Professional Documents
Culture Documents
Di dalam Islam, shalat merupakan ibadah badaniyah yang penting dan telah ditetapkan waktu
pelaksanaannya. Allah berfirman, artinya : Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu),
ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). (An Nisa`:103). Sesungguhnya
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman [An Nisa` : 104].
Untuk mengetahui waktu shalat, Allah telah mensyariatkan adzan sebagai tanda masuk waktu
shalat, berikut tata cara adzan dan hukum Islam berkenaan dengan adzan tersebut. Yang semuai ini,
sangat penting untuk diketahui oleh kaum muslimin.
PENGERTIAN ADZAN DAN IQAMAH
Kata Adzan berasal dari bahasa Arab yang bermakna pemberitahuan, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala :
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. [Al Baqarah:279].
{3}
Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan RasulNya kepada manusia pada hari haji akbar,
bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika
kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling,
maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakan kepada
orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat ) siksa yang pedih. [At Taubah : 3].
Adapun menurut syariat, adzan adalah beribadah kepada Allah dengan pemberitahuan masuknya
waktu shalat dengan dzikir tertentu. Inilah yang dirajihkan Ibnu Utsaimin, sebagaimana
pernyataan beliau: Ini lebih tepat dari hanya (sekedar) pengertian bahwa adzan adalah
pemberitahuan masuknya waktu shalat, sebab adzan itu ikut shalat. Oleh karena itu, jika
diysariatkan ibrad dalam shalat Dhuhur (memperlambat shalat Dhuhur sampai agak dingin), maka
disyariatkan mengakhirkan adzan. [1]
Adapun iqamah, menurut kaidah bahasa Arab berasal dari kata aqama yang maknanya,
menjadikannya lurus atau menegakkan. Sedangkan menurut istilah syariat, iqamah ialah, ibadah
kepada Allah untuk menegakkan shalat dengan dzikir tertentu.[2]
1. Adzan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat agar bersiap-siap menunaikannya, dan
iqamah untuk masuk dan memulai shalat.
2. Lafadz (dzikir) yang dikumandangkan, dan masing-masing (antara adzan dan iqamah) juga
berbeda, sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan berikut ini.
SIFAT DAN LAFADZ ADZAN DAN IQAMAH
Lafadz adzan yang ada dan digunakan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan terkenal
dalam madzhab para Ulama terdapat adalah tiga macam :
1. Lafadz adzan dengan 15 kalimat, yaitu : 4 takbir, 2 syahadat Lailaha illa Allah, 2 syahadat
Rasulullah, 2 hayya ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid.
. . "
.
.
" . .
Inilah yang dipakai madzhab Ahmad bin Hanbal dan Abu Hanifah. Dasarnya ialah hadits Abdullah
bin Zaid yang berbunyi:
Ketika Rasulullah memerintahkan penggunaan lonceng untuk memanggil orang berkumpul untuk
shalat, maka dalam tidurku, aku bermimpi ada seseorang yang mengelilingiku dengan memanggul
lonceng di tangannya, lalu aku berkata kepadanya: Wahai, hamba Allah. Apakah kamu menjual
lonceng itu? Maka ia menjawab: Hendak engkau apakan ia? Maka aku menjawb: Memanggil
orang shalat dengannya. Lalu orang tersebut menyatakan: Maukah engkau, aku tunjukkan yang
lebih baik dari itu? Aku menjawab: Ya, mau. Maka ia mengatakan : Katakanlah:
3. Lafadznya 19 kalimat, yaitu 4 takbir, 2 syahadatain dengan tarji (diulang dua kali = 8 kalimat),
2 hayya ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah yang dijadikan
pedoman dalam madzhab Syafii. Dalilnya ialah hadits Abu Mahdzurah :
"
Ia berkata: Kemudian orang tersebut muncul tidak jauh dariku, kemudian menyatakan: Dan jika
engkau melakukan iqamah, (maka) katakanlah:
]Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17 kalimat.[5
"
"
Ketika subuh, aku menjumpai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan mimpiku
tersebut. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan: Sungguh, itu adalah mimpi yang
benar, insya Allah. Maka pergilah ke Bilal dan ajarkanlah apa yang engkau lihat, lalu hendaklah
Bilal mengumandangkan adzan dengannya, karena ia lebih keras suaranya darimu. Lalu aku
menemui Bilal dan mengajarkan kepadanya, dan iapun adzan dengannya. Lalu Umar bin
Khaththab mendengar hal itu di dalam rumahnya, lalu ia keluar menyeret selendangnya dan
menyatakan: Demi Dzat yang mengutus engkau dengan benar, wahai Rasulullah, sungguh akupun
melihat apa yang ia lihat dalam mimpi. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan
]: Alhamdulillah.[3
Hal ini dijelaskan dalam riwayat lain dari Abu Mahdzurah, ia berkata:
Aku berkata: Wahai Rasulullah. Ajarilah aku sunnah adzan. Lalu Beliau memegang bagian depan
kepalaku dan berkata: Ucapkanlah dengan suara perlahan
" .
"
Kemudian keraskanlah suaramu dalam membaca syahadat:
" .
.
.
"
Jika shalat Subuh, katakanlah :
"
"
" "
2. Lafadz adzan sejumlah 17 kalimat, yaitu 2 takbir, 2 syahadatain diulang dua kali = 8 kalimat, 2
hayya ala as shalat, 2 hayya alal falah, 2 takbir dan 1 kalimat tauhid. Inilah adzan menurut Imam
Malik, dan dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah:
Dari Abu Mahdzurah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan dengan:
.
"
"
Kemudian mengulang, lalu membaca:
]Lalu :[6
Ibnu Abdil Bar mengatakan: Ahmad, Ishaq, Dawud dan Ibnu Jarir berpendapat, ini termasuk
khilaf yang mubah, karena takbir yang empat pertama atau dibuat dua kali, atau dengan tarji dalam
syahadat atau tidak, iqamah dibuat dua-dua atau satu-satu semuanya kecuali
.
" . "
" )(dua kali
"
)Dan (membaca
dua kali.
]Ishaq menambahkan bacaan: [4
semuanya
boleh.[7]
Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin memberikan tarjih
sebagaimana pernyataan beliau: Semua yang ada dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
dari lafadz adzan, maka diperbolehkan, bahkan semestinya, terkadang menggunakan yang ini dan
terkadang yang itu, jika tidak menimbulkan keresahan dan fitnah. Ada kaidah yang menyatakan,
ibadah-ibadah yang diajarkan dalam sisi yang berbeda-beda, hendaknya dilakukan atas sisi-sisi
tersebut semuanya. Hal ini memiliki beberapa faidah (manfaat):
a). Menjaga Sunnah dalam berbagai sisinya.
b). Mempermudah para mukallaf.
c). Kehadiran hati (membuat khusyu`) dan tidak bosan.
d). Menjaga dan memelihara syariat.[8]
Kemudian ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa adzan dilakukan dua-dua, dan iqamah satusatu, sebagaimana disebtukan dalam hadits Ibnu Umar :
Adzan pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dua-dua, dan iqamah satu-satu, kecuali
Inilah iqamah menurut pendapat Syafii, Ahmad dan kebanyakan ulama, dengan dasar hadits
Abdullah bin Zaid di atas.
b). Iqamah seperti di atas dengan dikurangi
menjadi satu sehingga jumlahnya 10
kalimat. Demikian ini iqamah menurut madzhab Malikiyah.[10]
c). Iqamah berjumlah 17 kalimat, yaitu :[11]
Inilah iqamah menurut madzhab Abu Hanifah, dengan dasar hadits Abu Mahdzurah yang
menyatakan:
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarinya adzan 19 kalimat dan iqamah 17
kalimat.
Abu Isa Al Tirmidzi menyatakan : Ini hadits hasan shahih.[12]
Semua lafadz adzan di atas boleh dipergunakan, dan lebih baik bila digunakan seluruhnya, kecuali
jika menimbulkan fitnah di masyarakat, sebagaimana telah disampaikan Syaikh Ibnu Utsaimin di
atas.
KANDUNGAN LAFADZ ADZAN
Lafazd adzan dan iqamah mencakup kandungan aqidah seorang muslim, sehingga Imam Al Qadhi
Iyadh berpendapat: Ketahuilah, bahwa adzan adalah kalimat yang berisi aqidah iman yang
mencakup jenis-jenisnya. Yang pertama, menetapkan Dzat dan yang seharusnya dimiliki Dzat
Allah dari kesempurnaan dan pensucian dari lawan kesempurnaan. Dan itu terkandung pada
ucapan Allahu Akbar. Lafadz ini, walaupun sangat ringkas, namun sudah menjelaskan apa yang
telah kami sebutkan di atas. Kemudian (yang kedua), menegaskan keesaan Allah dan penolakan
sekutu yang mustahil ada bagiNya. Ini merupakan dasar dan tonggak iman, dan tauhid yang
didahulukan ada di atas segala tugas agama lainnya. Kemudian menegaskan penetapan kenabian
dan persakisan akan kebenaran risalah (kerasulan) bagi Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dan ini merupakan kaidah agung setelah syahadat tentang keesaaan Allah. Kemudian
mengajak kepada ibadah yang diperintahkan. Mengajak untuk shalat dan menjadikannya setelah
penetapan kenabian, karena kewajibannya diketahui melalui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bukan melalui akal. Kemudian mengajak kapada kemenangan, yaitu kekal di dalam kenikmatan
yang abadi. Disini terdapat isyarat untuk perkara-perkara akhirat dalam hal kebangkitan dan
pembalasan yang merupakan akhir masalah aqidah Islam. Lalu hal itu diulang-ulang dengan iqamat
shalat untuk memberitahu mulainya. Hal ini mengandung penegasan iman dan pengulangan
penjelasan iman ketika memulai suatu ibadah dengan hati dan lisan, dan agar orang yang shalat
senantiasa berada di atas kejelasan amalannya dan ilmu tentang imannya, serta merasakan
keagungan shalat dan keagungan Dzat yang disembah serta pahala yang besar. [13]
Imam Al Qurthubi juga menyatakan: Adzan, walaupun lafadznya sangat ringkas, namun
mengandung banyak masalah aqidah; karena adzan dimulai dengan takbir yang mengandung
penetapan keberadaan dan kesempurnaan Allah. Kemudian diikuti dengan penetapan tauhid dan
menafikan syirik. Lalu penetapan risalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ajakan
untuk mentaati Beliau secara khusus setelah syahadat (persaksian) tentang risalah (kerasulan),
karena tidak diketahui ibadah shalat tersebut kecuali dari jalan rasul. Kemudian ajakan kepada
kemenangan, yaitu kekekalan dan berisi isyarat tentang hari pembalasan, lalu diulang-ulang
sebagai penegasan. Sehingga dari adzan didapatkanlah pemberitahuan tentang masuk waktu shalat,
ajakan berjamaah dan menampakkan syiar Islam.
Maraji` :
1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua,
Tahun 1414 H, Daar Al Kitab Al Arabi.
2. Syarhu Al Mumti Ala Zaad Al Mustaqni, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Tahqiq Dr.
Sulaiman bin Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Al Musyaiqih, Cetakan pertama, Tahun
1415H, Muassasah Aasaam, KSA.
3. Majmu Syarhu Al Muhadzdzab, Imam Al Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib Al Muthii,
Cetakan Tahun 1415H, Daar Ihya At Turats Al Arabi, Beirut.
4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Al Hafidz Ibnu Hajar, Maktabah As Salafiyah.
5. Nail Al Authar Min Al Ahadits Sayyid Al Akhyar Syarhu Muntaqa Al Akhbar, Muhammad bin
Ali Asy Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim, Cetakan pertama, Tahun 1415H, Dar Al
Kutub Al Ilmiyah, Beirut.
6. Tamam Al Minnah Fi Taliq Ala Fiqhi As Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
Cetakan ketiga, Tahun 1409 H, Dar Rayah, Riyadh, KSA.
7. Irwa Al Ghalil Fi Takhrij Ahadits Manaru Al Sabil, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Cetakan
kedua, Tahun 1405 H, Al Maktab Al Islami, Beirut.
8. Fiqhu Sunnah, Sayyid Sabiq, Cetakan Tahun 1416 H, Al Fath Li Ilam Al Arabi, Kairo dan
Syarikat Manar Ad Daulah, USA.
9. Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Tahqiq Abdurrahman bin Muhammad bin Al Qasim, tanpa
tahun cetakan dan penerbit.
10. Al Ilam Bi Fawaid Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, Tahqiq Abdul Aziz Ahmad Al
Musyaiqih, Cetakan pertama, 1417H, Dar Al Ashimah, KSA.
[Tulisan Ustadz Kholid Syamhudi. Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 035Tahun
IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8
Selokaton
Gondanrejo
Solo
57183
Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Syarhu Al Mumti Ala Zaad Al Mustaqni, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, tahqiq Dr.
Sulaiman bin Abdillah Aba Khail dan Dr. Khalid bin Ali Musyaiqih, Cetakan Pertama, Tahun
1415H, Muassasah Asam, KSA, hlm. 2/35.
[2]. Ibid, hlm. 2/36.
[3]. Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud, no. 499; Ibnu Majah, no. 706; Ad Darimi (1/214-215); At
Tirmidzi, no. 189; Ahmad dalam Musnad-nya (4/43) dan Ibnu Khuzaimah (1/189, 191-192), juga
Ibnu Al Jarud dalam Muntaqa-nya. Lihat takhrij hadits ini pada Ghauts Al Makdud Bi Takhrij
Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini, Cetakan kedua, Tahun 1414H, Daar Al Kitab Al
Arabi, hlm. 1/156. Abu Ishaq menyatakan, sanadnya hasan. Demikian juga Syaikh Al Albani dalam
Irwa Al Ghalil, hlm. 1/264-265, no. 247.
[4]. HR Muslim, dalam Shahih-nya, kitab Ash Shalat, Bab Shifat Al Adzan, no. 379.
[5]. HR At Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Ma Jaa Fit Tarji, no. 192 dengan
sanad shahih.
[6]. HR Ahmad; Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash Shalat, Bab Kaifa Al Adzan, no. 503.
[7]. Fathul Bari, hlm. 2/84.
n
Kaum muslimin, dahulu ketika datang ke Madinah berkumpul, lalu
memperkirakan waktu shalat, tanpa ada yang menyerunya. (Hingga) pada
suatu hari, mereka berbincang-bincang tentang hal itu. Sebagian mereka
berkata gunakan saja lonceng seperti lonceng Nashara. Dan sebagian
menyatakan gunakan saja terompet seperti terompet Yahudi. Maka Umar
berkata: Tidakkah kalian mengangkat seseorang untuk menyeru shalat? Lalu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,Wahai, Bilal. Bangun dan
serulah untuk shalat. [2]
Imam Asy Syaukani menyatakan, inilah yang paling shahih dari hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam penentuan awal waktu disyariatkan adzan
[3]. Hal ini juga yang dirajihkan Imam Ibnu Hajar.[4]
Adapun hukumnya, para ulama berselisih dalam beberapa pendapat. Yang
mendekati kebenaran dari pendapat-pendapat tersebut, ialah pendapat yang
mewajibkannya, berdasarkan hadits Malik bin Al Huwairits :
Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersama beberapa orang
dari kaumku, kemudian kami tinggal di sisinya selama 20 hari. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam seorang yang dermawan dan sangat lemah lembut. Ketika
Beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga, maka Beliau berkata :
Pulanglah kalian dan tinggallah bersama mereka, dan ajarilah mereka (agama
Islam) serta shalatlah kalian. Apabila datang waktu shalat, maka hendaklah
salah seorang dari kalian beradzan. Dan orang yang paling dituakan
mengimami shalat kalian.[5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :
Tidak ada tiga orang di satu desa yang tidak ada adzan dan tidak ditegakkan
pada mereka shalat, kecuali setan akan memangsa mereka.[6]
Demikian pendapat yang dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu
Al Utsaimin[7] dan Syaikh Al Albani.
Syaikh Al Albani mengatakan : Sungguh, pendapat yang menyatakan adzan
hanyalah Sunnah jelas merupakan kesalahan. Bagaimana bisa, padahal ia
termasuk syiar Islam terbesar, yang jika Nabi n tidak mendengarnya di negeri
suatu kaum yang akan Beliau perangi, maka Beliau akan memerangi mereka.
Jika mendengar adzan pada mereka, Beliau menahan diri, sebagaimana telah
diriwayatkan dalam Shahihain dan selainnya. Dan perintah adzan sudah ada
dalam hadits shahih lainnya. Padahal hukum wajib dapat ditetapkan dengan
dalil yang lebih rendah dari ini. Maka yang benar, adzan adalah fardhu kifayah,
sebagaimana dirajihkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa (1/6768 dan 4/20). Bahkan juga bagi seseorang yang shalat sendirian. [8]
Bahkan Syaikhul Islam menegaskan hukum ini dengan pernyataannya : Yang
benar, adzan itu fardhu kifayah.[9]
Ibnu Hazm mengomentari permasalahan ini dengan pernyataannya : "Kami
tidak mengetahui orang yang menyatakan tidak wajibnya adzan dan iqamah
(ini) memiliki hujjah. Seandainya Rasulullah tidak menghalalkan darah dan
harta suatu kaum yang Beliau tengarai dengan tidak adanya adzan pada
mereka, tentulah cukup untuk mewajibkannya.[10]
Pertama. Ini yang paling benar dan telah ditetapkan ahli Iraq dan sejumlah ahli
Khurasan (dalam madzhab Syafii), bahwa memalingkan ke kanan dengan
mengucapkan hayya ala ash shalat, hayya ala ash shalat, kemudian
berpaling ke kiri dan mengucapkan hayya ala al falah, hayya ala al falah.
Sesungguhnya Beliau melihat Bilal beradzan, lalu aku melihat mulutnya disana
dan disini mengucapkan adzan. [HR Al Bukhari].
Dan dalam riwayat Muslim dengan lafadz:
Lalu mulailah aku memperhatikan mulutnya diputar kesana dan kesini, yaitu
ke kanan dan ke kiri mengucapkan hayya ala ash shalat, hayya ala al falah.
kemudian
lagi dan
kiri dan
kemudian
Ketiga. Pendapat Al Qafal, yaitu mengucapkan hayya ala ash shalat satu kali
berpaling kekanan, dan satu kali berpaling ke kiri; kemudian mengucapkan
hayya ala al falah satu kali berpaling ke kanan dan satu kali berpaling ke kiri.
[15]
4. Disunahkan meletakkan kedua jemari di telinga, sebagaimana hadits Abu
Juhaifah dengan lafadz:
Aku melihat Bilal beradzan dan memutar mulutnya ke sana dan ke sini serta
kedua jarinya di telinganya. [HR Ahmad dan At Tirmidzi, dan At Tirmidzi
mengatakan, bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani
menshahihkannya di dalam Irwa Al Ghalil, no. 230, hlm. 1/248].
Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala)
sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat. [HR Al
Bukhari].
Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan, ada sebagian riwayat
berkaitan dengan hadits ini yang menunjukkakan, bahwa hal ini terjadi ketika
waktu akan shalat [20]. Hal ini juga didukung oleh amalan kaum mualimin pada
zaman Umar, sebagaimana disampaikan Tsalabah bin Abi Malik :
1. Hukumnya wajib.
Demikian ini pendapat madzhab Azh Zhahiriyah dan Ibnu Wahb. Dalil yang
dibawakan ialah hadits Abu Said Al Khudri yang berbunyi :
y
l
Mereka dahulu berbincang-bincang pada hari Jumat dan Umar duduk di atas
mimbar. Jika muadzin selesai adzan, maka Umar bangun dan tak seorangpun
berbicara. [HR Asy Syafii dalam Al Um, dan dishahihkan An Nawawi,
sebagaimana dijelaskan Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 339].
Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah
dengan sanad shahih, sebagai berikut:
Dalam hadits ini terdapat perintah menjawab adzan, dan perintah, pada
asalnya menunjukkan wajib.
2. Hukumnya sunnah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama [19]. Mereka menyatakan, bahwa
hadits Abu Said di atas dipalingkan dari wajib menjadi sunnah dengan hadits
Aisyah yang berbunyi :
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, jika mendengar
muadzin membaca syahadat, maka Beliau berkata dan aku dan aku. [HR Abu
Dawud].
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menjawab adzan
secara sempurna. Mereka juga berdalil dengan hadits Anas bin Malik :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyerang (suatu kaum) ketika terbit
fajar. Dan Beliau memperhatikan adzan. Apabila Beliau mendengar, maka
Beliau menahan. Dan bila tidak (mendengar), maka Beliau menyerang. Lalu
) , maka Beliau
Rasulullah mendengar seseorang berkata: (
(
) dan Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam
menjawab: Engkau telah keluar dari neraka. [HR Muslim].
Aku menjumpai Umar dan Utsman; jika seorang imam keluar (menuju masjid),
maka kami meninggalkan shalat, dan bila berbicara (berkhutbah), maka kami
meninggalkan perbincangan. [HR Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan Al Albani
dalam Tamamul Minnah, hlm. 340].
Pendapat ini yang dirajihkan Syaikh Al Albani [21] dan Syaikh Masyhur Salman.
u
i
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,Jika kalian
mendengar adzan, maka jawablah seperti yang disampaikan muadzin.
[Muttafaqun alaihi].
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salalm tidak mengkhusukan hal itu dalam shalat
atau di luar. Sedangkan hailatain merupakan ucapan manusia yang mengajak
kepada shalat. Adzan seluruhnya adalah dzikir, dan shalat adalah tempat
berdzikir.[23]
2. Tidak menjawab adzan bila dalam keadaan shalat.
Demikian ini pendapat mayoritas ulama (jumhur), dengan berdalil hadits
Abdullah bin Masud yang berbunyi:
Dari Abdullah bin Amru bin Al Ash, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: Jika kalian mendengar muadzin, maka jawablah seperti apa
yang ia katakan, kemudian bershalawatlah untukku, karena barangsiapa yang
bershalawat untukku, maka Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali.
Kemudian mintakanlah kepada Allah untukku al wasilah, karena ia adalah satu
kedudukan di surga yang tidak sepatutnya, kecuali untuk seorang hamba
Allah; dan aku berharap, (bahwa) akulah ia. Barangsiapa yang memohonkan
untukku al wasilah, maka akan mendapat syafaatku. [HR Muslim].
Permohonan wasilah ini dicontohkan dalam hadits Jabir yang berbunyi:
c
s
Kami, dahulu memberikan salam kepada Nabi n dalam keadan Beliau shalat
dan Beliau membalasnya. Ketika kami kembali dari negeri Najasi, kami
memberi salam kepada Beliau dan (Beliau) tidak menjawab salam kami dan
berkata: Sesungguhnya dalam shalat adalah satu kesibukan. [Muttafaqun
alaihi].
3. Menjawab adzan pada shalat sunnah dan tidak menjawab dalam shalat
fardhu.
Demikian salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah.
Maraji`:
1. Ghauts Al Makdud Bi Takhrij Muntaqa Ibnu Al Jarud, Abu Ishaq Al Huwaini,
Cetakan Kedua, Tahun 1414H, Dar Al Kitab Al Arabi.
2. Syarhu Al Mumti Ala Zaad Al Mustaqni, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
Tahqiq Dr. Sulaiman bin Abdillah Aba Khoil dan Dr. Kholid bin Ali Musyaiqih,
Cetakan Pertama, Tahun 1415H, Muassasah Aasaam, KSA.
3. Majmu Syarhu Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Tahqiq Muhammad Najib
Al Muthii, Cetakan tahun 1415H, Daar Ihya At Turats Al Arabi, Beirut.