You are on page 1of 14

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Muhammad Reyyan Alfaj*


dr. Endang Tri Wahyuni, M.Kes, SpKK**
*Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta
**Rumah Sakit Umum Daerah Sekarwangi

Abstrak
Dermatitis kontak adalah peradangan kulit sebagai respon terhadap bahan atau substansi
tertentu yang berkontak dengan kulit. Dermatitis kontak diklasifikasikan menjadi 2 bagian
besar, yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) yang merupakan respon non imunologik dan
dermatitis kontak alergi (DKA) yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik, reaksi
hipersensitivitas tipe IV.
Dilaporkan sebuah kasus, perempuan berusia 26 tahun datang ke RSUD Sekarwangi
dengan keluhan gatal diseluruh telapak tangan yang sudah dirasakan sekitar 3 bulan yang
lalu. Gatal dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku sudah pernah diobati dengan
cefadroxil, dextem dan betametason. Namun, gatal tetap muncul lagi saat tidak minum
obat. Keluhan demam, pegal-pegal dan pusing disangkal. Pasien sehari hari bekerja di lab
sebuah perusahaan dan pasien mencuci pakain menggunakan sabun colek yang kerap
menimbulkan rasa gatal setelahnya. Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama,
eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Pemeriksaan penunjang tidak
dilakukan. Pasien diberikan terapi berupa loratadine 10 mg tab 1x1, kloderma 10 g cream,
carmed 10% cream. Setelah satu minggu pengobatan pasien belum datang kembali untuk
kontrol sehingga belum dapat diketahui perkembangan dari terapi yang telah diberikan.
Kata kunci : Dermatitis kontak alergi, Non Imunologi, Hipersensitivitas tipe IV

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Muhammad Reyyan Alfaj *


dr. Endang Wahyu Tri, Kes, SpKK **
* Faculty of Medicine and Health, University of Muhammadiyah Jakarta
** Regional General Hospital Sekarwangi

Abstract
Contact dermatitis is a skin inflamatory response caused by direct contact with materials
or particular substances. Contact dermatitis is classified into two types: irritant contact
dermatitis (ICD) which is a non-immunologic response and allergic contact dermatitis
(ACD) which is caused by immunologic mechanisms, type IV hypersensitivity reaction.
Reported a case, a woman about 26 years old came to the Sekarwangi hospital with
complaints of a itching all over the palms that are already being felt around 3 month ago.
complaints perceived wane . Patients admitted that he had been treated with cefadroxil,
dexteem and betamethasone. However, the itching persists longer when not taking
medication. Symptoms of fever, aches and dizziness denied. Patients daily work in the lab
of a company and patients to wash clothes using soap that often cause itching afterwards.
On dermatologic examination appear erosion, scaling, erythema and excoriation in the
palm area.. Investigations are not conducted. Patients were assigned to treatment such as
Loratadine 10 mg tabs 1x1, kloderma 10 g cream, carmed 10% cream. After one week of
treatment the patient has not come back to the control so it is not yet known the
development of therapies that have been granted.
Keywords: Allergic contact dermatitis, Non Immunology, type IV hypersensitivity

BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah kondisi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
faktor eksternal, substansi-substansi partikel yang berinteraksi dengan kulit (National
Occupational Health and Safety Commision, 2006). Dikenal dua macam jenis dermatitis
kontak yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergik; keduanya dapat bersifat
akut maupun kronis (Djuanda, 2003).
Dermatitis Kontak iritan
Definisi
Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan
iritan baik fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis
dengan respon peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup
(Health and Safety Executive, 2004).
Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari
berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan
cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja),
namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara
lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau
bahkan tidak mengeluh (Djuanda, 2003). Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi
pembatu rumah tangga, pelayan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut.
Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di
intensive care unit dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan
frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan
frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian memiliki hubungan kuat
dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (odds ratio 4,13) (Hogan, 2009).
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan
3

dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria
karena faktor lingkungan, bukan genetik (Hogan, 2009).
Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif,
enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan
kimia higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor,
meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu
penderita (Strait, 2001; Djuanda, 2003). Iritan adalah substansi yang akan
menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit dalam
konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien.
Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai
iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap
mencegah kecenderungan untuk menginduksi dermatitis. Fungsi pertahanan dari
kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (suhu dan
kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu
dan kelembaban rendah). Efek dari iritan merupakan concentration-dependent,
sehingga hanya mengenai tempat primer kontak (Safeguards, 2000). Pada orang
dewasa, DKI sering terjadi akibat paparan terhadap bahan yang bersifat iritan,
misalnya bahan pelarut, detergen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi oleh
faktor lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula
gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga berperan (Fregert,
1998). Faktor lingkungan juga berpengaruh pada dermatitis kontak iritan, misalnya
perbedaan

ketebalan

kulit

di

berbagai

tempat

menyebabkan

perbedaan

permeabilitas; usia (anak dibawah umur 8 tahun lebih muda teriritasi); ras (kulit
hitam lebih tahan daripada kulit putih), jenis kelamin (insidensi dermatitis kontak
alergi lebih tinggi pada wanita), penyakit kulit yang pernah atau sedang dialami
(ambang rangsang terhadap bahan iritan turun), misalnya dermatitis atopik
(Beltrani et al., 2006).

Sistem imun tubuh juga berpengaruh pada terjadinya


4

dermatitis ini. Pada orang-orang yang immunocompromised, baik yang diakibatkan


oleh penyakit yang sedang diderita, penggunaan obat-obatan, maupun karena
kemoterapi, akan lebih mudah untuk mengalami dermatitis kontak (Hogan, 2009).
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat
air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi
sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau
komplemen inti (Streit, 2001). Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan
melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), faktor aktivasi platelet,
dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT).
PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler
sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga
bertindak sebagai kemotraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi
sel mast melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat
perubahan vaskuler (Beltrani et al., 2006; Djuanda, 2003). DAG dan second
messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya
interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi
reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga mengakibatkan molekul permukaan HLA- DR dan adesi intrasel
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF-, suatu
sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit,
menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin (Beltrani et al.,
2006). Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit tergantung pada bahan iritannya. Ada dua jenis bahan
iritan, yaitu: iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat akan menimbulkan kelainan
kulit pada pajanan pertama pada hampir semua orang dan menimbulkan gejala
berupa eritema, edema, panas, dan nyeri. Sedangkan iritan lemah hanya pada
mereka yang paling rawan atau mengalami kontak berulang-ulang, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
5

kehilangan fungsi sawar, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh


iritan. Faktor kontribusi, misalnya kelembaban udara, tekanan, gesekan, dan oklusi,
mempunyai andil pada terjadinya kerusakan tersebut (Djuanda, 2003).
Gejala Klinis
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut
dan dermatitis iritan kronik.
Dermatitis kontak iritan akut
Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga
keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan.
Kekuatan reaksi tergantung dari kerentanan individunya dan pada
konsentrasi serta ciri kimiawi kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta
frekuensi kontak (Fregret, 1998). Satu kali kontak yang pendek dengan
suatu bahan kimiawi kadang-kadang sudah cukup untuk mencetuskan reaksi
iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh zat alkali atau asam, ataupun
oleh detergen. Uap dan debu alkali dapat menimbulkan rekasi iritan pada
wajah. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan dalam
waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama
terjadi ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam
konsentrasi yang cukup tinggi (Fregret, 1998). Kontak yang berulang-ulang
dengan zat iritan sepanjang hari akan menimbulkan fissura pada kulit
(chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit,
akan menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan suatu
pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang lebih
sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang mengalami
fissura. Meskipun efek kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi
iritan, namun hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan
(Fregret, 1998).
Dermatitis kontak iritan kronis
DKI kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang
berulang- ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai
6

macam faktor.

Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat

menyebabkan dermatitis iritan, tetapi bila bergabung dengan faktor lain


baru mampu. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu
atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Sehingga waktu dan
rentetan kontak merupakan faktor paling penting (Djuanda, 2003). Gejala
klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan
terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung
maka dapat menimbulkan retak kulit yang disebut fisura. Adakalanya
kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema, sehingga
diabaikan oleh penderita. Setelah kelainan dirasakan mengganggu, baru
mendapat perhatian (Djuanda, 2003).
Histopatologis
Gambaran histopatologis DKI tidak mempunyai karakteristik. Pada DKI
akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel
mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di
epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis
epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel
atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil. Pada DKI
kronis dijumpai hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan
perpanjangan rete ridges (Hogan, 2009).
Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis
yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji
tempel dengan bahan yang dicurigai (Djuanda, 2003).
Pengobatan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan
iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor
7

yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi,
maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk
memperbaiki kulit yang kering (Djuanda, 2003). Apabila diperlukan untuk
mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat
perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan
iritan sebagai upaya pencegahan (Djuanda, 2003; Kampf, 2007).
Komplikasi
Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut: a. DKI meningkatkan
risiko sensitisasi pengobatan topikal b. lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder,
khususnya oleh Stafilokokus aureus c. neurodermatitis sekunder (liken simpleks
kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya
atau dengan stres psikologik d. hiperpigmentasi atau hipopigmentasi post inflamasi
pada area terkena DKI e. jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif atau
ekskoriasi.
Prognosis
Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati
dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI (Hogan, 2009).
Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik,
dimana kondisi ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor
(Djuanda, 2003).

BAB II
LAPORAN KASUS

Seorang perempuan berusia 26 tahun datang ke RSUD Sekarwangi dengan keluhan


gatal diseluruh telapak tangan yang sudah dirasakan sekitar 3 bulan yang lalu. Gatal
dirasakan hilang timbul. Pasien mengaku sudah pernah diobati dengan cefadroxil, dextem
dan betametason. Namun, gatal tetap muncul lagi saat tidak minum obat. Keluhan demam,
pegal-pegal dan pusing disangkal. Pasien sehari hari bekerja di lab sebuah perusahaan dan
pasien mencuci pakain menggunakan sabun colek yang kerap menimbulkan rasa gatal
setelahnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis, keadaan
umum pasien tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 100/70
mmHg dan nadi 86x/menit.
Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada
daerah telapak tangan.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis apabila dari gambaran klinis masih
meragukan. Diagnosis dermatitis kontak iritan pada pasien ini didapatkan berdasarkan
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Pada anamesis didapatkan keluhan
mulai timbul sejak 3 bulan yang lalu, yang mana pasien mencuci pakain menggunakan
sabun colek yang kerap menimbulkan rasa gatal setelahnya. Pada pemeriksaan dermatologi
tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa obat loratadine 10 mg tab 1x1,
kloderma 10 g cream, carmed 10% cream.

9
Gambar 2.1 Tampak multiple nodul

Gambar 2.2 Nodul berukuran lebih


besar pada daerah lengan

10

BAB III
DISKUSI

Dermatitis kontak iritan adalah efek sitotosik lokal langsung dari bahan iritan baik
fisika maupun kimia, yang bersifat tidak spesifik, pada sel-sel epidermis dengan respon
peradangan pada dermis dalam waktu dan konsentrasi yang cukup. Pada pasien ini tampak
adanya erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada daerah telapak tangan. Semakin lama
paparan iritan terhadap telapak tangan pasien bisa dilihat dari tingkat keparahan jejas yang
timbul di daerah yang terpapar (telapak tangan), baik pada daerah epidermis maupun
dermis sesuai dengan definisi dermatitis kontak iritan.
Dermatitis kontak iritan (DKI) dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras dan jenis kelamin. Namun, berdasarkan jenis kelamin, DKI secara
signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi pada
wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik.
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak,
larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik.
Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu
sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita. Hal ini sesuai dengan keadaan
pasien, dimana pasien bekerja di lab sebuah pabrik yang memungkin paparan bahan kimia
secara terus menerus. Selain itu pasien juga rutin mencuci pakain menggunakan sabun
yang di akui sendiri oleh pasien hal ini sering kali menyebabkan terjadinya gatal di telapak
tangan pasien.
Pada pemeriksaan dermatologi tampak erosi, skuama, eritema dan ekskoriasi pada
daerah telapak tangan. Hal ini sesuai dengan gejala klinis dari dermatitis kontak iritan
berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas
kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak kulit
yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa
eritema.
Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang karena berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah cukup untuk menegakkan diagnosis dermatitis
kontak iritan. Meskipun begitu, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu
11

menegakkan diagnosis apabila gejala klinis yang tampak tidak khas dan meragukan untuk
menentukan diagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dermatitis kontak iritan adalah uji tempel dengan bahan yang
dicurigai.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa obat loratadine 10 mg tab 1x1,
kloderma 10 g cream, carmed 10% cream. Menurut teori upaya pengobatan DKI yang
terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau
kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan untuk
mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Dapat pula diberikan
pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Kesimpulan pada kasus ini adalah pasien sudah dapat didiagnosis dermatitis kontak
iritan yang ditegakkan melalui hasil anamnesis dan gejala klinis yang tampak saat
dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
Terapi yang diberikan kurang lebih hampir sama dengan teori. Prognosis baik (bonam).

12

DAFTAR PUSTAKA
1.

Beltrani, V. S., et al., 2006. Contact Dermatitis: A Practice Parameter. Ann Alergi
Asthma Immunol 97 (1): 1-38.

2.

Bock, M., et al., 2003. Contact Dermatitis and Allergy, Occupational Skin Disease in
The Construction Industry. Br Journal Dermatol 149 (2) : 1165-1171.

3.

Crowe, M. A., 2009. Contact Dermatitis. Diperoleh dari:

http://www.Contact

Dermatitis_eMedicinePediatricsGeneralMedicine.mht
4.

Djuanda, S., dan Sri A. S., 2003. Dermatitis. Dalam: Djuanda, A. et al., ed. 3 Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 126-131.

5.

Fregret, S., 1998. Kontak Dermatitis. Jakarta: Yayasan Essentia Medica.

6.

-related_skin_diseaseContact dermatitis.mht.hsebooks.co.uk.

7.

_________________________, 2009. Managing Skin Exposure Risks at Work.


Diperoleh

dari:

http://www.Managing_skin_exposure_risk_at_work.mht.hsebooks.co.uk.
8.

Hogan, D. J., 2009. Contact Dermatitis, Allergic. Diperoleh dari: http://www.Contact


Dermatitis,
Dermatitis,

Allergic_eMedicineDermatology.mht
Irritant.

Diperoleh

dari:

__________,

2009.

http://www.Contact

Contact

Dermatitis,

Irritant_eMedicineDermatology.mht.
9.

Kampf, G., dan Harald L., 2007. Prevention of Irritant Contact Dermatitis Among
Health Care Workers by Using Evidence-Based Hand Higiene Practice: A Revew.
Industrial Health 45 (1) : 645-652.

10.

Lestari, F., dan Hari S. U., 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan
Dermatitis Kontak pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industry. Makara Kesehatan
11 (2): 61-68.

11.

Lestari, F., Wisnu N., Meily K., 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Dermatitis Kontak pada Pekerja yang Terpajan dengan Bahan Kimia di Perusahaan
Industri Otomotif Kawasan Industri Cibitung Jawa Barat. Makara Kesehatan 12 (2):
63-70.

12.

National Institute of Occupational Safety Hazards (NIOSH), 2006. Occupational and


Environmental

Exposure

of

Skin

to

Chemic.

Diperoleh

dari:

http://www.mines.edu/outreach/oeesc. [Diakses 10 Maret 2010]


13.

Sastroasmoro, S. dan Sofyan I., 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis


Ed.3. Jakarta: Sagung Seto.
13

14.

Situmeang, S. M. F., 2008. Analisa Dermatitis Kontak pada Pekerja Pencuci Botol di
Pt. X Medan Tahun 2008. Makara Kesehatan 12 (1): 12-18.

15.

Streit, M., dan Lasse R. B., 2001. Contact Dermatitis: Clinics and Pathology. Acta
Odontol Scand 59: 309-314.

14

You might also like