You are on page 1of 8

AKTIVIS, SEBUAH KEHARUSAN

BUKAN PILIHAN
AKTIVIS, SEBUAH KEHARUSAN BUKAN PILIHAN
Saat anda pertama kali mendengar kata aktivis, imajinasi seperti apa yang muncul dalam
benak anda ?. Apakah sosok orang yang kritis, idealis, lama lulus, urakan, jarang kuliah dan
kerjaannya demo dan ngomongin politik melulu ?. Kebanyakan dari kita sekarang ini
memandang aktivis sebagai sosok yang berbeda dari orang kebanyakan,untuk tidak
menyatakan orang aneh.
Namun, jika kita pikirkan lebih lanjut, muncul sebuah pertanyaan berikutnya yakni apakah setiap
orang yang memilih jadi aktivis pasti identik dengan hal-hal di atas ?. Bukankah banyak aktivis
yang menyelesaikan studi tepat waktu dengan nilai yang memuaskan, berpenampilan rapi dan
tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai seorang aktivis. Artinya, beberapa aktivis yang
berpenampilan urakan, jarang kuliah dan lama lulus adalah sebuah pilihan pribadi dan bukan
sebagai konsekuensi logis menjadi seorang aktivis. Dalam hal ini perlu kita jeli membedakan
hakikat sebagai seorang aktivis dengan cara seorang individu memilih cara berperilaku.
Defenisi Aktivis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2002), pengertian aktivis adalah
individu atau sekelompok orang (terutama anggota politik, sosial, buruh, petani, pemuda,
mahasiswa, perempuan) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai
kegiatan di organisasinya. Artinya, dari defenisi di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa aktivis
merupakan orang yang bergerak untuk melakukan sebuah perubahan dan memiliki wadah
sebagai alat untuk mencapai tujuan perubahan tersebut.
Sebagai seorang mahasiswa, menjadi aktivis adalah sebuah panggilan moral. Mahasiswa
sebagai agent of change dan agent of social control sebenarnya adalah penyambung lidah
rakyat. Konsekuensinya, tugas mahasiswa tidak hanya belajar dan sibuk dengan tugas-tugas,
melainkan juga membumi ke masyarakat. Hal ini sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi
yang menyiratkan aspek pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari
konsep ini dapat terlihat jelas bahwa ruang lingkup mahasiswa adalah studi dan masyarakat.
Banyak pemimpin besar negara ini yang dulunya mengambil peran sebagai aktivis. Sebut saja
Presiden Soekarno yang mendirikan GMNI, Jusuf Kalla (HMI), Muhaimin Iskandar (PMII), Ketua
KPK, Antasari Azhar, Megawati, Muladi (GMNI), Cosmas Batubara (GMKI), Ketua MPR, Hidayat
Nur Wahid (HMI), TB. Silalahi (GMNI), Suryadharma Ali (PMII) dan banyak lagi yang menjadi

pengabdi bagi bangsa ini. Mereka dikenal dan belajar sejak mulai dari kampus. Untuk itu sangat
penting bergabung dengan organisasi sejak awal menjadi mahasiswa.
Tipe-tipe Aktivis
Karena defenisi aktivis adalah orang yang aktif melakukan perubahan,maka kita akan banyak
menemui ragam tipe-tipe aktivis sesuai dengan ruang lingkupnya. Orang-orang yang aktif
memperjuangkan hak mahasiswa disebut aktivis mahasiswa. Ada juga aktivis buruh, aktivis
yang concern terhadap marginalisasi terhadap perempuan disebut aktivis perempuan. Ketika
anda bertemu dengan orang yang giat menyelamatkan lingkungan, dia disebut sebagai aktivis
lingkungan. Jadi, kita jangan terjebak dan terkurung dalam pemikiran bahwa seorang aktivis
adalah aktivis yang mengurusi politik semata.
Pada kesempatan ini kita akan membatasi pembahasan sebagai seorang aktivis mahasiswa
(kampus). Seperti kita ketahui, fenomena banyaknya mahasiswa yang tidak paham akan peran
dan fungsinya. Hal ini bisa kita lihat dari salah satu contoh kecil saja. Kegiatan yang berbau
sosial politik yang diadakan organisasi intra kampus hampir kehilangan peminat. Beda jika ada
acara hiburan. Ratusan mahasiswa tumpah ruah memadati acara berlomba berebut tempat.
Bukan berarti acara hiburan tidak penting, namun kita harus paham apa status sekarang dan
apa kewajiban kita menyandang status tersebut.
Kita bisa mengenal tipe mahasiswa yang kupu-kupu alias kuliah pulang-kuliah pulang. Ada
juga istilah 3K yang diartikan kampus, kantin dan kos-an. Malah ada yang diberi label kunangkunang (kuliah nangkring-kuliah nangkring) dan kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat ). Secara
sederhana kita bisa membagi karakterisktik mahasiswa ke dalam 3 jenis. Pertama, study
oriented. Orang-orang yang mementingkan kuliah dan kurang berminat bergabung dengan
organisasi. Kedua, hedonis. Mereka dikenal sebagai anak-anak yang mementingkan kenikmatan
dan kesenangan. Dan yang ketiga, tipe aktivis, yakni orang-orang yang memiliki idealisme akan
sebuah perubahan dan biasanya tergabung dalam suatu organisasi.
Sebenarnya kita tidak perlu terjebak pada dikotomi (pemisahan) antara ketiga tipe mahasiswa
tersebut. Dalam rumus saya, menjadi aktivis adalah sebuah keharusan. Sedangkan menjadi
hedon dan study oriented adalah pilihan. Mengapa bisa begitu ?. Orang-orang aktivis tidaklah
sekaku yang orang pikirkan. Kerjaannya berpikir dan bergerak terus. Padahal aktivis juga ada
yang study oriented dan juga suka yang hedon. Sementara orang-orang Studi oriented dan
hedonis belum tentu aktivis. Maksud saya, sebagai seorang aktivis, kita juga dituntut untuk selalu
belajar, dan sebagai manusia, aktivis juga butuh kesenangan, seperti jalan-jalan,nongkrong dan
banyak lagi. Jadi, dengan memilih menjadi aktivis anda juga bisa mendapat IPK yang tinggi
sekaligus bisa menikmati hari-hari.
Keuntungan Menjadi Aktivis

Menjadi aktivis tidaklah menjamin anda memperoleh keuntungan materi. Sekali lagi, aktivis
adalah kerja sosial yang sifatnya non profit (tidak mencari keuntungan) dan lebih kepada
panggilan moral. Namun banyak keuntungan-keuntungan yang sifatnya sebagai sebuah
investasi untuk membangun masa depan. Misalkan, pengalaman organisasi. Dengan memiliki
pengalaman organisasi, kita bisa belajar mengelola orang dan kegiatan. Hal ini sangat penting
karena kita sebagai mahluk sosial tidak bisa lepas dari organisasi. Kemudian, dengan menjadi
aktivis, kita bisa mengembangkan diri dan mengasah keterampilan. Untuk menghadapi
tantangan dunia kerja saat sekarang ini, keterampilan mendapat porsi utama yang harus dimiliki
pelamar. Seperti kepemimpinan, mahir berbicara di depan umum, team work, kepercayaan diri,
mengforganisasi rapat, menganalisa perilaku orang di sekitar dan banyak lagi. Aktivis juga
memiliki jaringan yang luas. Hal ini sebagai konsekuensi aktivis untuk selaalu berinteraksi
dengan orang lain (pemerintah maupun masyarakat ). Jaringan ini tentu sangat bermanfaat
dikala kita butuh kerja sama maupun pertolongan. Patut di ingat bahwa kampus tidak
mengajarkan keuntungan-keuntungan tersebut. Kampus hanya memberi kita teori.
Tantangan dan Kendala
Melihat tingkat persentase jumlah aktivis sangat kecil, menjadi pertanyaan mengapa mahasiswa
yang diamanatkan sebagai penyambung lidah rakyat justru malah anti terhadap hal-hal yang
berkenaan dengan aktivis. Untuk menumbuhkan kesadaran bahwa aktivis adalah sebuah
keharusan, pertama-tama kita jangan terjebak oleh citra aktivis yang beredar di masyarakat.
Contoh, dikarenakan aksi anarkis segelintir aktivis, kita langsung pukul rata bahwa aktivis identik
dengan anarkis. Pikiran seperti ini yang harus kita pilah-pilah. Kedua,menyadari tugas dan
peranan sebagai mahasiswa. Mahasiswa berada pada kelas menengah dalam struktur sosial
yang menjembatani masayarakat dan pememrintah.Untuk itu kita tidak bisa lepas dari tugastugas pengabdian msayarakat. Dan untuk itu butuh sebuah organisasi sebagai alat mencapai
tujuan.
Keempat, memilih organisasi sesuai dengan kesamaan dan ketertarikan. Ada organisasi intra
kampus seperti BEM dan ada juga organisasi ekstra kampus yang banyak mencetak pemimpin
bangsa seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ) yang berhaluan Nasionalis,
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam ), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia ),
GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Isalam Indonesia),
LMND (Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia) dan banyak organisasi ekstra kampus lain yang bisa menjadi wadah bagi temanteman untuk berdinamika.

Memang tidak banyak orang yang mengerti, atau mau mengerti dengan jalan hidup para
aktivis. Juga tak mau mereka ambil peduli, atau sekedar bertanya mengapa seseorang
bela-belain menjalani aktivitas yang, bagi kaum awam, hanya menguras waktunya untuk
sebuah cita-cita yang tak pasti. Bahkan sering sinisme pun ditujukan untuk mereka
tentang apa yang mereka lakukan. Hingga habis suaralah kita mencoba meyakinkan
kepada mereka, tetap saja kesulitan untuk membuat mereka merestui jalan hidup yang
dipilih oleh para aktivis ini.

Apa yang dilakukan oleh seorang aktivis memang bukanlah sebuah wujud praktis yang
siap jadi. Justru cenderung melawan wacana publik dan terkesan berbau
pemberontakan. Namun memang terlalu sulit untuk merealitakannya kepada orangorang yang sudah terlanjur memandangnya secara abstrak.

Menjadi aktivis mahasiswa, bagi beberapa orang tertentu, terkadang memang tak bisa
untuk diceritakan. Pada dasarnya ia memang bukanlah sesuatu untuk dijelaskan. Ia
hanyalah panggilan jiwa tentang kebenaran, yang harus dijalani, yang harus dilakukan.
Kenalkan, inilah dia: Para Aktivis Mahasiswa.

Siapakah Aktivis Mahasiswa?

Biasanya orang-orang akan mengidentikkan para mahasiswa yang aktif berkecimpung


dalam organisasi lantas langsung disebut aktivis mahasiswa. Sebenarnya tidak selalu
seperti itu. Ada yang benar-benar aktivis, lebih banyak yang bukan.

Ada dua macam orang yang aktif di organisasi kemahasiswaan. Pertama, organisator.
Kedua, aktivis. Apa bedanya? Sangat beda. Organisator adalah mereka yang hanya
aktif di organisasi. Aktif dalam event-event yang diselenggarakan oleh organisasi. Tapi
mereka suka berhitung, jika sesuatu hal tidak membawa manfaat untuk kepentingan
mereka, biasanya mereka akan kurang keaktifannya disana. Mereka, sejatinya, bukan
aktif. Melainkan ikut-ikutan aktif. Bisa dikatakan mereka berjuang untuk kepentingan
dirinya semata. Tentu saja, yang seperti ini kurang bijak untuk dikategorikan sebagai
aktivis.

Sedangkan seorang aktivis berbeda. Aktivis adalah mereka yang berjuang


mengkampanyekan nilai-nilai keyakinan yang dianutnya sedemikian rupa. Mereka akan
total terhadap segala keyakinan-keyakinan tersebut. Seringnya, segala hal yang mereka
lakukan justru bukan untuk mereka. Makanya, jadi aktivis itu repot. Tapi mereka mau
saja kok untuk repot-repot. Hal-hal yang seperti inilah yang membuat kaum awam tidak
habis pikir. Ahh, gitu aja kok repot.

Jangan jadi aktivis kalau tidak mau repot. Jangan jadi aktivis kalau tidak mau waktu,
tenaga, pikiran, uang, bahkan jiwamu tersita untuk hal-hal yang bagi orang di luar sana
adalah utopia. Jadi aktivis itu adalah sebuah sikap keberpihakan. Sekali kau memasuki
dunianya, otomatis disana kau berpihak akan nilai-nilai yang dijunjungnya. Dengan itu,
ia tidak akan mudah terombang-ambing oleh opini yang berkembang dalam masyarakat.
Maka aktivis memaksamu untuk bersikap tegas. Maka jika kau hendak memasuki
dunianya, janganlah sekedar mencoba-coba. Karena sekali bergelut di dalamnya, kau
akan mencintainya dan tidak akan melepaskannya lagi.

Pilihan menjadi aktivis tentu punya resiko. Karena pilihan ini pun semestinya didasari
dengan kesadaran atas semua konsekuensinya. Kalau ada mahasiswa tidak pernah
kuliah dengan alasan menjadi aktivis, nilai jeblok gara-gara menjadi aktivis, terlambat
lulus atau bahkan DO hanya gara-gara alasan menjadi aktivis, sesungguhnya dia belum
siap menjadi seorang aktivis sejati. Dia bukanlah aktivis. Dia hanya mahasiswa yang
terjebak pada aktivitasnya. Dia hanyalah seorang organisator yang mencari kesibukan
dengan berpura-pura menjadi aktivis. Biasanya perbedaannya baru akan terlihat jelas
setelah 1-2 tahun pasca ia menyelesaikan studi perkuliahannya dengan tidak lagi
menjadi mahasiswa. Akan terlihat mana aktivis mana yang bukan. Coba perhatikanlah.

Antara Aktivis dan Ilmuan

Ada sebuah dimensi persoalan yang rumit dalam diri seorang aktivis mahasiswa sesaat
setelah ia memutuskan untuk meleburkan diri dalam aktivitas perjuangan cita-cita yang
menjadi ideologi pergerakannya.

Di satu sisi, dunia aktivis memilihnya untuk menjadi seorang pejuang demi sebuah
cita-cita. Dari sinilah titik mula ia bergerak. Di sisi lain, ada sebuah tarikan kuat berkait
dengan statusnya sebagai mahasiswa yang notabene sedang berada pada kamp
konsentrasi yang bernama citivitas akademika. Tentu ia akan sering berinteraksi dengan
aktivitas keilmuan dan dengan para ilmuan. Katakanlah, untuk sementara itu tidak
menjadi persoalan. Di kampus, ya kerja ilmuan. Di aktivitas politik, kerja aktivis.
Sehingga paham lebur satu akan berlaku. Menjadi aktivis yang ilmuan, sekaligus
menjadi ilmuan yang aktivis.

Inilah yang kemudian menjadikannya rancu. Bahwa dunia keilmuan dan dunia aktivisme
tidak bisa dengan serta merta dilebur menjadi satu dalam satu aktivitas dan dilakukan
oleh seorang aktivis atau ilmuan. Akan terjadi sebuah ambiguitas arah pergerakan.
Karena beranjak dari latar belakang yang rancu, metodologi yang rancu, ideologi yang
rancu, paradigma yang rancu, dan tentu akan berujung pada hasil yang rancu. Karena
pada prosesnya, akan terjadi sebuah ketegangan dan tarik menarik antara kedua dunia
ini. Dunia keilmuan, menitikberatkan pada pencarian ilmu dan pengetahuan. Sedangkan
dunia aktivisme adalah dunia perjuangan politik. Satu mencari, yang lain berjuang.

Dasar gerak dunia keilmuan adalah dimulai dari keraguan dan berakhir dengan
keraguan. Skeptisisme yang melahirkan kebenaran, untuk kemudian dipertanyakan lagi.
Ya, karena metode kerja seorang ilmuan adalah mencari kebenaran,
mempertanyakannya, kemudian mengujinya. Bagi seorang ilmuan, bisa saja apa yang
menjadi hipotesis awalnya nanti keliru setelah diuji. Dan ilmuan tentu dengan senang
hati menerima hasil apapun meski tak sesuai dengan hipotesis awalnya. Setelah itu pun
seorang ilmuan akan mengujinya lagi, mempertanyakannya lagi, dan mencarinya lagi.
Persis seperti sebuah siklus. Bermula dari keraguan, berakhir dengan keraguan.

Sedangkan paradigma aktivis tentu sangat berbeda. Seorang aktivis tentu akan
memperjuangkan nilai-nilai, cita-cita, ideologi, kebenaran yang dianutnya bagaimanapun
meski langit runtuh. Bagi seorang aktivis sejati, tak ada lagi keraguan dalam cita-cita ini.
Urusan mempertanyakan telah lewat, sekarang adalah akumulasi ideologi, untuk
dianjurkan, untuk dimarketisasi sehingga semakin banyak orang yang bergabung dan
memiliki cita-cita yang sama. Seorang aktivis, memulai dengan kepastian dan
mengakhirinya juga dengan kepastian. Tak pernah setitik pun mereka akan mundur dan
ragu. Justru aktivis sejati akan sangat membenci sikap keragu-raguan. Karena sekali
ragu, berarti sedang mempertanyakan nilai yang dianut. Apalah arti sebuah perjuangan
jika titik tolak pemikirannya terus-terusan dipertanyakan. Keraguan, bagi seorang aktivis,
sama saja dengan pengkhianatan terhadap pergerakan.

Anda mau jadi aktivis, atau ilmuan? Aktivis ya aktivis, berjuanglah. Ilmuan ya ilmuan,
juga, bekerjalah.
http://www.kompasiana.com/ardiabara/tentang-aktivismahasiswa_54f5e9b6a33311b07d8b4569

You might also like