You are on page 1of 16

26

Chapter 32
Anesthesia for Patients with Renal Disease
Konsep Dasar
1. Pengukuran kliren kreatinin adalah metoda yang paling akura tuntuk penilaian fungsi
ginjal.
2. Akumulasimetabolit morfin dan meperidin memperpanjang depresi pernapasan pada
pasien dengan gagal ginjal.
3. Suksinilkolin dapat digunakandengan aman pada gagal ginjal bila kalium kurang dari 5
mEq/L pada saat induksi.
4. Kelebihan cairan ekstraseluler akibat retensi natrium bersama dengan peningkatan
kebutuhan akibat anemi dan hipertensi- menyebabkan pasien gagal ginjal kronik
cenderung mengalami gagal jantung kongestif dan udem paru.
5. Pengosongan lambung yang lebih lama akibat neuropati otonom pada gagal ginjal kronik
memudahkan terjadinya aspirasi perioperatif.
6. Ventilasi kontrol yang paling aman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventlasi spontan
dapat menyebabkan asidosis repiratorik, asidemia, depresi sirkulasi berat dan bahaya
peningkatan kalium.
7. Bedah jantung dan rekonstruksi aorta berhubungan dengan insiden yang tinggi terjadinya
gagal ginjal.
8. Penurunan volume intravaskuler, sepsis,ikterus obstruktif, cedera benturan, zat kontras
intravena, aminoglikosida, ACE inhibitor dan NSAID adalah factor penyebab gangguan
ginjal akut.
9. Kelebihan cairan yaitu bendungan paru atau udem lebih mudah diterapi daripada
gagal ginjal akut.

ANESTHESIA FOR PATIENTS WITH RENAL DISEASE : PENGENALAN


Penyakit yang mempengaruhi ginjal dikelompokkan dalam sindroma berdasarkan klinik
dan laboratorium yaitu : sindroma nefrotik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, nefritis,
nefrolitiasis, nefrolitiasis, infeksi dan obstruksi saluran kencing. Penatalaksanaan anestesi lebih
memperhatikan status fungsi ginjal preoperatif daripada jenis sindroma. Bab ini meneliti dasar
pendekatan di atas dan pertimbangan anestesi dalam tiap kelompok.

PENILAIAN FUNGSI GINJAL


Penilaian akurat fungsi ginjal mengandalkan hasil laboratorium (Tabel 32-1). Gangguan
ginjal dapat terjadi pada disfungsi glomerulus, disfungsi tubulus, atau obstruksi salauran kencing.
Tes laboratotorium yang paling berguna adalah yang berkaitan dengan kecepatan filtrasi
glomerulus (GFR- glomerulus filtration rate) karena gangguan GFR menimbulkan masalah besar
dan mudah dideteksi.

Tabel 32-1. Pengelompokan pasien menurut fungsi glomerulus


____________________________________________________________
Kreatinin (mL/min)__________
Normal
100 - 120
Penurunan fungsi ginjal
60 - 100
Gangguan ginjal ringan
40 - 60
Gangguan ginjal sedang
25 - 40
Gagal ginjal
< 25
Gagal ginjal tahap akhir1
_____________________________________________________________
1
Pada pasien gagal ginjal kronik

<10

27
UREUM NITROGEN DARAH (BLOOD UREA NITROGEN)
Sumber urea bermula dari hati. Selama katabolisme protein, amoniak di diproduksi dari
deaminasi sam amino. Konversi amonia menjadi urea mencegah terjadinya keracunan amoniak.

Ureum Nitrogen Darah berhubungan langsung denga katabolisme protein dan


berhubungan terbalik terhadap filtrasi glomerulus, sehingga ureum nitrogen darah bukan indicator
yang reliable untuk GFR kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Selain itu 40-50% dari
filtrat direabsorbsi secara pasif oleh tubulus renalis; hipovolemia meningkatkan fraksi ini.
Normal konsentrasi BUN adalah 10-20 mg/dL. Penurunan dapat terjadi pada kelaparan
atau penyakit di hati; peningkatan biasanya karena GFR yang menurun atau peningkatan
katabolisme protein. Peningkatan katabolisme protein tejadi pada trauma, sepsis, hematom luas
atau diet tinggi protein. BUN > 50 mg/dL biasanya dihubungkan dengan gangguan ginjal

KREATININ SERUM
Kreatinin adalah hasil metabolisme otot yang secara nonenzim dikonversi menjadi
kreatinin. Produksi kreatinin pada kebanyakan orang relative konstan dan berhubungan dengan
masa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada laki-laki dan 15-20 mg/kg pada perempuan. Kreatinin
kemudian disaring (dan sebagian kecil disekresi) tetapi tidak reabsorbsi di ginjal (lihat bab 31).
Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan masa otot tetapi berhubungan terbali
dengan filtrasi glomerulus (gambar 32-1). Karena masa otot biasanya konstan, pengukuran
kreatinin serum menunjukkan GFR. Konsentrasi kreatinin normal adalah 0,8 1,3 mg/dL pada
laki-laki dan 0,6-1 mg/dL pada perempuan. Gambar 32-1 menunjukkan peningkatan duakali
kreatinin sesuai dengan penurunan 50% GFR. Menu daging meningkatkan kadar kraetinin,
sementara konsentrasi asetoasetat yang tinggi mengganggu metode pemeriksaan di laboratorium.
Simetidin menghambat sekresi kreatinin oleh tubulus renal

Gambar 32 1. The relationship between the serum creatinine concentration and the
glomerular filtration rate.

GFR menurun dengan peningkatan usia pada kebanyakan orang (5% tiap decade setelah
umur 20 tahun), tetapi karena masa juga menurun, serum kreatinin menjadi relatif normal;
produksi kreatinin mungkin menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien tua, sedikit peningkatan
dapat menyebabkan perubahan besar pada GFR. Dengan menggunakan umur dan berat badan,
GFR dapat diperkirakan dengan rumus untuk laki-laki :

Untuk wanita persamaan ini harus dikalikan 0,85% untuk kompensasi masa otot yang
lebih kecil.

28
Konsentrasi serum kreatinin memerlukan 48-72 jam untuk membuat keseimbangan baru
pada perubahan akut GFR.

UREA DARAH NITROGEN : RASIO KREATININ


Aliran yang rendah pada tubulus renalis menguatkan reabsorbsi urea tetapi tidak
mempengaruhi kreatinin, sehingga rasio BUN kreatinin meningkat diatas 10:1. Penurunan
aliran tubular dapat disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi saluran kencing.
Rasio BUN: kreatinin lebih dari 15:1 terjadi pada kekurangan volume dan gangguan udem
berhubungan dengan penurunan aliran tubular (gagal jantung, sirosis, sindroma nefrotik)
demikian juga obstruktif uropati. Peningkatan katabolisme protein juga dapat meningkatkan
rasio ini.

KLIREN KREATININ
Seperti yang dibahas dalam bab 31, pengukuran kliren kreatinin merupakan metide yang
paling akurat untuk menilai fungsi ginjal. Walaupun pengukuran biasanya dilakukan lebih dari
24 jam, penentuan kliren kretaini dalam 2 jam cukup akura dan mudah dilakukan. Gangguan
ginjal ringan bisanya dengan kliren kreatinin 40-60 mL/min. Klirens antara 25 dan 24 mL/min
terjadi pada gangguan ginjal sedang disertai dengan suatu keluhan dan kliren kreatinin kurang
dari 25 mL/min indikasi adnya gagal ginjal.
Penyakit ginjal progresif meningkatkan sekresi kreatinin di tubulus proksimalis, sehingga
penurunan fungsi ginjal menyebabkan hasil kliren kreatinin melebihi dari GFR yang
sesungguhnya. Nefron yang sehat akan melakukan kompensasi dan meningkatkan tekanan filtrasi
glomerulus. Tanda-tanda gangguan ginjal seperti hipertensi, proteinuri dan kelainan lain dalam
sediment urin harus diketahui.

URINALISIS
Urinalisis dilalukan untuk evaluasi fungsi ginjal selanjutnya, membantu mengidentifikasi
kelainan di tubular. Urinalisis rutin meliputi pH, berat jenis, glukosa, protein, bilirubin dan
pemeriksaan sedimen urin. Pemeriksaan pH urin akan bermakna bila pH arteri diketahui. PH urin
>7,0 pada asidosis metabolik menunjukkan asidosis tubulus ginjal. Berat jenis 1,010 sesuai
dengan kepekatan 290 mmol/kg. Berat jenis > 1,018 setelah puasa semalam mengindikasikan
konsentrasi yang adekuat oleh ginjal. Berat jenis yang menurun pada hiperosmolalitas plasma
terjadi pada diabetes insipidus.
Glikosuria merupakan akibat penurunan nilai ambang di tubulus (normal 180 mg/dL)
atau hiperglikemia . Protein uria dideteksi dengan pemeriksaan urin tampung 24 jam. Ekskresi
protein lebih dari 150 mg/d adalah signifikan. Peningkatan bilirubin urin menunjukkan obstruksi
biliar.
Analisis mikroskopik sedimen urin untuk mendeteksi sel darah merah atau sel darah
putih, bakteri, cast, dan kristal. Sel darah merah menunjukkan perdarahan karena tumor, batu,
infeksi, koagulopati, atau trauma. Sel darah putih dan bakteri biasa disebabkan oleh infeksi.
Proses penyakit di nefron akan cast tubulus(cetakan). Kristal menunjukkan metabolisme asam
oksalat, asam urat atau sistin yang tidak normal.

PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKOBAT ANESTESI


Kebanyakan obat yang digunakan selama anestesi tergantung ekskresi ginjal untuk
eliminasi. Pada gangguan ginjal dosis perlu disesuaikan untuk menghindari akumulasi obat atau
metabolitaktifnya. Efek sistemik azotemia bersifat potensiasi terhadap banyak obat anestesi. Hal
tersebut mungkin disebabkan oleh penurunan ikatan protein, penembusan ke sawar otak yang
lebih besaratau efek sinergi dengan tokisi pada gagal ginjal.

OBAT INTRAVENOUS
Propofol dan Etomidat
Farmakokinetik propofol dan etomidat tidak dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal.
Penurunan ikatan protein etomidat pada pasien dengan hipoalbuminemia akan menintakan efek
farmakologi.

29
Barbiturat
Pasien dengan penyakit ginjal sering menunjukkan sensifitas yang meningkattehadap
barbiturate selama induksi walaupun farmakokinetik tidak menunjukkan perubahan. Penurunan
ikatan protein menyebabkan peningkatan barbiturate bebas di sirkulasi. Asidosis menyebabkan
barbiturate cepat masuk oleh karena peningkatan frakasi non ion obat. (lihat bab 25)
Ketamin
Farmakokinetik ketamin sedikit berubah karena penyakit ginjal. Metabolit hati aktif
tergantung pada ekskresi ginjal dan akan berakumulasi pada gagal ginjal. Efek hipertensi ketamin
sebaiknya dihindari pada pasien ginjal hipertensi.
Benzodiasepin
Obat ini dimetabolisir di hati dan eliminasi di ginjal. Karena memiliki ikatan protein yang
tinggi sensifitas yang meningkat akan terjadi pada pasien dengan hipoalbuminemia. Diasepam
digunakan dengan hati-hati pada gangguan ginjal karena akumulasi metabolit aktif
Opioid
Kebanyakan opioid digunakan dalam anestesi (morfin, meperidin, fentanil, sufentanil dan
alfentanil) diaktifasi oleh hati; beberapa metabolitnya di ekskresi di urin. Selain morfin dan
meperidin, akumulasi yang signifikan biasanya tidak terjadi. Akumulasi morfin (morfin-6glukoronid) dan metabolit meperidin memperpanjang depresi nafas pada pasien gagal ginjal.
Peningkatan normeperidin, metabolit meperidin berhubungan dengan kejang. Farmakokinetik
opioid agonis dan opioid antagonis (butorfanol, nalbufine dan buprenorfin) tidak dipengaruhi
oleh gagal ginjal.
Antikolinergik
Dalam dosis yang digunakan untuk premedikasi, atropine dan glikopirolat dapat
digunakan dengan aman pada pasien dengan gangguan ginjal. Karena sampai 50% obat ini dan
metabolitnya diekskresi dalam urin maka akumulasi akan tejadi pada pemebrian dosis berulang.
Skopolamin sedikit tergantung pada ekskresi ginjal tetapi efek pada system saraf pusat akan
meningkat pada azotemia.
Fenotiasin, H2 Bloker dan Obat-obat lainnya
Kebanyakan fenotiasin, seperti prometasin, dimetabolisir jadi zat inaktif di hati.
Walaupun farmakokinetik tidak banyak berubah karena gangguan ginjal, potensiasi efek depresi
sentral karena azotemia dapat terjadi. Efek antiemetiknya bermanfaat untuk anti mual
preoperative. Droperidol sebagian tergantung pada ginjal untuk ekskresinya. Walaupun akumulasi
dapat terjadi bila dosis besar diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal, secara klinis
biasanya digunakan dosis kecil (<2,5 mg).
Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoklopramid
sebgaian tidak berubah di urin dan akan terjadi akumulasi pada gagal ginal. Walaupun sampai
50% dolasetron diekskresi di urin, tidak ada penyesuaian dosis direkomendasikan untuk 5-HT 3
bloker pada pasien dengan insufiensi ginjal.

OBAT INHALASI
Volatil
Obat anestesi volatile mendekati ideal untu pasien dengan disfungsi ginjal karena sedikit
tergantung pada ginjal untuk eliminasi, kemampuannya mengontrol tekanan darah, dan efek
langsung yang minimal pada aliran darah ginjal. Walaupun pasien dengan gangguan ginjal ringan
maupun sedang tidak menunjukkan perubahan uptakedan distribusi, akselerasi induksi dan
bangun tampak pada pasien dengan anemi (Hb< 5g/dL) dengan gagal ginjal kronik.; hal ini
mungkin dijelaskan oleh penurunan koefisien partisi darah:gas atau penurunan MAC (lihat bab 7
dan 31). Enflurane dan sevoflurane dianjurkan untuk tidak dipilih untuk pemakaian yang lama
karena potensial untuk terjadinya akumulasi fluoride.

N2O
Banyak klinisi membatasi penggunaan N2O sampai 50% pada pasien dengan gagal ginjal
dalam usaha untuk meningkatkan oksigen pada keadaan anemia. Hal ini dihubungkan pada pasien
anemia berat (Hb<7 g/dL), dimana peningkatan sedikit oksigen terlarut akan memberikan
perbedaan uang signifikan persentase oksigen arteri ke vena. (lihat bab 22)

30
PELEMAS OTOT
Suksinilkolin
Suksinilkolin aman digunakan pada gangguan ginjal, pada konsentrasi kalium <5 mEq/L
saat induksi. Bila kalium tinggi atau meragukan pelemas otot non depolarisasi yang sebaiknya
digunakan. Walaupun penurunan pseudokolinesteraseterjadi pada sedikit pasien uremia setelah
dialysis, jarang terjadi pemanjangan blok neiromuskular.

Cisatrakurium, Atrakurium dan Mivakurium


Mivakurium sedikit tergantung pada ginjal untuk eliminasi. Efek pemanjangan yang
ringan dapat terjadi pada pseudokolinesterase plasma. Cisatrakurium dan atrakurium didegradasi
dalam plasma secara ensimatik oleh hidrolisis ester dan nonensimatik eliminasi Hofmann. Obat
ini merupakan pilihan untuk pelemas otot pada pasien ginjal.

Vecuronium dan Rocuronium


Eliminasi vecuronium terutama di liver, sampai 20% dieliminasi di urine. Efek dosis
besar dari vecuronium (>0,1 mg/kg) akan memanjang pada insufiensi ginjal. Rocuronium
terutama dieliminasi di hati, tetapi kadang dapat terjadi pemanjangan pada penyait ginjal berat.

Kurare
Eliminasi kurare tergantung pada ekskresi ginjal dan saluran empedu; 40-60% kurare
diekskresi di urin. Efek pemanjangan terjadi pada pemberian dosis berulang padan gangguan
ginjal yang signifikan. Penurunan dosis dan interval yang lebih lama diperlukan untuk relaksasi
yang optimal.

Pancuronium, Pipekuronium Alkuronium dan Doksakurium


Obat-obat ini sangat tergantung pada ekskresi oleh ginjal (60-90%). Walaupun
pancuronum dimetabolisir oleh hati, eliminasinya masih tergantung pada ekskresi ginajl (60-80).
Fungsi neuromuskuler harus dimonitor dengan ketatbila digunakan pada fungsi ginjal yang tidak
normal.

Metourin, Galamin dan Dekametonium


Ketiga obat di atas tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan biasanya tidak
digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

Obat Reverse
Ekskresi ginjal adalah jalur utama eliminasi untuk endrofonium, neostigmin dan
piridostigmin. Waktu paruh obat ini pada pasien dengan gangguan ginjal akan memanjang sama
dengan obat pelemas otot . Masalah reverse yang tidak adekuat pada blok neuromuskuler dapat
dIsebabkan oleh faktor lain(lihat bab 9).

ANESTESIA UNTUK PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL


PERTIMBANGAN PREOPERATIF
Gagal Ginjal Akut
Sindroma ini adalah suatu gangguan fungsi ginjal yang cepat dengan retensi buangan
nitrogen (azotemia). Substansi ini bersifat toksik, yang diproduksi oleh protein dan asam amino,
yaitu : urea, senyawa guanidin (temasuk keratin dan kraeatinin), urat, amin alifatik dan berbagai
peptid, asam aamino aromatik. Gangguan metabolisme ginjal terhadap protein dan peptide juga
menyebabkan disfungsi organ yang luas.
Azotemia dibagi menjadi prerenal, renal dan post renal, tergantung penyebabnya (lihat
bab 50). Azotemia pre renal diakibatkan oleh penurunan yang cepat pada perfusi ginjal. Aaotemia
renal biasanya terjadi karena penyakit di ginjal, iskemia atau toksin.
Azotemia post renal
disebabkan oleh obstruksi atau gangguan saluan kencing. Azotemia pre renal dan post renal
bersifat reversible pada tahap awal tapi dapat berlanjut ke azotemia renal. Kebanyakan pada
pasien dewasa dengan gagal ginjal terjadi oliguria. Pasien non oliguria (urin>400 mL/hari)
membentuk kualitas urin yang jelek; pasien ini cenderung dapat menjaga GFR dengan baik.
Walau filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu pada kedua kasus ini, abnormalitas lebih
ringan pada non oliguria.
Perjalanan gagal ginjal akut banyak bervariasi, tetapi fase oliguri berlangsung selama 2
minggu dan diikuti fase diuretik ditandai dengan peningkatan produksi urin yang progresif.

31
Peningkatan produksi urin biasanya tidak terjadi pada gagal ginjal non oloiguria. Fungsi urin
meningkat pada beberapa minggu tetapi tidak akan kembali ke normal dalam 1 tahun. Diskusi
yang lebih lengkap ada di bab 50.

Gagal ginjal Kronik


Sindroma ini ditandai oleh penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel paling
sedikit 3-6 bulan. Penyebab yang paling sering adalah nefrosklerotik hipertensi, glomerulonefritis
kronik, nefropati dibetik, penyakit ginjal polikistik.
Manifestasi selengkapnya sindroma ini (table 32-2)-sering mengarah ke uremia- trejadi
setelah GFR menurun di bawah 25 mL/menit. Pasien denga kliren dibawah 10 mL/menit (gagal
ginjal tahap akhir) tregantung pada dialysis untuk bertahan hidup sampai dilakukan transplantasi
ginjal. Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau peritoneal dialisis kontinyu dengan
kateter.

Table 322. Manifestations of Uremia.


Neurological

Tabel 32-2. Manifestasi uremia


Neurologi :

Peripheral neuropathy

Neuropati perifer

Autonomic neuropathy

Neuropati otonom

Muscle twitching

Muscle twitching

Encephalopathy

Ensefalopati

Asterixis

Asterksia

Myoclonus

Mioklonus

Lethargy

Lemah

Confusion
Seizures
Coma
Cardiovascular
Fluid overload

Pusing
Kejang
Koma
Kardiovaskuler :
Kelebihan cairan

Congestive heart failure


Hypertension
Pericarditis
Arrhythmia
Conduction blocks
Vascular calcification
Accelerated atherosclerosis

Gagal jantung kongestif


Hipertensi
Perikarditis
Aritmia
Blok konduksi
Kalsifikasi pembuluh darah
Aterosklerosis lebih awal

Pulmonary

32
Hyperventilation

Paru:

Interstitial edema

Hiperventilasi

Alveolar edema

Udem intersitsial

Pleural effusion

Udem alveolar

Gastrointestinal
Anorexia

Efusi pleura
Gastrointestinal:

Nausea and vomiting

Anoreksia

Delayed gastric emptying

Mual dan muntah

Hyperacidity
Mucosal ulcerations

Pengosongan
memanjang

Hemorrhage

Hiperasiditas

Adynamic ileus

Ulkus mukosa

Metabolic
Metabolic acidosis
Hyperkalemia

lambung

Perdarahan
Ileus
Metabolik :

Hyponatremia

Asidosis metabolik

Hypermagnesemia

Hiperkalemia

Hyperphosphatemia

Hiponatremia

Hypocalcemia
Hyperuricemia
Hypoalbuminemia
Hematological
Anemia

Hipermagnesemia
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Hipoalbuminemia

Platelet dysfunction
Leukocyte dysfunction
Endocrine
Glucose intolerance
Secondary hyperparathyroidism
Hypertriglyceridemia

Hematologi :
Anemia
Disfungsi platelet
Disfungsileukosit
Endokrin :
Intoleransi glukosa
Hiperparatiroid sekunder
Hipertrigliseridemia

Skeletal
Osteodystrophy

yang

33
Periarticular calcification
Skin
Hyperpigmentation
Ecchymosis
Pruritus

Skeletal :
Ostedystrphy
Kalsifikasi periartikuler
Kulit :
Hiperpigmentasi
Ekimosis
Pruritus

Efek uremia biasnaya dapat dikontrol dengan daialisis. Komplikasi uremi dapat terjadi
berulang. Dialisis juga menyebabkan komplikasi. Hipotensi, netropeni, hipoksemia, dan sindroma
ketidakseimbangan yang transien dan dapat pulih beberapa jam setelah dialisis. Faktor yang
menyebabkan hipotensi selama dialisis yaitu efek vasodilatasi larutan dialisat asetat, nefropati
otonom dan pergeseran cairan yang cepat. Interaksi sel darah putih dengan derifat selofan dialysis
membrane dapat menyebabkan neutropenia, disfungsi pulmonary dimediasi oleh leukosit
mengarah pada hipoksemia. Sindroma disequilibrium ditandai oleh gejala nerologi sementara
yang nampak pada penurunan yang cepat osmolalitas ekstra seluler daripada intra seluler.

Table 323. Complications of Dialysis. Tabel 32 3. Komplikasi untuk Dialisis


Neurological
Disequilibrium syndrome
Dementia
Cardiovascular

Neurologi :
Sindroma ketidakseimbangan
Demensia
Kardiovaskuler:

Intravascular volume depletion

Penurunan volume intravaskuler

Hypotension

Hipotensi

Arrhythmia

Aritmia

Pulmonary
Hypoxemia

Paru :
Hipoksemia

Gastrointestinal
Gastrointestinal :
Ascites
Hematological
Anemia
Transient neutropenia
Residual anticoagulation
Hypocomplementemia

Asites
Hematologi :
Anemia
Neutropenia sementara
Antikoagulasi residual
Hypocomplementemia

34
Metabolic
Hypokalemia
Large protein losses
Skeletal
Osteomalacia
Arthropathy
Myopathy
Infectious
Peritonitis

Metabolik :
Hipokalemia
Kehilangan protein dalam jumlah besar
Skeletal :
Osteomalacia
Artropati
Miopati
Infeksius
Peritonitis
Hepatitis berkaitan dengan transfusi

Transfusion-related hepatitis

Manifestasi Gagal Ginjal


METABOLIK
Abnormal metabolik multiple, meliputi hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
hipermagnesemia dan hipoalbuminemia muncul pada pasien dengan gagal ginjal. Air dan retensi
natrium menyebabkan hiponatremia dan overload cairan ekstraseluler. Kegagalan
mengeskresikan asam menyebabkan asidosis metabolik dengan perbedaan anion yang tinggi
(lihat bab 30). Hipernatremia dan hipokalemia biasanya tidak terjadi.
Hiperkalemia mengancam jiwa karena efeknya pada jantung. (lihat bab 28). Biasanya
muncul pada kliren kreatinin <5mL/menit, tetapi dapat meningkat dengan cepat pada pasien
dengan kliren yang lebih tinggi pada muatan kalium yang besar (trauma,hemolisis, infeksi, atau
pemberian kalium).
Hipermagnesia biasanya ringan kecuali intake magnesium meningkat (terutama antasida
yang mengandung antasida). Hipokalsemia terjadi tanpa alasan yang jelas. Mekanismenya
mungkin deposisi kalsium ke tulang akibat hiperfosfatemia, resistensi hormone paratiroid, dan
penurunan absorbsi di intestinal karena penurunan sintesis 1,25 dihidrokolekalsiferol (lihat bab
28). Gejala hipokalsemia jarang muncul kecuali pasien mengalami alkalosis.
Pasien denga gagala ginjal juga cepat kehilangan protein jaringan dan menjadi
hipoalbuminemia. Anoreksia, restrisi protein dan dialysis(terutama peritoneal dialysis) juga
menjadi penyebab.

HEMATOLOGIK
Anemia hampir selalu ada bila kliren kreatinin dibawah 30 mL/menit. Konsentrasi
hemoglobin biasanya 6-8 g/dL. Penurunan produksi eritropoeitin, penurunan produksi sel darah
merah dan penurunan daya tahan hidup sel sebagai penyebab anemia di atas. Faktor yang
memperberat adalah perdarahan gastrointestinal, hemodilusi, dan supresi sumsum tulang dari
infeksi berulang. Walaupun dengan transfuse, sulit untuk menjaga Hb>9 g/dL. Terapi eritropeitin
akan memperbaiki anemia secara parsial. Peningkatan 2,3 difosfogliserat sebagi respon terhadap
penurunan oxygen-carrying capacity. 2,3 difosfogliserat memfasilitasi oksigen yang tidak terikat
pada hemoglobin (lihat bab 22). Asidosis metabolik menyebabkan kurva hemoglogin-oksigen
bergeser ke kanan. Pasien tanpa gejala penyakit jantung akan biasa mentolerir keadaan anemia.
Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Waktu
perdarahan menurun dan kemungkinan untuk infeksi meningkat. Kebanyakan pasien mengalami
penrunan fungsi platelet factor 3, sehingga terjadi penurunan adesi dan agregasi platelet.Pasien
yang baru menjalani hemodialisis akan mendapt efek antikoagulan dari heparin.

KARDIOVASKULER

35
Cardic Output (curah jantung) harus meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga
transport oksigen pada penurunan oxygen carrying capacity. Retensi natrium system renninangiotensin yang tidak normal mnyebabkan hipertensi arterial sistemik. Hipertropi ventrikel kiri
sering dijumpai pada gagal ginjal kronik. Kelebihan cairan ekstraselular karena retensi natiriumbersama peningkatan pemenuhan pada hipertensi dan anemia- menyebabkan pasien cenderung ke
gagal jantung kongestif dan udem paru. Peningkatan permeabilitas pada membrane kapiler
alveolar juga menjadi factor predisposisi. Blok konduksi jarang terjadi dan mungkin pada
deposisi kalsium dalam system konduksi. Aritmia biasa ditemui, berkaitan dengan kelainan
metabolik. Uremic pericarditis dapat terjadi pada beberapa pasien, kadang asimptomatis, nyeri
dada, atau berupa tamponade jantung. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga mempercepat
penyakit vaskuler perifer dan penyakit jantung koroner.
Penurunan voume intravaskuler dapat terjdi pada fase diuretic pada gagal ginjal akut bila
penggantian cairan tidak adekuat. Hipovolemia juga terjadi bila terlalu banyak cairan dikeluarkan
pada saat dialisis.

PARU - PARU
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien akan tergantung pada ventilasi semenit untuk
kompensasi asidosis metabolik(lihat bab 30). Cairan ekstraseluler paru sering meningkat
menimbulkan udem paru sehingga gradien oksigen alveolus-arteri melebar dan menjadi factor
predisposisi hipoksemia. Peningkatan permeabilitas membran kapiler menyebabkan udem
walaupun tekanan kapiler paru normal, dengan gambaran khas butterfly wings pada foto torak.

ENDOKRIN
Gangguan toleransi glukosa merupakan karakteristik gagal ginjal dan akibat resistensi
perifer terhadap insulin; pasien tidak dapat mengontrol gula dengan baik. Hiperparatiroid pada
pasien dengan gagal ginjal kronik dapat menyebabkan penyalit tulak metabolik, predisposisi
terjadinya fraktur. Gangguan metabolisme lemak menyebabkan hipertrigleridemia dan
mempercepat aterosklerosis. Peningkatan protein dan polipeptida di sirkulasi didegradasi di ginjal
dengan normal; termasuk hormone paratiroid, insulin glukagon, hormone pertumbuhan, hormone
lutein dan prolaktin.

GASTROINTESTINAL
Anoreksia, mual, muntah dan ileus sering dikaitkan dengan azotemia. Hipersekresi asam
lambung meningkatan insiden ulkus peptikum dan perdarahan gastrointestinal pada 10-30%
pasien. Pengosongan lambung yang memanjang karena neuropati otonom memudahkan pasien
mengalami aspirasi perioperatif. Pasien demgan gagal ginjal kronik juga mempunyai insiden
tinggi hepatitis virus B dan C, sering didikuti disfungsi hati residual.

NEUROLOGI
Asteriksia, letargi, pusing, kejang dan koma merupakan manifestasi dari uremia
ensefalopati. Gejalanya tergantung pada derajat azotemia. Neuropati otonom dan neuropati
perifer sering dijumpai pada gagal ginjal kronik. Neuropati perifer biasanya berupa gangguan
sensorik ekstremitas bawah bagian distal.

Penilaian Preoperatif
Efek yang luas dari azotemi memerlukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita gagal
ginjal. Pasien dengan gagal ginjal akut yang memerlukan pembedahan adalah pasien kritis. Gagal
ginjal sering dihubungkan dengan komplikasi pos operatifatau truma. Pasien dengan gagal ginjal
akut juga cenderung cepat mengalami penguraian protein. Manajemen perioperatif yang optimal
tergantung dialysis preoperative. Hemodialisis lebih efektif daripada peritoneal dialisis dengan
menggunakan kateter jugular interna, subklavia dan femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien non
oliguri harus dinilai secara individual. Indikasi dialysis tercantum pada table 32-4.
Pasien dengan gagal ginjal kronik sering menjalani perbaikan atau pembuatan fitula
arteri-vena dalam anestesis lokal atau anestesi regional. Pemriksaan lengkap diperlukan untuk
memastikan pasien dalam keadaan optimal; manifestasi reversibel(table 32-2) pada uremia harus
dikontrol. Dialisis preoperative pada hari operasi atau sehari sebelumnya biasanya diperlukan.

Table 324. Indications for Dialysis.

Tabel 32 4. Indikasi untuk Dialisis

36
Fluid overload

Kelebihan cairan

Hyperkalemia

Hiperkalemia

Severe acidosis

Asidosis berat

Metabolic encephalopathy

Ensefalopati metabolik

Pericarditis

Perikarditis

Coagulopathy

Koagulopati

Refractory gastrointestinal symptoms

Gejala gastrointestinal refrakter

Drug toxicity

Toksisitas obat

Pemeriksaan fisik dan laboratorium harus focus pada fungsi jantung dan paru. Tanda
kelebihan cairan atau hipovolemia harus dicari (lihat bab 29). Penurunan volume intra vena sering
diakibatkan oleh dialysis. Perbandingan berat badan pasien sebelum dan sesudah dialysis dapat
membantu mengetahui perubahan cairan. Data hemodinamik bila ada dan foto torak sangat
berharga untuk konfirmasi hasil pemeriksaan klinis. Analisis gas darah juga perlu untuk
mendeteksi hipoksemia dan ststus asam basa. EKG harus dicermati untuk melihat tanda
hiperkalemia atau hipokalsemia (lihat bab 28), iskemia, blok konduksi, dan hipertrofi ventrikel.
Ekokardiografi sangat berguna pada operasi besar vena mengevaluasi ventricular ejection fraction
,hipertrofi, gerakan abnormal dan efusi pericardial.
Transfusi seldarah merah preoperatifdilakukan pada psien dengan anemia berat (Hb< 6
g/dL) atau bila diperkirakan ada perdarahan banyak. Waktu perdarahan dan pembekuan
dianjurkan untuk dilakukan terutama bila dilakukan anestesi regional. Elektrolit serum, BUN dan
kreatinin digunakan untuk menilai perlunya dialysis. Pengukuran glukosa membantu untuk
menentukan terapi insulin.
Penggunaa obat preoperatif harus diperhatikan untuk obat yang eliminasinya tergantun
pada ginjal. (table 32-5). Penyesuaian dosis dan kadar pengeukuran obat dala darah( bila bisa
diperoleh) diperlukan untuk mencegah terjadinya toksik.

Premedikasi
Pasien yang stabil dapat diberikan opioid yang diturunkan atau benzodiasepin(lihat tabel
8-3). Prometasin, 12,5-25 mg intramuskular bergua untuk membantu memberikan sedasi dan
antiemetik. Pencegahan aspirasi dengan H 2 bloker diperlukan pada pasien dengan mual, muntah,
atau perdarahan intestinal. Metoklopramid 10 mg oral atau intra vena pelan-pelan juga
bermanfaat untuk mempercepat pengosongan lambung, mencegah muntah dan resiko aspirasi.
Medikasi preoperatif , khususnya obat antihipertensi, harus dilanjutkan sampai saat
pembedahan(lihat bab 20). Pengaturan pasien diabetes mellitus dibahas di bab 36.

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF
Monitoring
Prosedur pembedahan seperti pada pasien lainnya, diperlukan monitoring. Karena bahaya
oklusi tekanan darah tidak dipasang cuff ditangan denga fistula arterivena. Monitoring intra arteri,
vena sentral, dan arteri paru sering diperlukan terutama untuk pasien yang akan mengalami
banyak pergeseran cairan(lihat bab 6); volume intravaskuler sering sulit untuk dinilai hanya
berdasar tanda klinis saja. Monitoring tekanan darah intra arteri juga diperlukan pada hipertensi
yang tidak terkontrol. Monitoring invasive yang agresif diperlukan teutama pada pasien diabetic
dengan penyakit ginjal berat yang akan menjalani operasi besar; pasien ini memiliki morbiditas
10 kali dibanding penderita diabetes tanpa gangguan ginjal. Insiden komplkasi kardiovaskuler
berat mudah terjadi pada kelompok pasien yang pertama.

Induksi
Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan gastrointestinal harus dilakukan induksi
rapid-squence dengan penekanan pada krikoid. Dosis induksi harus diturunkan pada pasien lemah
atau sakit berat. Tiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidat 0,2-0,4
mg/kg lebih disukai bila hemodinamik tidak stabil. Opioid beta-bloker (esmolol), atau lidokain
digunakan untuk menumpulkan respon hipertensi terhadap intubasi (lihat bab 20). Suksinilkolin
1,5 mg/kg dapat digunakan untuk intubasi endotrakeal bila kalium <5 mEq/L.

Rocuronium(0,6 mg/kg), cisatrakurium(0,15 mg/kg) atrakurium (0,4 mgkg) atau mivakurium


(0,15 mg/kg) digunakan untuk intubasi pasien dengan hiperkalemia. Atrakurium pada dosis ini

37
menyebabkan sedikit pelapasan histamine (lihat bab 9). Vekuronium 0,1 mg/kg dapat digunakan
sebagai alternatif tetapi efek memanjangnya harus diperhatikan.

Table 325. Drugs with a Potential for Significant Accumulation in


Patients with Renal Impairment.
Muscle relaxants

Antihypertensives

Metocurine

Clonidine

Gallamine

Methyldopa

Decamethonium

Captopril

Pancuronium

Enalapril

Pipecurium

Lisinopril

Doxacurium

Hydralazine

Alcuronium

Nitroprusside (thiocyanate)

Anticholinergics

Antiarrhythmics

Atropine

Procainamide

Glycopyrrolate

Disopyramide

Metoclopramide

Bretylium

H2-receptor antagonists

Tocainide

Cimetidine
Ranitidine
Digitalis
Diuretics
Calcium channel antagonists

Encainide (genetically determined)


Bronchodilators
Terbutaline
Psychiatric
Lithium

Nifedipine

Antibiotics

Diltiazem

Penicillins

-Adrenergic blockers

Cephalosporins

Propranolol

Aminoglycosides

Nadolol

Tetracycline

Pindolol

Vancomycin

Atenolol

Anticonvulsants
Carbamazepine
Ethosuximide
Primidone

Pemeliharaan
Teknik pemeliharaan yang ideal akan dapat mengontrol hipertensi dengan efek minimal
pada curah jantung, karena peningkatan curah jantung merupakan mekanisme kompensasi pada
anemia. Obat anestesi volatil, N 2O, propofol, fentail, sufentanil, alfentanil, remifentanil,
hidromorfon dan morfin digunakan untuk pemeliharaan denga hasil yang memuaskan. Isofluran
dan desfluran paling disukai karena paling sedikit efek pada curah jantung(lihat bab 7). N 2O
diguanakan dengan waspada pada pasien dengan fungsi ventrikel yang jelek dan tidak digunakan
dengan Hb <7 g/L untuk pemberian oksigen 100%. Meperidin bukan pilihan yang baik karena
akumulasi normeperidin . Morfin diguanakan tapi efek pemanjangannya harus diperkirakan.

Ventilasi dikontrol adalah yang paling aman bagi pasien gagal ginjal. Pernafasan spontan
pada keadaan anestesi dapat menyebabkan asidosis respiratorik yang memicu tejadinya asidemia,
depresi berat sirkulasi dan peningkatan kalium yang berbahaya(lihat bab 30). Alkalosis

38
respiratorik juaga merusak karena menggeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri (lihat bab 22),
menetuskan hipokalsemia dan menurunkan aliran darah(lihat bab 25).

Terapi Cairan
Operasi superficial dengan trauma jaringan minimal memerlukan penggantian cairan
insensible saja dengan larutan dekstrosa 5%. Tindakan dengan banyak kehilangan cairan
memerlukan kristaloid isotonik, koloid atau keduanya(lihat bab 29). Ringer laktat dihindari pada
pasien dengan hiperkalemia bila cairan banyak diperlukan; larutan normal salin bisa digunakan.
Larutan bebas gula biasa digunakankarena ada gangguan toleransi glukosa akibat uremia.
Kehilangan darah biasa diganti dengan darah pack red cell. Transfusi darah tidak mempunyai
efek atau keuntungan pada pasien tranplantasi ginjal; transfuse menurunkan reakasi penolakan
tranplantasi ginjal pada beberapa pasien.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI


SEDANG
PERTIMBANGAN PREOPERATIVE
Ginjal secara normal menunjukkan cadangan fungsi yang besar. GFR, ditentukan oleh
kliren kreatinin, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/menit tanpa perubahan klinis dalam fungsi
ginjal. Pada pasien denga kliren kreatinin 40-60 mL/menit biasanya asimtomatik. Pasien ini
hanya mengalami gangguan ringan tetapi tetap dianggap mengalami penurunan cadangan fungsi
ginjal. Penekanannya adalah menjaga sebagian fungsi ginjal yang maish sehat.
Bila kliren kreatinin turun ke 25-40 mL/menit, terjadi gangguan ginjal sedang, insufiensi
ginjal: sudah ada azotemia, hipertensi dan anemia. Pengelolaan anestesi yang benar sama
beratnya dengan gagal ginjal. Khususnya pada tindakan dengan insiden tinggi untuk terjadinya
gagal ginjal paska operasi, seperti bedah rekonstruksi aorta dan jantung. Penurunan volume
intravaskluler, sepsis, ikterus obstruktif, trauma benturan, injeksi zat kontras dan aminoglikosida,
ACE inhibitor atau NSAID adalah factor risiko utama untuk terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Hipovolemia menunjukkan factor terpenting timbulnya gagal ginjal paska operatif. Penekanan
pengelolaanya adalah pada pencegahan karena angka kematian gagal ginjal paska operasi tinggi
50-60%. Peningkatan resiko dikaitkan dengan gangguan ginjal berat dan diabetes mellitus.
Profilaksis gagal ginjal dengan larutan diuretik tampak efektif dan diindiksikan pada
pasien resiko tinggi yang menjalani bedah aorta, jantung atau bedah mayor yang lainnya. Manitol
(0,5 g/kg) biasa diberikan dan dimulai sejak induksi(lihat bab 31). Cairan intravena harus
diberikan sepantasnya untuk mencegah penurunan volume intravaskuler. Dosis rendah dopamine
dalam larutan intravena bermanfaat meningkatan aliran darah ginjal melalui aktifasi vasodilatasi
reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal. Diuretik yang bekerja pada loop of Henle juga
berguna utnuk menjaga prduksi uri yang cukup dan mencegah kelebihan cairan. Profilkasis
dengan asetilsitein untuk kontras pada pemeriksaan radiology dibahas di bab 31.

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIVE
Monitoring
Monitor standardigunakan untuk tindakan dengan kehilanga cairan yang minimal. Untuk
operasi dengan perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak, monitoring produksi urin tiap jam
dan volume intra vaskluer sangat penting. Walaupun produksi urin yang adekuat tidak
memberikan kepastian fungsi ginjal terjaga dengan baik, diharapkan produksi lebih dari 0,5
mL/kg/jam. Monitoring tekanan intra arteri juga diperlukan bila diperkirakan ada perubahan yang
cepat pada tekanan darah, seperti hipertensi yang tidak terkontrol dan tindakan operatif yang
dapat menimbulkan perubahan preload dan after load secara tiba-tiba.

Induksi
Pemilihan obat induksi tidak segenting penentuan volume intravaskuler yang adekuat
menjelang induksi. Induksi anestesi pada pasien dengan insufiensi akan menyebabkan hipotensi
bila volume intra vaskuler kurang.
Kecuali vasopresor diberikan, hipotensi akan teratasi
setelah intubasi dan rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal yang sudah menurun karena
hipovolemi, gangguan selanjutnya karena hipotensi, vasokonstriksi ginjal karena efek simpatetik
atau farmakologi. Bila keadaan tidak berubah, penurunan perfusi ginjal menyebabkan gangguan
ginjal paska operasi. Keadaan ini bisa dicegah dengan hidrasi preoperatif.

Pemeliharaan
Semua obat untuk pemeliharaan anestesi dapat diterima kecuali metoksifluran dan
sevofluran. Walaupun enfluran dapat digunakan denga aman untuk operasi yang cepat, sebaiknya

39
dihindari bila ada volatile yang lain yang lebih baik. Penurunan fungsi ginjal selama periode itu
bisa disebabkan oleh efek samping pembedahan (perdarahan) atau anestesi ( depresi jantung atau
hipotensi), efek tidak langsung hormonal(aktifasi simpato adrenal atau sekresi hormone
antidiuretik), atau tekanan ventilasi positif (menekan venus return ;lihat bab 31). Efek ini akan
pulih bila cairan intra vena yang cukup diberikan untuk menjaga cairan intravaskuler normal atau
sedikit kelebihan. Pemberian vasopresor alfa-adrenergi(fenilefrin, metoksamin, norepineprin)
juga merusak. Bila tekanan darah arteri rata-rata, curah jantung dan intravaskuler sudah adekuat,
infuse dopamine dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat digunakan untuk menjaga aliran
darah ginjal dan fungsi ginjal. Dopamin dosis untuk ginjal, secara parsial melawan vasokonstriksi
selama pemberian infus vasopresor alfa-adrenergi(norepinefrin)

Terapi cairan
Seperti dibicarakan diatas, pemberian cairan dengan bijak adalah sangat penting dalam
mengelola pasien dengan penurunan cadangan fungsi ginjal atau insufiensi ginjal. Waspada
terhadap kelebihan cairan adalah benar, tetapi masalah jarang dihadapi pada pasien dengan
produksi urin yang normal jika monitor yang layak dan pedoman diikuti(lihat bab 29). Akibat dari
kelebihan cairan, bendungan paru atau udem, lebih mudah di terapi dari pada gagal ginjal akut.

DISKUSI KASUS : PASIEN DENGAN HYPERTENSI TIDAK TERKONTROL


Laki-laki 59 tahun dengan hipertensi dijadwalkan untuk rekonstruksi stenosis arteri ginja
kiri. Tekanan darahnya 180/110 mg.

Apa penyebab hipetensinya?


Hipertensi renovaskuler adalah salah satu hipertensi yang dapat dikoreksi dengan
pembedahan. Yang lainnya adalah coarctation aorta, feokromositoma, penyakit Chusing, dan
hyperadosteronisme primer.
Kebanyakan penelitian memperkirakan bahwa hipertensi renovaskuler sebanyak 2-5% dari
semua hipertensi. Karakteristiknya onset mendada pada usia lebih muda dari 35 tahun atau lebih
tua dari 55 tahun. Stenosis arteri ginjal juga menjadi penyebab percepatan atau mengganasnya
hipertensi pada semua usia oenderita hipertensi.

Bagaimanapatofisiologi hipertensi?
Stenosis unilateral dan bilateralpada arteri ginjal menurunkan tekanan perfusi ginjal.
Aktifasi juxtaglomerulus danpelepasan rennin meningkatkan sirkulasi angiotensin II dan
aldosteron, menyebabkan konstriksi pembuluh darah periferdan retensi natrium(lihat bab31)
Hampir 2/3 pasien, stenosis diakibatkan oleh plak ateroma pada arteri renalis proximalis.
Pasien ini biasanya laki-laki diatas 55 tahun. Sepertiganya , stenosis terjadi lebih distal dan pada
malformasi dinding arteri, biasanya mengarah sebagai hyperplasia fibromuskuler (atau displasia).
Bagian terakhir ini banyak terjadi pada wanita di bawah 35 tahun. Stenosis arteri ginjal bilateral
terjadi 30-50% pada pasien dengan hipertensi renovaskuler. Penyebab stenosis adalah
pembedahan anerisma, emboli, poliarteritis nodosa, radiasi,trauma, kompresiekstrinsik
darifibrosis retroperitoneal, tumor, dan hipoplasia arteri ginjal.

Apa manifestasi klinis selain hipertensi?


Tanda hiperaldosteronisme skunder paling kelihatan. Termasuk retensi natrium, dalam
bentuk udem, alkalosis metabolik, dan hipokalemia. Hipokalemia menyebabkan kelemahan otot,
poliuria dan tetani.

Bagaimana diagnosis ditegakkan?


Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis sperti disebutkan di depan. Bruit midabdominal juga timbul, tetapi memerlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium dan radiology.
Tes kaptopril, untuk skrining ; tergantung pada observasi pemberian ACE inhibitor menurunkan
perfusi ginjal yang dinilai dengan scan isotop. Bila tes positif, angiografi substraksi digital
digunakan untuk menunjukkan stenosis. Bila tidak bisa, pyelogram intra vena dapat digunakan
untuk diagnosis bila penampakan warna tertunda pada affected side. Arteriografi ginjal sering
digunkan untuk konfirmasi defek anatomi preoperative.

Pasien mana yang akan lebih baik bila dioperasi?


Fungsi pada lesi dievaluasi dengan karakteristik selektif pada kedua ginjal dan
pengukuran rennin plasma dalam darah dari masing-masing ginjal. Aktifitas renin plasma
meningkat pada sisi stenosis. Pasien dengan stenosis arteri ginjal dengan rasio aktifitas rennin

40
plasma pada kedua sisi lebih dari 1,5:1 lebih dari 90% dapat diobati setelah pembedahan.
Pemberian ACE inhibitor memperbesar perbedaan aktifitas renin di plasma vena renal pada kedua
sisi. Bila stenosis bilateral, pergeseran rasio aktifitas renin kurang dari 1,5:1pasien masih akan
mendapat manfaat dari pembedahan.

Apakah pasien akan menjalani operasi dalam tekanan darah seperti ini?
Terapi saat ini pada stenosis pembuluh darah ginjal adalah pembedahan karena
kecenderungan untuk fungsi ginjal yang menurun hanya dengan terapi medical saja. Terapi
medical yang optimal diperlukan untuk persiapan pasien menjalani operasi. Bila dibandingkan
dengan pasien yang terkontrol, hipertensi yang tidak terkontrol akan berisiko tinggi selama
operasi: hipertensi, hipotensi, iskemia miokard dan aritmia (lihat bab 20). Idealnya tekanan darah
terkontrol dalam batas normal menjelang pembedahan. Gangguan metabolikseperti hipokalemia
harus dikoreksi. Pasien harus dievaluasi untuk disfungsi ginjal(lihat bab 31). Pasien lebih dari 50
tahunharus dievaluasi penyakit aterosklerosis, khususnya pada arteri koroner.

Obat antihipertensi apa yang bermanfaat mengontrol tekanan darah preoperative


pada pasien ini?
Obat yang paling bermanfaat pada hipertensi pembuluh darah jantung adalah penurunan
aktifitas sistem renin-angiotensin, ACE inhibitor, beta-bloker dan obat sentral yang menurunkan
aktifitas simpatis. Enalapril merupakan ACE inhibitor yang tersedia untuk intra vena. Efek
sampingnya adalahhipotensi, hiperkalemia, netropeni, angioedema, urtikaria dan rash. ACE
inhibitor dapat menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral.
Perioperatif, pemberiannya dibatasi.
Sebaliknya, beta bloker dapat digunakan selama operasi dan paska operasi untuk
mengontrol tekanan darah. Obat ini efektif karena sekresi renin dimediasioleh beta-1-adrenergik
reseptor. Walaupun selective beta-1-bloker parenteral seperti metoprolol dan esmolol dianggap
yang paling efektif, obat non selektif seperti propanolol memperlihatkan efektifitas yang setara.
Esmolol mungkin obat pilihan karena waktu paruhnya pendek dan dapat titrasi.
Vasodilator direk, seperti nitroprusid dan nitrogliserin juga bermanfaat utnk mengontrol
hipertensi intraoperatif. Fenoldopam memberikan keuntungan peningkatan aliran darah ginjal dan
protektif pada pada ginjal. Saralasin, antagonis resptor angiotensin II, dibatasi karena aktifitas
agonis parsial.

Apa pertmbangan intraoperatif yang penting untuk anestesiolog?


Revaskularisasi ginjl adalah yang utama, dengan potensial untuk kehilangan darah,
pergesrean cairan, dan perubahan hemodinamik. Satu dari beberapaoperasi mungkin dilakukan
seperti transaortic renal endarterectomy, aortorenal bypass(menggunakan vena saphena, graft
sintetik atau segmen arteri hipogastrik), splenic to(left)renal arteri bypass, hepatic/gastroduodenal
(right)renal arteri bypass atau eksisipada segmen stenosis debngan reanastomosispada arteri
ginjal ke aorta. Nefrektomi jarang dilakukan. Pembedahan retropritoneal yang ekstensif biasanya
memerlukan penggantian cairan dalam jumlah besar.Akses intravena yang besar diperlukan
karena potensial perdarahan banyak. Heparinisasi mempermudah untuk kehilangan darah.
Tergantung pada teknik pembedahan, klem aorta, dengan akibat pada heomdinamik, sering
menyulitkan pengelolaan anestesi(lihat bab 21). Monitoring intraarteri dan venasentral
diperlukan. Monitoring tekanan arteri paru diindikasikan untu pasien dengan fungsi ventrikel
yang jelek(lihat bab 6). Pilihan teknik anestesi ditentukan oleh fungsi kardiovaskuler.
Produksi urin harus dicatat dengan teliti. Pengukuran diperlukan untuk menghindari
iskemia pada ginjal. Hidrasi yang banyak bersama larutan diuretic sperti manitol biasanya
dianjurkan(lihat bab 31). Pendingin topical pada ginjal selama anastomosis uga dilakukan.

Apa pertimbangan yan penting untuk paska operasi?


Walaupun pada kebanyakan pasien hipertensi diobati atau membaik, tekanan darah arteri
sering tidak stabil pada priode paska operasi. Monitoring hemodinamik yang ketat terus
dilakukan. Angka kematian opersi berkisar1-6% dan penyebabnya kebanyakan infark miokard.
Hal ini merefleksikan prevalensi yang cukup tinggipenyakit arteri koroner pada usia lanjut
dengan hipertensi pembuluh darah ginjal.

ANJURAN BACAAN

41
Asif A, Epstein M: Prevention of radiocontrast-induced nephropathy. Am J Kidney Dis
2004;44:12. [PMID: 15211433]
Bambaro G, Bertaglia G, Puma G, D'Angelo A: Diuretics and dopamine for the
prevention and treatment of acute renal failure: A critical reappraisal. J Nephrol
2002;15:213.
Better OS, Rubinstein I, Winaver JM, Knochel JP: Mannitol therapy revisited (1940
1997). Kidney Int 1997;52:886. [PMID: 9328926]
Evers SA, Maze M: Anesthetic Pharmacology: Physiologic Principles and Clinical
Practice. Churchill Livingstone, 2004.
Murphy MB, Murray C, Shorten GD: Fenoldopama selective peripheral dopaminereceptor agonist for the treatment of severe hypertension. N Engl J Med 2001;345:1548.
[PMID: 11794223]
Sadovnikoff N: Perioperative acute renal failure. Int Anesthesiol Clin 2001;39:95.
[PMID: 11285947]
Schrier RW (editor): Renal and Electrolyte Disorders, 6th ed. Lippincott, Williams &
Wilkins, 2002.
Sladen RN: Anesthetic considerations for the patient with renal failure. Anesthesiol Clin
North Am 2000;18:863. [PMID: 11094695]
Stoelting RK, Dierdorf SE: Anesthesia and Co-existing Disease, 4th ed. Churchill
Livingstone, 2002.
Thapa S, Brull SJ: Succinylcholine-induced hyperkalemia in patients with renal failure:
An old question revisited. Anesth Analg 2000;91:237. [PMID: 10866919]

You might also like