Professional Documents
Culture Documents
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengamanatkan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi
terpenuhinya pangan bagi seluruh rumah tangga yang tecermin dari
tersedianya pangan yang cukup dari segi jumlah dan mutunya,
aman, bergizi, merata, dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehat, aktif, dan produktif. Terkait hal ini, pemerintah dan
masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.
Penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh semua
penduduk merupakan pangkal dari ketahanan pangan nasional,
kesejahteraan, kesehatan, dan kecerdasan bangsa. Aksesibilitas
yang terbatas akan berakibat pada kesulitan untuk mencukupi
pangan yang bermutu dan bergizi sehingga akan menghambat
kesinambungan ketahanan pangan. Di sisi lain, keberpihakan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi bagi
kelompok masyarakat miskin masih sangat diperlukan melalui
penerapan kebijakan dan mekanisme subsidi pangan yang lebih
tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan pangan dan gizi
masyarakat.
Kondisi kerawanan pangan dan gizi apabila tidak diatasi
dengan baik, akan dapat menghambat pencapaian target-target
dalam Millenium Development Goals pada tahun 2015. Oleh karena
itu, pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan
dan gizi yang merupakan hasil pemikiran dan penelitian multisektor dan multidisiplin sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan pangan dan gizi.
Untuk dapat mengembangkan kembali konsumsi pangan lokal
yang tentunya diselaraskan dengan perkembangan modernisasi,
diperlukan upaya-upaya menjadikan pangan lokal menjadi mudah
diolah. Hal ini mengindikasikan perlunya sentuhan teknologi,
peran serta kelembagaan pangan, dan dukungan kebijakan. Dengan
A. LATAR BELAKANG
3)
2)
1)
C. TUJUAN
B. TEMA
E. TOPIK BAHASAN
Rekomendasi nasional tentang kebijakan pemantapan pembangunan ketahanan pangan dan gizi berbasis kemandirian dan kearifan
lokal bagi institusi pemerintah, organisasi nonpemerintah, swasta,
petani, dan masyarakat di tingkat nasional dan daerah
D. LUARAN
F. PESERTA
c) Adaptasi lingkungan
d) Upaya-upaya adaptasi perubahan iklim terhadap ketahanan pangan
1) Sidang Pleno
Sidang Pleno akan dilaksanakan di Auditorium Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) segera setelah acara Pembukaan.
Dalam Sidang Pleno disampaikan Pidato Pengarahan para
Menteri, Keynote Lecture oleh pembicara dalam dan luar negeri.
Pada akhir Widyakarya akan dilakukan sidang pleno untuk
mendengarkan Hasil Perumusan dan Rekomendasi Kebijakan
yang dihasilkan dalam WNPG X.
2) Sidang Paralel
Sidang Paralel akan dilaksanakan pada tanggal 21 November
2012 di beberapa ruang pertemuan. Sidang Paralel membahas
permasalahan dari setiap bidang sesuai kerangka acuan masingmasing topik. Sidang Paralel membahas 4 (empat) bidang
bahasan, yaitu.
a) Gizi dan Kesehatan di ruang Auditorium Gedung Widya
Graha
b) Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan di Ruang Widya
Graha LIPI Lantai 1
A. ACARA PEMBUKAAN
MEKANISME PENYELENGGARAAN
3) Sesi Poster
Poster diadakan di lantai dasar Auditorium LIPI pada tanggal
20 s.d. 21 November 2012 dengan menyajikan poster makalah
yang lolos seleksi mengenai penemuan dan hasil penelitian yang
tidak disajikan secara oral dan mengacu pada kerangka acuan
masing-masing topik.
1) Peserta
Peserta sidang dimohon memenuhi ketentuan-ketentuan
sidang sebagai berikut:
a) Memasuki ruang sidang paling lambat 15 (lima belas)
menit sebelum acara dimulai.
G. TATA TERTIB
Lomba Penulisan Jajanan Tradisional mengusung Tema "Apresiasi Remaja terhadap Jajanan Tradisional Nonterigu
Nonberas". Lomba ini bertujuan untuk lebih mengenalkan
beragam jajanan tradisional Indonesia, khususnya jajanan yang
bahan dasarnya bukan terigu kepada remaja. Peserta lomba diikuti
oleh siswa SLTP dan siswa SLTA. Pemenang lomba diumumkan
pada tanggal 13 November 2012, dan penganugerahan pemenang
akan dilaksanakan pada tanggal 20 November 2012.
Contact Person:
Tri Budi, No. Telp. 0812-9438366
E. LOMBA MENGARANG
H. PENYAJIAN POSTER
I. MODERATOR
Tiap sidang dipimpin oleh seorang moderator yang mengatur
jalannya sidang sehingga penyajian dan pembahasan makalah dapat
dilaksanakan dalam batas waktu yang telah disediakan. Pada akhir
persidangan, moderator dengan bantuan Notulis membuat
rangkuman diskusi secara tertulis untuk diserahkan kepada Seksi
Persidangan.
10
Notulis bertugas mengikuti jalannya sidang dan mencatat pokokpokok gagasan yang dikemukakan selama sidang. Pada akhir
persidangan, notulis membantu moderator dalam membuat
rangkuman sidang secara singkat dan diserahkan kepada Seksi
Persidangan segera setelah sidang selesai.
Contact Person:
Yusuar, S.H., No. Telp. 0812-951-9217
J. Notulis
11
E. KONSUMSI
D. AKOMODASI
Catatan*)
Pada saat registrasi ulang semua peserta diwajibkan membawa fotocopy bukti transfer
pembayaran untuk mendapatkan Seminar Kit. Bagi mahasiswa membawa fotokopi
Kartu Mahasiswa yang masih berlaku.
B. PAKAIAN PESERTA
A. TANDA PENGENAL
LAIN-LAIN
12
G. SEKRETARIAT
F. KONFERENSI PERS
13
E. BIRO PERJALANAN
D. INTERNET (WIFI)
ATM Counter Bank BCA, Bank BRI, Bank, Mandiri, Bank BNI,
dan Bank CIMB Niaga terletak di Gerbang Gedung Telkom
Sebelah Timur Gedung LIPI.
C. BANK
B. MASJID
A. BALAI KESEHATAN
: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Anggota
14
Ketua
Sekretaris I
Sekretaris II
: Bambang Prasetya
: Haning Romdiati
: Purwanto
B. TIM ILMIAH
(LIPI)
(LIPI)
(LIPI)
: Kepala LIPI
: Deputi Bidang Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas
: Sekretaris Utama LIPI
Ketua
Wakil
Sekretaris
A. PANTIA PENGARAH
SUSUNAN KEPANITIAAN
: 1. Aswatini
2. Minarto
3. Masrizal
4. Sri Setiyawati
5. Tetty Sihombing
6. Halim Nababan
7. Siti Nuramaliati Prijono
8. Witjaksono
9. Gayatri K. Rana
10. Budi Setiawan
11. Hadiat
12. Nono Rusono
13. Yosi Tresnadiani
14. Arum Atmawikarta
15. Dahrulsyah
16. Handewi Purwati Saliem
17. Soemarno
18. Mewa Ariani
19. Agus Heri Purnomo
20. Abas Basuni Jahari
21. Abdul Rachman
22. Bambang Sutejo
23. Hardinsyah
24. Razak Thaha
25. Atmarita
26. Dhian Dipo
27. Zubaidah Irawati
28. Achmad Sulaiman
29. Leonardus Broto Sugeng Kardono
30. Rizal Damanik
31. Zainal Arifin
: Soeparno
: Laily Farida
Ketua I
Ketua II
Sekretaris I
Sekretaris II
Bendahara I
Bendahara II
C. PANITIA PELAKSANA
Anggota
15
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BPK)
(LIPI)
(Persagi)
(Kemenristek)
(Kemenristek)
(BPOM)
(BPOM)
(LIPI)
(LIPI)
(Kementan)
(IPB)
(Bappenas)
(Bappenas)
(Bappenas)
(Bappenas)
(IPB)
(Kementan)
(Kementan)
(Kementan)
(KKP)
(Kemenkes)
(BPS)
(KKP)
(Pergizi Pangan)
(PDGKI)
(Kemenkes)
(Kemenkes)
(BATAN)
(IPB)
(LIPI)
(IPB)
(LIPI)
16
Konsumsi
Koordinator
Anggota
Perlengkapan
Koordinator
Anggota
Protokoler
Koordinator
Anggota
Kesekretariatan
Koordinator
Anggota
Pameran
Koordinator
Anggota
Kehumasan
Koordinator
Anggota
Persidangan
Koordinator
Anggota
(BUP)
(BKPI)
(BKPI)
(BUP)
(BUP)
(BKPI)
(BKPI)
(BUP)
(BKPI)
(BKPI)
(BUP)
(BUP)
(BUP)
(BUP)
(BKPI)
(BUP)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(Pusinov)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
(BKPI)
: Amas
: 1. Agung Legowo
2. Kesi Purnani
3. Eka Yudiarto
4. Sulistyo Widyo
: Edward H. Lumbantoruan
: 1. Ratu Ema
2. Rr. Tety Andriati
3. Nina Kurnia
: Syafrizal Maludin
: 1. Sancoyo
2. Kamera Sembiring
: Endang Tjempakasari
: 1. Dwie Irmawaty Gultom
2. Fakhri Zakaria
: Yusuar
: 1. Krisbiwati
2. Mila Hanifa
3. Sulasmini
4. Yudie Aprianto
: Sunaryo
: 1. Abd. Munir
2. Nuryadi
Tim IT
Koordinator
Anggota
Materi/Pelaporan
Koordinator
: Isrard
Anggota
: 1. Sarwintyas Prahastuti
2. Dhian Kusumawardhani
Transportasi
Koordinator
Anggota
17
(Pappiptek)
(BKPI)
(BKPI)
(UPT BMR/LIPI Press)
(BPK)
(BUP)
(BKPI)
(BUP)
18
LOKASI KEGIATAN
19
20
(SWS) LIPI
21
22
23
24
25
26
27
28
Abstrak
Perdagangan pangan global memberi peluang bagi negara pengekspor
mendapatkan devisa yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup
orang banyak. Namun, kondisi ini juga menghadirkan tantangan baru
bagi produksi dan distribusi pangan dengan dampak luas terhadap
kesehatan. Berbagai permasalahan keamanan pangan telah memengaruhi sektor produksi pangan dalam negeri. Selain permasalahan akses
informasi, insentif untuk produksi, juga dampak pasar yang tidak
kondusif. Semuanya berpengaruh pada harga, kapasitas produksi,
termasuk atribut keamanan dan mutu pangan yang beredar. Konsumen
memiliki tingkat risiko yang berbeda. Satu negara mungkin mendorong
risiko sebisa mungkin mendekati nol, sementara yang lain mungkin
dapat menerima tingkat risiko yang lebih tinggi. Secara global, masalah
keamanan pangan memiliki beberapa implikasi yang sama. Namun,
komplikasi penambahan preferensi konsumen dan peraturan yang
berbeda di berbagai negara menciptakan potensi persaingan dan
konflik. Beberapa negara mengatasinya dengan cara notifikasi
perdagangan, adopsi peraturan, atau negosiasi bilateral. Implikasi
permasalahan keamanan pangan pada skala yang jauh lebih besar dan
menimbulkan beban ekonomi (economic burden) tinggi adalah foodborne
illness. Model perkiraan dasar dari beban ekonomi foodborne illness
meliputi perkiraan ekonomi untuk biaya medis, kehilangan produktivitas, dan penyakit yang berhubungan dengan kematian. Program
pengawasan keamanan pangan yang semakin fokus dengan pendekatan
farm-to-table cukup efektif untuk menurunkan foodborne illness. Risiko
dapat saja terjadi di pertanian dan kondisi ini akan terus berkembang
atau malah diperburuk di titik tertentu di sepanjang rantai pangan.
Pendekatan holistik pengawasan keamanan pangan seperti ini melibatkan pertimbangan analisis risiko fromfarm-to-table. Oleh karena itu,
manajemen pengawasan keamanan pangan di Indonesia dengan sistem
yang terintegrasi menjadi tantangan tersendiri untuk menindaklanjuti
temuan pangan yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat.
Lucky S. Slamet
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
29
Abstrak
Kedaulatan pangan dan kemandirian pangan merupakan prasyarat
untuk mencapai ketahanan pangan. Kemandirian pangan merupakan
kemampuan negara dan bangsa dalam menjamin kebutuhan pangan
yang cukup sampai tingkat perseorangan dari produksi pangan dalam
negeri yang beranekaragam, dengan memanfaatkan potensi sumber
daya dan kerarifan lokal. Sistem ketahanan pangan mencakup aspek
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan. Perwujudan
pemanfaatan pangan berupa konsumsi pangan dan gizi. Dengan
demikian, perbaikan gizi masyarakat tidak dapat dicapai hanya dengan
memperbaiki aspek konsumsi gizi saja, tetapi harus ditangani melalui
keseluruhan sistem ketahanan pangan. Kerangka pikir tersebut
mendasari dan tecermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)
tentang Pangan yang baru. Karena itu, dalam RUU Pangan baru ini
aspek gizi mendapat tempat dalam keseluruhan RUU. Selain itu,
terdapat bab tentang konsumsi pangan dan gizi yang di dalamnya ada
bagian tentang perbaikan gizi. Perspektif ke depan, perlu didalami
kemungkinan perluasan konsep pembangunan nasional di bidang
pangan, dengan mengubah pendekatan atau paradigma dari ketahanan
pangan (food security) menjadi ketahanan pangan dan gizi (food and
nutrition security).
Achmad Suryana
30
M.J. Gidley
The University of Queensland
Centre for Nutrition and Food Sciences
Queensland Alliance for Agriculture and Food Innovation
31
32
Abstrak
Indonesia di masa mendatang dihadapkan pada masalah kualitas
sumber manusia dan beban yang sangat besar terkait perkembangan
Penyakit Khronik atau Penyakit tidak Menular (PTM). Bila selama ini
PTM sangat dikaitkan dengan pola hidup, dalam perkembangannya
semakin nyata bahwa peran gizi pada usia dini diperkirakan lebih besar
perannya dibandingkan perubahan pola hidup semata. Hasil berbagai
survei maupun penelitian kohort berskala kecil dan besar yang
dilakukan sejak lebih dari 3 dekade terakhir di berbagai belahan dunia
semakin memperkuat bukti besarnya pengaruh status gizi seseorang
pada usia dini, atau 1000 hari pertama kehidupan, yaitu selama masa
dalam kandungan dan dalam dua tahun pertama kehidupannya,
terhadap risiko terjadinya PTM pada usia dewasa. Berbagai penjelasan
mengenai hubungan antara status gizi pada usia dini dengan PTM,
antara lain Developmental Origin of Health and Disease (DOHaD),
Development Plasticity dan Mismacth, mempertegas adanya kaitan tersebut
secara ilmiah. Data terkini menunjukkan bahwa prevalensi PTM cukup
tinggi, tidak hanya di kelompok kaya, tetapi juga di kelompok miskin.
Prevalensi hipertensi secara nasional memperkuat asumsi ini, yaitu
sepertiga penduduk usia dewasa Indonesia mengalami hipertensi dan
perbedaan di antara kelompok terkaya dan termiskin tergolong kecil.
Demikian pula dengan penyakit lainnya, yaitu diabetes, obesitas, stroke
dan penyakit pembuluh darah jantung. Stroke merupakan penyebab
kematian terbesar di Indonesia, sementara PTM lainnya seperti
1Staf
33
34
Abstrak
Sejak tahun 1978, setiap lima tahun sekali secara nasional
ditetapkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan dalam
kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). AKG adalah
angka kecukupan zat gizi setiap hari menurut golongan umur, jenis
kelamin, ukuran tubuh, dan aktivitas untuk mencegah terjadinya
kekurangan ataupun kelebihan gizi. Secara internasional, berbagai istilah
digunakan, di Amerika Serikat dan Kanada disebut Dietary Reference
Intakes (DRIs), di Uni Eropa disebut Population Reference Intakes, di
Jepang disebut Nutrients-Based Dietary Reference Intakes (NBDRIs), WHO
menggunakan istilah Recommended Nutrient Intake (RNI), di Filipina
digunakan istilah Recommended Energy and Nutrient Intake (RENI). Bila
suatu masyarakat atau daerah memiliki ukuran tubuh, aktivitas, dan
susunan demografi yang berbeda maka dapat ditetapkan angka
kecukupan gizi yang disesuaikan dengan keadaan tersebut terutama
untuk kecukupan energi dan protein. Banyak sekali macam zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, dan air. AKG tahun 2004 untuk Indonesia terdiri atas
energi; protein; air; 11 vitamin: vitamin A, vitamin D, vitamin E,
vitamin K, thiamin, riboflavin, niasin, asam folat, piridoksin, vitamin
B12, dan vitamin C; 9 mineral: kalsium, fosfor, magnesium, besi,
iodium, seng, selenium, mangan, fluor; dan 2 elektrolit: kalium dan
natrium. Angka kecukupan gizi berubah dari waktu ke waktu mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan hasil penelitian yang
terkait dengan kecukupan gizi dan kesehatan masyarakat. AKG tahun
2012 mengalami perubahan dari AKG yang terakhir, yaitu tahun 2004
dengan berbagai pertimbangan, antara lain i) berbagai fakta baru
tentang kecukupan zat gizi dari berbagai hasil studi; ii) tersedianya data
antropometri secara nasional (berat badan, tinggi/panjang badan)
35
36
Abstrak
Dewasa ini Indonesia menghadapi masalah gizi ganda: (1)
kekurangan gizi yang meliputi anak balita pendek (35,6%), gizi kurang
dan buruk (17,9%) serta kurus (13,3%); dan (2) kelebihan gizi yang
mencakup kegemukan pada anak balita (14%) dan orang dewasa > 18
tahun (22,8%). Prevalensi-prevalensi itu di atas batas WHO (pendek
20%, gizi kurang+buruk 10%, kurus 5%, kegemukan 5%) sehingga
sudah merupakan masalah kesehatan masyarakat. Prevalensi anemia
gizi besi (AGB) pada anak balita, sebesar 26%, juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat karena ada di atas batas WHO (15%). Prevalensi
AGB pada remaja putri, bahkan merupakan yang paling tinggi di antara
kelompok umur lain (57,1%) sehingga perlu mendapat prioritas dalam
Program Penanggulangan AGB sebab mereka adalah calon ibu yang
akan melahirkan penerus generasi berikut. Sementara itu, dalam kurun
waktu 12 tahun sejak 1995, angka kematian karena Penyakit Tidak
Menular (PTM), seperti penyakit kardiovaskular (penyakit jantung dan
pembuluh darah, hipertensi, stroke), diabetes dan kanker, cenderung
meningkat pula, yakni dari 47,7% pada 1995 menjadi 59,5% pada 2007.
Di pihak lain, produk makanan bermerek dan terdaftar, baik Makanan
Dalam Negeri (MD) maupun Makanan Luar Negeri (ML), sekitar 8
9% tidak memenuhi syarat keamanan. Produk pangan industri rumah
tangga (PIRT) dan pangan tidak terdaftar (TTD) yang tidak memenuhi
syarat keamanan, malah lebih banyak lagi (2325%). Penyalahgunaan
bahan tambahan pangan dan bahan berbahaya serta keadaan sanitasi
dan higienis yang buruk pada berbagai jenis makanan yang dijajakan
oleh penjual keliling, termasuk jajanan anak sekolah, masih cukup
tinggi. Dari segi konsumsi makanan, kebiasaan sarapan (makan pagi)
masih rendah di antara anak-anak Indonesia. Setengah dari jumlah anak
SD dan SMP tidak sarapan ketika berangkat sekolah dan anak-anak
yang melakukan sarapan hanya memperoleh energi < 15% dari
kebutuhannya. Konsumsi berbagai jenis makanan segar dan sarat gizi
pada kelompok umur tertentu di berbagai daerah masih di bawah
standar yang dianjurkan. Di pihak lain, konsumsi gula, lemak dan
A.R. Thaha, B.A. Kodyat, D. Latief, E.L. Achadi, A.B. Jahari, Atmarita,
Hardinsyah, N. Afriansyah, I. Syaiful
E-mail: arthaha@gmail.com
37
39
Abstrak
Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Indonesia sudah mencapai berbagai keberhasilan, namun masih dihadapi tantangan besar
ditandai dengan tingginya prevalensi gizi kurang, anak kurus, anak
pendek (35,7% tahun 2010), obesitas, dan beban ganda penyakit
(penyakit menular dan penyakit tidak menular) yang harus disikapi.
Disparitas status gizi masyarakat antarwilayah kabupaten/kota masih
sangat lebar, ditunjukkan dari hasil Riskesdas 2007 sebagai berikut: a)
Kabupaten Aceh Tenggara merupakan kabupaten dengan prevalensi
gizi kurang paling tinggi (48,7%), sedangkan Kota Tomohon paling
rendah (4,8%); b) Kabupaten Seram Bagian Timur adalah kabupaten
dengan prevalensi anak pendek paling tinggi (67,4%), sedangkan
Kabupaten Sarmi paling rendah (16,7%); c) Kabupaten Solok Selatan
merupakan kabupaten dengan prevalensi anak kurus paling tinggi
(42,0%), sedangkan Kabupaten Minahasa paling rendah (0%); d)
Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan kabupaten dengan prevalensi
anak gemuk (obesitas) paling tinggi (42,2%), sedangkan Kabupaten
Sarmi paling rendah (0,6%). Analisis ditujukan untuk memberikan bukti
yang sangat kuat tentang esensi ke-bhineka-an Indonesia terkait kemerataan kesejahteraan sebagai hasil akhir pembangunan kesehatan
(ultimate goal). Analisis menggunakan data Riskesdas 20072010,
Susenas 20072010, Podes 20082011, Rifaskes 2011, PSE 2005 serta
beberapa data yang berasal dari Kementerian dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan dapat menunjukkan adanya keterkaitan antara
intervensi gizi yang efektif dengan berbagai faktor penentu disparitas
kesehatan di Indonesia, yaitu kemiskinan, geografi, peran pemerintah
daerah, peran keluarga, serta peran individu. Tujuh konstruk yang
mencerminkan 3 (tiga) konsep variable, makro, meso, dan mikro,
adalah underlying factors kemerataan kesejahteraan di Indonesia. Kajian
40
41
42
Abstrak
Masalah gizi sering kali tampak dalam berbagai wajah, yang
kesemuanya berdampak besar bagi kesehatan dan produktivitas
penduduk, yang selanjutnya berujung pada daya saing bangsa. Angka
stunting dan gizi buruk yang tinggi merupakan masalah kesehatan yang
serius karena merupakan gambaran kehidupan 100 tahun atau 2
generasi sebelumnya dan juga kehidupannya mendatang. Munculnya
kegemukan dan obesitas serta beberapa indikator gangguan metabolik
pada orang dewasa mempertegas hipotesis bahwa gizi masih menjadi
masalah penting di Indonesia, sedangkan disabilitas sebagai komplikasi
penyakit degeneratif belum mendapatkan perhatian yang serius. Tujuan
dari review ini adalah untuk mengkaji intervensi perbaikan gizi pada 1000
hari pertama kehidupan dan memberi usulan intervensi yang nutritionspecific dan nutrition-sensitive terbaik bagi Indonesia dengan outcome
indicator yang menjadi perhatian adalah stunting, kemampuan kognitif,
kinerja pekerjaan, obesitas, penyakit tidak menular, morbiditas, dan
mortalitas. Intervensi gizi yang telah dijalankan di Indonesia yang
terbukti cost-effective berdasarkan penilaian secara global (Lancet Series,
2008) adalah suplementasi kapsul vitamin A bagi balita, suplementasi
tablet besi/asam folat bagi wanita hamil, garam beryodium, promosi
ASI eksklusif 6 bulan, serta pemberian suplementasi makanan bagi
penderita gizi buruk atau gizi kurang. Apabila intervensi gizi secara
komprehensif diberikan dengan cakupan 99% maka hal itu dapat
menurunkan angka kematian anak dan stunting sebelum umur 36 bulan
sebesar 13,4% dan 15,5%, sedangkan untuk intervensi gizi mikro
memberikan penurunan sebesar 12,1% dan 17,4%. Untuk Indonesia,
perhitungan kontribusi intervensi gizi terhadap penurunan angka
kematian anak dan stunting di Indonesia belum dilakukan. Akan tetapi
sebagai gambaran, angka kematian anak balita di Indonesia tahun 1990
adalah sebesar 85 dan pada tahun 2010 menjadi 35 per 1000 kelahiran
hidup, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 60% dalam kurun
43
45
Abstrak
Informasi mengenai komposisi zat gizi pangan sangat diperlukan
untuk penilaian tingkat kecukupan gizi, penyusunan menu, pendidikan
gizi, dan perencanaan kebijakan pangan dan gizi. Daftar Komposisi Zat
Gizi Pangan (DKZGP) adalah sebuah database yang berisi komposisi
dan kandungan zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan dan
merupakan instrumen dasar dalam penilaian konsumsi zat gizi, baik
pada individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, tinjauan tentang
kelengkapan data yang disajikan dalam DKZGP perlu terus dilakukan
mengingat sampai saat ini informasi yang tersedia di Indonesia masih
relatif terbatas. Keberadaan DKZGP di Indonesia sudah berlangsung
cukup lama. Bermula dari tahun 1953 ketika Lembaga Makanan Rakjat
menerbitkan Daftar Bahan-Bahan Makanan sampai dengan tahun 2001
Puslitbang Gizi Depkes RI menerbitkan Komposisi Zat Gizi Makanan
Indonesia, telah dikeluarkan 10 (sepuluh) jenis penerbitan DKZGP
yang selanjutnya dikompilasi ke dalam Tabel Komposisi Pangan
Indonesia pada tahun 2008 oleh PERSAGI. Daftar pada terbitan
terakhir ini memuat 296 jenis pangan dengan komposisi yang meliputi
air, energi, protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, besi
natrium, kalium, tembaga, seng, retinol, beta karoten, karoten total,
tiamin riboflavin, niasin dan vitamin C. Apabila dibanding dengan
beberapa negara lain di ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Filipina, keberadaan DKZGP Indonesia masih yang
terendah, baik dari jumlah jenis pangan maupun jenis zat gizi yang
disajikan. Sebagai contoh, Singapura telah memiliki DKZGP yang
memuat 3.500 jenis pangan dan zat gizi lain seperti asam lemak,
kolesterol, gula dan pati, serta serat pangan. Keterlibatan Indonesia
dalam jaringan Association of Southeast Asian Network of Food Data
Systems (ASEANFOODS) juga belum maksimal. Jika diperhatikan,
kondisi DKZGP yang ada di Indonesia saat ini dirasakan sangat perlu
untuk dikembangkan. Prioritas seharusnya diberikan untuk segera
1 Dept.
46
menyelesaikan penyusunan database pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Teknik sampling yang tepat dan metode analisis yang
sesuai dengan kemajuan iptek harus diperhatikan. Konversi perhitungan komposisi zat gizi akibat pengolahan dan penyimpanan perlu
mendapat perhatian. Mengingat kemungkinan adanya berbagai kendala
untuk menyusun DKZGP yang lengkap dalam waktu yang relatif
singkat maka beberapa pertimbangan perlu dilakukan. Kerja sama yang
melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders perlu dioptimalkan
untuk membiayai dan melaksanakan pekerjaan analisis pangan di
laboratorium. Koordinasi antarinsitusi dan standardisasi metode analisis
laboratorium merupakan faktor yang akan menentukan kualitas data
yang akan dihasilkan. Untuk menghindari jumlah dan jenis pangan yang
sangat banyak, pemilihan jumlah pangan yang akan dianalisis perlu
mempertimbangkan keberadaan suatu pangan apakah sebagai pangan
utama (major) atau pangan minor. Apabila prosedur penetapan kadar zat
gizi dinilai layak dan benar maka penggunaan data yang sudah tersedia
di berbagai institusi yang melaksanakan program penelitian dan
pengembangan (borrowing) dapat pula dilakukan. Apabila
memungkinkan, maka keberadaan komponen pangan yang menunjang
fungsi gizi seperti fitosterol dan zat antioksidan dapat pula
dipertimbangkan.
47
Abstrak
Penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk sebagian
besar zat gizi didasarkan pada umur dan berat badan normal pada umur
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan data rata-rata berat badan normal
orang Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin. Pada
tahun 2007 dan 2010 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas). Dalam Riskesdas dikumpulkan data
antropometri seluruh anggota keluarga dari balita sampai lanjut usia.
Dengan tersedianya data antropometri seluruh anggota keluarga
dimungkinkan untuk memperoleh angka rata-rata berat badan orang
Indonesia pada berbagai kelompok umur dan jenis kelamin yang
memiliki status gizi baik. Angka rata-rata berat badan yang dihitung ini
adalah untuk memperbarui angka rata-rata yang digunakan pada
penyusunan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 yang sekaligus
digunakan sebagai dasar untuk perhitungan Angka Kecukupan Gizi
(AKG) tahun 2012. Data antropometri dari Riskesdas 2007 dan 2010
digabungkan menjadi satu datafile. Penggabungan ini dilakukan karena
tidak banyak perubahan status gizi dari tahun 2007 ke tahun 2010.
Selanjutnya, untuk anak usia 010 tahun dihitung nilai Z-score Berat
badan (BB) menurut umur (Zsc BB/U), Z-score Tinggi badan (TB)
menurut umur (Zsc TB/U) dan Z-score Berat badan menurut Tinggi
badan (Zsc BB/TB). Untuk anak usia 1119 tahun dihitung nilai Zsc
TB/U dan Z_score Indeks Massa Tubuh menurut umur (IMT/U).
Perhitungan nilai Z-score menggunakan baku pertumbuhan WHO
2006 untuk anak usia 059 bulan (balita) dan baku pertumbuhan WHO
2007 untuk anak 519 tahun. Untuk orang dewasa dihitung nilai IMT
dengan membagi BB (kg)/(TBmeter)2. Pemilihan subjek untuk
perhitungan rata-rata berat badan dan tinggi badan dilakukan dengan
cara sebagai berikut: untuk anak usia 059 bulan dan anak usia 510
1Pusat
48
Kata kunci: Rata-rata berat badan, Rata-rata tinggi badan, Baku WHO
2006, Baku WHO 2007, Z-score, Pertumbuhan normal
tahun dipilih yang memiliki nilai Zsc BB/U, Zsc TB/U dan Zsc
BB/TB dari -2SD sampai +2SD atau dalam kategori pertumbuhan
normal baku WHO 2006 dan 2007. Untuk anak usia 1119 tahun
dipilih yang mempunyai nilai Zscore TB/U dan IMT/U dari -2SD
sampai +2SD atau dalam kategori pertumbuhan normal menurut
WHO 2007. Untuk orang dewasa dipilih yang memiliki nilai IMT dari
18,5 sampai 24,9 yaitu yang tergolong kategori normal dan memiliki
tinggi badan 150 cm atau lebih untuk perempuan dan 155 cm atau lebih
untuk laki-laki. Setelah subjek dipilih kemudian dihitung rata-rata berat
badan dan rata-rata tinggi badan orang Indonesia sesuai dengan
pengelompokan umur yang dipakai dalam penyusunan AKG, ditambah
kelompok 80 tahun ke atas. Di samping pada batas normal -2SD
sampai +2SD di atas dihitung pula rata-rata berat badan dan tinggi
badan pada batas normal -1SD sampai +1SD dan untuk orang dewasa
dipilih tinggi badan 155 cm atau lebih untuk perempuan dan 160 cm
atau lebih untuk laki-laki. Rata-rata berat badan dan tinggi badan orang
Indonesia yang dihitung pada batas normal -2SD sampai +2SD dan
pada batas normal -1SD sampai +1SD pada umumnya sedikit lebih
rendah dari angka rata-rata pada penyusunan AKG 2004 meskipun ada
juga beberapa yang lebih tinggi. Angka rata-rata berat badan dan tinggi
badan pada batas normal -1SD sampai +1SD lebih dekat dengan angka
rata-rata pada AKG 2004 walaupun ada beberapa yang lebih tinggi.
Angka rata-rata berat badan dan tinggi badan orang Indonesia tahun
2007 dan 2010 pada umumnya sedikit di bawah angka rata-rata yang
digunakan pada penyusunan AKG 2004. Pemilihan angka rata-rata
yang digunakan untuk penyusunan AKG 2012 yang telah disepakati
dalam forum diskusi adalah angka rata-rata yang dihitung pada batas 2SD sampai +2SD dengan pertimbangan bahwa sampai 510 tahun
mendatang proporsi terbesar orang Indonesia yang memiliki ukuran
normal menurut baku WHO masih berada pada batas tersebut.
49
Abstrak
Vitamin adalah zat gizi mikro yang sangat diperlukan tubuh
manusia meski dalam jumlah sedikit. Kekurangan asupan zat gizi ini
dapat menimbulkan akibat yang akan memengaruhi status gizi dan
kesehatan manusia. Berbagai masalah gizi di Indonesia banyak
disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi ini. Terdapat 13 vitamin
yang telah diketahui esensial bagi kesehatan manusia yang dapat
dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu vitamin yang larut di dalam
lemak, yaitu vitamin A, D, E dan K dan vitamin larut air, yaitu C, B1,
B2, B6, B12, Folat, Niacin, Pantotenat, dan Biotin. Vitamin larut lemak
(A, D, E, dan K) umumnya terdapat bersama-sama dalam bagian lemak
atau minyak dari makanan. Seperti lipid, vitamin ini membutuhkan
asam empedu untuk penyerapannya. Sekali diserap, vitamin ini akan
disimpan di dalam hati dan jaringan berlemak sampai diperlukan.
Defisiensi dapat terjadi bila diet secara konsisten rendah vitamin ini
atau secara tanpa sengaja hilang dari saluran pencernaan atau terlarut
dalam lemak yang tidak dicerna. Tiap penyakit yang menyebabkan
malabsorpsi lemak dapat menyebabkan defisiensi vitamin larut lemak.
Defisiensi juga terjadi bila orang makan diet yang sangat rendah lemak
yang menyebabkan penyerapan vitamin ini terganggu. Kemampuan
vitamin larut lemak untuk disimpan selain dapat mencegah terjadinya
defisiensi karena asupan dari makanan yang sewaktu-waktu kurang,
juga dapat memberi peluang untuk terjadinya keracunan bila terjadi
kelebihan konsumsi, terutama dalam bentuk suplemen. Berbeda dengan
vitamin larut lemak, vitamin larut air tidak dapat disimpan dalam tubuh
sehingga harus selalu tersedia dalam diet. Angka kecukupan gizi vitamin
ini dimaksudkan untuk menjadi rujukan asupan vitamin agar tercapai
kondisi yang sehat. Untuk masing-masing jenis vitamin dibahas
mengenai fungsinya bagi tubuh, sumber bahan pangan, efek
kekurangan maupun kelebihan, faktor-faktor yang memengaruhi
kebutuhan. Angka kecukupan, metode penentuan kebutuhan, dan
kecukupan, rekomendasi kecukupan dan penerapannya, serta berbagai
1Departemen
50
temuan baru terkait fungsi dan peranan vitamin serta riset yang
diperlukan untuk masa mendatang. AKG vitamin dinyatakan untuk
masing-masing kelompok umur dari bayi berusia 06 bulan dan 711
bulan sampai orang lanjut usia di atas 80 tahun. Dibahas pula angka
kecukupan yang dianjurkan untuk kondisi khusus atau untuk
pencegahan penyakit tertentu walaupun tidak untuk semua vitamin. Ini
yang membedakan dengan AKG vitamin yang dihasilkan dalam
WNPG 2004. Penyempurnaan AKG vitamin dilakukan dengan
mempertimbangkan perkembangan iptek dan fakta-fakta baru terkait
peran dan fungsi vitamin serta pola konsumsi masyarakat serta berbagai
kesepakatan internasional maupun regional. Mengingat masih
terbatasnya riset di dalam negeri, penetapan AKG vitamin ini banyak
didasarkan pada hasil penelitian di luar negeri serta membandingkan
AKG vitamin dari berbagai negara dengan tetap mempertimbangkan
hasil-hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2007 dan 2010). Di masa
mendatang diperlukan studi di dalam negeri untuk penetapan kriteria
kecukupan masing-masing vitamin. Agar AKG ini dapat digunakan
sebagai acuan dalam menilai kecukupan dan dalam perencanaan pangan
dan gizi, diperlukan data mutakhir mengenai kandungan vitamin, baik
larut air maupun lemak serta prekursornya bila terdapat pada berbagai
jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
51
Abstrak
Sebanyak 60% jumlah penduduk dunia menggunakan beras sebagai
bahan pokoknya. Masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi beras
tertinggi di dunia, yaitu 139,15 kg/kapita/tahun (Bungaran Saragih,
2012). Sebagai pembanding, Malaysia 80 kg dan Jepang 60
kg/kapita/tahun. Ketahanan Pangan Nasional saat ini masih
dititikberatkan dan didasarkan pada peningkatan Penawaran atau
Produksi dan masih belum didasarkan pada peningkatan efisiensi
manajemen permintaan, yaitu dengan cara mengurangi tingkat
konsumsi beras yang didasarkan pada kajian ilmiah serta melalui health
promotion yang mengaitkan prevalensi Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2
dengan tingginya tingkat konsumsi beras. Target produksi padi (2012)
adalah 76,5 juta ton gabah kering atau setara dengan 44 juta ton beras,
dengan perhitungan akan surplus 10 juta ton beras (Rusman HeriawanWamen Pertanian, 2012). Diperkirakan target tersebut sulit untuk
dicapai. Prakarsa baru perlu dilakukan dengan pengendalian manajemen
permintaan berdasarkan acuan hasil studi terhadap pengaruh tingginya
konsumsi beras yang akan dikaitkan dengan tingginya kasus Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. Tingginya prevalensi diabetes melitus tipe
2 di Indonesia, tertinggi keempat dunia menurut WHO (2004), perlu
dikaitkan dengan tingginya tingkat konsumsi beras putih dan gula oleh
masyarakat sebagai sumber karbohidrat. Tingginya konsumsi produk
yang menggunakan beras dan tepung terigu juga diduga menjadi salah
satu faktor penyumbang timbulnya gejala awal diabetes melitus tipe 2.
Beras putih dan gandum diperoleh dari proses penyosohan yang
menghasilkan bekatul sebagai limbah, padahal dalam bekatul terdapat
52
komponen gizi prima, yaitu kaya akan serat (baik yang larut maupun
yang tidak larut), tinggi komponen lemak dan protein yang bermutu
tinggi, kaya akan vitamin B kompleks, mineral, phytosterol,
phytonutrient, gama-orizanol dan terdapat sekitar 100 jenis antioksidan
yang merupakan potensi penangkal kesehatan dalam mengendalikan
dan menurunkan risiko munculnya diabetes tipe 2. Diperkirakan di
Indonesia diproduksi sekitar 6 juta ton bekatul/tahun yang terbuang
atau kurang dimanfaatkan. Teknologi baru telah mampu membuat
bekatul stabil dan tidak cepat tengik. Informasi mengenai nilai Indeks
Glisemik (IG) suatu bahan pangan menjadi sangat penting dalam
pengendalian penyakit diabetes melitus tipe 2 karena nilai tersebut
mencerminkan kemampuan suatu bahan pangan dalam meningkatkan
kadar gula darah postprandial. Data nilai IG dari berbagai jenis bahan
baku dan produk pangan di Indonesia juga belum tersedia. Sebaliknya,
telah dihayati bahwa pangan dengan IG rendah banyak menekan
timbulnya overweight, obesitas, serta kasus penderita diabetes melitus tipe
2. Semakin tinggi serat, semakin rendah IG-nya (di bawah 50). Beras
putih rendah seratnya sehingga hampir seluruh beras dan produk beras
memiliki IG yang tinggi (di atas 70). Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis nilai IG dari bekatul beras, bekatul gandum, dan sejumlah
makanan tradisional di Jakarta serta mendesain suatu formulasi pangan
yang mengandung bekatul untuk menurunkan risiko diabetes melitus
tipe 2. Studi intervensi yang direncanakan pada tahun kedua akan
mengkaji hubungan formulasi produk pangan industri berbahan
bekatul sebagai sumber serat dengan penurunan risiko diabetes melitus
tipe 2. Metode yang dilakukan berupa analisis IG, analisis proksimat
dan serat kasar, uji organoleptik, serta uji parameter antropometri dan
biokimia klinik (indeks massa tubuh, gula darah puasa dan postprandial,
HbA1C, profil lipid, tes faal ginjal, dan fungsi hati). Hasil penelitian ini
dapat digunakan untuk mengetahui faktor risiko penyakit diabetes
melitus tipe 2 yang berkaitan dengan asupan pangan tinggi karbohidrat
dan lemak. Hasil tersebut sekaligus mampu memperkuat Sistem Inovasi
Nasional pada riset dasar dengan meningkatkan kewaspadaan dan
kepedulian masyarakat terhadap seriusnya bahaya penyakit noninfeksius
diabetes melitus tipe 2 bagi masyarakat Indonesia yang dapat
menurunkan produktivitas sumber daya manusia Indonesia dan secara
umum berdampak nyata pada aspek ekonomi bangsa. Melalui health
promotion yang terencana baik dapat dilakukan sosialisasi mengenai
betapa pentingnya penghayatan penurunan konsumsi dalam menekan
53
54
Abstract
The Conditional Family Program (PKH) on health, which is a continuation of cash
transfer program, is intended for poor families having children under five, pregnant women
and lactating mothers since 2007. The objectives of this study were to analyze the
effectiveness of Conditional Family Program/Program Keluarga Harapan (PKH) on
nutritional status of children under three years (toddlers). This study used e-file data of the
evaluation of PKH program from the World Bank Office of Indonesia. This study was
designed as a cross sectional study design. Data used on this study were collected at 2007
(before) and 2009 (after). The survey was conducted in six provinces of Indonesia (DKI
Jakarta, West Java, East Java, North Sulawesi, Gorontalo, and East Nusa Tenggara)
with numbers of samples were 9221 toddlers in 2007 and 8067 toddlers sample in
2009. Nutritional status of toddlers was determined by height/age (H/A) z-scores before
and after program respectively. The results showed that the prevalence of stunting (H/A
z-score < -2.0) was 29.3% in 2007 and 25.9% in 2009. Overall, there was significant
difference (p<0.05) of H/A z-score between 2007 (mean H/A z-score -1.9) and 2009
(mean H/A z-score -1.6). The reduction of stunting in boys was higher than in girls.
However, the effectiveness of PKH program varies among the provinces. In DKI Jakarta
and West Java, the H/A z-score was not significantly affected by PKH program. In
East Java and North Sulawesi, it was significantly and possitively affected by PKH
program; while in Gorontalo and East Nusa Tenggara (NTT), it was significantly and
negatively affected by PKH program. This implies that the PKH program could partly
protected toddlers from more serious nutrition problem (stunting) in selected areas.
Considering the weaknesses of the evaluation method (cross sectional design), further
evaluation could apply a strong design to have a strong conclusion of the effectiveness of the
PKH program.
1Departemen
55
Abstrak
Status gizi anak balita di Indonesia sudah mengalami perbaikan
yang nyata. Meskipun demikian, prevalensi anak pendek atau stunting
masih tinggi. Masih tingginya angka stunting ini dapat dimengerti,
mengingat stunting merupakan hasil akhir proses kekurangan gizi yang
kronis dan/atau berulang sehingga penanggulangannya memerlukan
pemahaman terhadap pathway terjadinya secara komprehensif. Sampai
saat ini di Indonesia penanganan masalah gizi lebih banyak difokuskan
pada anak usia di bawah lima tahun melalui pemantauan berat badan
anak setiap bulan dan beberapa kegiatan tambahan lainnya, seperti
pemberian makanan tambahan untuk anak gizi buruk, penyuluhan, dan
imunisasi. Intervensi ini terkesan kurang efektif karena yang membaik
adalah berkurangnya anak balita dengan status gizi kurang (underweight),
namun tidak demikian halnya dengan anak balita stunting. Data
Riskesdas 2010 menginformasikan bahwa prevalensi underweight pada
anak balita sebesar 17,9 %, sedangkan prevalensi stunting pada balita
sebesar 35,6%. Perkembangan terkini mengaitkan masalah stunting ke
kondisi yang lebih hulu, yaitu saat anak di dalam kandungan, dan pada
usia 2 tahun pertama kehidupan. Inilah masa yang disebut Window of
Opportunity karena bila terjadi salah gizi selama periode ini dan tidak
ditangani sedini mungkin maka kita akan kehilangan peluang untuk
memperbaiki status gizi anak sampai dewasa akibat salah gizi yang
terjadi pada periode ini bersifat permanen. Lebih jauh, periode Window
of Opportunity tidak hanya dimulai saat kehamilan, tetapi sebelum
kehamilan terjadi. Dua faktor utama yang memengaruhi status gizi anak
di dalam kandungan adalah tinggi badan ibu dan berat badan ibu
prahamil apakah sesuai standar. Kedua faktor ibu ini, ditambah dengan
pertambahan berat badan yang rendah selama kehamilannya
mempunyai peran sekitar 40% terhadap keterlambatan pertumbuhan
janin. Sementara itu, gambaran status gizi pada wanita dewasa di
Indonesia menunjukkan cukup tingginya potensi risiko terjadinya
1Pusat
56
57
Supplementation,
Abstract
Malnutrition has been becoming a major health program for global society. If no
serious treatment is conducted, the number of the malnutrition children will increase
rapidly from 166 to 175 millions in 2020. Multimicronutrient supplementation is
expected to be able to improve the malnutrition childrens performance. The
experiment was carried out to verify that multimicronutrien supplementation can
decrease the malnutrition children morbidity, improve the nutrition intake, improve
the micronutrient status, increase the nutrition status, and improve the psychomotoric
performance. This study is an experiment research with a RCT design. Subjects
with certain inclusive criterias were classified randomly into 2those who got
multimicronutrient supplementation and those who got single micronutrient
supplementation. The findings show that single micronutrient supplementation and
multimicronutrient supplementation can increase the ferritin serum and hemoglobin,
but they do not increase the zinc serum and retinol serum. Both supplementations
can also increase the nutrition intake, protein, Fe, zinc, and vitamin A.
Furthermore, both can shorten the number of days of cough. However, they do not
increase the nutritional status. There is not effect difference to the development of
psychomotor, to the personal development, as well as the language development
between the two supplementations. Both multimicronutrient and single micronutrient
supplementations can decrease the morbidity, increase the nutritional status,
micronutrient status, as well as the development of malnutrition children.
1Fakultas
58
Abstrak
Program Raskin merupakan salah satu skema bantuan pangan
bagi masyarakat miskin yang sangat bermanfaat dalam meningkatkan
akses masyarakat miskin terhadap beras. Meskipun demikian, Raskin
juga menimbulkan ekses berupa perubahan pola konsumsi pangan
masyarakat yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok nonberas,
kemudian beralih kepada beras sebagai bahan pangan pokok sehingga
meningkatkan ketergantungan kebutuhan pangan masyarakat tersebut
kepada beras sebagai bahan pangan pokok. Hal ini dapat menyebabkan
kerentanan pangan, terutama di daerah bukan penghasil beras apabila
terjadi gangguan pasokan dan gangguan distribusi beras ke daerah
tersebut. Untuk itu, diperlukan pemikiran baru dalam kerangka
penyempurnaan kebijakan bantuan pangan kepada penduduk miskin
yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Program subsidi bahan pangan pokok untuk masyarakat berpendapatan
rendah merupakan salah satu alternatif rancangan program bantuan
pangan yang berbasis pada sumber daya pangan wilayah untuk
meningkatkan akses pangan pokok bagi penduduk miskin, dan memperkuat cadangan pangan masyarakat untuk mengantisipasi keadaan
darurat pangan. Hal ini diharapkan juga berdampak positif dalam
rangka mendorong pembangunan industri pangan lokal, mempercepat
penganekaragaman pangan, menumbuhkan ekonomi, dan kesempatan
kerja di pedesaan.
1Sekretaris
59
Abstrak
Kehilangan dan pemborosan pangan di Indonesia masih tinggi. Sementara itu, upaya meningkatkan ketersediaan pangan untuk memenuhi
permintaan pangan yang terus meningkat sulit dilakukan. Hal ini terkait
dengan adanya masalah konversi lahan pertanian ke nonpertanian yang
cenderung meningkat, perubahan iklim yang semakin tidak menentu
sehingga memperburuk kinerja produksi pertanian, serta volatilitas
harga pangan yang cenderung kurang memberikan insentif bagi petani
untuk berinvestasi pada teknologi pertanian. Terkait dengan kendala
tersebut, upaya mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan menjadi sangat relevan dan sebagai langkah alternatif dalam meningkatkan
ketersediaan pangan, yang pada akhirnya akan memperkuat ketahanan
pangan. Kehilangan pangan terjadi karena masih rendahnya tingkat
penggunaan alat dan mesin panen dan pascapanen pada tanaman
Abstract
Food loss and waste in Indonesia have remained high. Whereas, efforts to increase
food availability to promote a sustainable food security tend to be more difficult. This
is related to the persistent problems of agricultural land conversion and climate
change that worsening the performance of agricultural production, as well as food
price volatility. These unfavorable trends do not provide incentives for farmers to
invest in the development of agricultural technology. Associated with these
constraints, then, any effort to reduce food loss and waste will be a relevant, as an
alternative step to increase food availability, and then strengthen food security. Food
loss has occured due to lack of harvesting and post harvest equipment and machinery
utilization. Meanwhile, food waste has happened due to the problems of mindset,
culture, and lack of public awareness of economic value loss of food. Therefore, efforts
to reduce food loss have to be done via investment of technology that can save and/or
extend the shelf life of food. Reducing food waste has to be carried out through
changing mind-set and societys eating culture.
1)Peneliti
60
pangan, kualitas sumber daya dan prilaku petani. Sementara pemborosan pangan terjadi karena adanya persoalan pola pikir, budaya, dan
kurangnya kesadaran masyarakat terhadap kehilangan nilai ekonomi
pangan. Oleh karena itu, upaya pengurangan kehilangan pangan perlu
dilakukan melalui investasi dan teknologi yang dapat menyelamatkan
dan/atau memperpanjang daya simpan pangan. Pengurangan pemborosan pangan dapat dilakukan melalui perubahan mind-set dan budaya
makan masyarakat.
61
Abstrak
Kelangsungan hidup suatu negara akan sangat bergantung pada
bagaimana warganya mengelola kekayaan alamnya secara bijaksana.
Masyarakat menggunakan sekitar 6000 spesies tanaman dan hewan
dalam kehidupan sehari-hari sebagai sumber pangan, sandang dan
papan, potensi sumber daya ekonomi, bahan obat tradisional maupun
modern, serta penunjang kebutuhan budaya, seni, dan keagamaan.
Masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis
tumbuhan dan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari
100 jenis kacang-kacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayursayuran dan jamur. Dengan jumlah penduduk yang besar serta untuk
mempertahankan kemandirian bangsa, keanekaragaman hayati sumbersumber bahan pangan, sandang dan papan harus dikelola secara
terpadu dengan memperhatikan kelestariannya. Terkait hal tersebut
maka pembangunan pertanian harus: a) Meningkatkan dampak positif
dan mencegah dampak negatif sistem pertanian terhadap ekosistem
pertanian; b) melakukan konservasi dan pemanfaatan sumber daya
genetik yang mempunyai nilai aktual dan potensial untuk pangan dan
pertanian secara berkelanjutan; dan c) Meningkatkan pembagian
keuntungan secara adil dan merata dari hasil pemanfaatan sumber daya
genetik. Untuk itu, program pengembangan areal pertanian harus
mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah, serta dengan menyusun
program-program aplikatif lainnya di lapangan. Perencanaan Tata
Ruang wilayah tersebut ditetapkan dengan memperhatian daya dukung
dan daya tampung lingkungan.
62
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas. Kekhawatiran
atas kemungkinan terjadinya krisis pangan sebagaimana banyak
dilontarkan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti Food and
Agriculture Organization (FAO), World Bank (WB) dan organisasiorganisasi regional seperti Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
harus dipandang sebagai kesempatan untuk memanfaatkan dan
mengelola kekayaan keragaman sumber hayati bahan pangan tersebut
untuk memasok kebutuhan pangan dunia (to feed the world). Potensi
sumber daya pangan Indonesia yang merupakan faktor produksi utama
untuk menghasilkan pangan, pada saat ini belum dikelola secara
optimal. Keanekaragaman hayati nasional, baik flora maupun fauna,
belum digali dengan baik dan belum dikembangkan sebagai sumber
pangan, yang beranekaragam dengan gizi seimbang. Sumber daya alam
yang beragam tersebut belum dikelola dengan prinsip-prinsip
keberagaman, tapi justru dilakukan dengan secara sadar atau tidak
mengarah pada pola penyeragaman. Melalui pemanfaatan potensi
keberagaman sumber bahan pangan lokal tersebut dapat dibangun dan
diciptakan ketahanan pangan yang tangguh. Bahkan dengan potensi
yang demikian besar, Indonesia semestinya dapat menjadi salah satu
negara lumbung pangan dunia, sekaligus mampu membantu masyarakat
dunia mengatasi kekurangan pangan.
63
Abstrak
Tulisan bertujuan untuk menganalisis perkembangan pola konsumsi
pangan ditinjau dari aspek sosial ekonomi. Aspek sosial ekonomi yang
ditelaah terkait dengan karakteristik wilayah (desa-kota), tingkat
pendapatan, dan sumber perolehan pangan pokok rumah tangga di
Indonesia. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan
data Susenas (BPS) tahun 20022011. Hasil analisis menunjukkan
bahwa (1) Selama 20022011 terjadi perubahan pola konsumsi dan
pengeluaran rumah tangga di perdesaan dan perkotaan Indonesia.
Pengeluaran makanan menurun diikuti meningkatnya pengeluaran
nonmakanan. Di pedesaan, pangsa pengeluaran makanan lebih besar
dari nonmakanan menunjukkan tingkat kesejahteraan rumah tangga di
perdesaan lebih rendah di banding di perkotaan. Implikasinya,
kebijakan pembangunan nasional perlu lebih mempriotaskan pada
upaya peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan; (2) Pergeseran
pola konsumsi pangan pokok mengarah pada pangan berbahan terigu
(mie). Diversifikasi pola konsumsi pangan pokok di perdesaan hanya
terjadi pada kelompok pendapatan rendah, penduduk pendapatan
tinggi mengarah pada pola tunggal beras dan atau beras+terigu. Untuk
mendorong konsumsi pangan lokal sebagai sumber pangan karbohidrat
perlu dilakukan secara sinergis penanganan di sisi produksi dan
ketersediaan dan sisi permintaan melalui sosialisasi, edukasi, dan
advokasi tentang pentingnya konsumsi beragam, seimbang dengan
mempromosikan keunggulan pengembangan pangan lokal; (3) Sumber
perolehan bahan pangan pokok umumya berasal dari pembelian,
termasuk di daerah perdesaan. Oleh karena itu, stabilisasi harga pangan
pokok perlu dijaga agar tingkat harga pangan dapat memberi insentif
bagi produsen dan terjangkau bagi konsumen.
64
Abstract
This paper aims to analyze the development of the pattern of food consumption in
terms of socio-economic aspects. Socio-economic aspects related to the characteristics of
the studied area (rural-urban), income level, and the source of household food
acquisition in Indonesia. Descriptive analysis was done using Susenas data 2002
2011. The results showed that (1) During 20022011 there were changes in
consumption patterns and household expenditures in rural and urban Indonesia.
Food expenditures decreased followed by increased spending on non-food. In rural
which is areas, the share of food expenditures was greater than the non-food, showing
the level of welfare of households in rural areas are lower in urban appeal. The
implication, national development policies need to be more prioritized at improving
the welfare of the rural population, (2) shift in staple food consumption average
household leads to food made from wheat (noodles). Diversification of staple food
consumption patterns in rural areas occur only in low-income groups, while the high
income leads to a single pattern of rice or rice and wheat. To encourage local food
consumption as a food source of carbohydrate necessary to synergistically handling in
the production and availability and the demand side through socialization, education
and advocacy on the importance of consumption varied, balanced by promoting
excellence development of local food, (3) the acquisition of basic food source generally
from purchases, including in rural areas. Therefore, the stabilization of staple food
prices need to be kept to the level of food prices can still provide incentives for
producers and affordable for consumers.
65
Abstrak
Perubahan lingkungan strategis menimbulkan kekhawatiran terhadap
penurunan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan berimplikasi pada
pentingnya ketahanan pangan dalam pembangunan nasional. Ketahanan pangan berperan menentukan stabilitas dan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan pangan penduduk. Rumah tangga petani padi
berbeda dari Rumah tangga biasa karena selain menjadi konsumen
mereka juga menjadi produsen pangan yang memiliki akses langsung
terhadap pangan sehingga secara ekonomi perilaku konsumsi mereka
akan terkait dengan perilaku produksinya. Pada penelitian sebelumnya,
karakteristik Rumah tangga seperti itu belum banyak diperhatikan.
Makalah ini bertujuan menganalisis pengaruh perubahan beberapa
faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan Rumah tangga menggunakan simulasi persamaan simultan dengan basis model ekonomi
Rumah tangga pertanian (Agricultural Household Model). Hasil analisis
menunjukkan bahwa pengaruh negatif kenaikan harga pupuk terhadap
ketahanan pangan Rumah tangga dapat ditekan jika secara bersamaan
harga padi meningkat proporsional. Kecukupan energi dan status gizi
indikator utama ketahanan pangan masih meningkat meskipun dengan
persentase relatif kecil. Penambahan luas lahan garapan maupun
peningkatan diversifikasi usaha meningkatkan kinerja ketahanan pangan Rumah tangga. Akan tetapi, penambahan luas lahan memberikan
pengaruh lebih besar dibanding peningkatan diversifikasi usaha.
Pengaruh perubahan kedua faktor ekonomi itu lebih besar pada
kelompok Rumah tangga tidak miskin. Implikasi temuan tersebut
adalah agar ketahanan pangan Rumah tangga petani dapat ditingkatkan.
Oleh karena itu, jika harga pupuk (input) mengalami kenaikan,
pemerintah perlu segera merumuskan dan mengimplementasikan
kebijakan yang dapat mendorong peningkatan harga padi (output).
Selain itu, pemerintah juga perlu merumuskan kebijakan yang mampu
66
67
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mengukur pencapaian tujuan MDGs yang
pertama, yaitu menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan di
Indonesia hingga setengahnya pada tahun 2015. Ukuran yang
digunakan adalah suatu indeks komposit yang disebut PHI (Poverty and
Hunger Index). PHI merupakan kombinasi dari 5 indikator pada tujuan 1
MDGs, yang dikombinasikan menggunakan cara yang mirip dengan
pembuatan indeks komposit IPM. Hasil penghitungan indeks PHI
menempatkan provinsi-provinsi dalam 3 kategori, yaitu tinggi (2
provinsi, yaitu Bali dan DKI Jakarta), menengah (30 provinsi) dan
rendah (1 provinsi yaitu Papua Barat). Kemajuan pencapaian tujuan
pertama MDGs per provinsi dilihat dengan indeks PHI-P dalam 3
kelompok, kemajuan cepat (12 provinsi), progres lambat (13 provinsi)
dan kemajuan stagnan (8 provinsi). Kombinasi PHI dan PHI-P
menghasilkan klasifikasi provinsi menurut skala prioritas pembangunan
dalam kerangka mewujudkan tujuan pertama MDGs, yaitu prioritas
rendah (8 provinsi), prioritas sedang (13 provinsi), dan prioritas tinggi
(12 provinsi).
Faharuddin
BPS Provinsi Sumatra Selatan
68
Abstract
Background: Food and nutrition assessments, combined with expenditure
surveys, provide information about what people eat, how much money they spend on
it, and their nutritional status. However, in contexts where food availability does not
appear to be a problem, it often remains unknown how much of the nutrient gap is
due to economic constraints to meet a nutritious diet (unaffordability) and to lack of
knowledge and practices on food and nutrition. Current methodologies to assess food
and nutrition security are not able to analyze households' constraints in accessing
their nutrient requirements, especially for their most vulnerable members, such as
children under two years. Objectives: 1) Provide an overview of the Minimum
Cost of Nutritious Diet (CoD) methodology, how it works, how it was developed;
2) Discuss how the CoD methodology can be useful in the Indonesian context,
including its potential use as a policy advocacy tool. Methods: The CoD tool is a
spread sheet using Microsoft Excel software, developed by Save the Children UK
(SC-UK) in 2006. The tool uses Excels solver function to perform linear
optimization. To run the optimization process, the model uses 2 standard
databases: food composition tables and individual energy and nutrient
requirements. CoD requires 3 sets of locally-specified data: 1) A
comprehensive list of all food items available and their market prices at a given point
in time in the CoD area; 2) Typical household composition, based on sex, age,
weight and activity level; 3) Portion sizes for each food item and food group and
minimum and maximum consumption. The CoD tool calculates the price of a
theoretical nutritious diet which satisfies all nutritional requirements of a modelled
family at the minimum possible cost, based on the availability, price, and nutrient
content of local foods (Minimum Cost of a NutritiousMCNUT diet).
The model can be adjusted to better reflect food preferences and consumption
behaviours (Locally Adapted Cost Optimized NutritiousLACON
diet). Results: The main types of analyses which can be performed using the CoD
Maria Catharina
Badan Perserikatan Bangasa-bangsa
69
tool are the affordability analysis and cost-effectiveness analysis of various nutritionspecific and nutrition-sensitive interventions through modelling. Based on household
expenditure data and family composition (Susenas 2010), the percentage of
households who can afford MCNUT, or LACON, can be calculated to show the
extent to which economic access limits the potential ability to fulfil the nutrient
requirements of a family within a certain area, as compared to other areas. It is
possible to model new scenarios (either at a zero cost through social safety net
programmes, or at subsidized or regular market prices) that incorporate various
interventions (provision of fortified food, such as fortified rice, or complementary food
supplements for children 624 months and other vulnerable groups) and gauge their
impact on the cost of a nutritious diet for a particular age group or for the household.
This change in cost comparison also allows the user to assess the cost-effectiveness of
interventions relative to one another. Conclusion: The CoD analysis provides
insights on household affordability and cost-effectiveness, as well on the potential
impact of various nutrition-specific and sensitive interventions targeting the first
1000 days and the household (though modelling). While the affordability analysis is
very powerful to illustrate the extent of economic constraints to food access in a
particular area, the cost-effectiveness analysis can add to the information available
for decision making at the local level. The CoD analysis is a useful entry point for
discussion on the type and combination of delivery channels to best achieve
nutritional outcomes, both through government Social Safety Nets and market
solutions. Finally, the tool has a great potential to support decentralised policy
decision making.
70
Abstrak
Pondasi ketahanan pangan yang kokoh suatu negara dapat diawali
dengan menumbuhkan kemandirian pangan rumah tangga. Artinya
pangan kecukupan, stabil, mudah akses dan aman pada tingkat rumah
tangga petani. Sejalan dengan peran pekarangan, yaitu sebagai lumbung
pangan hidup, warung hidup, bank genetik, apotek hidup dan estetika
maka untuk mencapai kemandirian pangan keluarga harus
mengupayakan optimalisasi peran pekarangan. Akan tetapi, percepatan
pelaksanaan program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) di desadesa contoh, berbasis partisipatif bagi para pemangku kepentingan
dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, ternyata membutuhkan benih dan bibit, baik tanaman, ternak ikan yang banyak. Kebun
Bibit Desa (KBD) yang dikelola profesional terbukti mampu memasok
kebutuhan benih dan bibit tersebut. Tumbuhnya KBD ini pada
akhirnya menjadi salah satu indikator keberlajutan KRPL. Kesulitan
pengadaan benih/bibit bagi rumah tangga yang tergabung dalam
komunitas KRPL dapat di atasi oleh KBD. Sementara itu, pangan
aman jika mengikuti Primida Makanan yang indikatornya kecukupan
energi dan gizi. Dalam daftar komposisi bahan makanan (DKBM)
tertuang komposisi energi, gizi, vitamineral, serat berbagai jenis
tanaman. Berangkat dari pemikiran ini dan dipadukan dengan
pemanfaatan sumber daya lahan yang dimiliki oleh keluarga tani
anggota komunitas KRPL (jika komunitas yang bersangkutan ada yang
tidak mempunyai pekarangan, dikenalkan inovasi pertanian vertikal)
maka dengan menyusun komposisi jenis tanaman dan ternak, serta
memasukkan parameter umur, waktu tanam, lokasi tanam, curahan
tenaga kerja, biaya pengelolaan di-overlay dengan kandungan energi, gizi,
vitamineral, serat, protein yang ada dalam tanaman atau ternak, akan
diperoleh kalender tanam (Katam) Lingkar pertanaman (Crop circle).
Sudarmadi Purnomo
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur
Jln. Raya Karangploso Km 4, Malang 65101, JawaTimur
E-mail :sudarmadip@yahoo.com
71
Perencanaan berupa kalender tanam selama setahun yang disusun partisipatif oleh keluarga tani terbukti mendorong pemenuhan kebutuhan
pangan dan gizi harian, yang pada akhirnya menurunkan belanja harian
dan meningkatkan pola pangan harapan.
72
Abstrak
Antara data produksi dengan data kebutuhan pangan (beras)
nasional sering terjadi kurang-sesuaian (discrepency), disebabkan oleh
tingkat akurasi data produksi dan data konsumsi yang lemah. Produksi
nasional diperoleh dari perhitungan hasil ubinan (produktivitas per ha)
dikalikan luas panen, harus dikoreksi dengan kehilangan hasil karena
cekaman abiotik (kekeringan, banjir) dan cekaman biotik (hama,
penyakit, tikus) dan kehilangan hasil pada proses pascapanen.
Perbedaan antara kebutuhan beras untuk dikonsumsi (rice as consumed)
dengan produksi gabah di lapangan (rice as produced) berdasarkan data
yang ada mencapai 17,5%. Pada tahun 2022 penduduk Indonesia akan
mencapai sekitar 281 juta jiwa, mengkonsumsi 31 juta ton beras (setara
dengan 52 juta ton gkg), atau membutuhkan sebanyak 63 juta ton gkg
pada tingkat produksi di lapangan. Untuk memperoleh produksi 63 juta
ton gkg pada tahun 2022 akan berhadapan dengan lebih banyak
masalah, yang utama adalah luas lahan sawah menyusut karena konversi
lahan; ketersediaan air berkurang; OPT lebih tinggi intensitasnya;
tenaga kerja di lapangan semakin mahal dan sulit diperoleh; dan harga
sarana produksi semakin mahal. Walaupun prognosa kebutuhan
produksi beras masih termasuk dalam kisaran kapasitas produksi
maksimal dari sumber daya lahan yang ada, namun diperlukan tindakan
antisipasi oleh adanya kemungkinan terjadi perubahan pola iklim yang
ekstrim sehingga mengganggu kemampuan produksi pangan nasional.
Tindakan antisipasi yang harus diambil sebagai dasar kebijakan
pemerintah meliputi (1) pelaksanaan secara operasional UU No. 41
tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan; (2)
penetapan imbangan harga sarana produksi (pupuk) terkait harga jual
gabah petani; (3) perbaikan dan perluasan prasarana irigasi dan tata air;
(4) penyediaan dan pembimbingan teknologi baku agroekologi spesifik;
(5) fasilitasi berkembangnya penggunaan Alsinan; (6) pembinaan dan
pelatihan sumber daya manusia pelaku pertanian agar memahami Iptek
pertanian; (7) perlindungan terhadap harga produk panen, dalam sistem
ekonomi pertanian skala kecil agar tetap memberikan kehidupan yang
Sumarno
Pensiunan Peneliti Utama Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian
73
74
Abstrak
Sebagai negara yang berada di daerah katulistiwa, bangsa Indonesia
sangat kaya dengan keanekaragaman flora dan faunanya, yang
kemudian diolah menjadi bahan pangan yang sangat beragam. Nenek
moyang kita secara arif telah menggunakan puluhan hingga ratusan
jenis flora menjadi bahan pahan nabati. Selama lebih kurang tiga-empat
dasawarsa terakhir ini bahan pangan nabati bagi penduduk Indonesia
hanya terpusat pada padi, jagung, ubi kayu dan gandum yang diimpor
dari luar negeri. Akibatnya, selalu terjadi kekurangan pangan dan gizi
sehingga mengganggu ketahanan pangan nasional. Akhir-akhir ini isu
pemanasan global dan semakin sempitnya lahan pertanian menjadi
penyebab menurunnya produksi pangan yang berdampak pada
kerentanan ketahanan pangan nasional. Umbi-umbian yang ada di
tanah air kita adalah sumber pangan nabati yang belum dimanfaatkan
secara optimal. Umbi-umbian memiliki produksi yang tinggi dan
kandungan gizi yang bermutu. Beberapa jenis umbi-umbian dapat
dikembangkan sebagai tanaman bawah di antara pepohonan sehingga
isu sempitnya lahan pertanian dapat teratasi. Ada beberapa jenis umbiumbian yang tahan kering, tidak terserang hama dan belum banyak
menggunakan pupuk kimia sehingga penggunaan input luar dalam
pembudidayaannya relatif rendah. Ada juga jenis umbi-umbian yang
hanya digunakan sebagai makanan utama di daerah tertentu, tetapi tidak
dimanfaatkan secara baik oleh penduduk perkotaan. Tulisan ini akan
mengungkapkan berbagai jenis umbi-umbian yang ada di tanah air kita
dalam kaitan dengan pemanfaatannya sebagai bahan pangan nabati
untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
E-Siong Tee1
Nutrihealth Strategic Consultancy, Malaysia
75
Abstract
This presentation discusses the use of Nutrient Reference Values (NRVs)
for nutrition labelling and nutrition claims purposes, such as intended by Codex
Alimentarius. Codex has defined NRVs as a set of numerical values that are
based on scientific data, for purposes of nutrition labelling and relevant claims.
NRVs are based on levels of nutrients associated with nutrient requirements. The
current set of NRV in Codex lists the values for 9 vitamins, 5 minerals and
protein for the general population, for individuals older than 36 months. These
values may be used for helping consumers 1) estimate the relative contribution of
individual products to overall healthful dietary intake and 2) as one way to compare
the nutrient content between products. Codex has also used NRV as the basis for
nutrient content claim and comparative claim. Governments are encouraged to use
the Codex NRVs for labelling purposes in the interests of international
standardization and harmonization. General principles for the establishment of
NRVs have been established, and these include selection of suitable data sources to
establish NRVs, selection of the appropriate basis and consideration of upper level
of intake. Very few countries have been found to use NRV, e.g. Malaysia uses the
Codex NRV and Indonesia uses the NRV. Most other countries in Southeast
Asia use the national RDA for labelling purposes, e.g. Brunei RDA, Philippines
RENI, Singapore RDA, Thai RDA. The EU uses RDA, whereas the USA
uses DV. Codex is currently undertaking a review of the NRV list of vitamins
and minerals. FAO and WHO to review the existing daily vitamin and mineral
intake reference values for 28 vitamins and minerals, as well as information
describing the basis for those values. In the meantime, CAC adopted an amendment
to the definition of NRV in the recent CAC in July 2012 to include a reference to
association of NRV to reduction in risk of non-communicable diseases (NCDs).
New work has been initiated on developing NRVs for labeling purposes for
nutrients associated with NCDs. There are two parts to this new work. The first
part is establishment of General Principles for such NRVs, which is at step 3 of
the procedure. The second part of the work involves the establishment of actual
values for NRV-NCDs, commencing with saturated fatty acids and sodium. The
1TES
76
35th Session of the Codex Alimentarius Commission (CAC) in 2012 advanced the
document to Step 5. It has been challenging for consumers to understand nutrition
labelling and the use of NRVs. Indeed, there has not been sufficient data on
consumer understand and use of such information on food labels. More serious
efforts need to be made to reach out to the consumers to promote the understanding
and use of such information. Regulatory agencies need to work with nutritionists in
realising such efforts so as to fully utilise nutrition information on labels in assisting
consumers in making food choices.
77
Abstrak
Pembangunan pangan merupakan salah satu bagian penting dalam
pembangunan nasional yang ditujukan untuk penyediaan pangan yang
cukup, bermutu, aman dan merata bagi pemenuhan kebutuhan gizi
penduduk, dan peningkatan kesejahteraan penduduk melalui berbagai
kreasi kegiatan ekonomi yang dihasilkannnya, baik ke hulu (upper stream
agriculture) maupun ke hilir (downstream agriculture). Pembangunan
pangan yang baik dan andal memerlukan penetapan target jangka panjang
dan instrument untuk menilai pencapaian target pembangunan pangan
tersebut. Dalam konteks tujuan penyediaan pangan yang cukup dan
bermutu bagi pemenuhan kebutuhan gizi penduduk, FAO-RAPA sejak
dua dekade yang lalu merekomendasikan pendekatan Pola Pangan
Harapan (PPH) dan skor PPH sebagai instrumen penetapan target dan
evaluasi pembangunan pangan bagi perbaikan gizi masyarakat di suatu
negara atau daerah. Pada tahun 1992 melalui Kementrian Negara Urusan
Pangan (KNUP), PPH dan Skor PPH diadopsi dan dimodifikasi menjadi
penetapan target dan evaluasi pembangunan pangan bagi perbaikan gizi
masyarakat. Berikutnya, setelah tidak ada KNUP, Badan Ketahanan
Pangan sejak tahun 2001 memodifikasi PPH dan Skor PPH melalui suatu
pertemuan koordinasi lintas sektor nasional yang menghasilkan PPH
tahun 2020 dan target Skor PPH sebesar 85 (skor PPH pada tahun 2000
= 70) untuk dicapai tahun 2020. PPH pada tahun 2010 telah
diharmonisasi dengan anjuran Gizi Seimbnag (GS) agar instrumen makro
(PPH) sejalan dengan instrumen mikro (GS) perbaikan konsumsi pangan.
PPH tahun 2020 yang berguna sebagai instrumen penilaian dan
perencananan konsusmi pangan secara makro dinyatakan dalam gram
pangan dan proporsi energi ideal dari sembilan kelompok pangan yang
memenuhi kebutuhan gizi makro dan mikro. Kesembilan kelompok
pangan tersebut beserta proporsi energi dan bobotnya dalam perhitungan
Skor PPH adalah serelia (50% dan bobot 0,5), umbi-umbian (6% dan
bobot 0,5), pangan hewani (12% dan bobot 2), minyak dan lemak (10%
dan bobot 0.5), buah/biji berminyak (3% dan bobot 0,5), kacang-
1Departemen
78
kacangan (5% dan bobot 2), sayur dan buah (6% dan bobot 5,0), gula (5%
dan bobot 0,5), dan lainnya-bumbu dan herbal (3% dan bobot 0).Analisis
situasi konsumsi pangan selama sepuluh tahun terakhir (2002-2011)
menggunakan data Susenas menunjukkan bahwa secara umum terjadi
perubahan pola konsumsi pangan penduduk perkapita, penurunan
konsumsi serelia dan umbi-umbian disertai peningkatan konsumsi terigu
dan pangan hewani untuk semua jenis pangan hewani; sementara
konsumsi kacang-kacangan, sayur dan buah relatif tetap. Peningkatan
konsusmi pangan hewani ini dalam kurun waktu tersebut telah meningkatkan skor PPH dari 72.6 menjadi 77.3 dengan laju capain sekitar 0.5
skor pertahun. Sebagai instrumen makro penilaian dan perencanaan
konsumsi pangan, PPH tahun 2020, sistim pembobotan dan skor-nya
masih valid untuk digunakan. Target skor PPH sebesar 85 pada tahun
2020 masih mungkin dicapai dengan pengembangan berbagai program
inovatif dan strategik untuk peningkatan konsumsi pangan hewani, sayur,
buah, tahu dan tempe penduduk Indonesia sehingga tercapai laju
peningkatan skor PPH 1.0 skor pertahun. Peningkatan satu skor PPH
pertahun membutuhkan laju peningkatan konsumsi perkapita pangan
hewani, tahu dan tempe, sayur dan buah 23 kali dari yang sekarang. Ini
merupakan tantangan dan saingan sumber daya pada kegiatan pertanian
lainnya; hanya dengan Iptek dan kepemimpian bangsa yang kuat bisa
dicapai. Keberadaan PERPRES No. 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumber daya
Lokal, sangat mendukung hal tersebut. Meskipun PERPRES ini terkesan
ambisius (target skor PPH 95 tahun 2015), paling tidak semangat dan efek
majemuknya pada pendanaan dan kinerja pemangku kepentingan akan
dapat mempercepat peningkatan skor PPH. Salah satu tindak lanjut
PERPRES ini adalah program optimalisasi pemanfaatan pekarangan
untuk peningkatan konsumsi sayur, ikan dan ternak kecil melalui
pemberdayaan perempuan dan keluarga. Dalam kurun waktu 3 tahun
sejak 2010 kegiatan ini telah dilaksanakan di sekitar 6000 desa di 363
kabupaten/kota dengan melibatkan sekitar 200.000 rumah tangga. Selain
itu juga program pemberdayaan UMKM khususnya yang bergerak dalam
bidang pangan sumber karbohidrat selain beras dan terigu, juga dilakukan
di setiap provinsi sesuai dengan kearifan lokal. Ke depan, sinergi dan
peningkatan peran kemitraan swasta-pemerintah-masyarakat diharapakan
akan mampu mewujudkan percepatan pencapaian mutu gizi dan
keragaman konsumsi pangan penduduk Indonesia.
Elin Herlina1
Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM
79
Abstrak
Dewasa ini, kepedulian masyarakat terhadap kesehatan dan gizi
semakin meningkat. Informasi nilai gizi pada label pangan sudah
menjadi perhatian konsumen untuk mengetahui kandungan dalam
produk pangan tersebut untuk menghitung asupan harian zat gizi
mereka. Hal tersebut seringkali dikaitkan dengan pencegahan atau
pemantauan status gizi dan kesehatan terutama penyakit tidak menular
(non communicable disease) yang dikaitkan dengan asupan gizi seperti
penyakit jantung koroner, diabetes, darah tinggi dan lain-lain. Meskipun
informasi nilai gizi belum diwajibkan untuk semua produk pangan
olahan, namun banyak pelaku usaha menangkap peluang ini sebagai
upaya meningkatkan nilai suatu produk dengan mencantumkan Tabel
Informasi Nilai Gizi (ING) pada label produknya. Informasi yang
disampaikan pada Tabel ING antara lain takaran saji produk, jumlah
sajian per kemasan, jenis dan jumlah zat gizi sesuai dengan target
konsumen produk tersebut. Informasi jumlah zat gizi yang
dicantumkan dihitung per takaran saji produk. Berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan, pencantuman keterangan tentang kandungan gizi harus
dinyatakan dalam persentase dari Angka Kecukupan Gizi (AKG).
AKG yang digunakan untuk pelabelan disebut dengan Acuan Label
Gizi (ALG). ALG digunakan sebagai acuan untuk pencantuman
keterangan tentang kandungan gizi pada pelabelan produk pangan dan
ditetapkan sesuai kelompok konsumen. Target konsumen yang
ditetapkan dalam ALG saat ini meliputi konsumen umum, bayi 06
bulan, anak 723 bulan, anak 25 tahun, ibu hamil, ibu menyusui.
Meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara lain, ketentuan ALG
sudah paling lengkap, namun dalam perkembangannya, berbagai
inovasi dilakukan oleh perusahaan pangan dimana ketentuan terkait
ALG belum mengakomodasi perkembangan tersebut. Inovasi tersebut
antara lain terkait peruntukan produk, penambahan komponen gizi
tertentu, dan penggunaan takaran saji produk yang kurang rasional.
Produk pangan dengan peruntukan tertentu yang belum diatur dalam
1Direktorat
80
ALG, antara lain produk untuk lansia, formula lanjutan tahap 1 (712
bulan) dan tahap 2 (13 tahun), produk untuk olahragawan, dan pangan
untuk diet khusus. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan hasil penelitian tentang peranan zat-zat gizi tertentu terhadap
kesehatan, industri pangan untuk menambahkan dan mencantumkan
zat-zat gizi tersebut pada Tabel Informasi Nilai Gizi sebagai nilai
tambah produk tersebut. Takaran saji didefinisikan sebagai jumlah
produk pangan yang biasa dikonsumsi dalam satu kali makan,
dinyatakan dalam ukuran rumah tangga (URT) yang sesuai untuk
produk pangan tersebut. Penetapan jumlah takaran saji sangat
memengaruhi informasi tentang jumlah kandungan gizi produk pada
label sehingga perlu dibakukan untuk setiap jenis pangan. Sampai saat
ini, Indonesia belum mengatur tentang besaran nilai takaran saji produk
pangan. Beberapa hal yang terkait dengan takaran saji antara lain nilai
takaran saji, untuk pangan olahan baik pangan olahan, yang siap
dikonsumsi maupun pangan olahan yang menjadi bahan baku pangan
olahan lain atau pangan setengah jadi seperti tepung terigu, margarin,
minyak goreng, dan lain-lain. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
menetapkan asupan suatu zat gizi adalah bioavailabilitas zat gizi
tersebut.
Abstrak
Pemberdayaan UMKM jika dilihat dari perspektif nasional sangat
penting dan untuk merealisasikan pemberdayaan itu, pemerintah harus
mempunyai program berkelanjutan terkait pengembangan kapasitas
UMKM pangan yang dapat diimplementasikan di sepanjang rantai
pangan. UMKM merupakan barometer perekonomian nasional karena
mampu menyumbang kurang lebih 55% pendapatan per kapita dan
pendapatan nasional Indonesia. Produk pangan yang dihasilkan
UMKM memiliki ciri khas lokal Indonesia baik komposisi, rasa,
maupun cara mengonsumsinya sehingga dapat dikategorikan sebagai
produk budaya (culture product). Pada tahun 2009, Badan POM telah
melakukan survei keamanan pangan di 1.504 industri rumah tangga
pangan (IRTP) di 18 provinsi, dan hasilnya menunjukkan bahwa
24,14% IRTP mampu menerapkan best practice dengan baik, 24,80%
telah menerapkan dengan nilai rata-rata, dan 51,06% masih memerlukan pendampingan. Hal ini memberikan gambaran umum kondisi
UMKM yang perlu diperbaiki dengan cara, antara lain mendorong
partisipasi masyarakat luas dengan kapasitasnya masing-masing agar
penerapan best practice di UMKM dapat menjadi aktivitas rutin. Upaya
yang dapat disarankan untuk peningkatan kemandirian UMKM agar
mampu memecahkan permasalahan keamanan dan mutu pangan dapat
dilakukan dengan pengembangan Food Safety Clearing House (FSCH).
FSCH ini difokuskan pada 4 (empat) model intervensi aksesibilitas,
yaitu akses compliance, akses teknologi, akses pasar, dan akses modal.
Komunikasi risiko yang dibangun melalui FSCH ini diharapkan dapat
membantu kemandirian UMKM untuk meningkatkan kemampuannya
untuk memproduksi pangan yang aman sebagai tumpuan bagi
peningkatan daya saing UMKM yang berimplikasi pada penguatan
ekonomi nasional.
1Institut
82
Abstrak
Pemerintah berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya hak
masyarakat memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi sesuai
deklarasi pada World Summit on Food Security (2009) melalui sistem
pengawasan keamanan pangan from farm to table secara terintegrasi.
Sistem pengawasan pangan di Indonesia sangat kompleks disebabkan
cakupan wilayah pengawasan sangat luas, diversitas latar belakang penduduk dan keterbatasan jumlah pengawas pangan merupakan tantangan
besar dalam penyelenggaraan pengawasan secara komprehensif. Hasil
pengawasan Badan POM Tahun 2011 melalui sampling dan
pengujian laboratorium terhadap 20.511 sampel makanan yang beredar
menunjukkan hasil 14,15% sampel tidak memenuhi syarat (TMS) mutu
dan keamanan. Sementara pemeriksaan terhadap pemenuhan Cara
Produksi Pangan yang Baik (CPPB) dilakukan terhadap 2.941 sarana
produksi yang terdiri atas 799 industri makanan MD dengan hasil
37,05% sarana produksi MD tidak memenuhi ketentuan, 1.835 industri
rumah tangga (IRT) dengan hasil 44.14% IRTP tidak memenuhi
ketentuan Cara Produksi yang Baik Industri Rumah Tangga dan 307 IRT
tidak terdaftar dengan hasil 29,97% tidak memenuhi ketentuan. Hal ini
mengindikasikan belum efektifnya pengawasan pangan saat ini. Kondisi
pengawasan keamanan pangan nasional secara umum pada saat, ini
antara lain: (1) tindakan pencegahan sepanjang rantai pangan masih
terbatas, (2) pengawasan masih terfragmentasi secara sektoral, (3)
belum dikembangkan sistem pengawasan dalam kondisi darurat berdasarkan prinsip analisis risiko, (4) pengawasan pangan berbasis iptek
masih terbatas, (5) belum melaksanakan program prioritas sepenuhnya
menurut manajemen risiko, (6) pengawasan umumnya konvensional
serta berorientasi pada pemenuhan persyaratan serta (7) belum
memberdayakan stakeholder secara optimal. Keberhasilan pengawasan
keamanan pangan bergantung pada hasil kajian risiko. Pelaksanaan
kajian risiko di Indonesia masih terbatas dan dilaksanakan tidak
terintegrasi. Di beberapa negara maju dan sebagian negara berkembang
fungsi kajian risiko telah terpisah dari fungsi manajemen risiko.
1Deputi
83
84
Abstrak
Telah diterbitkan sejumlah standar dan regulasi pangan termasuk yang
telah disiapkan sejak berpuluh tahun yang lalu. Namun, pertanyaannya
adalah seberapa kuat keberadaan standar dan regulasi pangan dapat melindungi konsumen serta mendorong pengembangan industri pangan. Hal
ini merupakan tantangan bagi pemerintah untuk menyediakan standar dan
regulasi pangan yang dapat menjawab hal tersebut. Ilmu dan teknologi di
bidang pangan berkembang dengan pesat, jenis dan fokus masalah
kesehatan bergeser sejalan dengan perubahan lingkungan dan pola hidup,
demikian juga dengan tuntutan masyarakat yang semakin dominan.
Sebagai salah satu tools sistem pangan, standardisasi pangan menghubungikan sejumlah mata rantai proses termasuk pihak yang berkepentingan dari
masing-masing proses. Sistem ditetapkan dan seharusnya diimplementasikan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai, yaitu melindungi
konsumen terhadap keamanan, mutu, gizi dan informasi lain serta
terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab. Menghadapi
perkembangan pesat tuntutan pemenuhan hak konsumen dan globalisasi
dengan sistem harmonisasi dan Mutual Recognition Arrangement (MRAs),
tatanan jaringan standardisasi pangan dituntut harus serasi, selaras,
terpadu sejalan dengan perkembangan internasional, dan tidak
mengabaikan kepentingan nasional. Ketersediaan sejumlah standar pada
satu sisi merupakan indikator kuantitas yang penting dalam standardisasi
pangan, namun dari sisi kualitatif, cakupan, sebaran, dan kedalaman isu
serta parameter dihubungkan dengan kebutuhan perlindungan konsumen
dan fasilitasi perdagangan menjadi taruhan. Lemahnya analisis kebutuhan
(need analysis) dan mekanisme review termasuk Regulatory Impact Assessment
(RIA), sebagaimana tertuang dalam prinsip Good Regulatory Pratice (GRP)
serta kurangnya partisipasi konstruktif dari berbagai pihak yang
berkepentingan merupakan beberapa hal yang perlu ditingkatkan dalam
standardisasi pangan saat ini.
85
Abstrak
Pemerintah melalui berbagai program berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menurunkan jumlah penduduk
miskin. Salah satu indikator untuk mengetahui hal tersebut adalah struktur
pengeluaran rumah tangga, baik untuk pangan maupun bukan pangan.
Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran yang lebih dari 60%
untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga tersebut adalah
rumah tangga miskin. Pengeluaran rumah tangga cenderung mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dinamika tingkat kesejahteraan serta struktur pengeluaran
pangan dan bukan pangan rumah tangga di Indonesia. Analisis dilakukan
secara deskriptif menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) tahun 1999 dan 2010, yang dikumpulkan dan dipublikasi oleh
BPS dengan sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Data dikumpulkan
bulan Februari/Maret melalui wawancara kepada kepala rumah tangga
atau anggota rumah tangga yang dianggap mengetahui keadaan rumah
tangga yang bersangkutan. Data pengeluaran diperoleh dengan cara recall
(mengingat kembali) dengan referensi seminggu yang lalu untuk
pengeluaran pangan dan sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi
bukan pangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) Selama 10 tahun
terakhir, secara agregat, kesejahteraan rumah tangga di Indonesia
mengalami perbaikan, ditunjukkan dengan proporsi pengeluaran pangan
terhadap total pengeluaran yang semakin kecil, yaitu 62,94% (1999) dan
51,43% (2010). Kesejahteraan rumah tangga di perkotaan (46,5%) lebih
baik daripada di pedesaan (59,2%). Pada tahun 2010, Provinsi DKI
Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Bali, dan Kalimantan Timur mempunyai
tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik (proporsi pengeluaran
pangan<50%) dibandingkan dengan provinsi yang lain; 2) Di antara
berbagai kelompok pangan, pengeluaran padi-padian memiliki proporsi
yang paling besar pada tahun 1999 (16,78%), namun pada tahun 2010
menurun menjadi 8,89% dan digantikan oleh makanan dan minuman jadi
(12,79%) dengan proporsi pengeluaran pangan terbesar. Peningkatan
kesejahteraan rumah tangga tidak diikuti dengan pemenuhan kebutuhan
1Pusat
86
87
Abstrak
Akhir-akhir ini masalah stunting semakin menjadi perhatian
terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia.
Stunting cermin dari masalah gangguan pertumbuhan masa lalu karena
faktor gizi dan faktor non-gizi, yang berisiko meningkatkan kegemukan
dan penyakit tidak menular degeneratif di kala dewasa. Upaya
mengatasi masalah stunting di Indonesia memerlukan informasi tentang
faktor determinan stunting dari kajian epidemiologi di Indonesia.
Sehubungan hal tersebut, tujuan penelitian ini menganalisis determinan
stunting anak baduta Indonesia menggunakan Riskesdas 2010. Sub-set
data Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk e-files. Dari 6.634 data anak
balita dalam e-files Riskesdas 2010, sejumlah 3.539 data anak dikeluarkan
(screened out) karena: 1) data berat badan dan tinggi badan anak dan ibu
tidak lengkap, 2) nilai z-skor BB/U, TB/U dan IMT/U termasuk
pencilan, 3) pengumpulan data asupan pangan saat kondisi tidak biasa
(hajatan/hari besar/sakit), dan 4) nilai asupan energi termasuk pencilan.
Status gizi diolah menggunakan WHO AntroPlus, pengolahan data
lainnya menggunakan program Excel dan SPSS. Analisis determinan
menerapkan regresi logistik dengan peubah dependen z-skor TB/U,
dan peubah independen meliputi umur anak, jenis kelamin anak, berat
lahir anak, z-skor BB/U anak, densitas asupan protein anak (yang
mempunyai korelasi tinggi dengan mutu gizi makanan anak), status
pemberian ASI, status pemberian kapsul vitamin A, status imunisasi
hepatitis-0, tinggi badan ibu, status ekonomi keluarga (kuintil), dan
kualitas air minum keluarga. Hasil kajian menunjukkan prevalensi
stunting pada anak baduta 37,4%; bertambah umur meningkat prevalensi
stunting yaitu 24,5% pada anak 05 bulan, 32,8% pada 611 bulan, dan
40,2% pada 1223 bulan. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor
umur, berat lahir, berat, tinggi ibu, status ekonomi, dan densitas protein
berhubungan erat dengan stunting anak baduta (z-kor TB/U). Model ini
1Jurusan
Aslis Wirda Hayati1, Hardinsyah2, Fasli Jalal3, Siti Madanijah2, Dodik Briawan2
Gizi, Politeknik Kesehatan Kemenkes Pontianak, asliswirda@yahoo.com,
2Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB,
hardinsyah2010@gmail.com, smadanijah@yahoo.co.id, dbriawan@yahoo.com
,3Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas, faslijalal@yahoo.com
88
89
Abstrak
Lawa Bale teri merupakan makanan tradisional Sulawesi Selatan
yang menggunakan bahan baku ikan mentah diolah mengunakan teknik
pengasaman yang hanya dimatangkan dengan air cuka, air jeruk atau air
asam jawa dan proses Blansir tanpa proses pemasakan. Pengolahan
bahan pangan kaya kandungan gizi berupa pengasaman dan pemanasan
yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
penurunan nilai gizi protein, daya cerna protein dan meningkatkan total
mikroba sehingga memengaruhi daya terima masyarakat terhadap
makanan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengolahan yang terbaik berdasarkan denaturasi protein, daya cerna protein,
total mikroba, dan daya terima pada tiga olahan Lawa Bale yang
formulanya diperoleh dari rumah makan tradisonal di kota Makassar.
Jenis penelitian yang digunakan untuk analisis denaturasi protein, daya
cerna protein, dan total mikroba adalah eksperimen dengan desain Post
Test Only Control Design dan untuk uji daya terima, jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian analitik. Penelitian ini menggunakan tiga
perlakuan masing-masing formulasi (terdapat 3 formulasi) dan masingmasing perlakuan dua kali pengulangan (Duplo). Analisis data
dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa proses pengolahan pada ketiga formula Lawa Bale
menyebabkan denaturasi protein. Berdasarkan persen denaturasinya,
disimpulkan bahwa pengolahan yang terbaik pada proses pengolahan
Lawa Bale adalah pengolahan formula C (Ikan teri dengan blansir,
pemberian asam jawa dan kelapa sangrai serta jantung pisang). Untuk
daya cerna protein Lawa Bale formula C yang memiliki daya cerna
protein tertinggi. Ini artinya Lawa Bale formula C yang lebih mudah
untuk diserap dan digunakan oleh tubuh. Berdasarkan total mikroba,
Muhammad Asrullah1; Ayu Hardiyanti M1, Nurul Afiah1, Astri Ayu Novaria 1,
Citrakesumasari,1 Nurhaedar Jafar1, St Fatimah, DCN
1Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin
2RSUP Dr. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
90
ketiga formula yang diuji aman untuk dikonsumsi dan olahan Lawa Bale
formula C merupakan formula yang dapat menekan jumlah total
mikroba terbanyak dari 2 formula lain, hasil penelitian untuk uji daya
terima formula yang paling disukai adalah formula B (ikan teri dengan
blansir, perendaman jeruk nipis, dan pemberian kelapa sangrai) namun
menurut uji kruskal-wallis tidak ada perbedaan di antara ketiganya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah pengolahan Lawa Bale Formula C
merupakan pengolahan terbaik. Penelitian ini merekomendasikan
kepada masyarakat agar mengolah Lawa Bale menggunakan teknik
formula C dan agar tetap mempertahankan dan melestarikan makanan
tradisional Lawa Bale sebagai pangan lokal dan sebagai alternatif sumber
pangan berprotein untuk masyarakat.
91
Abstrak
Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI) merupakan instrumen
penilaian keberagaman konsumsi pangan yang dapat menggambarkan
kualitas konsumsi pangan pada individu. Review berbagai studi di luar
negeri menunjukkan skor keragaman konsumsi pangan mempunyai
hubungan yang positif dengan kecukupan zat gizi makro dan zat gizi
mikro pada kelompok anak-anak, dan remaja. Tujuan penelitian ini
adalah untuk menganalisis sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp)
Individual Dietary Diversity Instrument (IDDI) sebagai metode penilaian
keragaman pangan dan kualitas gizi remaja. IDDI diperkenalkan oleh
FAO tahun 2007 dan 2011. Jumlah sampel penelitian 83 siswi di
Sekolah Menengah Kejuruan Pelita 1 Ciampea, Kabupaten Bogor. Data
konsumsi pangan diperoleh dengan cara record konsumsi pangan pada
hari sekolah dan hari libur (dua hari). Kualitas konsumsi pangan siswi
dinilai dengan menggunakan tingkat kecukupan gizi, indeks mutu gizi
(Nutrition Quality Index) dan densitas zat gizi (Nutrient Density).
Hasil penelitian menunjukkan pada hari sekolah 58,1% dan hari
libur 50,6% siswi makan utama sekali dalam sehari. Uji-t menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi pada
hari sekolah dan hari libur (p> 0,05). Kelompok pangan yang paling
sedikit dikonsumsi oleh siswi adalah umbi-umbian (36,1%), sayuran
sumber vitamin A (25,3%), buah sumber vitamin A (14,5%), buah
lainnya (37,4%), jeroan (4,8%), susu/olahannya (37,3%), minyak dan
lemak (22,9%). Berdasarkan metode IDDI sebanyak 86,7% siswi
mempunyai tingkat keberagaman konsumsi pangan yang baik, dan ratarata skor IDDI sebesar 7,9 2,0. Rata-rata asupan energi 1501 592
kkal, protein 57,2 2,4 g, kalsium 131 37 mg, fhosfor 110 13 mg,
besi 17,9 9,1 mg, vitamin A 109 56 RE, vitamin B 10,55 5,01 mg
dan vitamin C 50,4 12,8 mg. Rata-rata siswi mempunyai tingkat
kecukupan energi (69,9%) dan protein (54,2%) tergolong defisit berat
menurut kategori Depkes (1996). Rata-rata siswi mempunyai tingkat
kecukupan yang tergolong rendah berdasarkan kategori Gibson (2005)
1Departemen
92
93
Abstrak
Impor daging sapi dari tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan,
hal ini terjadi karena masyarakat semakin sadar akan pentingnya gizi
juga semakin selektifnya dalam memilih makanan berkualitas. Produksi
daging sapi lokal saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan daging
nasional, terutama untuk konsumsi hotel-hotel berbintang dan restoran
bertaraf internasional. Permasalahan yang ditemukan pada sapi-sapi
lokal Indonesia umumnya kualitas daging masih rendah, dimana
kandungan protein masih rendah dan daging lebih alot. Sapi Pesisir
merupakan sapi asli Indonesia yang kualitas dagingnya masih rendah
karena umumnya dipekerjakan dan dipotong pada umur tua sehingga
serat dagingnya lebih kasar dan dagingnya agak alot. Teknologi stimulasi listrik merupakan teknologi yang sederhana, namun memiliki
pengaruh yang lebih besar terhadap peningkatan kualitas daging.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stimulasi listrik
dan umur sapi terhadap kadar protein, kadar lemak, dan keempukan
daging sapi Pesisir. Materi penelitian menggunakan daging sapi Pesisir
jantan pada berbagai tingkat umur dan distimulasi listrik dengan voltase
yang berbeda, sedangkan bagian otot yang dijadikan sampel adalah otot
Longissmus dorsi. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini
adalah percobaan faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK).
Faktor. A merupakan voltase stimulasi listrik, yaitu 110 volt dan 220
volt, sedangkan faktor B adalah umur ternak, yaitu umur 2,5 tahun, 3,5
tahun, dan > 5 tahun. Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah
kandungan protein, kandungan lemak, dan keempukan daging. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa daging sapi yang distimulasi listrik
dagingnya lebih empuk dan warnanya lebih cerah. Stimulasi listrik dapat
mengaktifkan enzim protease dan memutuskan ikatan aktin dan myosin
pada serabut otot. Tegangan stimulasi listrik 220 Volt dapat menurunkan nilai kealotan daging dari 552,16 N/Cm2 menjadi 519,01 N/Cm2,
yang berarti daging menjadi semakin empuk, sedangkan kadar protein
dan lemak daging menjadi menurun. Kandungan protein sapi Pesisir
adalah 19,35% dan kandungan lemak 4,26%. Kesimpulan dari peneliti94
Khasrad
Fakultas Peternakan Universitas Andalas
95
Abstrak
Remaja putri berada pada masa persiapan menuju masa dewasa
dan juga dipersiapkan sebagai calon ibu yang harus cukup zat gizi yang
dikonsumsinya agar dapat dicapai status gizi dan kesehatan yang baik.
Akan tetapi, pada kenyataannya masih banyak remaja yang memiliki
kebiasaan makan yang tidak baik sehingga berakibat pada kondisi
kekurangan gizi atau kelebihan gizi. Hal ini terjadi karena konsumsi gizi
yang kurang baik. Salah satu cara untuk mengetahui porsi makan yang
baik adalah dengan menggunakan alat bantu (visual aids) seperti food
replicas, food models (Steyn et al., 2006) dan food photographs (Nelson,
Atkinson dan Darbyshire, 1994) pada saat wawancara dengan metode
recall 24 jam sehingga dapat membantu responden dalam mengingat
ukuran atau porsi makan responden. Ketepatan jumlah zat gizi ini
sangat penting untuk mengetahui kecukupan konsumsi zat gizi dengan
derajat ketepatan yang tinggi. Selama ini di Indonesia masih jarang ada
kajian khusus tentang ketepatan konsumsi gizi masyarakat, khususnya
pada remaja putri. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan
sebagai kajian penggunaan alat bantu ukuran rumah tangga untuk
kemudahan pengambilan data konsumsi gizi bagi remaja putri di
lapangan. Tujuan penelitian ini menganalisis pengaruh food picture
terhadap validitas konsumsi gizi remaja putri. Populasi penelitian adalah
remaja putri di Kota Semarang. Subjek penelitian adalah remaja putri
(usia 1215 tahun) di satu SMP di Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang. Subjek penelitian diambil secara acak proporsional dari
Kelas 8 sehingga terkumpul 40 remaja putri. Dari subjek yang ada
kemudian dibagi menjadi dua kelompok; sebanyak 20 remaja putri
masuk kelompok pertama dan 20 remaja putri lainnya masuk kelompok
kedua. Kelompok pertama merupakan Kelompok Standar (Gold
Standard); Penimbangan pangan selama dua hari tidak berturut-turut
(hari sekolah dan hari libur). Kelompok Kedua merupakan Kelompok
Recall konsumsi 24 jam + Food Picture; Recall konsumsi 24 jam selama
dua hari tidak berturut-turut (hari sekolah dan hari libur) dengan
96
Kata kunci: Konsumsi gizi, Food Picture, Remaja putri, Kota Semarang
dibantu Food Picture. Food Picture yang digunakan merupakan hasil karya
penelitian Laksmi Widajanti, Dina Rahayuning Pangestuti, Ronny
Aruben (2010). Subjek penelitian diwawancarai identitas pribadi serta
dilakukan Recall konsumsi 24 jam atau penimbangan pangan selama dua
hari tidak berturut-turut. Pengolahan data konsumsi gizi dengan
menggunakan Program nutrisurvey (Erhardt, 2005), sedangkan untuk
melihat pengaruh Food Picture terhadap validitas data konsumsi gizi
dilakukan uji Beda Mann-Whitney U karena sebaran data konsumsi gizi
(energi, protein, lemak, karbohidrat) pada kelompok pertama dan
konsumsi lemak pada kelompok kedua tidak normal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa median konsumsi energi, protein, lemak,
karbohidrat pada Kelompok Standar masing-masing sebesar 1266 kkal,
40,3 g, 41,0 g, 172,4 g. Sementara itu, rata-rata konsumsi energi,
protein, lemak (median), karbohidrat dari Kelompok Recall Konsumsi
24 Jam + Food Picture masing-masing sebesar 977 kkal, 34,3 g, 26,5 g,
128,5 g. Hasil uji statistika menunjukkan nilai konsumsi energi kedua
kelompok berbeda signifikan (p = 0,028), protein tidak signifikan (p =
0,183), lemak tidak signifikan (0,242), dan karbohidrat signifikan (p =
0,038). Disimpulkan bahwa Food Picture memengaruhi validitas
konsumsi protein dan lemak remaja putri namun tidak untuk konsumsi
energi dan karbohidrat pada remaja putri.
97
Abstrak
Dengan bertambahnya populasi dunia, masalah ketahanan dan
keamanan pangan telah menjadi perhatian bagi dunia luas. Tumbuhnya
populasi dunia berdampak terhadap munculnya masalah kelaparan dan
kekurangan gizi yang mengganggu masyarakat banyak, misalnya di Asia
Tenggara dan Asia Selatan serta Sub-Sahara Afrika. Di berbagai wilayah
di Indonesia kondisi keamanan dan ketahanan pangan juga telah menjadi perhatian serius. Ketahanan pangan yang rendah membutuhkan
suatu kepedulian sosial dan kepedulian internasional, untuk mengatasi
kondisi demikian pemerintah Indonesia salah satunya mengupayakan
program keanekaragaman pangan. Desa-desa pesisir di Indonesia
Bagian Timur sejak dahulu telah memiliki kebiasaan dan keanekaragaman pangan. Masyarakat mengonsumsi pangan pokok beras dan
umbi-umbian, talas serta pisang, yang dimasak secara terpisah.
Sementara pangan lainnya, yakni yang berfungsi sebagai lauk, adalah
ikan segar yang dimasak dengan cara dibakar, difufu (diasap) atau
digoreng. Sumber daya perikanan merupakan sumber utama bagi
asupan protein dan vitamin. Upaya pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan untuk ketahanan pangan menjadi penting
untuk ditindaklanjuti. Dalam konteks itu variabel perubahan ekosistem
(tipologi ekologi) dan tipologi sosial menjadi penting untuk dipertimbangkan. Kebiasaan pangan tersebut mengindikasikan adanya
keanekaragaman pangan pokok dan pangan lainnya, dan telah menjadi
tradisi yang diturunkan secara turun-temurun sehingga telah menjadi
bagian budaya (foodhabits) pangan dari beberapa kelompok etnik di
Sulut. Kebiasaan dan keanekaragaman pangan ini selain mampu
mendukung ketahanan pangan juga berfungsi menyimbangkan asupan
gizi. Dalam sejarahnya, desa-desa ini jarang terdengar mengalami
kekurangan pangan dan gizi, kecuali pada tahun 1972 ketika terjadi
perubahan musim yang ekstrem, yakni terjadinya musim kemarau
sepanjang tahun yang menyebabkan tanaman pangan lokal seperti ubi
98
kayu, ubi jalar, talas, belitung serta padi huma mengalami fuso dan
rusak buahnya. Rata-rata buah umbi berongga di dalam sehingga tidak
bisa dikonsumsi. Tetapi, penduduk menyiasatinya dengan mengalihkan
konsumsi pangan pokok dari umbi-umbian dan beras ke pangan pokok
sagu-enau. Jadi, walau masyarakat mengalami musibah kekeringan
berkepanjangan tetapi tidak sampai menderita kelaparan dan kekurangan gizi. Kebiasaan dan keanekaragaman pangan yang dimiliki masyarakat pesisir ini dapat dijadikan model bagi pelaksanaan kebijakan
penganekaragaman pangan dan keseimbangan gizi bagi masyarakat.
Karena sampai saat ini gerakan penganekaragaman pangan yang
diluncurkan pemerintah Pusat belum memperlihatkan hasil yang nyata,
terutama di Jawa. Padahal pada bagian lain wilayah Indonesia Timur
secara budaya masyarakat telah memiliki kebiasaan pangan dan
mempraktekkan keanekaragaman pangan secara baik. Tulisan ini diajukan sebagai salah satu paper dalam seminar Widya Pangan dan Gizi
Nasional, sementara data diambil dari berbagai wawancara yang penulis
lakukan dalam penelitian Kompetitip LIPI yang berjudul Pemetaan
Keanekaragaman Pangan Untuk Membangun Ketahanan Pangan
Masyarakat Pesisirdi Sulawesi utara.
Henny Warsilah
99
Abstrak
Masalah ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia tidak hanya
terbatas pada sistem produksi, distribusi dan konsumsi, namun juga
keberadaan modal sosial dan kelembagaan lokal. Penelitian ini
bertujuan mengkaji pengembangan modal sosial dan kelembagan lokal
dalam penguatan ketahanan pangan rumah tangga di kabupaten rawan
pangan. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional Study,
dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 200 rumah
tangga yang terlibat dalam program ketahanan pangan dan kemiskinan
di 2 kecamatan dan 4 desa terpilih, Kabupaten Bangkalan (kabupaten
rawan pangan, FIA, 2007). Pada aras meso dilakukan wawancara
mendalam dengan berbagai stakeholder dan para aras mikro wawancara
terstruktur pada Rumah tangga terpilih. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 3 tipe modal sosial yang relatif sama (bonding, bridging
dan linking) di daerah rawan pangan dan tahan pangan. Sanak keluarga
dan tetangga dianggap paling mampu memberi bantuan ekonomi di
mana peran keluarga/kerabat (68%) dominan di daerah tahan pangan
dan sebaliknya, tetangga (31%) lebih dominan di daerah rawan pangan.
Tokoh masyarakat (Kyai Guru dan Ratoh) menjadi figur dan paling
dominan (84%) memberi bantuan sosial kebutuhan dasar, dengan
wujud kepedulian sosial berupa sumbangan sosial (56%). Namun, di
sisi lain sebagian besar (84%) masih waspada kepada orang lain (tingkat
kepercayaan rendah) terutama terkait kegiatan usaha ekonomi.
Kelembagaan lokal yang dianggap penting adalah kelembagaan
keagamaan berupa pengajian (84%) dan kelembagaan terkait pekerjaan,
yaitu kelompok tani dan gapoktan (6,5%). Instansi pemerintah masih
100
101
Abstrak
Komunitas masyarakat yang memiliki kebiasan mengonsumsi pangan
nonberas (umbi-umbian, jagung, singkong, sagu, pisang, dan lain-lain)
tidak selalu mengganti pangan beras. Perubahan pola konsumsi pangan
non beras yang terjadi akibat kebijakan swasembada beras tidak selalu
terjadi. Ada kecenderungan di masyarakat pengonsumsi pangan nonberas tumbuh kesadaran untuk menengok kembali sistem pangan lokal.
Meskipun demikian, permasalahan yang dihadapi untuk mengembalikan pola konsumsi pangan nonberas adalah akses pangan nonberas
semakin menghilang. Budi daya pangan lokal semakin ditinggalkan dan
pemerintah masih kurang memberikan perhatian kepada sumber
pangan lokal. Hilangnya sumber pangan lokal pada masyarakat pedesaan menjadikan masyarakat semakin tergantung kepada pangan beras
sehingga berpotensi tidak memiliki daya tahan atau resiliansi menghadapi kerawanan pangan, terutama ketika akses beras sulit. Mengembalikan lumbung pangan dalam bentuk kelembagaan Bank Pangan
Nonberas adalah salah satu terobosan untuk mengatasi kerawanan
pangan. Kelembagaan bank pangan tidak lain adalah lumbung pangan
yang dibangun secara kolektif melalui pendekatan pemberdayaan
masyarakat dengan melakukan penyadaran kembali pentingnya hak
pangan masyarakat. Oleh sebab itu, kelembagaan pangan nonberas
harus dipandang sebagai sebuah gerakan membangun kembali kesetaraan antara pola konsumsi pangan beras dan nonberas.
Ary Wahyono
102
Abstrak
Remaja merupakan usia transisi menuju masa dewasa dengan terjadinya
growth spurt atau percepatan pertumbuhan kedua yang berakhir sampai
usia dewasa sehingga remaja membutuhkan zat gizi lebih untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Pengetahuan gizi memberikan bekal
pada remaja bagaimana memilih makanan yang sehat dan mengerti
bahwa makanan berhubungan erat dengan gizi dan kesehatan.
Beberapa masalah gizi dan kesehatan pada saat dewasa sebenarnya bisa
diperbaiki pada saat remaja melalui pemberian pengetahuan dan
kesadaran tentang kebiasaan makan dan gaya hidup yang sehat.
Pendidikan gizi menjadi salah satu solusi untuk dapat meningkatkan
pengetahuan gizi remaja. Media pendidikan gizi ramah anak adalah
media yang memenuhi kebutuhan informasi tentang gizi dengan
memperhatikan kemampuan anak sesuai dengan tingkatan umurnya
serta disenangi anak. Salah satu media yang sedang berkembang pesat
dan disenangi anak atau remaja adalah media Informasi Comunication
Technology (ICT). Tujuan penelitian adalah (1) Menganalisis
pengetahuan, sikap dan praktik gizi remaja (perilaku gizi remaja); (2)
Mengembangkan media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT
untuk remaja. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja, yaitu Kota
Medan. Penentuan lokasi berdasarkan sosial, ekonomi dan lingkungan
masyarakat yang sangat beragam sehingga dapat memengaruhi
pengetahuan, sikap dan praktik gizi remaja. Penelitian dilaksanakan
selama 6 bulan dari bulan April sampai Oktober 2012. Populasi adalah
remaja di Kota Medan. Sampel penelitian adalah remaja berumur 1315
tahun (siswa SMP). Pemilihan siswa SMP adalah dengan pertimbangan:
1) Pemahaman tentang makanan yang sehat sejak dini pada remaja akan
mempermudah penerapan perilaku makanan sehat pada usia
selanjutnya, bahkan sepanjang hidupnya; 2) Pemberian intervensi
pendidikan gizi pada remaja melalui sekolah lebih efektif karena tingkat
kepatuhan remaja masih tinggi; 3) Sarana ICT tersedia di sekolah dan
siswa SMP mempunyai kemampuan untuk menggunakannya. Minimal
sampel berdasarkan proporsi pengetahuan gizi remaja, yaitu 376 dengan
103
materi dari pesan yang terpilih dan tes dalam bentuk game. Hasil validasi
pakar tentang format, isi dan bahasa ternyata ada 3 pesan gizi yang
lebih diperjelas lagi isi pesannya, dan meggunakan format yang
konsisten untuk semua pesan gizi. Artinya, setiap pesan gizi secara
berurut berisikan judul pesan, makna atau definisi pesan, manfaat
pesan, sumber makanan dan upaya pencegahan. Hasil uji coba dengan
remaja menunjukkan ada 1 pesan gizi yang kurang efektif (kurang
dimengerti remaja sehingga remaja susah memahaminya). Untuk pesan
ini dilakukan perbaikan, baik dari segi bahasa dan isi pesan sampai
remaja dengan mudah memahami isi pesan. Begitu juga untuk tes yang
dikemas dalam bentuk game atau permainan, ada 2 pertanyaan yang
kurang dimengerti remaja sehingga dilakukan penyederhanaan bahasa
agar dimengerti remaja. Melalui beberapa tahapan pengembangan
media pendidikan gizi ini dihasilkan media pendidikan gizi ramah anak,
yaitu media pendidikan gizi yang dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan anak.
nilai presisi 5%. Data pengetahuan, sikap dan praktik gizi diperoleh
melalui pengisian kuesioner oleh siswa dengan terlebih dahulu
diberikan penjelasan. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis
secara deskriptif menggunakan teknik elementary statistic yang digambarkan dalam bentuk persentase, rata-rata dan standar deviasi. Hasil
penelitian ini kemudian digunakan untuk pengembangan media pendidikan gizi ramah anak berbasis ICT. Pengembangan media meliputi
penyusunan materi berdasarkan need assessment, yaitu faktor dominan
dari masalah pangan dan gizi remaja yang memengaruhi pengetahuan,
sikap dan praktek gizi remaja, kemudian membuat media pendidikan
gizi ramah anak berbasis ICT. Tahap Pengembangan Media Pendidikan
Gizi Ramah Anak terdiri atas: a) Validasi Perangkat; b) Simulasi; c) Uji
coba terbatas. Pengembangan media pendidikan gizi ramah anak
berbasis ICT dikatakan berkualitas jika memenuhi indikator: (1)
Validitas (Validity), (2) Kepraktisan (Practicaly), dan (3) Keefektifan
(Effectiveness). Dari hasil penelitian ditemukan persentase perilaku gizi
remaja (pengetahuan, sikap dan praktek gizi) tergolong rendah (61,4%)
dengan persentase pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja berturutturut adalah 60,07%; 61,53% dan 64,49%. Pengembangan media
berdasarkan need assesment perilaku gizi remaja. Perilaku gizi remaja yang
benar adalah perilaku gizi yang sesuai dengan konsep gizi seimbang.
Konsep gizi seimbang terdiri atas pola makan yang sehat dan seimbang
serta pola hidup sehat pada remaja. Konsep gizi seimbang kemudian
dikembangkan menjadi 20 indikator dan 60 item pertanyaan tentang
pengetahuan, sikap dan praktek gizi remaja. Indikator yang akan
dijadikan sebagai pesan-pesan dalam media pendidikan gizi adalah
pesan-pesan yang skor pengetahuan dalam kategori rendah, yaitu
memperoleh skor kurang dari 70%. Dari hasil perhitungan, ternyata ada
14 indikator dari 20 indikator yang memperoleh skor di bawah standar.
Indikator perilaku gizi tersebut adalah 1) Makan beranekaragam; 2)
Menggunakan garam beriodium; 3) Setiap hari makan pagi; 4) Gizi dan
kesehatan reproduksi; 5) Konsumsi makanan sumber zat besi; 6)
Konsumsi makanan berserat; 7) Konsumsi makanan sumber kalsium;
8) Konsumsi makanan sumber karbohidrat secukupnya; 9) Batasi
konsumsi lemak; 10) Minum air bersih 8 gelas sehari; 11) Mengonsumsi
makanan yang aman; 12) Tidak merokok dan minuman beralkohol; 13)
Memantau berat badan secara teratur; 14) Body image yang benar.
Indikator inilah yang dikembangkan menjadi pesan gizi yang di desain
menggunakan program adobe flash. Media pendidikan gizi ini terdiri atas
104
105
Abstrak
Leuit Persatuan atau Lumbung Persatuan adalah suatu sistem pengaturan
penyediaan pangan padi/beras pada masyarakat adat kasepuhan.
Masyarakat adat kasepuhan adalah kelompok sosial tradisional yang
dalam kesehariannya masih menggunakan nilai-nilai tradisi, termasuk
dalam sistem religi, sistem kepemimpinan tradisional dan sistem
pertanian tradisional. Masyarakat kasepuhan ini tinggal di wilayah
Pegunungan Halimun yang secara adminsitratif terletak di Kabupaten
Bogor dan Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Lebak,
Provinsi Banten. Terdapat beberapa penyebutan untuk kelompok
masyarakat adat ini, yaitu kaolotan (Banten), kasatuan (Sukabumi) serta
masyarakat adat Banten Kidul. Masyarakat adat Ciptagelar adalah salah
satu dari komunitas masyarakat kasepuhan yang pusat kampung
adatnya terletak di Sukabumi Selatan, namun para pengikutnya tersebar
di Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor hingga daerah-daerah lainnya
di wilayah Provinsi Banten dan Jawa Barat. Sistem leuit persatuan pada
intinya adalah pengumpulan padi yang didapat dari anggota masyarakat
kasepuhan untuk tujuan cadangan pangan apabila terjadi masa sulit
(paceklik). Namun dalam perkembangannya, padi dapat dipinjamkan
untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya, tetapi tidak untuk diperdangkan.
Dalam perkembangannya, peminjam padi bukan hanya warga
kasepuhan, tetapi masyarakat yang bukan warga kasepuhanpun
diperkenankan meminjam padi tersebut. Hal ini memperlihatkan
adanya dampak keberadaan leuit persatuan bagi masyarakat yang lebih
luas. Makalah ini akan memperlihatkan bagaimana dinamika antara
sistem religi, kepemimpinan tradisional dan pertanian tradisional
membentuk suatu sistem ketahanan pangan berbasis budaya dan
pengetahuan/kearifan lokal. Selain itu, akan diperlihatkan bagaimana
pendekatan-pendekatan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah
Herry Yogaswara
Bidang Ekologi Manusia, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Gedung Widya Graha LIPI Lantai 10, Jalan Jenderal Gatot Subroto 10 Jakarta
E-mail: yogaswaralipi@yahoo.com
106
107
Abstrak
Justifikasi penting dari pengembangan Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL) adalah ketahanan pangan nasional harus dimulai dari
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. KRPL merupakan salah
satu upaya mendukung ketahanan pangan dan mewujudkan kemandirian pangan dengan mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan. Tulisan
ini bertujuan untuk menganalisis kinerja dan strategi Program KRPL
dilihat dari sisi dampak program terhadap pola konsumsi dan pola
pangan harapan rumah tangga peserta program. Penelitian ini menggunakan sampel peserta dan nonpeserta program KRPL. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat memberikan konstribusi cukup signifikan dalam menyumbangkan pangan
untuk konsumsi rumah tangga. KRPL dapat memperbaiki pola
konsumsi rumah tangga dan mengurangi pengeluaran untuk konsumsi
pangan. Konsumsi energi dan protein serta keragaman pangan rumah
tangga lebih baik pada rumah tangga peserta dibanding nonpeserta
program. Implikasi pengembangan program harus didukung dalam
upaya menyediakan pangan rumah tangga. Sementara itu, untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan untuk KRPL harus didukung oleh
teknologi spesifik lokasi dan peningkatan kapasitas petani dalam
pengelolaan lahan pekarangan
108
Abstrak
Konsep Life Cycle Assessment (LCA) bisa digunakan untuk mengidentifikasi tingkat ketahanan pangan terhadap faktor-faktor penghambatnya
yang terlihat dari kapasitas produksi dari tahun ke tahun. Langkah
pertama yang dilakukan adalah life cycle inventory assessment (LCIA). LCIA
yang dilakukan merupakan gambaran interaksi sumber daya lahan
terhadap produksi pangan. Ruang lingkup yang diambil dalam
penelitian kali ini adalah skala produksi nasional. Produksi pangan
setiap tahun dipengaruhi oleh sumber daya lahan yang bersaing dengan
pemanfaatan untuk energi dan bahan baku industri bidang yang lain.
Selain itu, terdapat faktor eksternal yang dapat menghambat produksi
pangan, antara lain perubahan pola hujan, peningkatan suhu udara, dan
menurunnya kondisi daerah tangkapan air. Berdasarkan data yang
didapatkan dari Kementerian Pertanian, produksi padi dari tahun
20062010 terus mengalami peningkatan di tengah kondisi kebutuhan
beras yang cenderung stabil. Hal ini menunjukkan belum ada pengaruh
yang signifikan dari faktor-faktor eksternal selama rentang tahun 2006
2010. Dari data-data yang didapat, kekeringan cenderung menurun dari
rentang 20062010 sedangkan kendala yang cukup mengganggu adalah
adanya banjir yang cenderung stabil. Berdasarkan environmental impact
assessment menunjukkan bahwa faktor internal yang berpengaruh terhadap produksi pangan, yaitu menurunnya kondisi daerah tangkapan
air.
RCTI
Syswave Holdings
Sorghum Japan. co. ltd.
PT. Bank Mandiri
Kompas
PT. AFI
PT. SINARMAS
serta Instansi dan pihak-pihak lainnya
109
110
CATATAN
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122