Professional Documents
Culture Documents
secara khusus. Ada yang sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang
tidak paham sama sekali atau taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus
menerus, bisa saja akan merugikan. Di sini saya tidak bermaksud
mengharuskan setiap warga NU untuk berijtihad, tetapi setidaknya ada
usaha dari setiap warga NU terutama yang awam untuk belajar mengenai
keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jamaah sehingga semakin
mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya, dibutuhkan peran
aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam
memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah,
tetapi juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga
warga yang awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka
meskipun tidak secara detail, namun akan lebih baik jika para warga mampu
untuk memahami sampai detail. Memberikan dan menyerahkan
permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang tidak
terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga bukan tindakan
yang bijaksana. Ikatan Sarjana Alumni Darussalam Krempyang yang baru
dibentuk memiliki kepedulian untuk memberikan solusi agar ummat
khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan
terutama yang terkait amaliyah-amaliyah NU dengan merekontruksi ulangan
buku ASWAJA
4. Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham
skripturalis atau tekstualis.
Corak pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa
meninggalkan nilai-nilai atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran
dan Sunnah sebagai sumber utama di dalam penggalian hukum (istinbath alahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi dari
prinsip Ahlussunnah wal Jamaah yang peka terhadap kemashlahatan ummat
dan moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti
mengijinkan berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau
filter. Arti moderat di sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut
dengan berupaya mengadakan akulturasi dan asimiliasi dengan budaya
Islam. Sehingga, budaya-budaya yang menjadi amalan-amalan warga
Nahdliyyin atau Syafiiyyah di Indoensia dan diklaim bidah dlalalah tersebut
sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha, dan kejawen, tetapi justru
diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan menghilangkan unsure
kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang bermanfaat.
Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan, kepahaman,
ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai karena
yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi saja, tetapi masalah keagamaan
yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam
hadits Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala
satu, lalu mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah
padahal NU dan Syafiiyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu
benar? Kontekstuaslisasi hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya
memahami hasil dari kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga
memberikan peluang ketidakpahaman kalangan awam yang kemudian
banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh gerakan radikalis
puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam memahami
4
sampai tingkat akademis. Ada salah satu fenomena yang menurut saya
kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny Wahid (putri Alloh
Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan Ansor
Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban
perayaan Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap
yang menguntungkan karena dapat menimbulkan good image dari kalangan
non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari segi aqidah, bisa-bisa sikap
semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga ketertiban dan
keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap
warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan
karena itu memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan
mereka juga berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada
akhirnya berefek kepada kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan
mereka? Toleransi bukan selalu harus terlibat secara langsung, membiarkan
mereka beribadah dan tidak bersikap anarkis serta provokatif pun sudah
termasuk sikap toleransi. Toleransi memang membutuhkan pertimbangan
kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat aqidah kita
menjadi luntur.
7. Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.
NU merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri
dan kyai. Hampir seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk
mengaji kitab kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut
menegakkan sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan
waktu 24 jam dalam sehari kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya
mereka untuk mencapai kemuliaan akhirat dan untuk mencari bekal
menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar dari pondok. Kesibukan
ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan banyak) efek yang
kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya) motivasi
untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga
selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asyari
(sebagai pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau
menghasilkan karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU,
harus mencontoh keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan
dampak positif bagi NU sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari
hantaman kalangan radikalispuritan yang notabene rajin menulis namun
ketika diadakan dialog terbuka secara ilmiah justru tidak pernah
menyanggupi. Banyak media massa yang didominasi oleh kalangan radikalis
puritan yang menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan pahamnya.
Buku merupakan salah satu media yang paling ekonomis dan dapat
menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan usaha
sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini
sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang
diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini
sepertinya kurang progresif di berbagai daerah. Upaya seperti training dan
pelatihan menulis harus diupayakan secara kontinyu dan berkualitas di
berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya mengembangkan kemampuan
menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait konten atau materi
6
mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits, Al Quran, tafsir,
dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para
santrinya agar memiliki gairah berkarya.
8. Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.
Sebagai organisasi secara structural, NU kurang dapat mengendalikan
keanggotannya. Hal ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan
kurang optimal. Banyaknya anggota dan kader secara structural belum tentu
menjamin kelangsungan NU sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga
sangat penting. Karena itu, harus ada upaya pengkaderan secara serius dan
kontinyu. Misalkan, pengkaderan IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya,
Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai dengan program kerja dan konsep
yang telah dicanangkan oleh NU, seperti Pelatihan Kader Muda (Lakmud)
untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya itu, teknik acara dan
konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang diberikan harus
berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi, aswaja,
keNUan, networking, kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan
sebagainya. Dari situ, tentu saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam
mengadakan kegiatan tersebut. Pengkaderan yang berkualitas akan
melahirkan kader yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga militan dan loyal.
Kader yang militant dan loyal akan mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di
antara para kader NU. Pada akhirnya, NU akan menjadi organisasi yang kuat
dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan badai dan tantangan serta
akan dapat memecahkan permasalahan ummat.
9. Jangan hanya berNU secara cultural, tetapi juga secara akademisi.
Sebagai jamiyyah diniyyah, tidak cukup ketika hanya mengaku dan
melaksanakan amaliyyah-amaliyyah NU saja. Tetapi diperlukan upaya untuk
paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah tersebut sesuai kadar
kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam beramaliyyah. Tidak
hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi perhatian khusus NU.
Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai sekarang masih
menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam
keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam
keilmuan umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan
umum sangat bermanfaat guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat
(saadatuddarain). Permasalahan kekinian tidak cukup diselesaikan dengan
hanya beribadah dan berdoa saja, tetapi juga dengan upaya yang
membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran dan keilmuan
guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat duniawi.
Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat
diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan
ummat. Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan
berbagai masalah tersebut harus sejalan dengan Qanun Asasy Nahdlatul
Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada Muktamar I NU,
Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asyari yang sekaligus
menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh
Kyai Haji Achmad Shiddiq yang menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984
1991), dan Mabadi Khairu Ummat. Sehingga sebagai warga NU, khususnya
santri, harus mampu menjadi kalangan terpelajar sebelum akhirnya
7
Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan respon yang
reaktif dari jajaran structural dibawahnya yang seharusnya membantu PBNU
di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut,
misalkan oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini
kurang terpublikasi dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk
merapikan structural NU adalah dengan cara memasang nameboard NU dan
badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting (desa) atau
majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah
(propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis
pendukung NU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini
merupakan tanggung jawab dari jajaran structural NU misalkan PCNU.
Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat
dilakukan asal dipasang, tetapi harus berada di tempat yang strategis,
atau jika dimungkinkan dipasang di kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini
akan memudahkan akses para warga NU jika membutuhkan bantuan dari NU
dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya tersebut, merapikan
organisasi juga tidak hanya merapikan secara structural, tetapi juga
merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja dapat
terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.
12. NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng
dari prinsip dan ajaran aswaja.
Ketika saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat
kontroversi, yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang
diterbitkan oleh penerbit yang sama yang berjudul MWC NU Menggugat
Aqidah Sesat NU. Hal ini sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah
NU secara khusus dan ukhuwah islamiyyah secara umum. Diperlukan
ketegasan yang nyata dari jajaran structural NU yang lebih tinggi untuk
menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah terlebih lagi
beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan meninggalkan
prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan persepsi
bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga
tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam
ini tidak cukup dengan menulis buku-buku counter yang banyak tetapi juga
dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa
jajaran cultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan pengajian
kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus dilakukan
secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu
saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi
dan keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip aswaja.
13. Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda
NU.
Ketika era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang
mengglobal, tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal
tekonologi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local
dan local wisdom Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada
akhirnya, etika bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar.
Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU
9
tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga
bergerak di bidang akhlaq dan etika. Banyak para kaum muda dan pelajar
NU di berbagai daerah yang kehilangan etika dan mencerminkan rendahnya
akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang semakin modern. Fenomena
semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari NU, terutama
kalangan structural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai
pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam
memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi
mengingat karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak
dan berakhlaq mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh
karena itu, diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap
mempertahankan etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini.
Selain itu, saya pernah menemui karakter santri yang memudahkan
(jawa : nggampangke) ibadah dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang
bijak jika dilakukan oleh santri yang notabene merupakan kalangan yang
tidak hanya tahu tetapi juga paham mengenai keagamaan dan ibadah
(meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh orang biasa non santri).
Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya lebih membuat
diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangkemasalah keagamaan
dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus
bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
14. NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap
tingkatan.
Sebagai sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang
dengan skill manajemen organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di
dalam merapikan dan menyolidkan jajaran structural NU, tetapi juga untuk
mengelola kegiatan dan program kerja dengan baik. Kegiatan yang
merupakan realisasi program kerja harus dikelola oleh NU dengan baik agar
kegaiatan tersebut terkendali dan terarah sehingga efek positif dapat
dirasakan oleh semua kalangan yang membutuhkan. Pada setiap kegiatan
dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat koordinasi dan komunikasi yang
tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU. Kegaiatan-kegiatan yang
diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan tidak hanya
dengan structural NU setempat, tetapi juga dengan structural NU yang lebih
tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada
structural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari
structural NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan
semakin berkualitas. Jika koordinasi kurang, maka jajaran structural NU yang
lebih tinggi akan tidak mengetahui structural NU yang lebih rendah mana
saja yang program kerjanya terlaksana dengan baik dan structural NU yang
lebih rendah mana saja yang program kerjanya tidak terlaksana, sehingga
jajaran structural NU yang lebih tinggi harus menegur dan mengetahui
permasalahan yang terjadi yang menyebabkan program kerja dapat
terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah peran structural NU
yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran structural NU yang lebih
rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga kegiatan-kegaiatan NU
akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority.
Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan
10
yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek
pada masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa
lalu yang akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek
moyangnya dan tidak lagi berkarya.
15. Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.
Semangat dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang
membutuhkan perjuangan di dalam mencapai goal(tujuan). Semangat di
dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn dengan berbagai cara sesuai
kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas, jangan sampai
organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat
memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan
ummat. Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya
dengan membaca buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan
keberhasilan-keberhasilan NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya
lewat NU. Selain itu, peka terhadap realitas juga akan menimbulkan
semangat dan motivasi, seperti misalnya melihat realitas bahwa aswaja dan
NU semakin tergerus oleh kalangan radikalispuritan yang gigih
menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama Islam serta mengkafirkan
ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka, melihat realitas
bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan, kesejahteraan,
pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi masalah serius
yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat dan
motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan
reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun,
menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan
tindakan yang kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat
juga merupakan suatu hal yang tidak kalah penting dari memunculkan
semangat dan motivasi itu sendiri.
16. Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan
buku-buku keNUan.
Relasi dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide dan ternama
merupakan sebuah langkah penting di dalam mempublikasikan dan
mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya
warga NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media
dengan kaum radikalispuritan yang mendominasi media, terutama buku
dan penerbit. Penerbit yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya
memikirkan untungrugi, tetapi juga mempertimbangkan pengorbanan
terhadap NU sehingga personal approach dibutuhkan di dalam hal ini.
Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban Syafii dapat
diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang kali.
17. Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan madzhab Syafiiyyah.
Tidak semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki
amaliyyah-amaliyyah seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU
merupakan organisasi, sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak
terikat organisasi, tetapi terikat oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab
secara umum dan kalangan Syafiiyyah secara khusus, yang tidak tergabung
ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah ahlussunnah wal jamaah dan
pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak mudah terpengaruh dan
11
12
13
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil
tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari
kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara
teks-teks Hadits Aswaja adalah:
.
Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani
menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan.
Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: Siapakah
mereka wahai Rasulullah? Rasulullah SAW menjawab: Mereka adalah yang
mengikuti aku dan para sahabatku..HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu
Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) seperti yang tertera
dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah
Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.
B. Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka
ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek
aqidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa
aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek aqidah.
Aspek ini krusial karena pada saat Mutazilah dijadikan paham keagamaan
Islam
resmi
pemerintah
oleh
penguasa
Abbasiyah,
terjadilah
kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.
Ketika Imam al-Asyari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiranpemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mutazilah
dalam beberapa hal yang dianggap bidah atau menyimpang, maka dengan
serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya
banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan
kelompok Asyariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asyari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam
Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan
pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asyariyah,
sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat
aqidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh
belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk
para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi
yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H 321 H) di Mesir, akan tetapi
karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama
menjadikan rumusan aqidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai pedoman
aqidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mutazilah yang karena
metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-Aql ala alNash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bidah,
14
16
18
KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam
Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith
Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua
pengertian :Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman
sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini
didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang
selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan
Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam
bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang
tashawuf .
7) Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah
kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah alkhulaf al-rsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan alHakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang
tergolong al-khulaf al-rsyidn saja, tetapi juga sahabat-sahabat
lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan
penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit)
kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat
petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh
tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang
kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia,
pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR.
Ibn Ady)
8) Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya
adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin,
dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad
Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah
pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya
sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam
9) Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan
pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan
ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang
menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih,
akhlaq, dan jihad.
10) Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna
Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi,
19
22
11.
Mengadakan bahtsul masail dengan dihadiri tokoh yang benarbenar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ruyatul hilal untuk
mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal
12.
Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan
13. Menghafalkan al-Quran dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain
sebagainya
semoga menambah pengetahuan dan pencerahan warga NU secara
umum, aamiin
II
Stop Menuduh Bid'ah
A. Bid'ah sebuah kata sejuta makna
Sunnah dan bidah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan
dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara
(yang berwenang menetapkan hukum syariat). Sunnah dan bidah masingmasing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bidah tanpa menetapkan lebih dulu
batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak
dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalildalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bidah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu
mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah
saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan
soal bidah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir
ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerahmerahan dan dengan suara keras bersabda: Amma badu, sesungguhnya
tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Quran) dan petunjuk (huda) yang
terbaik ialah petunjuk Muhammpstrongad saw. Sedangkan persoalan yang
terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan
ialah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (diketengahkan juga oleh Imam
Bukhori hadits dari Ibnu Masud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi
sedikit pun juga (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar
lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Ibnu Masud dan dari Abu Hurairah [ra].
23
Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bidah. Ini semua baru
dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bidah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang
dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk
kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan
oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui
bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan
yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang
dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun
yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh
beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu
juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh
beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan
dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan,
bahwa sesuatu yang diminta oleh syara baik yang bersifat khusus maupun
umum, bukanlah bidah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir, doa dan lain sebagainya) yang diamalkan
oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para
sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran
dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan
kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan
oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman
pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: Hendaklah kalian berbuat
kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masingmasing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena
agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah
ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh
para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan
sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan
dengan syariat. Jika menyalahi ketentuan syariat maka prakarsa itu tidak
dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syariat, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.,
dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bidah
menurut pengertian istilah syara. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut Bidah hanya menurut
pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan
nama Bidah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bidah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulullah saw. Setiap bidah adalah sesat (Kullu bidatin
25
dholalah), serta tidak ada istilah bidah hasanah, wajib dan sebagainya.
Setiap amal yang dikategorikan sebagai bidah, maka hukumya haram,
karena bidah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada haditshadits lain
(keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan
sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru diadakan) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah
wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. Aisyah ra,
Khalifah Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalanamalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka
kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bidah (baca uraian
selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan
bahwa sebutan bidah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata
bidah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bidah
itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bidah menjadi
beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafii tentang pemahaman bidah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nuaim;
,
.
Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah
yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bidah yang terpuji sedangkan
yang menyalahi sunnah, maka dialah bidah yang tercela
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :
,
.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai
berikut: Pada asalnya bidah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan
tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara bidah itu dipergunakan
untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela.
Yang tepat bahwa bidah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut syara, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk
diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara, maka dia menjadi jelek.
Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang
bidah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama
pakar berikut ini
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii Amalil
Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; AzZarqooni dalam Syarah al Muwattho ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam AlQowaaid ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori dalam Syarhul
Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan
masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang
tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidh itu dholalah/sesat
dan tidak mengakui adanya bidh hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidh menjadi beberapa macam. Ada bidh
mukaffarah (bidh kufur), bidh muharramah (bidh haram) dan bidh
makruh (bidh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidh
mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syarit, atau
seolah-olah bidh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki
Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul
Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid
Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim jilid 6/154pen.) bidah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bidah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi
siapapun yang ingin memahami Quran dan Hadits dengan baik dan
benar.
2. Bidah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan
diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang
pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bidah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang
bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Quran
dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bidah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi
warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan),
memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bidah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil
umum hukum syariat dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syariat.
27
dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita
dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para
sahabat dan tabiin umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina
dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan,
nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina
atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain
sebagainya.
B. Bid'ah Hasanah dalam Pandangan Imam Syafi'i
Legalitas Bidah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan
perdebatan sebelum datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para
ulama tentang Bid'ah bukan karena perselisihan dalam memahami hakikat
Bidah, tapi karena kekayaan ilmu yang dimiliki oleh para ulama, tapi ketika
bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum yang sempit pemahaman,
mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah menyesal ketika
kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membidah-sesatkan amalan
yang telah dilegalisasi oleh syara melalui dalil-dalil dhanni atau ijtihadi, dan
akhirnya kata Bid'ah menjadi senjata untuk memecah-belah ummat ini.
1. Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafii tentang Bidah Hasanah ?
Imam Syafii Rahimahullah berkata :
:
:
Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar,
perkara baru semacam ini adalah bidah yang sesat (Bidah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari
al-Quran, Sunnah, maupun Ijma, maka perkara baru seperti ini tidak tercela
(Bidah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam
kitab Manaqib asy-Syafii Jilid 1- Halaman 469).
Pernyataan Imam Syafii di atas adalah kelanjutan dari pemahaman
Imam Syafii terhadap Hadits larangan Bidah, bukan malah dihantamkan
dengan Hadits larangan Bidah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafii
tidak otomatis menganggap setiap perkara baru dalam Agama itu Bidah
Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua kemungkinan yaitu apabila
bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka itu Bidah
Dholalah dan inilah Bidah yang dilarang dalam Hadits Setiap Bid'ah sesat.
Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan
dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka inilah Bidah Hasanah
dan ini tidak termasuk dalam Bidah yang terlarang dalam Hadits Kullu
Bidatin Dholalah.
Sangat jelas penjelasan Imam Syafii tentang legalitas Bidah Hasanah,
batasan Bidah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah,
Atsar dan Ijma, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak
bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bidah Dholalah
dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syariat baru, karena
29
batasan Bidah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang shorih, atau pada
adakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.
2. Memahami Perkataan Imam Syafii Dalam Pembagian Bidah
baru
dua
ada
Perkara
Maksudnya : semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah, baik
Aqidah atau bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang perlu di
ingat adalah Imam Syafii sedang memisah dan memilah antara dua macam
perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa Rasulullah dan
para sahabat.
=
adalah
maka perkara baru ini
Bidah
Maksudnya : perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi AsSunnah atau menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma, maka inilah Bidah
Dholalah yang terlarang dalam Hadits larangan Bidah, Bidah Dholalah
bukan sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma, tapi harus diperiksa dulu apakah ia menyalahi
atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma.
yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah
satu dari ini (Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma)
Maksudnya : yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak
menyalahi satupun dari Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma,
bukan maksud baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak
menyalahi 4 perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada Tidak
menyalahi jadi perkara baru tidak otomatis Bidah dan Sesat, tapi ketika ia
menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan bila
tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis tidak
sesat, baik dinamai dengan Bidah Hasanah atau Bidah Lughawi atau
dengan bermacam nama lain nya.
tersebut
tidak
dan perkara baru
Maksudnya : perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma adalah Bidah yang tidak tercela atau di sebut
juga dengan Bidah Hasanah.
atau Syari tetap saja maksudnya adalah perkara baru yang tidak
bertentangan dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma,
permasalahan ini hanya karena berbeda dalam memaknai Bidah pada
Syara.
Maksud Bidah pada Syara menurut Imam Nawawi adalah :
perkara baru yang tidak ada dasar dalam syariat yang menunjuki atas
nya, dan adapun perkara baru yang ada dasar dari syara yang menunjuki
atas nya, maka ia bukan Bidah pada Syara, sekalipun Bidah pada Lughat.
Atas definisi Bidah pada Syara menurut Ibnu Rajab, maka Bidah
Hasanah adalah bukan pembagian dari Bidah pada Syara, tapi Bidah
Hasanah adalah Bidah Lughawi, karena maksud Bidah pada Syara yang
seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang tidak
ada dasar dari Syara otomatis Buruk atau sesat.
Maka sekalipun berbeda cara memahami Bidah pada Syara dan bereda
dalam mengkategorikan Bidah Hasanah, tapi tidak berpengaruh pada
legalitas Bidah Hasanah dalam Agama, ini bukan alasan mengingkari Bidah
Hasanah, apalagi menjadikan sebagi alasan untuk membidahkan amalanamalan yang tidak ada di masa para salafus sholeh, tapi ada dasar dari
syara dan tidak menyalahi dalil-dali syari.
Kebesaran nama Imam Syafii tidak sanggup mereka tantang
pernyataan
sikap
Imam
Syafii
secara
langsung,
tapi
mereka
mempermainkan pendapat Imam Syafii agar sesuai selera mereka dan
cocok dengan kesalahpahaman mereka, mereka beralasan bahwa Bidah
Hasanah yang dimaksud oleh Imam Syafii adalah Bidah Lughawi, untuk
tetap bisa membidah-sesatkan amalan seperti Tahlilan, Yasinan, Maulidan
dan sebagai nya.
Padahal alasan itu tidak ada hubungan dengan pembagian Bidah
Hasanah dari Imam Syafii, karena sekalipun kita maksudkan dengan Bidah
Lughawi, tetap saja yang dimaksud Bidah Hasanah oleh Imam Syafii adalah
perkara baru dalam Agama yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, AsSunnah, Atsar, dan Ijma, inilah yang perlu digarisbawahi, bahwa Bidah
Hasanah adalah sesuatu yang baru (tidak ada di masa rasulullah dan para
sahabat) tetapi tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan
Ijma, biarpun tidak ada dalil yang shorih.
C. Bid'ah Menurut Aswaja
31
:
.
Dari Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami
atasnya, maka amal itu ditolak HR. Muslim.
Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua
bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW.
Padahal yang dimaksud tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa
yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak
pernah dijelaskan dalam al-Quran ataupun Hadits, baik secara eksplisit
(jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu bentuk ibadah
murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran agama. Karena itu
ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan bidah ini.
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syari,
baik yang parsial (juzi) atau umum, maka bukan tergolong bidah. Bila tidak
ada dalill yang dapat dibuat sandaran, itulah bidah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama
pada abad l, ll dan lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki
landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan
itu bukan tergolong bidah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan
beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Quran dan
Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu
tergolong bidah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang
wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
32
Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan
yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:
: ,
.
Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. Al-Anbiya:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti
semua benda yang ada dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat al-Quran
yang lain berikut ini:
Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala. QS.
Ar-Rahman:15.
Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan
kalimat kullu, bukan berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW
dilarang dan sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga
melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW masih
hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan al-Quran,
mengumpulkan jamaah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan lain-lain.
Nah, kalau kalimat kullu diatas diartikan keseluruhan, yang berarti semua
hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa, berarti para sahabat telah
melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama).
Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan
diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh
tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung
tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.
III
IJTIHAD, MADZHAB, TAQLID, DAN TALFIQ
A.
IJTIHAD
Ijtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah
mengutus Muadz bin Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan Islam.
Saat itu -dengan maksud menguji- beliau bertanya kepada Muadz tentang
bagaimana kelak dia menggali hukum untuk disampaikan kepada umat.
33
:
- -
.
.
:
:
.- -
.
:
:
.
.
:
:
:
Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman beliau bertanya, Apabila muncul suatu perkara,
bagaimana engkau memutuskan hukumnya? Muadz menjawab, Aku
putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah. Beliau bertanya, Bagaimana
jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah? Muadz menjawab,
Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi,
Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah
Rasulullah? Muadz menjawab, Aku berijtihad dengan menggunakan
pendapatku dan aku tidak akan mundur. Mendengar itu Rasulullah
menepuk dada Muadz seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat ridha
Rasulullah.
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya
berijtihad. Ada banyak ayat Al Quran dan hadits yang menunjukkan
pentingnya ijtihad.
Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya.
Hal ini ditegaskan dalam hadits :
Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
Apabila saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian hasilnya
benar, maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya salah maka dia
mendapat pahala satu.
Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai dua
kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama
mendapatkan pahala dari Allah.
Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin adalah
merupakan suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya pertentangan
dan perpecahan umat Islam.
KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan
kata Hakim, yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan
menggunakan kata Rajul yang artinya orang secara umum. Ini artinya
adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mengerti
hukum.
Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Quran dan
hadits dari terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu
pendukung lainnya dengan baik- kemudian mengklaim mampu melakukan
ijtihad. Padahal sebenarnya dia hanya melakukan taqlid buta terhadap
penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran dia sendiri tidak
mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan tersebut.
Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses
penggalian hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Quran,
34
hadits, Ijma, Qiyas dan dalil lainnya. Imam As Suyuthi menyatakan, Ijtihad
adalah mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum.
Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena
harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Quran, yaitu
memahami ayat-ayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab
turunnya ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh-Mansukh, Am-Khash, MujmalMubayyan, Muhkan-Mutasyabih dan lain sebagainya.
2. Mengetahui secara mendalam hadits-hadits, terutama yang berkaitan
dengan hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul Wurud) dan
pengetahuan tentang para perawi (Ilmu Rijal)
3. Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma dan mana yang
diperselisihkan oleh para ulama
4. Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam
menelurkan hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti
Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiah-kaidah
Ushul Fiqh
6. Memahami tujuan dasar syariat Islam secara hakiki
7. Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum
8. Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak berambisi
mencari popularitas, kedudukan maupun materi dunia. Niatnya sematamata demi Allah SWT dan mencari solusi hukum bagi kemaslahatan
umat manusia.
Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan orang
yang memenuhi seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki kelebihan
dan kekurangan. Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada yang
memenuhi lebih lengkap. Oleh karena itu para mujtahid terbagi dalam
beberapa tingkatan sebagai berikut:
1. Mujtahid Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri) yaitu ulama yang melakukan
ijtihad dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian hukumnya.
Termasuk dalam tingkatan ini adalah keempat Imam Madzhab, yaitu
Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafii (1502104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).
1. Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama yang
mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum berbagai
bidang. Misalnya adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di lingkungan
madzhab Syafii dan Muhammad bin Al Hasan dan Abu Yusuf di
lingkungan madzhab Hanafi. Mereka juga disebut sebagai Mujtahid
Mutlaq (Tidak Mandiri).
2. Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali hukum
pada kasus-kasus yang belum diuraikan oleh imam panutannya.
Misalnya adalah Al Karkhiy, As Sarkhasiy, Al Bazdawiy, Abu Ishaq Asy
Syiraziy dan lain sebagainya.
3. Mujtahid Madzhab atau Fatwa, yaitu ulama yang menerapkan metode
penggalian hukum imam panutannya dan hanya memilah-milah mana
yang Shahih dan mana yang Dhaif dari pendapat imam panutannya itu.
35
MADZHAB
Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut
istilah,
madzhab
adalah
sekumpulan
hukum
permasalahan furuiyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam
Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukumhukum pasti (qathiy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya
shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul
dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya para ulama berbeda
pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut masing-masing. Jadi,
madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh para ulama
untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Quran, hadits dan dalil lainnya.
Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat
madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats
Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al
Auzai. Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah terbatas hanya pada madzhab empat saja?
Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang
membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka,
hingga faliditas dan ke-mutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan
madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya, apakah dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.
Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam
Syafii menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4
imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat
memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan, akibat
tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan pemalsuan.
Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para imamnya
mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan benar atau
tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman
36
37
TAQLID
sanadnya, bukan kepada orang awam. Maka tidak aneh jika Imam Ahmad
mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang memiliki kemampuan
berijtihad.
Mengharuskan orang awam yang merupakan mayoritas umat Islamuntuk berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar
kemampuan mereka. Dan itu mustahil, sebab minat masing-masing mereka
pada satu bidang ilmu berbeda satu sama lain. Sedangkan yang menekuni
ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi yang tidak
berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan
bertaqlid kepada yang menekuninya.
Al Quran memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam
yang berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak mereka
dapat memberi peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar. Dan itu
tidak ditujukan kepada semua umat Islam.
TALFIQ
Menurut bahasa Talfiq artinya melipat atau merangkap. Sedangkan
menurut syariat, Talfiq adalah melakukan suatu ibadah atau muamalah
secara rangkap yaitu dengan menyomot pendapat-pendapat dari madzhab
yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang keluar dari madzhabmadzhab itu.
Contoh:
1. Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafii, yaitu
dengan mengusap sebagian kepala (kurang dari ), kemudian
menyentuh wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan shalat
dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah yang berpendapat bahwa
bersentuhan dengan wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudlu. Maka
praktek demikian disebut Talfiq, sebab dia menggabungkan pendapat
Syafii dan pendapat Abu Hanifah dalam masalah wudlu, dimana
39
akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari kedua madzhab itu. Di satu
sisi bersentuhan kulit dengan ajnabiyah menurut Syafii membatalkan
wudhu dan di sisi lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah hanya
dengan mengusap sebagian kepala.
2. Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan
tanpa menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab
Syafii. kemudian dia menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab
Maliki yang berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci. Maka
shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan kedua madzhab
tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu tidak sah tanpa
mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok anggota wudlu, dan
di
sisi
lain
menurut
Syafii
anjing
adalah
termasuk
najis Mughalladhah(berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat maka
shalatnya tidak sah dalam pandangan madzhab-madzhab tersebut.
Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan
pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah dan
mempermainkan hukum.
Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam mencari solusi
hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab tertentu dari
keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafii dalam
bidang shalat mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkan- dan
memilih
madzhab
Abu
Hanifah
dalam
masalah-masalah
sosial
kemayarakatan. Dengan demikian disamping Talfiq dapat dihindarkanhukum-hukum yang telah dirumuskan para ulama madzhab itu dapat
diterapkan dan tidak hanya tertulis dalam lembar-lembar kitab saja
IV
PUJIAN SETELAH ADZAN
Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada
kebiasan yang tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu setelah
adzan shalat maktubah dibacakan pujian berupa dzikir, doa, shalawat nabi
atau syair-syair yang islami dengan suara keras. Beberapa menit kemudian
baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan bahkan dipertentangkan
apakah kebiasaan tersebut mempunyai rujukan dalil syari? Dan mengapa
tidak semua kaum muslimin di negeri ini melakukan kebiasaan tersebtu?
Dengan munculnya pertanyaan seperti itu warga Nahdliyin diberi pengertian
untuk menjawab : Apa pujia itu? Bagaimana historisnya? Bagaimana tinjauan
hukum syariat tentang pujian? Dan apa fungsinya?
A. Pengertian Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran an yang
artinya : pengakuan dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/
keunggulan sesuatu. Yang dimaksud dengan pujian di sini ialah serangkaian
kata baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Daerah yang berbentuk
syair berupa kalimat-kalimat yang isinya mengagungkan asma Allah, dzikir,
40
doa, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada saat di antara adzan
dan iqamat.
Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali
songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang
belum mengenal ajaran shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian,
tembang-tembang/syair
islami
seadanya
pada
saat
itu
secara
berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau berdatangan
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
B. Pujian Ditinjau dari Aspek Syariat
Secara tekstual, memang tidak ada dalil syari yang sharih (jawa :
ceplos) mengenai bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan, yang
ada dalilnya adalah membaca doa antara adzan dan iqamat. Sabda Nabi
SAW :
Artinya :
Doa yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan
oleh Allah). Maka berdoalah kamu sekalian. (HR. Abu Yala)
Kemudian bagaimana tinjauan syariat tentang hukum bacaan pujian di
masjid atau mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa membaca
dzikir dan syair di masjid atau mushalla merupakan suatu hal yang tidak
dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para sahabat juga
membaca syair di masjid. Diriwayatkan dalam sebuat hadits :
:
.
.
Artinya :
Dari Said bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di
masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan
syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada
kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan
ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya). (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Ismail Az-Zain dalam kitabnya
Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan syair yang berisi pujipujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di dalam
masjid.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179
: juga menjelaskan
.
Artinya :
41
Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan
(jawa : Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat.
Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu
termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun
membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak
menyebabkan keluar dari hukum sunat.
C. Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syariat
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian
ternyata mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :
1. Dari sisi syiar dan penanaman akidah.
Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan
nasehat, maka hal itu menjadi sebuah syiar dinul islam dan strategi yang
jitu untuk menyebarkan ajaran Islam dan pengamalannya di tengah-tengah
masyarakat.
2. Dari aspek psikologi (kejiwaan).
Lantunan syair yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa
seseorang, menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah
berupa bacaaan pujian tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk
masuk ke tujuan inti, yakni shalat maktubah lima waktu, mengahadap
kepada Allah yang Maha Satu.
3. Ada lagi manfaat lain, yaitu :
Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan
shalat berjamaah;
Mencegah para santri agar tidak besenda gurau yang
mengakibatkan gaduhnya suasana;
Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak
membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu sahalat
jamaah dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka membaca
pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau mushalla adalah
boleh dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan memodifikasi
pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang shalat.
Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait pada kebiasaan
setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca bersamasama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat
jamaah.
Dalam berdakwah para ulama yang bijaksana selalu berusaha
menggunakan strategi agar dakwahnya dapat menyentuh hati. Diantara
startegi yang digunakan adalah membaca syair-syair berisi pujian, dzikir dan
nasehat-nasehat agama sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Hal itu
dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan menyentuh perasaan
melalui keindahan syair-syair yang dikumandangkan, sehingga orang merasa
nyaman berada di masjid dan tidak berbicara yang tanpa guna.
Diantara dalil yang bisa digunakan adalah apa yang dilakukan penyair
Hassan bin Tsabit yang menyenandungkan syair-syair pujiannya di dalam
masjid di hadapan Rasulullah SAW dan para Sahabat.
42
Dari Said bin Musyayyab, dia berkata, Pada suatu saat Umar berjalan
bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah syair indah di
masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan menjawab, Aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seseorang yang lebih
mulia daripada kamu. Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hasan
melanjutkan perkataannya, Bukankah kamu telah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, jawablah dariku, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh Al Qudus? Umar menjawab, Ya Allah, benar
(aku sudah mendengarnya).
Jadi bila membaca syair seperti tersebut dengan suara keras di masjid
boleh, maka membaca dzikir tentu lebih boleh.
Akan tetapi membaca dzikir dengan suara keras tersebut diperbolehkan
selama tidak menggangu orang yang sedang shalat, apalagi shalat fardlu,
sebagaimana disebutkan hadits:
43
Artinya :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
sampaikanlan salatu penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab : 56)
b. Sabda Nabi SAW.:
[ ] .
Artinya :
Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku
bisa mengahapus dosamu dan bisa membersihkan pribadimu. (HR. lbnu
Majah)
c. Sabda Nabi SAW. :
[ ] .
Artinya:
Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat
untukku, karena sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi cahaya
bagimu pada hari kiamat. (HR. Ad-Dailami).
[ ] .
Artinya:
Setiap doa adalah terhalanh, sehingga dimulai dengan memuji
kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan
akan dikabulkan doa itu. (HR. Nasai).
b. Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.
b. Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.
c. Dan lain-lain.
44
VI
Artinya:
Dan bahwasanya manusia tidak akan mendapatkan pahala melainkan
dari usaha yang telah dikerjakan. (QS. An-Najm : 39)
Artinya :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : Hai Tuhan
kami, beri ampulah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami. (QS. Al-Hasyr : 10)
b.
Artinya :
Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. Muhammad : 19
c.
45
Artinya :
Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. (QS. Nuh : 28)
Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan istighfar dari
seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah mati dari
kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
d. Hadits Nabi SAW.
:
[ ] . :
Artinya :
Dari Aisyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW.
bahwasanya ibuku telah mati secara mendadak, dan saya mengira andaikan
dia sempai berbicara (sebelum mati) pasti dia bersedekah. Adakah dia
memperoleh
pahala
andaikan
saya
bcrsedekah untuknya? Jawab
beliau : ya. (Muttafaq Alaih)
e. Syaikh Abdul Wahhab asy-Syaroni memberikan keterangan dalam
kitabnya Mizan Kubra :
.
[1/218 ] .
Artinya:
Dan teluh sepakat para ulama bahwa bacaan istighfar dan doa untuk
mayit, sedekah, memerdekakan budak, menghajikannya, semua dapat
bermanfaat untuknya.Demikianlah yang saya temukan di antara masalahmasalah hukum yang telah disepakati oleh para imam madzhab yang
empat.
Bersedekah adalah termasuk tindakan yang disyariatkan agama dan
berpahala. Bersedekah juga mencerminkan kepedulian sosial antar umat
Islam. Dalam hadits Amr bin Abasah disebtkan:
Aku bertanya, Apa Islam itu? Beliau menjawab, Berkata yang baik
dan memberi makan.
Sedekah juga dapat berupa bacaaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil.
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:
[2]
Sekelompok orang Sahabat Rasulullah bertanya kepada beiau, Wahai
Rasulullah, orang-orang kaya itu bias pergi dengan membawa pahala.
Mereka shalat sebagaimana kai shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami
juga berpuasa. Namun mereka bias bersedekah dengan kelebihan harta
mereka? Beliau menjawab, Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian
46
Artinya :
47
[6/268 ] .
Artinya :
Adapun yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum Musa.
Sedangkan untuk umat ini (umat Muhammad SAW), maka mereka dapat
memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari amal
kebajikan orang lain.
Ada juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi,
yaitu menurut as-Syaikh Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan
diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH. Muhyiddin Abd. Shomad dalam bukunya
Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :
Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa menusia dengan amalnya
sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga karena pergaulannya
yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman,
melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai
sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan
menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah
meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya
sendiri.
Berdasarkan keterangan yang akurat dari beberapa dalil syari di atas,
warga kita pasti bisa menjawab pertanyaan dari si penanya dengan jawaban
tegas bahwa :
a. Menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada ahli kubur yang samasama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau tidak antara yang
menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu menurut doktrin
Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit tadi;
b. Ukhuwwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh
karenanya menolong ahli kubur dengan doa yang diwujudkan dalam
bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan manfaat bagi mereka.
VII
PERINGATAN HAUL
A. Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi
peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun
sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh
masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.
48
. :
.
[]
Artinya:Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada Uhud
pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau
mengucapkan dengan suara keras semoga kesejahteraan dilimpahkan
kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat
kesudahan. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan
juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut.
b.
[ ] .
Artinya :
Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir
kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada
49
158 : ] [ .
Artinya :Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebutnyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu
pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa
mendekatkan kamu dari surga. (HR. Dailami)
d. Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya alfiqih ala madzahibil arbaah :
[1/540 ] .
)(
... : )(
:
.
.
Artinya :Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada
saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan,
sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya
kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang
banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali
adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan .. sampai kata-kata kiyai
mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bidah
50
tradisi yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan haul
ulama dengan menyebutkan kisahnya selama hidupnya adalah untuk
'meneladani keshalehannya'. Hal ini sudah dilakukan sejak zaman sahabat:
(1195 )
"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi
makanan. Ia berkata: "Mush'ab bin Umair telah terbunuh, ia lebih baik
dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut.
Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat
kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh saya kuatir amal kebaikankebaikan
kami
segera
diberikan
di
kehidupan
dunia
ini".
Kemudian
(354 /7 )
"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut
kisah-kisah orang saleh dan kesederhanannya terhadap duniawi. Tujuannya
agar tidak cinta dunia" (Fathul Bari 7/354)
Abdullah Ibn Mubarak berkata:
) :
} :
(
: { ]
51
...[120
(28 /5 )
Abdullah bin Mubarak berkata: "Sejarah orang-orang shaleh adalah
salah satu pasukan Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba
Allah. Sebagaimana dalam firman Allah: Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hud: 120]
Seseorang butuh untuk berkunjung kepada sosok manusia yang dapat
membuatnya menangis. Jika tidak menemukannya di kalangan yang masih
hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah wafat" (Syaikh
Hasan asy-Syanqithi)
Dalam riwayat hadis disebutkan:
:
.( )
Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa: "Mengingat para Nabi adalah
bagian dari ibadah. Mengingat orang shaleh menjadi sebab terhapusnya
dosa. Mengingat mati adalah sedekah. Dan mengingat kubur dapat
mendekatkan kalian ke surga" (HR Dailami, sanadnya dlaif)
Sufyan bin Uyainah berkata:
(
"Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat" (Sufyan bin
Uyainah dikutip oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)
Ibnu Taimiyah juga berkata:
(269 /2 )
"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah dan
mengingat-Nya, bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat para
Nabi dan orang Shaleh. Karenanya ada ungkapan 'Mengingat orang shaleh
menjadi sebab turunnya rahmat'. Hal ini disebabkan adanya semangat di
52
dalam
hati
untuk
mencintai
kebaikan,
termotifasi
dan
rasa
senang
yang
sebenarnya
tentang
Talqin
menurut
A. Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan
kembali kepada orang yang sedang naza atau kepada mayit yang baru saja
dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
B. Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza
(mendekati kematian) itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni
kalimat laa ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru
dikubur, walaupun orang itu mati syahid, apabila meninggalnya sudah
baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang
yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit
ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan
itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam
dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an
[80 : ]
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati
mendengar (QS. An-Naml : 80)
53
[22 : ]
Artinya :
Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam
kubur dapat mendengar(QS. Fathir : 22)
Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan
dengan masalah Talqin.
a. Di
dalam
ajaran
Islam
itu
ada
hal-hal yang
berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinyawalau pun secara rasional
hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk
bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
[ ]
Artinya :
Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus
dibenarkan dan diterima.
b. Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan
tentang larangan talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang
kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang
didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :
:
].
[2/133
Artinya :
Firman Allah yang artinya : sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan
orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah
berpaling jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang
didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah
mati.
:
[2/202 ] .
Artinya:
Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup
menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar jelasnya : hai
Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi
pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk
kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin
a. Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang
sedang naza adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri
dalam kitab Ianatut Thalibin juz II hal. 138 :
54
: :
.
Artinya :
Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih
mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena
ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim talqinlah orang Islam di antara kamu
yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah dan hadits
shahih Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah,
maka dia masuk surga, yakni bersama orang-orang yang beruntung.
) (
[ 55 : ]
.
Artinya:
Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid
setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman
Allah : dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan
itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan
seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti
ini.
.
.
.
Artinya :
Apabila salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan
penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka
berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : hai fulan
bin fulanah maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah hai fulan
bin fulanah maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi hai fulan bin
fulanah maka dia berkata berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi
rahmat kepadamu. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya
katakanlah kepadanya ingatlah apa yang kamu pegangi sewaktu keluar
dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela
Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai
55
:
[2/140 ] .
Artinya :
Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena
ada hadits : Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan temantemannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara
sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya.
Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat bagi si mayit.
2. Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau
suara-suara yang ada di alam dunia ini.
3. Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin
adalah sunat tidak bidah dan tidak dilarang seperti apa yang
dituduhkan oleh kaum wahabi.
IX
Menyuguhkan Makanan Pada Tamu Yang Bertakziyah
Menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakziyah hukumnya
boleh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:
:
.
.-
.
Dari seorang Anshar, dia berkata, Kami keluar bersama Rasulullah
dalam rangka mengantar satu jenazah. Lalu aku lihat beliau sedang berada
di atas kubur- berpesan pada pengggali kubur, Lebarkanlah dari arah
kedua kakinya. Lebarkanlah dari arah kepalanya. Setelah beliau pulang
seorang utusan istri si Mayit mengundang beliau. Beliau penuhi undangan
itu. Kamipun menyertai beliau. Kemudian disuguhkan makanan. Beliau
56
. .
5
Artinya :
Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :
1. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;
57
) .
(264 :
Artinya :
Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat
tinggal adalah menjamu para tamu. (HR. Imam Rafii).
b. Hadits riwayat Imam Thabarani :
Artinya :
Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan.
(HR. Imam Thabarani).
c. Hadits riwayat imam Khatib :
Artinya :
Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala.
(HR. Imam Khatib)
2. Walimatul
hamli/selamatan
tingkepan
adalah
salah
satu
wujud tahadduts bin nimahyakni memperlihatkan rasa syukur atas
kenikmatan/
kegembiraan
yang
dianugerahkan
oleh
Allah
SWT.
berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang selama ini menjadi
dambaan pasangan suami dan isteri.
Ulama salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan
disunatkan mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga
dan teman-teman sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman AlJuzairi dalam kitabnya al-fiqhu alal madzahibil arbaah juz II hal. 33 :
Artinya :
Ulama Syafiiyyah (pengikut madzhab Syafii) berpendapat :
disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makanmakan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan,
baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain
sebagainya.
Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang
tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum
muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada
unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan
mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan
selamatan ala kadarnya?
Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:
a. membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar
tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari
bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan
dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya "Idlohu
Mafahimis Sunnah" menerangkan :
61
.
.
11 :
Artinya :
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an
karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta
bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan
orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan
menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan
orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus
kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta
memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan
kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan
terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah
menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu
sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali
sandal. Adapun orang tersebut sebelum berdoa membaca surat Yasin atau
membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan
amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini
disepakati oleh para ulama.
Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga
meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:
.
.
.....
. 317
Artinya:
''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at
kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya,
ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut AL
MUIMMAH. Ditanyakan : apa itu Al-Muimmah Ya Rasul ? Rasu!ullah
menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di
dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut
juga AD-DAFI'AH dan Al-QODLIYAH. Ditanyakan : bagaimana demikian itu
Ya Rasul ? Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala
keburukan
dan
meyebabkan
tercapainya
segala
hajat
bagi
pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja
62
.
:
.
13 .
Artinya:
''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku
perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah
memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan
duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk
berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian
memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan
tali sandalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah)
akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan
kepadaKu.
c. Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para
peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung
banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang
bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara
bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi
SAW bersabda :
. .
190
Artinya:
'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah). HR.
Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin,
shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk
rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa
juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika
dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam
hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :
.
.
Artinya:
63
TRADISI KUPATAN
A. Pengertian Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut
dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan
bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab bada yang artinya :
sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia ria yang artinya
riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata
lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah
selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan
Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut riyaya karena umat
Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran
menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras
dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang
dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada
umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke
delapan yang biasa di sebut dengan KUPATAN atau RIYAYA KUPAT.
B. Asal Usul Tradisi Kupatan
Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang
sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat
jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam
hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam
makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas Kupat ini memiliki banyak makna. Di
antara makna itu adalah :
a. Kata kupat berasal dari bahasa jawa ngaku lepat (mengakui
kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah
melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan
setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita
masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap
saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian,
ketenangan dan ketentraman.
b. Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini
melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan
cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali
kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda
serta bebas dari dosa.
64
).
(307
Artinya :
Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan
puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa
setahun. (HR. Imam Muslim)
).
(296
Artinya :
Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu
yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Rasulullah SAW. :
. .
) .
(87
65
Artinya :
Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal
tersebut adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkaraperkara baru dalam agama.
Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bidah menjadi dua : bidah
hasanah (baik) dan bidah sayyiah (buruk). Karena tradisi kupatan
dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang
perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi,
maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap
baik).
Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani
pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan
pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua didah itu dlalalah
(sesat) akan tetapi ada bidah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru
yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syariat.
As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya al-ihtifal bidzikro
maulidin nabi menyatakan :
Artinya :
Imam Syafii berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan
dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijmaus
shahabah atau atsaratut tabiin, itulah yang dikategorikan bidah
dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan
tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal
tersebut termasuk hal yang terpuji.
Artinya :
Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syari dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syariat serta
tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk ad-din (urusan
agama).
.22 : .
Artinya :
Dan
hendaklah
mereka
memaafkan
dan
berlapang
dada,
apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah
maha pengampun lagi maha penyayang. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syari tentang memberikan sedekah antara lain :
.
Artinya :
Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma (HR.
Ibnu Mubarak).
Hadits riwayat Ibnu Ady :
.
Artinya :
Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan
hadiah berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan
rizkimu (HR. Ibnu Ady)
Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bidah atau
tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang
memiliki keterkaitan dengan syariat Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa
dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).
XIII
Ngalap Berkah
Fatwa haram, bidah bahkan syirik dalam masalah mencari berkah
(tabarruk, ngalap berkah) kembali ramai didengungkan oleh mereka yang
mengaku paling sehat dari penyakit TBC (Takhayyul, Bidah dan Churafat)
ketika makam Gus Dur ramai diziarahi, bahkan ada beberapa peziarah yang
mengambil tanah di area makam tersebut. Sebagaimana yang disebarkan
oleh Ust Hartono Jais dan kawan-kawannya yang sebenarnya tidak memiliki
kapasitas dalam masalah ini, dan hanya bertaklid buta kepada Syaikh Bin
Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dan sebagainya.
Ulama-ulama mereka dengan membabi-buta menvonis syirik kepada
semua bentuk tabarruk, dengan tanpa sedikitpun mendudukkan makna
tabarruk secara proporsional maupun mengungkap dalil dan argument
tabarruk yang sudah dilakukan sejak Rasulullah Saw masih hidup.
A. Makna Berkah dan Mencari Berkah
al-Barakat dan derivasinya memiliki
berkembang. Sedangkan Tabarruk adalah
makna
bertambah
dan
: . :
)13/408 : (
: : .
mencari berkah terhadap sesuatu, mencari
metodenya (Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab 13/408)
67
tambahan
dengan
Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup (Maryam: 31)
Kami limpahkan keberkatan atasnya (Ibrahim) dan atas Ishak (ashShaffaat: 113)
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil haram ke Al Masjidil aksa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya (al-Israa: 1)
Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah)
pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu. (al-Qashash:
30)
Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (berkah)
. (Qaaf: 9)
68
Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia
ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali. (Yusuf: 93)
Tampak jelas sekali bahwa Allah menjadikan kesembuhan itu melalui
berkah baju gamis Nabi Yusuf.
Makam Nabi Yunus juga dijadikan tempat mencari berkah Allah:
.
: .
. -
)
(271 / 8 -
Desa Hulhul antara Quds dan Khalil ada makam Yunus As. Para
penduduknya mencari berkah disana dan meyikini makamnya Nabi Yunus
(adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam 8/271)
D. Mencari Berkah Di Masa Hidup Rasulullah Saw
1. Rambut Rasulullah
- -
(3212 )
Rasulullah r menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur
rambut bagian kanan dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagi-bagikannya
kepada para sahabat (HR Muslim No 3212)
.
- )
(279 / 4
Sahabat Khalid bin Walid t bertabaruk dengan rambut ubun-ubun
Rasulullah r, ditaruh di dalam kopiahnya (songkok). Kholid berkata: Saya
tidak pernah mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut (yang
berisi
rambut
Rasulullah),
kecuali
setiap
peperangan saya
69
selalu diberi kemenangan (HR Thabrani dan Abu Yala, para perawinya
)adalah perawi hadis sahih
2. Air Ludah Rasulullah
- -
) 70 (2731
Miswar dan Marwan berkata: Demi Allah Setiap Rasulullah rberdahak,
pasti dahak beliau jatuh ke tangan salah seorang sahabat, lalu ia gosokkan
)ke wajah dan kulitnya. (HR Bukhari No 70 dan 2731
-
- -
-
) (688
Diriwayatkan dari Aisyah bahwa bayi-bayi didatangkan kepada
RAsulullah Saw kemudian beliau mendoakan berkah dan memamah
)makanan kepada mereka (HR Muslim No 688
. .
) - / 2 (37
Para sahabat y bertabaruk dengan air sumur Budhaah di Madinah,
)yang pernah diludahi oleh Nabi r (HR Thabrani, para perawinya terpercaya
(
)
.
) 4328 (6561
Rasulullah Saw menyuruh kepada Abu Musa dan Bilal untuk mengambil
tempat air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya dan
memuntahkan air kumur ke wadah tersebut dan beliau bersabda: Minumlah
oleh kalian, siramkan ke wajah dan leher kalian, dan bersenanglah.
Kemudian dua sahabat itu melakukannya (HR Bukhari 4328 - Muslim
)No 6561
) - / 1 (300
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Tujuan diatas karena adanya berkah dari
)ludah Rasulullah yang mengandung berkah (Fath al-Baari 1/300
3. Keringat Rasulullah Saw
- -
-
.
) (6201
Sahabat Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi r dan menaruhnya ke
dalam botol, sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah, Ummu
Sulaim menjawab: Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak wangi kami.
)Dan keringat itu adalah minyak yang paling harum (Muslim No 6201
4. Air Sisa wudlu Rasulullah
Hadis yang menjelaskan masalah ini sangat banyak sekali, diantaranya:
- -
)
187 (1151
70
(
)
Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah e datang kepadanya dan
di sebelahnya atau tempat air minum yang digantung, kemudian beliau
meminum-nya dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong (bekas) tempat
minum Rasulullah tersebut untuk mendapatkan berkah dari mulut
Rasulullah e. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi, ia berkata: Hadits ini Hasan
)Sahih Gharib
6. Kain Kafan Dari Rasulullah
- -
-
.
.
- -
.
- -
) (2093
.
Rasulullah Saw diberi kain bergaris (burdah) oleh seorang wanita.
namun kain tersebut diminta oleh orang lain untuk dijadikan kafan bagi
)dirinya. Rasulullah memberikannya (HR Bukhari No 2093
7. Jubah Rasulullah Saw
:
:
:
: )
/ 1 (482
Seorang sahabat meminta potongan dari jubah Rasulullah Saw, beliau
memberinya. Muhammad bin Jabir berkata: Bapak saya menceritakan bahwa
potongan jugah tersebut kami cuci untuk orang sakit, mengharap
)kesembuhan darinya (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482
8. Air Seni Rasulullah Saw
.
)
- / 4 (20
71
- 5
- -
(204 / 11 - ) .
Bab
(
)
.
-
( 5530 )
Asma binti Abu Bakar berkata: Jubah ini (pada mulanya) dipegang
oleh Aisyah sampai ia wafat. Setelah wafat saya ambil jubah tersebut.
Rasulullah ememakai jubah ini. Kami membasuhnya untuk orang-orang yang
sakit, kami mengharap kesembuhan melalui jubah tersebut. (HR. Abu
Dawud dan Muslim. Sedangkan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
dijelaskan bahwa Rasulullah memakai jubah tersebut untuk menemui tamu
dan salat Jumat)
2. Ummi Salamah dengan Rambut Nabi Saw
-
-
- -
(5896 )
Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah Saw. Jika orang yang
terkena penyakit, maka mendatang Ummi Salamah dengan membawa
wadah (untuk mengobati). dan saya melihat di dalamnya ada beberapa
rambut merah (HR Bukhari No 5896)
3 Muawiyah Dengan Jubah, Sarung, Serban dan Rambut Nabi
Saw
) (
(61 / 59 - )
72
- -
) (170
Saya berkata kepada Abidah bahwa kami memiliki rambut Rasulullah,
kami mendapatkannya dari Anas atau keluarga Anas. ia berkata: Sungguh
saya memiliki 1 helai rambut Rasulullah lebih saya senangi daripada dunia
)dan isinya (HR Bukhari 170
5. Umar bin Abd Aziz Dengan Tempat Minum Nabi Saw
- -
- -
- -
- -
.
.
.
- -
.
.
- -
) 5637 ( 5354
Sahal bin Sad memiliki tempat minum yang pernah dipakai oleh Nabi.
kemudian (masa berikutnya), tempat minum itu diminta oleh Umar bin Abdul
)Aziz dan ia memberikannya (HR Bukhari 5637 dan Muslim 5354
6. Asma binti Yazid Dengan Sisa Minuman Nabi Saw
:
:
" : "
. :
) .
- / 4 (104
Sisa minuman Rasulullah saya gunakan untuk membasahi rambut
saya. Juga kami minumkan kepada orang-orang sakit, dan kami
meminumnya, untuk mengharap berkah (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah
)1/482
7. Anas bin Malik Dengan Tongkat Kecil Nabi Saw
) . - / 9 (109
Anas memiliki tongkat kecil dari Rasulullah Saw, ia memerintahkan
agar dikubur bersamanya (al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah
)9/109
8. Imam Ahmad bin Hanbal Dengan Rambut Nabi Saw
73
:
). .
(2/357 : 337 / 11 -
Imam Ahmad diberi 3 helai rambut saat di penjara, itu adalah rambut
Rasulullah Saw. Imam Ahmad berwasiat agar ketika meninggal 2 rambut
diletakkan di matanya, 1 rambut lagi di mulutnya. maka wasiat itupun
dilakukan ketiaka ia wafat (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar Alam anNubalaa 11/337 dan al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dalam Shifat ash-Shafwah 2/357)
F. al-Hafidz Ibnu Hajar dan Istidlal Ngalap Berkah
- )
(278 / 1
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 166: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dari rambut Rasulullah Saw, dan bolehnya
mengoleksinya (Fath al-Baarii 1/278)
)
(145 / 2
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 407: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan tempat-tempat yang dilakukan salat
olen Nabi Saw dan yang beliau injak (Fath al-Baarii 2/145)
(318 / 4 - )
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 1198: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan peninggalan orang-orang shaleh
(Fath al-Baarii 4/318)
(386 / 10 - )
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 3316: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan makanan para wali dan orang-orang
shaleh (Fath al-Baarii 10/386)
G. Mencari Berkah Allah dengan Berziarah
1. Makam Rasulullah Saw
(3243 492 / 2 )
74
)
(274 / 8
"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya
menghadap kearah Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk dirinya
dan meminta syafaatnya kepada Allah. Dan diantara yang paling baik untuk
dibaca saat ziarah adalah bacaan dari al-Utbi sebagaimana disampaikan oleh
al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan seluruh ulama Syafi'iyah, mereka
)semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' VIII/274
}
{
:
...
...
) / 2
347 201 / 3
217 / 8 498
556 / 3 497 / 3
(30 / 5
"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab alSyamil, menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya duduk
di samping makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang A'rabi dan
berkata: Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya mendengar bahwa
Allah berfirman: ""Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Saya datang kepadamu
dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolongan kepada
Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:
"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
"Disana terdapat kesucian, kemurahan dan kemulian
Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu
Rasulullah Saw dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi,
sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni
dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar al-Azhar,
Muhammad al-Thanthawi III/291, al-Majmu' VIII/217 dan al-Idlah 498 karya
Imam al-Nawawi, al-Mughni III/556 dan al-Syar al-Kabir III/497 karya Ibnu
)Qudamah al-Hanbali danKisyaf al-Qunna' V/30 karya al-Bahuti
(
)
75
) 265 / 5
694 / 3 1
45 / (390 / 12
"Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari
kami menguburkan Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke
makam Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata:
Engkau berkata wahai Rasullah lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau
menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima darimu, dan diantara yang
diturunkan Allah kepadamu adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64).
Sungguh saya telah menganiaya diri sendiri dan saya datang kepadamu agar
engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari
dalam makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir al-Qurthubi
V/250,al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat al-Wafa I/45
karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi al)Syami
121 / 3 473 / 31
(818
"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz alThabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga
kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya
mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami lapar.
Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki
atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang laki-laki
Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami membukakan
pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua
keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian
mengadu kepada Rasulullah Saw? Saya bermimpi Rasulullah dan
menyuruhku membawa makanan untuk kalian" (Diriwayatkan oleh al-Hafidz
al-Dzahabi
dalam Tadzkirah
al-Huffadz III/121
dan Siyar
A'lam
alNubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Wafa' bi Ahwal al)Musthafa 818
76
)
284 / 4 2632
(161 / 66 281 / 1
"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah)
Rasulullah Saw dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari.
Lalu saya datang ke makam Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada
Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya
bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak menjauh dan tidur di belakang
mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah Saw, Abu Bakar berada di
sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali berada di depan.
Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah telah datang.
Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada saya dan saya
makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di tangan saya ada
separuh roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 2632, Ibnu alJauzi dalamShifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz al-Sulami dalamThabaqat alShufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 66/161)
(49 / 1 )
:
( /) ( ) .
( //) ( /)
. . :
Dari Ibn Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara
kamu. (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nuaim dalam al-Hilyah (8/172), alHakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya dalam al-Mukhtarah
(64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari,
dan al-Dzahabi menyetujuinya.)
u
:
:
.
Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, Ya Allah, dekatkanlah aku
kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, seandainya aku ada
disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di
tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-Iraqi
berkata:
.
Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orangorang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi
wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu
pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau.
Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
.(/)
.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dulu aku
melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah. (HR. Muslim). Dalam
satu riwayat, Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah,
karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat. (Riyadh alShalihin [bab 66]).
Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan
bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan
mendapat berkah dari Allah subhanahu wa taala dengan berziarah ke
makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah
ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan
demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang
78
yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah
subhanahu wa taala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
:
.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Para nabi itu
hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat. (HR. al-Baihaqi
dalam Hayat al-Anbiya, [1]).
Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits
berikut ini:
.
Dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian
berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih
baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian
ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan
memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku
memintakan ampun kalian kepada Allah. (HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur
mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan
Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa
para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para
peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah
disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:
) .
.(/
Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf)
adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar
jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau
makam orang-orang saleh, juga Said bin al-Musayyab mendengar
adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam
peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan
yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari
hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa
yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada
79
/ ) .
: . :/
/ / /
./
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan
Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar
mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan
kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu
Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-Amasy, dari Abu Shalih,
dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab,
bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah
Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
mengatakan: Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk
umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa. Kemudian
orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan beliau berkata kepadanya: Sampaikan salamku kepada
Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan
katakan
kepadanya
bersungguh-sungguhlah
melayani
umat.
Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar
menangis dan mengatakan: Ya Allah, saya akan kerahkan semua
upayaku kecuali yang aku tidak mampu. Sanad hadits ini shahih. (AlHafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami
al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah
juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr
80
dalam al-Istiab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita
pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu
tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian
ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu
anhu, ternyata Umar radhiyallahu anhu tidak menyalahkannya.
Sayidina Umar radhiyallahu anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu,
Perbuatanmu ini syirik, atau berkata, Mengapa kamu pergi ke makam
Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu. Hal ini menjadi
bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah
ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi
sahabat, tabiin dan penerusnya
H. Makam Ulama atau auliya yang sering diziarahi dengan tujuan
tabarruk antara lain :
a) Makam Imam Abu Hanifah
)
(519 / 2 123 / 1
"Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa:
Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap
hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya
mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat
makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz
Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123 dan Ibnu Abi Wafa
dalam Thabaqat al-Hanafiyah II/519)
b) Makam Yahya bin Yahya
(1756 261 / 11
"al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa
saya berada dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi
melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke
makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah kepada Allah,
maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya melakukannya dan hajat
saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261 dan
al-Hafidz al-Dzhabi dalam Tarikh al-Islam 1756)
c) Makam Ma'ruf al-Kurkhi
81
)
2 404 / 13 343 / 9
(324 /
"Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harabi, ia berkata: Makam Ma'ruf al-Kurkhi
adalah laksana obat yang mujarab. Yang ia maksud terkabulnya doa orang
yang membutuhkan di dekat makam tersebut. Sebab tempat-tempat yang
diberkati diharapkan doanya terkabulkan, sebagaimana doa saat waktu
sahur dan setelah salat lima waktu dan di masjid. Bahkan doa orang yang
membutuhkan dikabulkan di tempat manapun" (al-Hafidz al-Dzahabi
dalam Siyar A'lam al-Nubala' IX/343 danTarikh al-Islam XIII/404, dan Ibnu alJauzi dalam Shifat al-Shafwah II/324)
!
(
)
47 / 1 )
(232 / 5
"Penduduk Baghdad meminta hujan kepada Allah dengan pelantara
Ma'ruf al-Kurkhi, dan mereka berkata: Makam Ma'ruf adalah obat yang
mujarab. Abdurrahman al-Zuhri berkata: Makamnya dikenal untuk
terkabulnya kebutuhan. Dikatakan bahwa barangsiapa membaca al-Ikhlas
100 kali di dekat makam Ma'ruf al-Kurkhi dan meminta kepada Allah, maka
Allah mengabulkannya. Begitu pula di makam Asyhab dan Ibnu Qasim, murid
Imam Malik. Keduanya dimakamkan di satu tempat di Qarafah Mesir. Konon
peziarahnya jika dating ke dua makam tersebut dengan menghadap kiblat
dan berdoa kepada Allah, maka akan dikabulkan dan sudah terbukti mujarab.
Saya sudah menziarahinya dan membaca al-Ikhlas 100 kali di dekatnya, saya
berdoa kepada Allah dengan harapan sesuatu yang menimpa saya hilang,
dan ternyata hilang" (Ibnu al-Mulaqqin dalam Thabaqat al-Auliya' I/47 dan
Ibnu Khalkan dalam Wafiyat al-A'yan V/232)
d). Makam Musa bin Ja'far al-Kadhim
(120 / 1 )
"Diriwayatkan dari Ali al-Khallal (pemuka Madzhab Hanbali), ia berkata:
Saya tidak pernah mengalami masalah lalu saya datang ke makam Musa bin
Ja'far dan bertawassul dengannya, kecuali Allah memudahkan kepada saya
hal-hal yang saya inginkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad I/120)
e). Makam Ali bin Musa al-Ridla
82
)
(339 / 7
"Abu Bakar bin Muammal berkata: Kami berangkat bersama pemuka
ahli hadis Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya, Abu Ali al-Tsaqafi, beserta
rombongan guru kami untuk berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridla di
Thus. Abu Bakar bin Muammal berkata: Saya melihat ke-ta'dzim-an belia
(Ibnu Khuzaimah) terhadap makam itu dan sikap tawadlu' terhadapnya dan
doa beliau yang begitu khusyu', sampai membuat kami bingung" (al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib VII/339)
Imam Syafii Meminum Air Cucian Jubah Imam Ahmad
( 400 / 1 )-
(265 / 1 )-
: :
: .
: .
: :
: ! :
:
:
: : .
:
: . :
. : .
Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah: bahwa pada suatau malam,
Imam SyafiIbermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar
menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Kesokan
harinya, Imam SyafiImemerintahkan Rab- murid beliau- agar membawakan
surat menemui ImamAhmad ibn Hanbal. Rab bergegas pergi menuju kota
Baghdad dan menyerahkansurat tersebut, setelah membacanya, Ahmad
meneteskan
air
mata.
Rabibertanya
kepadanya,
Ada
apa
di
dalamnya wahai Abu Abdillah? Ahmad menjawab Beliau menyebut bahwa
beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, Tulislah surat
kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya!
Dan katakan, Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran
itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah
akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari
kiamat. Rabi berkata, Aku berkata, Ini kabar gembira. Lalu Ahmad melepas
baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku,
akumengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat
jawabanAhmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, Apa yang ia
berikankepadamu? Aku menjawab, baju gamis yang langsung menyentuh
badannya SyafiI berkata kepadaku, Aku tidak ingin merampasnya darimu,
83
tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga
dapat mendapat berkahsepertimu. Maka, kata rabi, Aku mencucuinya, dan
aku bawakan sisa aircuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku
menyaksikan
beliau
setiap
harimengambil
sedikit
air
darinya
dan mengusapkannya ke wajah beliau, untukmengambil keberkahan dari
Ahmad ibn Hanbal. (Manaqib Ahmad ibn Hanbal: 455 dan Al Bidayah wa
an Nihayah; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi)
XIV
MEMPERINGATI ULANG TAHUN KELAHIRAN
Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang
didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan
yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana
yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang
lain, di antaranya :
a. Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.
b. Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
c. Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
d. Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
e. Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane
bayi.
f. Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.
Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang
anaknya. Mereka menyebutnya bancaan tiron. Sebagian warga kita ada
yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan
upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah ini
adalah :
a. Apakah
ada
dasar
berupa
dalil
dari
syara
mengenai
acara peringatan hari ulang tahun kelahiran?
b. Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan
acara ulang tahun itu?
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini
dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam
selamatan
itu
ada
unsur-unsur
kebaikan,
di
antaranya:
menyampaikan tahniah/ucapan
selamat
kepada
sesama
muslim,
mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana
sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendoakan si anak semoga
menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara mengenai peringatan
ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan
masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan
bahwa sewaktu sahabat Kaab bin Malik menerima kabar gembira dari nabi
saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah
menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahniah).
84
.
Artinya :
Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari
salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang
tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh
banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang
masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat,
menurut pendapat kami, tahniah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bidah,
Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa
tahniah itu disyariatkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu
bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : Maa ruwiya fii qaulin nas dan
seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang dlaifdlaif. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang
tahniah. Secara umum, dalil dalil tahniahbisa diambil dari adanya anjuran
sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan
kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga
dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Kaab bin
Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat,
ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap
kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk
menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
XV
Kupas Tuntas Legalitas Tawassul
Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul.
Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak
dahulu dan diabadikan dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di
zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak
85
Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih
menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah
dilakukan oleh setiap muslim.
Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita
untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal
shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah
SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena menurutnya,
seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan keimanan dan
amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal itu adalah wajib
hukumnya. (Qaidah Jalilah hal. 5, Mausuah Fiqhiyah Kuwaitiyah)
Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul
kepadaNya.
Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan. (HR. Tirmidzi, Nasai,
Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya. Lihat: Al Jami
Al Kabir)
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:
87
(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau
miliki, yang dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau
turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang
dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam ilmu ghaib milikMu.
(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Masud. Lihat: Al
Jami Al Kabir)
Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:
Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel)
berkatalah dia: Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)
menjawab: Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman
kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orangorang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa
yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu
masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(tentang keesaan Allah).
Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah
mendengar seorang lelaki berdoa:
88
:
*
*
92
:
.
Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi
kemarau panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan)
Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, Ya Allah, sesungguhnya kami
dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan
hujan. Sesungguhnya kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami,
maka berilah kami hujan. Anas berkata, Lalu mereka diberi hujan.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:
Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil
perantara) dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi
untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya
mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah
sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata,
Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari) dalam menulis
judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode Al-Awla. Artinya,
jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka
lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan. (Fathul
Bari 2/495)
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab
bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya
mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas
dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu
menyertakan nama orang shalih dalam doa.
93
Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah
binti Asad:
Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad,
bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya,
dengan perantara hak NabiMu dan para Nabi yang sebelumku,
sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah. (HR. Thabrani dan Abu Nuaim,
di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh
)Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih
Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:
.
. :
)
.
. .
.
( .
.
Artinya:
Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa
keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku
memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan dengan
perantara hewan-hewan ternak inidst.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal.
21 hadis no. 11172:
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia,
yaitu Abu Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan hewan-hewan
ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.
Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa
Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca
doa berikut ini:
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku
menghadapkan wajahku kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur
Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku
94
:
:
Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum
diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon
kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan (perantara)
kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka. Lalu
mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni
Muhammad, telah datang, mereka ingkar
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak
sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil
diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216,
Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang
sama:
:
:
95
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298
hadis no. 3042:
:
:
:
] [
:
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam
Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411:
: :
: :
:
:
. :
.
: ) (1
:
Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no.
2974 disebutkan:
:
:
:
. : .
:
Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin
Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa:
Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu,
sesungguhnya mereka telah binasa. Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah
SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, Datanglah kepada Umar lalu
sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian
akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst. lalu lelaki itu
mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar
pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali
dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al Bidayah
wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:
.
Sanad hadis ini
96
Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
juz 6 hal. 236 hadis no. 32002:
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam
Fathul Bari juz 2 hal. 495, beliau berkata:
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu
Shalih dari Malik Ad Dardst.
Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh
Kabir, secara ringkas.
Tawassul Salafus Shalih
Sebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan oleh
para salafus shalih. Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul salafus
shalih.
Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu Hanifah
Dalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang
sangat populer itu, disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii
sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya
(tabarruk). Berikut ini teksnya:
Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran, di dalamnya terdapat
kuburan Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu Hanifah
Numan bin Tsabit, Imamnya ahli rayi Ali bin Maimun berkata: Saya pernah
mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar mengambil
berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke kuburannya
setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki keinginan
(hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan
memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya dipenuhi
hajatku. (Tarikh Baghdad 1/123)
Dalam kitab yang sama juga disebutkan:
97
:
Bab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan untuk
para ulama dan ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota terdapat
kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin Jafar bin
Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sejumlah tokohtokoh pembesar bersamanya Ahmad bin Jafar bin Hamdan Al QathiI
berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim Abu Ali Al Khilal
berkata: Tak pernah aku ditimpa kesusahan kemudian aku
mendatangi kuburan Musa bin Jafar lalu aku bertawassul
dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku inginkan.
(Tarikh Baghdad 1/120)
Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga
disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan oleh
Abul Wafa bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali secara
panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al Maqdisi
juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh
kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa tawassul
dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin sejak dahulu
kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita berani memvonis
mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan kubur?
Syubhat dan Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.
Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh
Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan
orang mati sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka
membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang
sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas
dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah
mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali hadis
Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana telah
disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang
kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang tidak
pada tempatnya.
Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin
Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah
meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan
nanti. Adapun penakwilan mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar,
Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami dan Sekarang kami
bertawassul dengan paman Nabi kami, mereka menyisipkan tambahan kata
yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata doa sehingga bunyi perkataan
Umar menjadi, Dahulu kami bertawassul dengan (doa) Nabi SAW dan
Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi. Jadi, mereka
98
menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas,
bukan dengan zat mereka berdua.
Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas
dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak
berdasarkan dalil, karena kata kunna (dahulu kami selalu) bermakna
istimrar (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul dengan
Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal. Kemudian baru
ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka memanggil paman
Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa tersebut terjadi
pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna dahulu kami selalu dengan
dahulu (sebelum mati) kami selalu merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh
para sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.
Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang
lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi
kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap
menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian
menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu
Rusyaid, Jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara
beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk
permintaan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh
kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya
dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul
dengan Nabi sendiri.
Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan
Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan
batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang
adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya, tapi
ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu, Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau
berkata, Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul dengan
Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon
hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan keduaduanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW
sebagai perantara.
Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat
Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan
makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis
Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam Tarikhnya.
Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam
Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam
kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu
menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah
disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya
99
dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi,
tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh
sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.
Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan
oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.
Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan
dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul,
tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.
Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan
perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az
Zumar: 3.
Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir
berkata dalam tafsirnya, Sesungguhnya yang telah menggiring mereka
(musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka
menjadikan berhala-berhala yang diukir serupa malaikat menurut keyakinan
mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhala-berhala itu
sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para malaikat itu
dapat menolong mereka di sisi Allah nanti.
Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal
orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga
menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang
dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain.
Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada Allah
dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu, Umar
mengawali doanya dengan kata, Ya Allah.
Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?
Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan
pendapat dalam masalah ini beliau berkata:
:
.
:
{
}
Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil
pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya,
karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan
terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara
yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara pasti
atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma) atau
semisal itu. (Majmu Fatawa 1/106)
Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang Tawassul
Naskah Hadis
100
Telah mengabarkan kami Abu Muawiyah dari Al Amasy dari Abu Shalih
dari Malik Ad Dar ia berkata ia dahulu adalah bendahara Umar untuk urusan
logistik,
ia
berkata:
Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan
seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: Wahai Rasulullah, mintalah
hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.
Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau
bersabda, Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan
beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga:
hendaknya kalian bersikap bijaksana, hendaknya kalian bersikap bijaksana.
Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya
tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan
berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Studi Sanad
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf
(6/236 no. 32002), Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974) dan
Al Khaliliy dalam Al Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi, Ibnu
Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/105) berkata, Sanad hadis ini
shahih. Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (2/495) berkata, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad
shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar. Imam Bukhari dalam At
Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik bin Iyadh bagian
akhir hadis ini, yaitu perkataan Umar, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling
kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Kesimpulan Hukum
Para ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi
SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan
atsar di atas dan hadis-hadis lainnya. Baca: Kupas Tuntas Masalah
Tawassul
Syubhat Beserta Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar
beserta jawabannya.
Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis
bernama Al Amasy dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal an
(dari). Padahal, seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia
berkata haddatsana (ia telah memberitahu kami), akhbarona (ia telah
mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan qola (ia telah berkata) atau
an (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu dari perawi dhaif
sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana telah
maklum dalam Mustholahul Hadis.
101
Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan
Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar,
pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada
kita.
Syubhan ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu secara
keseluruhan, melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.
Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar
terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari makna
sebenarnya. Seandainya sanad itu hanya shahih sampai Abu Shalih saja,
pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini, dengan sanad shahih
sampai Abu Shalih, bukan dengan sanad shahih dari riwayat Abu
Shalih. Kata dari riwayat hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat
itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja.
Berbeda dengan kata sampai yang menunjukkan pembatasan. Hal itu
maklum diketahui oleh siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara
keseluruhan dan mengamati istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di
dalamnya.
Syubhat kedelapan: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh
Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi dan tidak diketahui kejujuran dan
kekuatan hafalannya.
Jawabnya: Tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut majhul. Ketidaktahuan bukan tanda ketiadaan mutlak. Ketidaktahuan
seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang lain. Bahkan biografi perawi
bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah
Ibnu Hajar. Mengenai kejujurannya, dua di antara Khulafaurrasyidin, yaitu
Khalifah Umar dan Ustman, telah mempercayainya sebagai bendahara
logistik. Sungguh keterlaluan jika ada orang yang meragukan sosok yang
dipercaya
Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang Tawassul
Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi
perdebatan panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama
membolehkannya, Ibnu Taimiah melarang sebagian dan membolehkan
sebagian, sedangkan Al Albani melarang seluruhnya. Masing-masing
pendukung membela pendapatnya serta melemahkan pendapat lainnya.
Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Utsman bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW untuk
minta didoakan, kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan akhirnya ia
bisa melihat. Dalam lafal doa tersebut terdapat tuntunan bertawassul
dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi, hadis yang juga diriwayatkan
oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang seorang lelaki yang
mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan namun ia diabaikan,
setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi hadis), kemudian oleh
Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk melakukan amalan yang
dahulu diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang buta, lalu keinginan
lelaki itu pun terkabul, hadis ini menjadi dalil terkuat bagi pendapat yang
membolehkan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat, dengan
alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah Nabi SAW wafat dan yang
meriwayatkannya adalah perawi yang sama dengan hadis pertama yang
103
disepakati kesahihannya oleh kedua belah pihak. Namun, dalil kedua ini
dipermasalahkan kesahihannya oleh Al Albani, kendatipun sejatinya tidak
ada yang perlu dipermasalahkan, sebab hadis itu juga disahihkan oleh salah
seorang perawinya sebagaimana akan kita bahas.
Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij dan
statusnya. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat permasalahan
ini dengan jernih, objektif dan jauh dari fanatisme kelompok tertentu.
Selamat membaca.
Hadis ke-1
Naskah Hadis
Redaksi dalam Musnad Ahmad:
Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:
:
Redaksi dalam Sunan An-Nasai:
:
:
104
:
.
. . .
.
.
Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah:
: :
:
: :
Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian
orang jahil yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan
semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh
ketidakmampuan dirinya dalam mendatangkan argumentasi ilmiah yang
mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi. Akhirnya, mereka
menggunakan senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya yaitu
dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bidah, cap musyrik dan
sebagainya.
Penutup
Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi
yang ingin memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini
silahkan baca kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan
Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati
beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual secara bebas di
toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah seorang ulama
yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang ahli hadis, fikih,
ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan
keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausuah Fiqhiyah
Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu alamu bis showab.
XVI
105
Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang
tawassul adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang
yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat
pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 80:
"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar
dan tidak pula menjadikan orangyang tuli mendengar panggilan apabila
mereka sudah berpaling."
Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah
mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran
maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang
yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum
musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.
Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat
22 :
"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah
menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah
engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar."
Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon
sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya sama dengan memohon
sesuatu kepada benda mati.
Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita
sampaikan bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan
gampangnya mendistorsi makna ayat suci al-Quran. Ayat-ayat yang
dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi memahami
sesuatu.
Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan
kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh
pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan
dengan jelas Quran menyatakan, mereka itu hidup.
Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup
oleh Quran, bukan kepada benda mati.
Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan
stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak
dengan keras adanya kehidupan ruh para nabi dan lainnya sesudah
kematian mereka.
Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal
lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu
maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak menerima taklif
hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala. Buktinya dalam Hadits
106
107
) .
Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan
dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan
turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka,
baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat
mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam b erziarah kepada
108
109
110
111