You are on page 1of 11

ALAT BUKTI

Dalam proses pembuktian, tentunya diperlukan kehadiran alat-alat bukti yang dianggap sah
menurut hukum. Menurut R. Atang Ranomiharjo, bahwa alat-alat bukti (yang sah) adalah alatalat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat di
gunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran
adanya suatu tindak pidana yang telah di lakukan oleh Terdakwa.
Adapun menurut Pasal 184 KUHAP, alat-alat bukti ialah :

Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.

Sedangkan alat-alat bukti yang tercantum dalam Pasal 295 HIR memang di pandang sudah kuno,
karena sama dengan Ned.Sv. yang lama. Belanda sendiri sudah lama (1962) mengubahnya dalam
Sv. yang baru. Dalam Sv. yang baru itu disebut alat-alat bukti dalam Pasal 339 sebagai berikut :

Eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim);


Verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa)
Verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi)
Verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli)
Schriftelijke bescheiden (surat-surat)

Jika dibandingkan antara ketentuan dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 339 Ned. Sv. tersebut
maka ternyata bahwa tidak semua pembaruan dalam Ned. Sv. ditiru oleh KUHAP.

Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pengertian dari saksi sendiri telah di perluas
bukan hanya sekedar orang yang melihat, mendengar dan merasakantetapi setiap orang
yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar
sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan

tersangka/terdakwa sesuai dengan putusan MK no.65/PUU-VIII/2010 yang di ajukan

oleh Yusril Ihza Mahendra.


Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan
yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan
untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.


Surat menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)

huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan

yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;


surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu

keadaan.
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya

mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;
surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat

pembuktian yang lain.


Petunjuk menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya.
Keterangan terdakwa Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah
apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

Adapun dalam RUU KUHAP terdapat penambahan terhadap alat bukti yang tertera pada Pasal
175 ayat (1) RUU KUHAP yaitu,
a. barang bukti ;
b. surat-surat;

c. bukti elektronik;
d. keterangan seorang ahli;
e. keterangan seorang saksi;
f. keterangan terdakwa; dan.
g. pengamatan hakim.
KETERANGAN SAKSI
Hak-Hak Saksi

Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saat saksi di periksa (pasal 173

KUHAP)
Hak untuk mendapatkan penerjemah atas saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (pasal

177 ayat 1 KUHAP)


Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah

(Pasal 178 ayat 1 KUHAP)


Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum

menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP)


Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (pasal 229
ayat 1 KUHAP)

Dalam pada itu perlu dikemukan di sini, bahwa keterangan saksi ini harus memenuhi 2 syarat,
yaitu:
1. Syarat formil, bahwa keterangan saksi hanya dianggap sah, apabila diberikan memenuhi syarat
formil, yaitu saksi memberikan keterangan dibawah sumpah.
2. Syarat materil, bahwa keterangan seorang atau saksi saja tidak dianggap sah sebagai alat
pembuktian (unus testis nullus testis)
Menurut Pasal 185 Ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim
harus sungguh-sungguh memperhatikan:

Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain

Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain


Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan yang

tertentu
Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat

mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.


Mendengar Keterangan Saksi

Sistem yang dianut oleh KUHAP dalam mendengar keterangan saksi dalam sidang ialah hakim
mendengar mereka satu per satu secara Tanya jawab atau secara menyeluruh menceritakan
sesuatu hal. Setelah selesai keterangan saksi, kepada terdakwa diberikan hak untuk
mengemukakan pendapat tentang kesaksian tersebut. Dan, terdakwa juga berhak untuk
mengajukan pertanyaan kepada saksi melalui hakim. Hak terdakwa tersebut berkaitan dengan
kepentingannya untuk pembelaan (pleidoii).

Saksi yang tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan sah

Menjadi saksi adalah kewajiban hukum, karena itu saksi yang dipanggil menghadap sidang wajib
hadir, dan apabila ia tidak hadir, dan apabila ia tidak hadir tanpa alasan yang sah, sedang
pemanggilan sudah patut dan sah maka hakim ketua dapat memerintahkan supaya saksi tersebut
dipanggil dengan pengawalan oleh polisi (pasal 159). Tiap-tiap saksi yang hadir dicegah untuk
saling berhubungan satu dengan lainnya sebelum memberikan keterangan di siding (pasal 159
ayat 1).

Penyumpahan Saksi

Para saksi menurut pasal 265 ayat (3) HIR dan pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar
keterangannya, harus disumpah lebih dulu menurut cara, yang ditetapkan oleh Agama masingmasing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang mengandung kebenaran dan tidak lain
daripada kebenaran.

Sumpah Palsu

Pasal 283 HIR dan Pasal 174 KUHAP, mengatur hal seorang saksi memberi suatu keterangan di
bawah sumpah, yang disangka bohong. Peristiwa semacam ini lazim dinamakan sumpah palsu.
Dalam hal ini Hakim harus memperinngatkan saksi itu atas persangkaan adanya sumpah palsu

itu. Barangkali saksi akanmenarik kembali keterangan yang disangka bohong itu. Kalau tidak,
maka Hakim berkuasa untuk memerintahkan, supaya seketika itu saksi ditangkap dan
perkaranya, yaitu perkara pidana tentang sumpah palsu (pasal 242 KUHP) diserahkan kepada
jaksa, supaya diperiksa lebih lanjut, sedang pemeriksaan perkara pidana yang semula, dapat
ditunda sampai selesai pemeriksaan perkara sumpah palsu.

Saksi yang berbeda Keterangannya di Muka Sidang dan Pemeriksaan Pendahuluan

Jika keterangan seorang saksi di muka sidang untuk sebahagian atau seluruhnya berbeda dengan
yang diterakannya dalam pemeriksaan pendahuluan, maka sesuai dengan pasal 164 ayat (1)
KUHAP, Hakim akan menunjuk pada adanya perbedaan tersebut dan meminta penjelasan yang
diperlukan.

Mereka yang memberi kesaksian tanpa sumpah

Menurut pasal 285 ayat (7) KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai
satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah
yang lain.

Satu saksi bukan saksi (Unus Testis Nullus Testis)

Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hukuman kepada terdakwa hanya berdasarkan satu
saksi saja (unus testis nullus testis) oleh karena dianggap sebagai bukti yang tidak cukup (pasal
185 ayat 2), artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh
hakim. Ketentuan pasal 185 ayat (2) dianggap tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat
bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 3).
KETERANGAN AHLI

Pengertian dan Pengaturan Pokok

Pengaturan mengenai keterangan ahli terdapat di dalam HIR (sebelum berlakunya KUHAP) dan
di dalam KUHAP. Pada sebelum berlakunya KUHAP, keterangan ahli tidak diatur secara tegas
ke dalam alat-alat bukti. Pasal 295 HIR mengatakan alat-alat bukti yang sah terdiri dari

keketerangan, surat-surat, pengakuan dan petunjuk-petunjuk (aanwijzingen). Dengan demikian,


jelas keterangan ahli tidak diatur dengan sendirinya dalam HIR. Menurut R. Atang
Ranoemihardja, keterangan ahli menjadi bagian dari keketerangan, yaitu keterangan-keterangan
yang diberikan oleh orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung menghayati
adanya perbuatan kejahatan.
Namun menurut Yahya Harahap, saat berlakunya HIR keterangan ahli tidak dinilai sebagai alat
bukti yang sah karena keterangan ahli hanya dijadikan pendapat hakim apabila hakim menilai
keterangan tersebut dapat diterima. Dengan demikian keterangan ahli hanya merupakan
keterangan keahlian saja. Di dalam KUHAP mengenai keterangan ahli diatur di dalam Pasal 1
butir 28 yang menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan pasal ini, keterangan ahli jelas diatur dengan
sendiri di dalam KUHAP. Selain itu, keterangan ahli diatur juga di dalam pasal 184 ayat (1)
KUHAP yaitu keterangan ahli termasuk yang dimaksud dengan alat bukti yang sah.
Selanjutnya di dalam pasal 186 KUHAP disebutkan bahwa keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Mengenai keterangan ahli, perlu dibedakan antara
keterangan ahli di sidang pengadilan yang kemudian sebagai alat bukti keterangan ahli yang
dimaksud pasal 186 KUHAP, dengan keterangan ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan
yang kemudian sebagai alat bukti surat. Keterangan ahli yang tertuang dalam alat bukti surat
ini digunakan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dimuat dalam
bentuk laporan, misalnya visum et repertum oleh seorang dokter. Menurut R. Soeparmono, visum
et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah,
perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti
lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Kemudian
di dalam bukunya, Dalam bukunya, Soeparmono mengatakan, kedudukan visum et repertum di
dalam hukum pembuktian dalam proses acara pidana, dapat berkedudukan sebagai:

Alat bukti surat (Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. 187 huruf c KUHAP);
Keterangan ahli (Pasal 1. Stb 1937-350 jo. 184 ayat (1) huruf b KUHAP)

Pengertian dan Pengaturan Pokok dalam RUU KUHAP

Berbeda dengan pengertian di KUHAP, mengenai ahli dalam pasal 1 butir 27 RUU KUHAP
disebutkan bahwa ahli adalah seseorang yang mempunyai keahlian di bidang tertentu yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian, keterangan ahli diatur
secara tegas tidak hanya untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan saja, melainkan juga untuk
kepentingan penyidikan dan penuntutan. Hal ini berbeda dengan pasal 1 butir 28 KUHAP yang
menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan keterangan ahli dalam KUHAP untuk
kepentingan penyidikan diatur di dalam pasal-pasal tersendiri. Selain itu, berdasarkan pasal 175
ayat (1) huruf d RKUHAP keterangan ahli termasuk ke dalam alat bukti yang sah, yaitu
keterangan seorang ahli. Selanjutnya, pasal 179 RKUHAP menyebutkan keterangan ahli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang dinyatakan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang pengadilan. Mengenai hal ini, Dr. Lilik
Mulyadi S.H., M.H., berpendapat, hendaknya, harus adanya keahlian khusus tersebut
mempunyai hubungan keterangan ahlinya dengan perkara serta hubungan keahliannya dengan
keterangan yang diberikannya. Juga hendaknya perlu adanya kretaria umum terhadap seorang
ahli, misalnya kerena bidang pekerjaannya atau tugasnya, pendidikannya, surat dari instansi
dimana ahli tersebut mengabdikan keahliannya.
ALAT BUKTI SURAT
Pengertian dari surat menurut hukum acara pidana tidak secara definitive diatur dalam satu pasal
khusus, namun dari beberapa pasal dalam KUHAP tetang alat bukti surat, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan surat adalah) alat bukti tertulis yang harus dibuat atas sumpah
jabatan

atau

dikuatkan

dengan

sumpah.

Ada bebrapa jenis surat dalam hukum acara pidana, tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, sebagai
berikut

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan
yang didengar, dilihat / dialami sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu, contoh : Akta Notaries, Akta jual beli oleh PPAT dan Berita acara lelang
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat pejabat
mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnyadan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan, contoh ; BAP, paspor, kartu
tanda

penduduk

dll.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai
sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara respi darinya, contoh ; visum et revertum.
Walaupun sering dikategorikan sebagai keterang ahli, namun visum et revertum juga dapat
merupakan alat bukti surat, hal ini oleh yahya harahap disebut sifat dualisme alat bukti
keterangan

ahli)

Walaupun banyak perpedaan pendapat mengenai visum et revertum ini, namun tidak
mempengaruhi niali pembuktiannya sebagai alat bukti sah dipengadilan, baik ia sebagai alat
bukti surat maupun keterangan ahli, yang jelas visum et revertum tidak dapat dihitung sebagai
dua

alat

bukti.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian
yang

lain,

contoh

surat-surat

dibawah

tangan.

Selain jenis surat yang disebut pada pasal 187 KUHAP, dikenal 3 (tiga) macam surat, sebagai
berikut

1. Akta autentik, adalah suatu akte yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu dan dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan.
2. Akta dibawah tangan, yakni akte yang tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum tetapi
dibuat
3.

Surat

Nilai

sengaja
biasa,

yakni

untuk
surat

yang

dibuat

pembuktian

dijadikan
bukan

untuk

dijadikan

bukti.
alat

bukti.
surat

Bahwa surat resmi/surat autentik yang diajukan dan dibacakan di sidang pengadilan merupakan
alat bukti surat sedangkan surat biasa mempunyai nilai pembuktian alat bukti petunjuk jika isi
surat

tersebut

bersesuaian

Kekuatan

dengan

alat

bukti

sah

lain.

pembuktian

surat

Alat bukti surat resmi/autentik dalam perkara pidana berbeda dengan perdata. Memang isi surat
resmi bila diperhatikan dari segi materilnya berkekuatan sempurna, namun pada prakteknya
terdakwa

dapat

mengajukan

bukti

sangkalan

terhadap

akta

autentik

tersebut.

Kekuatan pembuktian dari alat bukti surat adalah kekuatan pembuktian bebas seperti halnya
kekuatan pembuktian alat bukti lainnya, disini hakim bebas menentukan apakah alat alat bukti
surat tersebut berpengaruh dalam membentuk keyakinan ataupun tidak. Walaupun begitu bukan
berarti hakim bisa menyangkal tanpa alasan suatu alat bukti surat yang sudak terbukti
kebenarannya

dan

bersesuaian

dengan

alat-alat

bulkti

lainnya.

PERKEMBANGAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DAN PENGAMATAN HAKIM


Perkembangan pembuktian saat ini lebih ditekankan pada perkembangan alat bukti seiring
dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat. Alat bukti elektronik dan penemuan elektronik,
atau yang lebih dikenal dengan eDiscovery yang harus dipahami dan dikuasai dalam litigasi
modern. Alat bukti elektronik seringkali memuat data-data yang tidak dimuat dalam alat bukti
surat, contohnya adalah metadata. Metadata merupakan data terkait data yang memuat siapa
yang menciptakan alat bukti elektronik tersebut, di mana alat bukti tersebut disimpan, siapa yang
mengirim dan menerima, siapa yang mengakses dan mengedit, siapa yang memperbanyak
dokumen tersebut dan kapan diperbanyak, dan lain-lain. Meskipun perkembangan teknologi
sangat pesat dan memperluas definisi dari alat bukti itu sendiri, namun nyatanya alat bukti
elektronik lebih mudah untuk dimanipulasi, diperbanyak, didistribusikan dan dihancurkan
sehingga sering terdapat kesulitan dalam pembuktian keautentikan alat bukti tersebut.

UU mengakui alat bukti elektronik


Baik dalam KUH Perdata maupun dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
alat bukti elektronik tidak disebut sebagai alat bukti yang sah yang diterima di depan
persidangan.
Namun, Indonesia selanjutnya menampung aspirasi tersebut dalam UU tentang Dokumen
Perusahaan yang disahkan pada 1997. Dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1997 tersebut
dengan tegas dinyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau
media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.
Selain UU tentang dokumen perusahaan, beberapa UU lainnya juga telah mengakui alat bukti
elektronik sebagai alat bukti yang sah. UU tersebut antara lain UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU
No. 15 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Menurut ketentuan Pasal 26A dalam UU UU No 20 Tahun 2001, alat bukti yang sah untuk tindak
pidana korupsi juga dapat berupa alat bukti lain yang diucapkan, dikirim atau disimpan secara
elektronik. Sedangkan dalam UU No 15 Tahun 2002, pengakuan keabsahan alat bukti elektronik
terdapat pada Pasal 38.
Sudah ada surat MA sebelumnya
Sebelum adanya UU yang mengakui keabsahan alat bukti elektronik tersebut sebenarnya sudah
ada pengakuan tentang keabsahan alat bukti elektronik, jauh sebelum UU tersebut dilahirkan.
Pengakuan keabsahan tersebut dalam peradilan Indonesia muncul melalui surat MA pada 1988.
MA melalui suratnya menyatakan bahwa mikrofilm atau microfiche dapat dipergunakan sebagai
alat bukti surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1)c KUHAP. Surat tertanggal 14
Januari 1988 itu ditujukan kepada Menteri Kehakiman waktu itu.
Keabsahan alat bukti elektronik itu, menurut surat MA tersebut, dengan catatan bahwa mikrofilm
atau microfiche itu sebelumnya dapat dijamin otentikasinya dan dapat pula ditelusuri kembai dari
registrasi maupun berita acaranya. Dalam surat tersebut, dikemukakan pula bahwa terhadap
perkara perdata juga berlaku pendapat yang sama.

You might also like