You are on page 1of 10

FISIOLOGI VETERINER II

GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN PADA RUMINANSIA (SAPI)

Oleh :
Kelompok 1
Rahmat S.
Candra Arsandi
Nurmauliah
Suci Sulfiani
Lola Adriana N.

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

GANGGUAN INDIGESTI PADA RUMINANSIA


1. Indigesti Akut
Indigesti akut merupakan sindrom yang bersifat kompleks dengan berbagai
manifestasi klinis, tanpa disertai (atau hanya ringan) perubahan anatomis pada lambung
hewan ruminansia. Istilah indigesti digunakan apabila secara organic tidak digunakan
perubahan patologis yang bersifat seperti ruminitis, retikulitis, dan lainnya (Subronto,2008).
Dikarenakan kompleksnya gangguan pencernaan pada lambung muka, penderita
indegisti akut dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain :
a. Indigesti sederhana atau simpleks
b. Indigesti asam (asidosis rumen)
c. Alkalosis rumen
d. Kembung rumen (bloat, timpani rumen)
e. Indigesti Toksemia
1. Indigesti Sederhana atau Simpleks
Indigesti sederhana merupakan gangguan sindrom pencernaan yang berasal dari rumen
atau reticulum, ditandai oleh hilangnya gerak rumen atau lemahnya tonus rumen hingga
ingesta tertimbun di dalamnya dan serta juga ditandai dengan konstipasi.
Etiologi
Menurut Subronto (2008), kebanyakan kasus terjadi akibat perubahan pakan yang
mendadak, terutama pada hewan muda yang mulai menyesuaikan diri untuk diberikan
ransum hewan dara. Pakan yang mengandung serat kesar terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan hal ini terjadi.
Dalam beberapa kasus pemberian obat antimicrobial yang berlebihan juga dapat
memicu terjadinya indigesti pada hewan. Hewan yang terlalu letih atau dipaksa bekerja
juga dapat menyebabkan terjadinya indigesti simpleks, hewan yang sedang dalam
transportasi dari satu daerah ke daerah lain juga dapat terjadi indigesti.
Pathogenesis
Pakan yang mengandung protein tinggi atau yang mengalami pembusukan akan
menghaslkan ammonia, dengan akibat derajat keasaman rumen mengalami kenaikan. Hal
inia akan menyebabkan bakteri yang tidak tahan suasana alkalis akan mnegalami kematian,
2

serta menyebabkan pencernaan secara biokimiawi tidak efisien. Ingesta yang tidak tercerna
dengan baik akan tertimbun di dalam rumen, yang secara reflektoris mendorong rumen
untuk berkontraksi berlebihan. Akibat hal tersebut maka akan terbentuk asam laktat secara
berlebihan

yang

kemudian

menyebabkan

gerakan

rumen

menjadi

melemah

(Subronto,2008).
Dalam keadaan stasis rumen, pembentukan asam lemak volatile menjadi terhalang.
Karena asam lemak tersebut diperlukan sebagai pembentukan air susu, dalam keadaan
stasis rumen maka produksi susu akanmenurun.
Gejala Klinis
Penderita tampak lesu dan malas bergerak, nafsu makan hilang, sedangkan nafsu untuk
minum. Pada awalnya frejuensi gerak rumen meningkat selama beberapa jam dan diikuti
dengan penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen. Pada palpasi rumen terasa teraba
ingesta lunakm tetapi tidak mencapai median dari rumen. Pembesaran rumen tidak terlalu
berarti (Subronto, 2008).
Pada umumnya frekuensi pernafasan dan pulsus masih dalam batas normalnya. Tinja
yang dikeluarkan biasanya hanya sedikit berlendir, berwarna gelap dengan konsistensi
lunak.
Diagnosis
Penentuan diagnosis harus didasarkan pada data-data di atas. Dalam diagnosis banding
perlu diperbandingkan dengan ketosis, retikulo peritonitis traumatika, dan dysplasia
abomasa. Pada ketosis biasanya terjadi dalam waktu dua bulan pertama setelah kelahiran
dan disertai dengan kenaikan mencolok dari benda-benda keton dalam darah dan kemihnya
Pada retikulo peritonitis traumatika gejala klinis yang ditemukan bersifat menonjol.
Gambaran darahnya menunjukkan adanya perubahan radang akut. Dari dysplasia abomasa
selain gejala-gejala tersifat, prosesnya juga berlangsung lebih lama (Subronto,2008).
Pengobatan
Umumnya dapat sembuh dengan sendirinya, pemberian makanan penguat atau makanan
kasar hendaknya dihentikan sementara. Air minum yang ditambahi garam harus diberikan
secara ad libitum.
Untuk pengobatan dapat pula obat parasimpatomimetik seperti carbamyl-choline
dengan dosis 2-4 ml, disuntikkan subkutan pada sapid an kerbau dewasa untuk merangsang
3

gerak rumen. Secara oral, preparat magnesium sulfat atau sodium sulfat, dengan dosis 100400 gram dapat diberikan dengan aman.

2. Indigesti Rumen Sarat ( asidosis rumen)


Etiologi
Gangguan ini disebabkan karena sapi-sapi memakan bahan makanan penguat yang kaya
akan karbohidrat secara berlebihan.. Selain itu juga karena kesalahan pengelolaan pakan,
sapi-sapi yang terdiri dari berbagai umur yang dicampur dan mendapatkan jenis konsentrat
yang sama, sapi yang lebih kuat akan mendapat porsi jauh lebih banyak daripada yang lemah.
Karena terlalu banyak memakan konsentrat yang terlalu tinggi karbohidratnya, seekor sapi
dapat menderita asidosis rumen. Kejadian rumen sarat banyak ditemui di lapangan dan terjadi
karena kondisi hewan yang jelek dengan kualitas pakan yang kurang bermutu, yang
kebanyakan terdiri dari serat kasar ( jerami ).

Patogenesis
Dalam keadaan normal, hasil pencernaan karbohidrat brupa asam lemak berantai pendek.
Asam cuka ( 60-65%) dan asam susu, atau laktat yang jumlahnya kurang dari 20 mg %
.Asam lain yang jumlahnya sedikit adalah asam semut,valerat, kaproat dan suksinat.
Karena pergantian susunan pakan, dari susunan berimbang ke susunan yang kaya akan
karbohidra, bakteri-bakteri gram coccos bovis

berbiak dengan cepat, dan kemudian

digantikan oleh kuman Lactobacillus. Bakteri in akan menghasilkan asam susu yang
berlebihan, sampai 20 %, hingga mampu menurunkan derajat keasaman normal ( pH 6-7 )
menjadi asam sekitar pH 4. Pada saat yang sama histamin juga diproduksikan sebagai hasil
dekarboksilasi histidin
Meningkatnya asam susu yang berlebihan mengakibatkan kenaikan kadar asam di dalam
darah, sehingga terjadi asidosis. Produksi histamin juga akan diserap oleh darah hingga
menyebabkan toksemia.
Pada derajat keasaman (pH) 5,5 dinding rumen jadi mudah mengalami lesi, yang
selanjutnya merupakan pintu bagi bakteri patogen masuk ke jaringan lain melalui aliran
darah. Sebagai akibat matinya bakteri-bakteri yang tidak tahan asam, produksi vitamin B1
juga menurun. Rumen yang pada awal kejadian indigesti berisikan cairan yang cukup, karena
4

menarik cairan dari jaringan lain, dalam waktu beberapa hari juga akan kekurangan cairan.,
dengan akibat lebih lanjut rumen jadi sarat berisikan ingesta yang kering. Selanjutnya karena
penurunan aliran darah pada dinding rumen dan retikulum, oleh karena meregangnya
jaringan,tonusnya pun akan menurun, sel kekurangan nutrisi, hingga selaput lendir akan
mengalami kematian ( nekrobiosis ) (Subronto, 2008).
Gejala Klinis
Gejala indigesti bentuk ini dimulai dengan adanya rasa sakit pada daerah abdomen.
Hewan nampak lesu dan malas bergerak. Nafsu makan dan minum hilang. Rumen mengalami
distensi ke arah lateral maupun medial. Hewan juga selalu mengalami dehidrasi berat, yang
ditandai dengan keringnya cermin hidung, kulit dsan bulu tampak kering serta bola mata yang
tenggelam di dalam rongga mata. Tinja hanya terbentuk sedikit, konsistensinya lunak seperti
pasta, bercampur lendir, dan berwarna gelap dengan bau yang menusuk
Oleh adanya asam yang berlebihan, asidosis, akan menyebabkan kenaikan frekuensi
pernafasan. Kebanyakan kasus diikuti dengan kelemahan jantung kompensatorik, dengan
pulsus piliformis yang frekuensinya sekitar 120-140 kali/.menit.
Karena dehidrasi yang berat, urin yang terbentuk dan dikeluarkan sangat sedikit bahkan
bisa terjadi anuria.
Terapi
Pada gangguan yang bersifat awal, dapat diberikan larutan magnesium sulfat atau
sodiumsulfat 1-2 kali. Antihistamin, seperti Delladryl R sebanyak 10-15 ml secara suntikan.
Pemberian antibiotic secara oral, misalnya penisilin untukmengurangi jumlah Lactobacillus
dengan dosis 10 juta unit untuk sapi,kemudian diulang 12 jam kemudian (Subronto, 2008).
Pada penderita yang mengalami dehidrasi dilakukan penggantian cairan yang hilang,
jumlahnya sesuai dengan derajat dehidrasi. Untuk mengurangi asidosis dapat diberikan
larutan sodium bikarbonat 2,5% sebanyak 500ml secara intravena perlahan-lahan untuk
menghindari alkaliemia, atau pemberian soda roti 250 gram peroral 2 kali/hari (Subronto,
2008).
3.

Alkalosis Rumen

Etiologi
5

Karena dikaibatkan oleh penggantian pakan dengan senyawa penghasil nitrogen dari
senyawa non-protein, antara lain urea, biuret, dan garam ammonium. Senyawa tersebut
umumnya digunakan sebagai pengganti protein, yang apabila digunakan secara berlebih
dapat menyebabkan terjadinya alkalosis rumen yang disertai dengan intoksikasi
(Subronto,2008)
Patogenesis
Dalam rumen ruminansia, protein dan senyawa yang mengandung N (Non Protein
Nitrogen) dimetabolisir hingga terbentuk ammonia yang merupakan konstituen utama dari
cairan rumen. Bila karbohidrat cukup tersedia sebagai substratnya, ammonia yang terbentuk
berguna untuk pembentukan protein mikroba.
Hidrolisis ureum oleh urease menjadi NH3 dan CO2, berlangsung cepat, kurang dari 1
jam. peningkatan ammonia berakibat naiknya pH isi rumen manjadi 7,5-8,5 atau lebih.
Kenaikan pH tersebut akan menyebabkan mati dan lisinya protozoa dan mikroorganisme
yang tidak tahan suasana alkalis, dan terjadilah indigesti.
Indigesti terjadi karena protozoa yang merupakan 20-50% dari massa mikroba rumen,
atau 10% dari isi rumen, kematiannya akan memerostkan fermentasi dalam waktu 24-48 jam.
Meningkatnya ion NH4+ diduga akan mengakibatkan terjadinya ikatan ion karbonat dalam
hati, hingga terjadi rangsangan saraf-saraf perifer maupun otonom yang menyebabkan
tremor-tremor otot, hipersalivasi, kejanh tetanik, maupun meningkatnya peristaltic usus,
Gejala Klinis
Gejala yang nampak adalah seperti gejala sarafi seperti, tremor pada otot-otot perifer, gigi
gemeretak dan hewan tak mampu berdiri. Kekejangan tetanik biaanya muncul tidak bersifat
terus menerus. Pernafasan dangkal dan cenderung dipaksakan. Feses yang keluar bersifat
seperti lendir dan dalam jumlah yang tidak banyak.
Diagnosa
Kalau pH tinggi protozoa akan mengalami kematian. Derajat keasaman7,5 atau lebih
indikatif adanya keracunan atau rumen alkalosis. Kadar NH3-N sebesar 3-6 mg/dl indikatif
untuk rumen alkalosis, yang mungkin karena keracunan urea.
Terapi
Untuk menetralkann isi rumen maka dapat diberikan larutan cuka (vinegar) 5% sebanyak
2-6 liter. Diberikan langsung intraruminal dengan sonde kerongkongan. Penyuntika MgSO4
untuk mengurangi kejang otot secara intramuscular juga dapat dilakukan.
6

hidrolisis
urea
(larut air)

CO2

+ ammonia

sb. asam amino bakteri

menaikkan pH rumen, amonia terabsorbsi

pH < 9 ion amonium, tidak terabsorbsi


> 9 amonia, terabsorbsi
metabolik alkalosis sistemik

Gambar 1. Proses Skematik Terjadinya Rumen Alkalosis

4. Kembung Rumen (Meteorismus, Timpani Rumen, Bloat)


Etiologi
Faktor pakan yang termasuk dalam tanaman leguminosa antara lain alfafa dan ladino.
Imbangan antara pakan hijau dan konsentrat yang tidak seimbang, serta tanaman yang
dipanen sebelum berbunga(muda) dapat berpotensi terjadinya kembung rumen.keadaan sapi
juga berpengaruh dalam timbulnya kembung antara lain factor keturunan dan susunan serta
pH saliva yang pada normal dapat mencegah pembentukan busa berisikan gas.

Pathogenesis:
Sapi memakan tanaman yang dapat memacu kembung

Gas tertimbun di dalam rumen


Vol. rumen meningkat
rumen berkontraksi kuat untuk membebaskan gas
Penyerapan gas beracun (H2S
dan histamine)
Gejala
Klinis:
Rumen
terdesak ke thorak
Dispnoe

gas tidak keluar


kontraksi rumen turun

kematian
7

Tampak pembesaran rumen, menggembung pada daerah fossa paralumbar sebelah kiri.sapi
tampak menjulur-julurkan leher kedepan, tampak gelisah. Nafsu makan hilang. Pulsus
mengalami peningkatan. Rumen mengalami distensi arah medial yang dapat diketahui dengan
palpasi rectal. Pada perkusi atas daerah rumen akan ditemukan suara timpani. (Subronto,
2008)
Diagnosis
Ditentukan berdasarkan anamnesis, gejala klinis saat pemeriksaan, dan riwayat ganti pakan
secara mendadak. Diagnosis banding yang

perlu dipertimbangkan keracunan insektisida

fosfor organik, karbonat, chlorinated hydrocarbon, nitrat, sianida, strichnin, dan grain
overload/asidosis rumen (Soebronto,2008).
Terapi:
Dengan perlakuan trokarisasi atau pemberian obat karminativa. Karminativa merupakan
obat yang dapat meningkatkan pengeluaran gas dari lambung ( via eruktasi ). Umumnya
berupa minyak volatil yang mudah diekskresikan lewat paru-paru, ginjal, dan kulit.
Contoh :
- terpentin
- ginger
- pipermin
- camphor
- serbuk anisi
- menthol
mekanisme kerja : pada iritasi mukosa GI, merelaksasikan spingter kardia sehingga gas
keluar. (Howard, 2006)
5. Indigesti dengan toksemia.
Etiologi:
Karena adanya senyawa-senyawa amine .Senyawa yang berlebihan akan diserap oleh
darah.
Patogenesis:
Toksik dari senyawa yang berlebihan akan menyebar ke organ tubuh melalui darah. Sel
hati mengalami keracunan akibat senyawa amine yang bersifat toksik. Gangguan
metabolisme karbohidrat mengakibatkan penurunan kadar glukosa dalam darah.
Peningkatan pemecahan protein akan terjadi peningkatan senyawa non protein nitrogen
dalam darah. Hal ini akan mempengaruhi kerja setiap organ. Gangguan sirkulasi akan
diikuti dengan gangguan pernafasan yang menagkibatkan lemahnya hewan penderita.
(Subronto, 2008)
Gejala Klinis:
Hewan mengalami kelemahan hingga tidak mampu berdiri. Mengalami anuria, nafsu
makan menurun, tidak ada aktifitas memamahbiak. Feses yang dikeluarkan berbentuk pasta
dan berbau menusuk. (Subronto, 2008)
Diagnosis:
Perlu dibedakan dari keracunan bahan-bahan anoganik dalam dosis subletal serta dari
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Clostridium botulinum dan Cl. Perfringens.
8

Terapi:
Terapi yang diberikan biasanya bersifat simtomatik. Pemberian cairan elektrolit dan
dextrose fisiologis. Diberikan pula obat yang merangsang ruminatoria dan pemberian
antihistamin (diphenhidramin HCl).
6. Indigesti Kronis ( Indigesti Vagus)
Indigesti ini merupakan gangguan pencernaan yang ditandai dengan hilangnya motilitas
rumen, hilangnya proses mastikasi, lambatnya pasasi tinja dan adanya distensi rumen.
Penurunan motilitas rumen diakibatkan karena adanya lesi yang mengenai ramus ventralis
dari nervus vagus. Indigesti ini berlangsung kronik dalam beberapa minggu.
Gejala Klinis:
Terjadi anorexia, penurunan produksi susu, dan penurunan berat badan hewan. Pada
sapi betina dapat memperlambat waktu partus
Pathogenesis
Nervus vagus memiliki 2 cabang yaitu cabang dorsal yang menginervasi bagian kiri
rumen dan reticulum, serta cabang ventral yang menginervasi bagian lain rumen dan
reticulum, keseluruhan omasum dan sebagian abomasum. Cabang ventral nevus vagus
berpangkal di daerah distal kerongkongan, pada bagian ventralnya dan melekat di daerah
kraniolateral pada reticulum sebelah kanan. Jika terjadi radang pada reticulum, ramus
ventralis nervus vagus akan mengalami gencetan dan menimbulkan lesi yang berakibat
kematian sel saraf. Karena terjadinya gangguan fungsi penghantaran reflex pada lambung
maka akan terjadi kelambatan proses pencernaan.
Diagnosis:
Perlu dibandingkan dengan dysplasia abomasum dan hasil pemeriksaan laboratories.
Tipe dalam indigesti vagus :
1. Tipe I : Terjadi gas bebas karena kegagalan eruktasi
2. Tipe II : Kegagalan transport pada omasum
3. Tipe III : Impaksi aomasum atau stenosis pylorus
4. Tipe IV : Indigesti akibat kenaikan usia bunting atau obstruksi sebagian
Prognosis: Kebanyakan kasus berakhir dengan kematian.
Terapi: Pada proses yang masih awal, pengobatan intensif terhadap retikulo-peritonitis
dapat menyembuhkan indigesti vagus secara tidak langsung. (Howard, 2006)

DAFTAR PUSTAKA
Howard, Jimmy L. 2006. Current Veterinary Therapy 4: Food Animal Practice. W.B Saunders
Company: Philadelphia
Subronto. 2003.Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Universitas Gadjah Mada Press :
Yogyakarta

10

You might also like