Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Sindrom Koroner Akut
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah kumpulan gejala dan tanda iskemia
miokard yang terdiri dari angina tak stabil, infark miokard tanpa elevasi ST dan infark
miokard dengan elevasi ST. Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat
jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak enak didada atau gejala lain sebagai akibat
iskemia miokardium (Trianohadi, 2007)
B. Angina Pektoris Tidak Stabil
Angina jika diartikan adalah perasaan seperti tercekik, yang termasuk angina
pectoris tidak stabil antara lain (Yeghiazarians et al, 2000):
1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina tersebut
cukup berat dan frekuensi nya cukup sering lebih dari 3 kali sehari,
2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil lalu
serangan angina timbul lebih sering dan lebih berat sakit dadanya sedangkan faktor
presipitasinya lebih ringan.
3. Pasien dengan serangan angina pada waktu istirahat.
Klasifikasi angina pectoris tidak stabil menurut Braunwald 1989 berdasarkan
beratnya serangan angina dan keadaan klinik.
Beratnya angina :
1. Kelas I angina yang berat untuk pertama kali atau semakin bertambahnya nyeri
dada.
2. Kelas II angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan tapi ada
serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.
3. Kelas III angina pada waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau
berulang dalam waktu 48 jam terakhir.
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan antara angina pectoris tidak stabil dengan infark miokard
2
tanpa elevasi segmen ST adalah adanya penada jantung pada pemeriksaan. Diagnosis
angina pectoris tidak stabil bila pasien memiliki keluhan iskemia tanpa disertai
kenaikan penanda jantung seperti troponin dan CK-MB, dengan atau tanpa disertai
perubahan EKG untuk iskemia seperti depresi segmen ST atau elevasi yang sebentar
atau adanya gelombang T negative
a. Patogenesis
1) Ruptur Plak
Rupture plak dianggap sebagai penyebab terpenting dari angina pectoris
tidak stabil, yang dapat menyebabkan oklusi total atau subtotal secara tiba-tiba
dari pembuluh koroner. Plak aterosklerotik terdiri dari inti dan jaringan fibrotic
(fibrotic cap). Plak yang tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung
lemak dan infiltrasi sel makrofage. Dinding plak yang lemah mudah sekali
rupture oleh enzim protease yang dihasilkan oleh makrofage, sehingga dapat
menyebabkan aktivasi dan agregasi dari trombosit yang dapat menyebakan
terbentuknya thrombus. Jika thrombus menutup 100% lumen arteri maka akan
terjadi infark miokard, bila tidak menutup 100% maka dapat menyebabkan
terjadinya angina pectoris tak stabil (Hamm et al, 2000).
b. Gambaran Klinis
Keluhan pasien antara lain adalah keluhan angina untuk pertama kali atau
angina yang semakin memberat dari biasa. Angina biasa dirasakan saat beraktivitas
5
Gambar 2.3 Proses penyempitan lumen arteri
atau pada saat istirahat. Nyeri dada ini biasanya dirasakan beserta keluhan sesak
nafas, mual sampai muntah, keringat dingin (Crawfors et al, 2009).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG digunakan untuk diagnosis dan stratifikasi risiko
pasien dengan angina tidak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukkan kemungkinan iskemia akut. Gelombang T terbalik juga
merupakan tanda adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang T dan
ST tidak spesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0,5 mm dan
gelombang T terbalik kurang dari 2 mm tidak spesifik untuk iskemia. 4%
pasien dengan angina tidak stabil memiliki gambaran EKG yang normal dan 16% pasien NSTEMI memiliki gambaran EKG yang normal (Bertrand, 2002).
2) Exercise Test
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan memiliki
resiko tinggi perlu dilakukan pemeriksaan exercise test dengan menggunakan
treadmill, bila hasilnya negative maka prognosisnya baik tetapi bila hasilnya
positif atau depresi segmen ST menjadi lebih dalam maka dianjurkan
melakukan pemeriksaan angiografi koroner untuk menilai apakah perlu
dilakukan tindakan revaskularisasi koroner (Alwi, 2007).
3) Pemeriksaan Laboratorium
Penanda jantung yang digunakan yang paling penting untuk diagnosis
sindrom koroner akut adalah cTn T dan I serta CKMB. Menurut European
Society of Cardiology (ESC) dan American College of Cardiology (ACC)
dianggap terdapat mionekrosis bila cTn T dan I positif dalam 24 jam. cTn
tetap positif dalam 2 minggu (Nawawi et al, 2006).
CKMB kurang spesifik untuk diagnosis karena ditemukan juga pada otot
skelet, tapi berguna untuk diagnosis iskemia akut dan akan meningkat dalam
beberapa jam, kembali normal dalam 48 jam (Nawawi et al, 2006).
Spektrum acute coronary syndrome
Dx
UA
NSTEMI
STEMI
Trombosis
subtotal
Total
koroner
Riwayat
Angina dengan onset Angina saat istirahat
yang baru, crescendo, >30 menit
atau
saat
istirahat,
biasanya <30 menit
ECG
ST depresi dan atau
ST Elevasi
inversi gelombang T
Troponin/CKMB
(-)
(+)
(+)(+)
d. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksaan pertama adalah tirah baring, diberi penenang dan oksigen.
Pemberian morfin di indikasikan bila pasien masih merasakan nyeri dada setelah
diberikan nitrogliserin (Crawfors et al, 2009).
e. Terapi Medikamentosa
oral. Kontra indikasi jika pasien hipotensi atau penggunaan sildenafil atau
sekelasnya dalam 24 jam (Kristen et al, 2009).
b) Beta blocker
Pemberian beta blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokard
melalui penurunan denyut jantung dan daya kontraktilitas miokard. Semua
pasien dengan angina tak stabil diberi dengan beta blocker kecuali terdapat
kontra indikasi yaitu pasien dengan asthma dan bradiaritmia (Crawfors et
al, 2009).
Target pemberian beta blocker adalah frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Pada nyeri dada persisten dan rekuren dengan pemberian beta
blocker dan nitrat diberikan antagonis kalsium dan morfin dengan dosis 1-5
mg dapat diberikan tiap 5-30 menit hingga dosis 20 mg (Crawfors et al,
2009).
c) Antagonis kalsium
Terdiri dari 2 golongan : dihidropiridin dan nondihidropiridin. Kedua
golongan ini memberikan efek vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Pemakaian antagonis kalsium bila pasien memiliki
kontraindikasi terhadap beta blocker (Crawfors et al, 2009).
a. Tiklopidin
Merupakan derivate tienopiridin sebagai obat lini kedua pada pasien
angina tak stabil yang tak tahan dengan aspirin. Tiklopidin memiliki efek
samping granulositopenia pada 2,4% pasien (Crawfors et al, 2009).
b. Klopidogrel
Merupakan derivate tienopiridin yang memberikan efek antiagregasi
trombosit. Efek samping lebih kecil dibanding tiklopidin sehingga
tiklopidin mulai digantikan dengan klopidogrel. Pemberian klopidogrel
diindikasikan pada pasien yang tidak tahan terhadap aspirin. Dalam
pedoman ACC/AHA pemberian klopidogrel dianjurkan bersamaan
bersama aspirin paling sedikit 1 sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel
dimulai dari 300 mg/hari dilanjutkan dosis 75 mg/hari (Crawfors et al,
2009).
c) GP IIb/IIIa inhibitors
Fibrinogen akan berikatan dengan reseptor GP IIb/IIIa untuk
membentuk ikatan antara trombosit dan fibrinogen. Dengan GP IIb/IIIa
inhibitor maka tidak akan terbentuk ikatan antara trombosit dan fibrinogen.
Tiga golongan obat ini adalah absiksimab, eptifibatid, tirobifan (Kristen et
al, 2009).
Obat Antitrombin
a) Unfractionated heparin
Ikatan antara antitrombin III dengan heparin akan menghambat
thrombin dan faktor Xa. Heparin juga dapat berikatan dengan protein
plasma lain sehingga dapat mempengaruhi bioavailibilitasnya. Kelemahan
yang lain adalah efek hambatan ini dapat dirusak oleh platelet faktor 4.
Pemberian heparin dapat menyebabkan heparin-induced thrombositopenia
(HIT) (Kristen et al, 2009).
10
yang
beredar
di
Indonesia
antara
lain
adalah
a. Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan dengan anamnesis khas IMA , gambaran EKG
adanya elevasi segmen ST lebih dari atau sama dengan 2 mm pada minimal 2
sandapan prekordial yang berdampingan, elevasi segmen ST lebih dari atau sama
dengan 1 mm pada 2 sandapan ekstrimitas dan pemeriksaan penanda jantung
(Alwi, 2007).
b. Anamnesis
Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
dengan cermat apakah nyeri tesebut berasal dari jantung atau bukan. Perlu
dianamesis adanya riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor risiko lain
seperti hipertensi, DN, dislipidemia, merokok, serta stress (Alwi, 2007).
Nyeri dada tipikal merupakan tanda awal pengelolaan IMA, sifat nyeri dada
tipikal ini adalah:
1) Lokasi : substernal, retrosternal dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, terbakar, ditindih beban berat, ditusuk,
dipelintir, dan diperas.
3) Penjalaran: lengan kiri, leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula,
perut dan lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau menghilang saat istirahat atau obat nitrat.
5) Faktor pencetus : latihan fisik, emosi, udara dingin dan sesudah makan
6) Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas (Alwi, 2007).
c. Pemeriksaan Fisik
12
d. Elektrokardiogram
Elevasi ST pada EKG 12 lead ditemukan pada 2 lead yang berurutan
merupakan diagnosis untuk infark miokard dengan ST elevasi (STEMI). Pada
STEMI, dapat ditemukan inversi gelombang T. perubahan ini dapat menghilang
beberapa jam setelah serangan infark miokard (Hamm et al, 2000).
Adanya gelombang Q abnormal pada EKG pada infark miokard merupakan
hasil dari perubahan konduktivitas listrik pada sel-sel miokard yang infark. Sekali
terdapat gelombang Q abnormal maka akan bertahan secara permanen pada EKG.
Gelombang Q abnormal tidak selalu mengindikasikan serangna infark miokard
akut, namun dapat juga mengindikasinkan adanya infark miokard lama (Hamm et
al, 2000).
Pemeriksaan EKG dilakukan segera pada pasien yang memiliki gejala khas.
Jika pemantauan EKG awal tidak ditemukan adanya elevasi ST namun pasien tetap
simptomatik maka pasien dipantau secara serial dengan interval setiap 5-10 menit
atau secara kontinu (Hamm et al, 2000).
13
There is also some subtle STE in I, aVL and V5, with reciprocal ST
depression in lead III.
14
Lokasi
Anterios
Lead
V1-V6
Perubahan EKG
ST elevasi, gelombang Q
ekstensif
Anteroseptal
Anterolateral
Posterior
V1-V4
V4-V6
V1-V2
ST elevasi, gelombang Q
ST elevasi, gelombang Q
ST depresi, Gelombang R
I, aVL, V5, V6
II, III, aVF
V4R, V5R
tinggi
ST elevasi, gelombang Q
ST elevasi, gelombang Q
ST elevasi, gelombang Q
Lateral
Inferior
Ventrikel kanan
e. Penanda Jantung
1) CKMB : meningkat setelah 3 jam, mencapai puncak dalam 10-13 jam dan
kembali normal dalam 2-4hari.
2) Troponin : cTn T dan cTn I. meningkat setelah 2 jam, mencapai puncak dalam
10-24 jam, cTn T masih bias dideteksi dalam 5-14 hari, sedangkan cTn I masih
dapat dideteksi dalam 5-10 hari.
3) Mioglobin: dapat dideteksi setelah 1 jam dan mencapai puncak dalam 4-8jam
4) Kreatin Kinase : meningkat setelah 3-8 jam, mencapai puncak dalam 10-36
jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
5) Laktak Dehidrogenase :
non
spesifik
terhadap
injuri
miokard
adalah
leukositosis
polymorfonuklear yang terjadi beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap
dalam 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/L (Nawawi et al, 2006).
Cardiac Marker
cTn T
cTn I
CKMB
CK
Mioglobin
LDH
Meningk
at
3 jam
3 jam
3 jam
3-8 jam
1-2 jam
24-48
Puncak
Normal
12-48 jam
24 jam
10-24 jam
10-36 jam
4-8 jam
3-6 hari
5-14 hari
5-10 hari
2-4 hari
3-4 hari
24 jam
8-14 hari
jam
APTS
NSTEMI
<15 menit
>15 menit
Normal/iskemik iskemik
normal
meningkat
STEMI
>15 menit
evolusi
meningkat
16
marker
f. Penatalaksaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada dan implementasi strategi referfusi yang mungkin dilakukan, pemberian
antitrombotik dan terapi antiplatet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana
komplikasi IMA (Bertrand, 2002).
Prognosis STEMI tergantung terhadap 2 kelompok kolmplikasi yaitu
komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Elemen
utama tata laksana pre hospital :
Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
Segera memanggil tim emergensi medis dan segera melakukan resusitasi
Tranportasi pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf
17
Untuk IKP primer 90 menit (60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP) (PERKI, 2015)
19
4. Terapi Farmakologis
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan kepada pasien yang mengalami
infark dengan EKG gambaran ST Elevasi dikenal dengan singkatan MONACO
yaitu:
a) Morfin, pemberian morfin dapat mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesic pilihan utama dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin 2,5
mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap lima menit sampai dosis total 20 mg,
atau Petidin 25-50 mg intravena, atau Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat
sublingual/patch, intravena jika nyeri berulang dan berkepanjangan.
b) Oksigen, pada pasien dengan saturasi oksigen < 90% harus diberikan oksigenasi
segera dengan nasal mulai 2 L/mnt dalam 6 jam pertama
c) Nitrat diberikan 5mg dapat diulang 3 kali lalu drip bila masih nyeri
a) Aspirin mula-mula 160-320 mg dikunyah, dilanjutkan oral
b) Clopidogrel dengan dosis loading 600 mg.
Terapi jangka panjang ini peran dokter umum lebih besar, namun ada baiknya
intervensi ini ditanamkan dari saat pasien dirawat di rumah sakit, misalnya dengan
mengajarkan perubahan gaya hidup sebelum pasien dipulangkan (PERKI, 2015).
Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI
adalah (PERKI, 2015):
a)
b)
c)
d)
e)
Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera
mungkin sejak datang
f)
Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien
masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi,
tanpa memandang nilai kolesterol inisial
g)
h)
i)
21
22