevier
Bulechek, Gloria, Howard K, Joanne M., Cheryl M. 2012. Nursing Interventions
Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier Mosby
Chojnowski, D. 2003. GOLD Standards for Acute Exacerbation in COPD: The
Nurse Practitioner. EBSCO Publishing
Depkes
RI.
2013.
Riset
Kesehatan
Dasar.
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf [14 Mei 2016]
GOLD. 2014. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease.
https://fysio.dk/globalassets/documents/fafo/.../gold_report_2014_jan23.pdf
[14 Mei 2016]
Moorhead, Sue,et al. 2012. Nursing Ooutcomes Classification (NOC):
Measurement of Health Outcomes Fifth Edition. Elsivier Mosby.
NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC.
PDPI.
2003.
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronik
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf
2016]

(PPOK).
[14 Mei

Price, S.A & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.
Buku 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
Setiadi, 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta:Graha Ilmu
Sharma,
et
al.
2010.
Pulmonary
Rehabilitation.
http://emedicine.medscape.com/article/319885-overview [14 Mei 2016]
Sherwood, L. 2001. Sistem Pernapasan: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
Edisi 2. Jakarta: EGC
Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC
Smeltzer, S., & Bare. 2008. Brunner & Suddarths Textbook of Medical Surgical
Nursing. Philadelphia: Lippincott
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan Pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

Taatuji, E. 2004. Managemen PPOK Ditinjau Dari Aspek Dietetik. RS


Persahabatan Jakarta

You might also like