You are on page 1of 111

PENDAHULUAN

Renungan Ke-NU-aN Ikatan Sarjana Alumni Krempyang


Oleh Imam Tarmuji S.Th.I
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah jamiyyah diniyyah yang
menganut paham ahlussunnah wal jamaah. Di dalam bidang fiqh, NU
menganut madzhab fiqh yang empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah anNuman, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafii, dan
Imam Ahmad ibn Hanbal. Namun, di dalam perkembangannya, mayoritas
warga Nahdliyyin menganut paham Syafiiyyah di bidang fiqh karena
fleksibilitas dan ketelitian beliau di dalam metode istinbath al-ahkam.
Selanjutnya, di dalam bidang teologi, NU menganut paham Asyariyyah yang
dinisbatkan kepada Abu Hasan al-Asyari dan Maturidiyyah yang dinisbatkan
oleh Abu Mansur al-Maturidi. Selain itu, di bidang tasawuf, NU menganut
paham Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid al-Baghdadi. Begitulah system
taqlid diwajibkan di dalam NU bukan untuk membodohkan ummat, tetapi
justru sebagai sebuah sikap kehati-hatian di dalam mengikuti Al Quran dan
Sunnah sehingga pengimplementasian amaliyah-amaliyah dan ibadahibadah Islam tidak akan melenceng dari Al Quran dan Sunnah.
Sebagai organisasi islam yang bersifat cultural, tidak mengherankan jika
NU memiliki basis pendukung sebanyak empat puluh juta jiwa di seluruh
Indonesia (data tahun 2000, kemungkinan saat ini lebih dari empat puluh
juta jiwa dan data tahun 2009 didapat oleh Suaidi Asyari, memperkirakan
ada sekitar 51 juta dari Muslim santri Indonesia dapat dikatakan pendukung
atau pengikut paham keagamaan NU) yang kemudian menjadikan NU
sebagai organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia dan mampu
mengalahkan ormas Islam yang telah berkembang sebelumnya. Paham NU
telah mengakar sangat kuat, sampai-sampai orang awam saja dapat menjadi
keanggotaan NU secara cultural. Banyaknya basis pendukung juga tidak
disebabkan oleh kelebihan NU sebagai organisasi masyarakat Islam yang
bersifat cultural saja, tetapi juga disebabkan oleh model istinbath alahkam dan corak fiqh ala ahlussunnah wal jamaah (dengan berbagai
metode ijtihad, seperti Ijma, Qiyas, Istihsan, Masalihul Mursalah, Urf,
Istishab, dan sebagainya) yang direpresentasikan oleh NU sangat fleksibel
tanpa meninggalkan nilai-nilai pokok ajaran Islam dan tanpa meninggalkan
dan mengesampingkan dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah.
Fleksibilitas pemikiran NU ini selanjutnya berefek pada fleksibilitas sikap
para warga Nahdliyyin, khususnya terhadap perbedaan pemikiran atau
pendapat dan mengenai adanya tradisi-tradisi. NU tidak kemudian melawan
pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan NU, tetapi NU justru
memberikan ruang toleransi bagi mereka. Selain itu, NU tidak memberantas
habis tradisi yang berkembang di masyarakat, namun dengan kecerdasan
para kyai NU telah berhasil melakukan akulturasi dan asimilasi tradisi
sehingga tradisi yang asalnya tidak sesuai dengan ajaran Islam, perlahan
bermetamorfosa menjadi tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam meskipun
tetap menimbulkan kontroversi dan kontradiksi pada sejumlah kalangan.
Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU di dalam sikapnya
terhadap segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat,
1

yaitu tawazun (seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan


dalil naqli dan
dalil aqli), tasamuh(mengembangkan
toleransi), tawassuth(sikap tengah, tidak ekstrem kanan dan juga tidak
ekstrem kiri), dan istidal (tegak lurus, artinya konsistensi antara pikiran,
ucapan, dan perbuatan).
NU juga merupakan representasi dari kalangan pesantren Indonesia
yang
pernah
mencatatkan
dirinya
dengan
tinta
emas
karena
keberhasilannya di dalam ikut serta memprotes tindakan Raja Ibnu Saud
untuk membongkar makam Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau
serta keinginan Raja Ibnu Saud mewajibkan seluruh ummat Islam terutama
yang beribadah haji untuk memeluk paham Wahhabi (suatu paham puritan
yang dinisbatkan kepada Muhammad ibn Abdul Wahhab). Walhasil, Raja
Ibnu Saud membatalkan rencananya untuk membongkar makam Nabi
Muhamamd SAW dan beberapa sahabat serta kebebasan bermadzhab
dijaminkan kepada para pemeluk Islam meskipun di Mekkah telah
diputuskan paham resmi Negara adalah Wahhabi. Sebagai representasi dari
kalangan pesantren, tentu saja NU juga memiliki banyak sekali kelebihan.
Para kyai dan santri yang senantiasa belajar mengaji dan mengkaji, telah
membuat mereka menjadi pribadi yang faqih, alim, bermanfaat bagi agama
dan Negara. Selain itu, sifat-sifatnya yang zuhud, qanaah, suka bersusah
payah (prihatinbahasa Jawa), taqwa, telah membuat beberapa dari mereka
memiliki karamah dan kelebihan dibandingkan dengan manusia biasa.
Sehingga suatu hal yang mengherankan ketika banyak pihak yang
menyangsikan dan menyepelekan kyai hanya karena sifat tidak baik dari
sebagian kecil kyai saja.
Satu hal yang juga tidak kalah penting, semua Habib (keturunan Nabi) di
Indonesia misalnya Habib Syeikh ibn Abdul Qadir Assegaf dan Habib Munzir
al-Musawa (masih banyak lagi para habib yang lain) telah menjadikan pribadi
mereka sebagai pembela paham ahlussunnah wal jamaah ala NU. Bahkan
Kyai Haji Habib Muhammad Luthfi Ali Bin Yahya menjabat sebagai Rais Am
Jamiyyah Ahli Thariqat Al Mutabarah al Nahdliyah dan Rais Syuriah PBNU.
Kelebihan ini bahkan tidak dimiliki oleh ormas Islam yang lain di Indonesia.
Sebuah penghormatan yang sangat besar karena keturunan Nabi
Muhammad SAW menjadi bagian dari NU.
Namun, sebagai organisasi islam yang bersifat structural, NU justru
memiliki banyak kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut dapat saya
identifikasikan sebagai berikut :
1. Sepinya kegiatan di berbagai ranting atau cabang atau wilayah.
Di beberapa daerah, kegiatan yang dibawah structural NU kurang
progresif dan cenderung sepi. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa
kalangan menyebut NU sebagai The Silence Majority(mayoritas yang hanya
diam). Hal ini jelas merugikan NU sebagai organisasi Islam yang dibangun
dengan tujuan salah satunya menegakkan agama Islam khususnya amalanamalan ahlussunnah wal jamaah dan juga menyejahterakan ummat.
Sebagai organisasi yang terbesar, jangan sampai NU hanya mempunyai
kegiatan yang menguntungkan pihak NU sendiri, NU harus progresif
mengadakan kegiatan yang outputnya dapat dirasakan secara langsung oleh
masyarakat luas secara umum dan masyarakat sekitar secara khusus. Tidak
2

hanya kuantitas kegiatan yang menjadi sasaran di dalam menyusun program


kerja, tetapi kualitas kegiatan juga penting. Kegiatan yang diadakan harus
bersifat tepat sasaran, tepat guna, dan tepat tujuan. Mempertahankan
kegiatan yang sudah menjadi tradisi memang baik, tetapi mengadakan
inovasi kegiatan akan lebih baik. Ketika jaman semakin membuat tingkat
kesulitan mencapai kesejahteraan hidup semakin tinggi dan juga berefek
kepada tergadainya iman dan aqidah, kegiatan-kegiatan yang tidak hanya
kegiatan keagamaan, misalnya kegiatan seminar, training, pelatihan, kursus,
membuka klinik, koperasi, dan sebagainya, sangat dibutuhkan oleh
masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang diadakan seperti ini sebenarnya tinggal
mengadopsi konsep Fiqh Sosial yang dicetuskan oleh DR HC KH Muhammad
Ahmad Sahal Mahfudh (Rais Am Syuriah PBNU) dan kemudian
mengimplementasikannya dengan berbagai teknik dan metode yang
disesuaikan dengan sasaran dan kebutuhan sehingga memiliki output yang
maksimal. Kegiatan seperti ini juga harus menyebar baik di setiap tingkatan
maupun di setiap daerah. Kemampuan berpikir inovatif dan peka terhadap
kebutuhan ummat tentu saja tidak cukup dan harus diimbangi dengan skill
pengelolaan organisasi yang tentunya sangat dibutuhkan dan harus ada di
setiap jajaran structural NU.
2. Semakin besar jumlah anggota suatu kelompok, semakin tidak
kohesif (kompak, lekat, solid).
Data tahun 2009 menunjukkan bahwa sebanyak lima puluh satu juta
jiwa muslim dan santri Indonesia berafiliasi dengan NU, baik secara cultural
maupun secara structural. Hal ini menjadi kelebihan yang dimiliki oleh NU
yang menjadikan NU sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di
Indonesia, tetapi di sisi lain juga menimbulkan efek negative yang lain. Efek
tersebut adalah sulitnya mengelola keanggotaan yang sangat banyak. Di
dalam hukum kohesivitas psikologi social, semakin besar jumlah anggota
suatu kelompok akan mengakibatkan kurangnya kohesivitas para anggota
kelompok tersebut. Beberapa kalangan juga menilai bahwa NU kurang serius
di dalam mengelola keanggotaan warganya. Di pihak lain, banyak terdapat
para anggota structural NU yang juga kurang memahami manajemen
organisasi yang baik yang juga akan mengakibatkan kurang solidnya barisan
NU secara structural. Banyak pertemuan di berbagai tingkatan dan daerah
secara rutin dengan agenda membahas masalah terkini ummat untuk
dicarikan solusinya mungkin akan dapat menjadi sebuah solusi untuk
permasalahan kohesivitas ini. Selain itu, di sisi lain para anggota structural
NU juga harus belajar mengenai manajemen organisasi yang baik,
bagaimana menyolidkan warga NU, bagaimana menghadapi masalah
ummat, bagaimana ketika ada gesekan atau tantangan dari luar datang, dan
sebagainya. Barangkali tantangan dari kaum radikalispuritan yang semakin
tinggi menjadi hikmah bagi NU untuk semakin menyolidkan barisan dan
tidak lengah sedikitpun di dalam memperjuangkan Islam Sunni dan
Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.
3. System taqlid mengharuskan para kyai NU menuntun para warga
Nahdliyyin yang awam.
Warga NU sangat bervariasi, termasuk salah satunya mengenai tingkat
pemahaman terhadap Islam secara umum dan ahlussunnah wal jamaah
3

secara khusus. Ada yang sangat pandai dan paham, tetapi ada juga yang
tidak paham sama sekali atau taqlid buta. Hal ini jika dibiarkan secara terus
menerus, bisa saja akan merugikan. Di sini saya tidak bermaksud
mengharuskan setiap warga NU untuk berijtihad, tetapi setidaknya ada
usaha dari setiap warga NU terutama yang awam untuk belajar mengenai
keilmuan dan kemadzhaban serta ahlussunah wal jamaah sehingga semakin
mantap di dalam beramaliyyah. Begitu juga sebaliknya, dibutuhkan peran
aktif dari para kyai terutama di tingkat pedesaan untuk istiqamah di dalam
memberikan kajian-kajian yang tidak hanya bersifat akhlaq dan aqidah,
tetapi juga kajian fiqh, paling tidak disesuaikan dengan sasaran sehingga
warga yang awam mampu memahami amaliyyah-amaliyyah mereka
meskipun tidak secara detail, namun akan lebih baik jika para warga mampu
untuk memahami sampai detail. Memberikan dan menyerahkan
permasalahan kepada yang bukan ahlinya merupakan perbuatan yang tidak
terpuji, namun membiarkan ummat di dalam keawaman juga bukan tindakan
yang bijaksana. Ikatan Sarjana Alumni Darussalam Krempyang yang baru
dibentuk memiliki kepedulian untuk memberikan solusi agar ummat
khususnya di daerah pedesaan tidak awam mengenai masalah keagamaan
terutama yang terkait amaliyah-amaliyah NU dengan merekontruksi ulangan
buku ASWAJA
4. Kontekstualisasi hukum membuat banyak orang terpengaruh paham
skripturalis atau tekstualis.
Corak pemikiran NU adalah mengkontekskan hukum Islam tanpa
meninggalkan nilai-nilai atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al Quran
dan Sunnah sebagai sumber utama di dalam penggalian hukum (istinbath alahkam) dan juga sebagai dalil utama. Hal ini sebagai konsekuensi dari
prinsip Ahlussunnah wal Jamaah yang peka terhadap kemashlahatan ummat
dan moderat, salah satunya terhadap budaya. Arti moderat bukan berarti
mengijinkan berkembangnya budaya begitu saja tanpa penyaringan atau
filter. Arti moderat di sini adalah tetap menghargai adanya budaya tersebut
dengan berupaya mengadakan akulturasi dan asimiliasi dengan budaya
Islam. Sehingga, budaya-budaya yang menjadi amalan-amalan warga
Nahdliyyin atau Syafiiyyah di Indoensia dan diklaim bidah dlalalah tersebut
sudah tidak lagi memakai nilai Hindu, Budha, dan kejawen, tetapi justru
diganti dengan nilai-nilai keIslaman, misalkan menghilangkan unsure
kesyirikan, mengisi acara dengan doa dan sesuatu yang bermanfaat.
Kontekstualisasi hukum seperti ini membutuhkan kecerdasan, kepahaman,
ketelitian, dan kehati-hatian yang sangat dalam pada kalangan kyai karena
yang dihadapi tidak hanya masalah duniawi saja, tetapi masalah keagamaan
yang diperlukan ijtihad meskipun tidak berupa ijtihad muthlaq. Di dalam
hadits Rasulullah SAW bersabda kesalahan ijtihad saja tetap diberi pahala
satu, lalu mengapa masih ada pihak-pihak yang mengeklaim sesat dan salah
padahal NU dan Syafiiyyah belum tentu salah dan mereka belum tentu
benar? Kontekstuaslisasi hukum ini juga kemudian berefek kepada sulitnya
memahami hasil dari kontekstualisasi hukum tersebut, sehingga
memberikan peluang ketidakpahaman kalangan awam yang kemudian
banyak kalangan awam yang mudah terpengaruh oleh gerakan radikalis
puritan yang cenderung tekstual dan skripturalis di dalam memahami
4

hukum-hukum di dalam Al Quran dan Sunnah. Hal ini yang kemudian


membutuhkan upaya keras dari kalangan cendekiawan NU dan warga NU
yang duduk di jajaran structural NU untuk senantiasa mengawal dan
membentengi para warga yang masih awam agar tidak terseret dan tidak
terpengaruh oleh gerakan-gerakan semacam itu yang justru mengancam
keutuhan ummat dan ukhuwah islamiyyah.
5. Banyak para kaum muda NU terlibat ke dalam pemikir yang bebas
(neo Mutazilah).
Pemikiran akan terus berkembang karena sifat pikiran dan ilmu
pengetahuan yang dinamis. Perkembangan pemikiran seperti ini mampu
memberikan efek positif di dalam kehidupan untuk tujuan kesejahteraan
ummat. Namun, di sisi lain ketika terdapat kesulitan di dalam kehidupan
yang membutuhkan tingkat dinamis dan fleksibiltas pemikiran yang tinggi,
akan justru mengakibatkan liarnya pemikiran yang mungkin dapat keluar
dari ketentuan syara. Seperti yang telah tercatat oleh sejarah bahwa Islam
pernah berjaya di tangan kaum Mutazilah yang pandai berdebat dengan
teknik rasionalitas yang tinggi dan kemampuan filsafat yang hebat untuk
menghadapi kaum zindiq yang menggerogoti Islam dari dalam. Namun, di
sisi lain, mereka justru telah melampaui batas di dalam menggunakan akal
dan pikiran mereka sehingga mereka diberangus oleh mantan pengikutnya
sendiri, Abu Hasan al-Asyari yang telah taubat dari paham Mutazilah yang
dianutnya selama 40 tahun, dan beliau telah menancapkan paham
Asyariyyah menggantikan paham Mutazilah. Periode saat ini banyak muncul
pemikiran liberal yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai pemikiran
liar dan liberal yang menyalahi syara. Beberapa dari kalangan yang disebut
sebagai neo-Mutazilah oleh beberapa pihak yang tidak setuju dengan
mereka, justru menganut paham NU meskipun secara structural tidak masuk
di dalam kepengurusan NU. Terlepas apakah cara berpikir mereka benar atau
bahkan salah, keberadaan pemikiran tersebut terbukti menodai kalangan NU
sendiri, bahkan tidak jarang kalangan kyai berselisih pendapat dengan kaum
muda NU yang liberal. Selain itu, terdapat beberapa mahasiswa NU yang
tergabung dalam PMII suatu universitas sering mengadakan diskusi
membahas mengenai teologi dan doktrin-doktrin yang membuat mereka
berfilsafat tanpa arah dan tujuan yang jelas dan kemudian menjadikan
mereka mempermainkan Tuhan dengan setiap tindakannya. Hal ini selain
dapat menghilangkan nilai-nilai hukum Islam, juga dapat mengancam
ukhuwah di tubuh NU sendiri. Jelas efek semacam ini sangat merugikan bagi
NU sendiri. Sehingga kalangan kyai atau Syuriah atau Mustasyar harus dapat
bertindak secara tegas dan tepat di dalam menghadapi kasus seperti ini.
Islam memang agama rahmat untuk seluruh alam, namun bukan berarti
universalitas dan fleksibilitas hukumnya meninggalkan nilai-nilai yang
dibawanya sendiri.
6. Sikap toleransi yang kemudian disalahartikan menyebabkan sikap
toleransi yang berlebihan.
Salah
satu
prinsip
dari
Ahlussunnah
wal
Jamaah
adalah
prinsip tasamuh yang diartikan sebagai sikap toleransi dan menghargai
perbedaan. Mungkin saja sikap pluralisme tumbuh dari sikap toleransi ini,
yang kemudian menimbulkan polemic dan kontroversi dari tingkat ulama
5

sampai tingkat akademis. Ada salah satu fenomena yang menurut saya
kurang tepat dari segi aqidah, misalkan ketika Yenny Wahid (putri Alloh
Yarham KH Abdurrahman Wahid) menginstruksikan kepada Barisan Ansor
Serba Guna (BANSER) untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban
perayaan Paskah. Dari segi toleransi ummat beragama jelas ini adalah sikap
yang menguntungkan karena dapat menimbulkan good image dari kalangan
non-Islam terhadap kalangan Islam. Namun, dari segi aqidah, bisa-bisa sikap
semacam ini melunturkan aqidah seseorang. Menjaga ketertiban dan
keamanan peringatan keagamaan agama lain memang kewajiban setiap
warga, namun bukankah POLRI yang seharusnya berada di garda terdepan
karena itu memang tugas POLRI? Bukankah ketika ikut menjaga peribadatan
mereka juga berarti mengakui kegiatan peribadatan mereka yang pada
akhirnya berefek kepada kepercayaan secara tidak langsung terhadap Tuhan
mereka? Toleransi bukan selalu harus terlibat secara langsung, membiarkan
mereka beribadah dan tidak bersikap anarkis serta provokatif pun sudah
termasuk sikap toleransi. Toleransi memang membutuhkan pertimbangan
kemashlahatan ummat, tetapi juga bukan berarti membuat aqidah kita
menjadi luntur.
7. Motivasi menulis warga Nahdliyyin rendah.
NU merupakan sebuah organisasi yang didominasi oleh kalangan santri
dan kyai. Hampir seluruh waktu di setiap harinya dipakai santri untuk
mengaji kitab kuning kepada para kyainya. Selain itu, santri juga dituntut
menegakkan sembahyang-sembahyang sunnah sehingga bisa dikatakan
waktu 24 jam dalam sehari kurang bagi santri dan kyai. Betapa sibuknya
mereka untuk mencapai kemuliaan akhirat dan untuk mencari bekal
menyejahterakan ummat kelak ketika sudah keluar dari pondok. Kesibukan
ini ternyata memiliki sedikit (jika tidak mau dikatakan banyak) efek yang
kurang baik bagi santri, yaitu kurangnya (bukan tidak adanya) motivasi
untuk menulis. Menulis adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia juga
selain mengaji. Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asyari
(sebagai pendiri dan Rais Akbar NU) saja rajin menulis yang membuat beliau
menghasilkan karya sebanyak 20 kitab. Apalagi para santri dan warga NU,
harus mencontoh keteladanan beliau. Menulis ini juga akan menimbulkan
dampak positif bagi NU sendiri, yaitu sebagai sarana membentengi diri dari
hantaman kalangan radikalispuritan yang notabene rajin menulis namun
ketika diadakan dialog terbuka secara ilmiah justru tidak pernah
menyanggupi. Banyak media massa yang didominasi oleh kalangan radikalis
puritan yang menjadikannya sebagai alat untuk menyebarkan pahamnya.
Buku merupakan salah satu media yang paling ekonomis dan dapat
menyebar luas sehingga untuk menghadapinya juga dibutuhkan usaha
sebanding. Salah satu upaya untuk menumbuhkan minat menulis ini
sebenarnya sudah dilaksanakan oleh NU sendiri yaitu melalui pelatihan yang
diadakan oleh lembaga NU yang bernama Lembaga Kajian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM). Namun, upaya ini
sepertinya kurang progresif di berbagai daerah. Upaya seperti training dan
pelatihan menulis harus diupayakan secara kontinyu dan berkualitas di
berbagai tingkatan dan daerah. Tidak hanya mengembangkan kemampuan
menulis, tetapi juga mengembangkan keilmuan terkait konten atau materi
6

mengenai apa yang ditulis, misalkan keilmuan fiqh, hadits, Al Quran, tafsir,
dan sebagainya. Para kyai pun juga dituntut untuk memotivasi para
santrinya agar memiliki gairah berkarya.
8. Pengkaderan yang kurang progresif di beberapa daerah.
Sebagai organisasi secara structural, NU kurang dapat mengendalikan
keanggotannya. Hal ini berakibat pada pengkaderan yang kurang rapi dan
kurang optimal. Banyaknya anggota dan kader secara structural belum tentu
menjamin kelangsungan NU sendiri. Selain kuantitas, kualitas kader juga
sangat penting. Karena itu, harus ada upaya pengkaderan secara serius dan
kontinyu. Misalkan, pengkaderan IPNU, IPPNU, GP Ansor dan Banser-nya,
Fatayat NU, harus dilaksanakan sesuai dengan program kerja dan konsep
yang telah dicanangkan oleh NU, seperti Pelatihan Kader Muda (Lakmud)
untuk pengkaderan IPNU dan IPPNU. Tidak hanya itu, teknik acara dan
konten acara juga harus diperhatikan. Materi-materi yang diberikan harus
berkualitas, misalkan materi tentang manajemen organisasi, aswaja,
keNUan, networking, kohesivitas, pendidikan karakter dan mental, dan
sebagainya. Dari situ, tentu saja dibutuhkan peran kalangan senior di dalam
mengadakan kegiatan tersebut. Pengkaderan yang berkualitas akan
melahirkan kader yang tidak hanya berkualitas, tetapi juga militan dan loyal.
Kader yang militant dan loyal akan mengakibatkan kohesivitas yang tinggi di
antara para kader NU. Pada akhirnya, NU akan menjadi organisasi yang kuat
dan kokoh, tidak mudah goyah dengan terpaan badai dan tantangan serta
akan dapat memecahkan permasalahan ummat.
9. Jangan hanya berNU secara cultural, tetapi juga secara akademisi.
Sebagai jamiyyah diniyyah, tidak cukup ketika hanya mengaku dan
melaksanakan amaliyyah-amaliyyah NU saja. Tetapi diperlukan upaya untuk
paling tidak memahami amaliyyah-amaliyyah tersebut sesuai kadar
kemampuan sehingga akan semakin mantap di dalam beramaliyyah. Tidak
hanya itu, peningkatan pendidikan juga harus menjadi perhatian khusus NU.
Pendidikan merupakan permasalahan urgen dan sampai sekarang masih
menjadi permasalahan yang terus diperbincangkan. Pandai di dalam
keilmuan agama merupakan tingkatan yang mulia, namun pandai di dalam
keilmuan umum juga tidak bisa dianggap remeh. Keilmuan agama dan
umum sangat bermanfaat guna mencapai kesejahteraan dunia dan kahirat
(saadatuddarain). Permasalahan kekinian tidak cukup diselesaikan dengan
hanya beribadah dan berdoa saja, tetapi juga dengan upaya yang
membutuhkan kecerdasan dan pengembangan pemikiran dan keilmuan
guna memecahkan permasalahan ummat, khususnya yang bersifat duniawi.
Efek selanjutnya, kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan dapat
diminalisir dan dihilangkan yang selanjutnya mengakibatkan kesejahteraan
ummat. Arah perjuangan di dalam mengentaskan dan memecahkan
berbagai masalah tersebut harus sejalan dengan Qanun Asasy Nahdlatul
Ulama (yang dipidatokan oleh Rais Akbar NU pada Muktamar I NU,
Hadlratusy Syaikh Kyai Haji Muhammad Hasyim Asyari yang sekaligus
menjadi Anggaran Dasar NU), Khiththah Nahdliyyah(yang dirumuskan oleh
Kyai Haji Achmad Shiddiq yang menjadi Rais Am PBNU masa jabatan 1984
1991), dan Mabadi Khairu Ummat. Sehingga sebagai warga NU, khususnya
santri, harus mampu menjadi kalangan terpelajar sebelum akhirnya
7

melakukan upaya pengentasan kemiskinan, keterbelakangan, dan


kebodohan ummat demi mencapainya kesejahteraan ummat dan kejayaan
Islam.
10. Para warga Nahdliyyin diharapkan aktif untuk menyumbangkan
segala sesuatu kepada NU.
Sebagai warga yang bersedia diafiliasikan dengan NU, seharusnya
memiliki komitmen tinggi untuk berkorban kepada NU. Berkorban banyak
caranya. Berkorban juga sebaiknya dilaksanakan dengan maksimal tanpa
menafikan kemampuan dan kadar diri masing-masing. Bagi para warga
Nahliyyin yang duduk di jajaran structural NU, sebaiknya melengkapi
keterampilan diri dengan keterampilan manajemen organisasi di samping
keterampilan keilmuan dan interpersonal. Bagi para warga Nahdliyyin yang
memiliki kelebihan harta diharapkan bersedia menyisihkan sebagian
hartanya untuk NU, misalkan membangun gedung NU tingkat Majelis Wakil
Cabang atau Cabang atau Wilayah, agar di setiap kegiatannya NU mampu
mengaktualisasikan dirinya dengan baik tanpa terkendala fasilitas. Selain itu
bisa juga menyumbangkan hartanya untuk kegaiatan-kegaiatan NU sebagai
donator. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di bidang
pemikiran, diharapkan bersedia menyumbangkan pemikiran dalam hal
apapun untuk kemajuan NU dan kemashlahatan ummat, misalkan pemikiran
mengenai hal-hal kekinian, pemikiran mengenai konsep kegiatan yang
inovatif, dan sebagainya. Bagi para warga Nahdliyyin yang memiliki
kemampuan menulis, diharapkan bersedia menuliskan setiap pemikirannya
dan mempublikasikannya kepada masyarakat NU dan umum sehingga
mampu mencerahkan tidak hanya NU saja tetapi juga masyarakat umum.
Bagi warga Nahdliyyin yang memiliki kelebihan di dalam hal kepandaian atau
kefaqihan, maka diharapkan mampu mencerahkan dan mencerdaskan
ummat dengan ilmunya. Tentunya sikap-sikap seperti harus disertai dengan
pengimplementasian prinsip-prinsip ahlussunnah wal jamaah dengan baik.
11. NU harus merapikan strukturalnya.
Sebuah tantangan yang berat untuk organisasi sebesar NU di dalam
mengelola
keanggotaan
dan
organisasinya.
Dibutuhkan skill dan
kemampuan mengenai keilmuan manajemen organisasi untuk mengelola
organisasi besar dengan baik. NU yang juga bercorak structural jangan
hanya mengandalkan basis strukturalnya. Anggota NU sudah banyak tanpa
pengelolaan dengan baik karena sudah melekatnya tradisi ahlussunnah wal
jamaah yang berkembang di Indonesia. Hal ini akan sangat baik jika disertai
pengelolaan organsasi dengan kualitas yang tinggi yang akan membuat
organsasi menjadi sangat rapi. Efeknya, keangotaan akan jelas dan kinerja
akan semakin produktif. Sebagai salah satu contohnya, program dari PBNU
yang membuat KARTANU (Kartu Tanda Anggota NU), baik untuk warga NU
secara structural maupun secara cultural. Program ini tentunya sangat
berkualitas karena dengan adanya KARTANU ini, maka seluruh anggota dan
warga NU akan tercatat di databaseNU. Jika keanggotaan jelas, maka PBNU
tidak akan kesulitan untuk berinteraksi dengan para warganya dan juga tidak
akan mengalami hambatan jika warganya membutuhkan pertolongan.
Kelebihan yang lain dari KARTANU ini tidak hanya berfungsi sebagai kartu
tanda anggota saja, tetapi juga sebagai kartu asuransi dan kartu pra bayar.
8

Namun, sayangnya upaya PBNU ini tidak diimbangi dengan respon yang
reaktif dari jajaran structural dibawahnya yang seharusnya membantu PBNU
di dalam mengkoordinasi warga NU untuk membuat KARTANU tersebut,
misalkan oleh PWNU dan PCNU, sehingga program yang berkualitas ini
kurang terpublikasi dan terealisasi dengan baik. Upaya yang lain untuk
merapikan structural NU adalah dengan cara memasang nameboard NU dan
badan otonom-badan otonom (banom) NU di setiap ranting (desa) atau
majelis wakil cabang (kecamatan) atau cabang (kabupaten) atau wilayah
(propinsi), sehingga akan jelas bahwa di daerah tersebut merupakan basis
pendukung NU. Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini
merupakan tanggung jawab dari jajaran structural NU misalkan PCNU.
Pemasangan nameboard NU dan banom-banomnya ini juga tidak dapat
dilakukan asal dipasang, tetapi harus berada di tempat yang strategis,
atau jika dimungkinkan dipasang di kantor NU dan banom-banomnya. Hal ini
akan memudahkan akses para warga NU jika membutuhkan bantuan dari NU
dan mengadakan kegiatan keNUan. Selain upaya tersebut, merapikan
organisasi juga tidak hanya merapikan secara structural, tetapi juga
merpikan program kerja dan realisasinya sehingga program kerja dapat
terlaksana dengan baik dan dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat.
12. NU harus bertindak tegas kepada para warganya yang melenceng
dari prinsip dan ajaran aswaja.
Ketika saya jalan-jalan di sebuah toko buku, terdapat buku yang sangat
kontroversi, yaitu Mahrus Ali yang mengaku Mantan Kiai NU dan buku yang
diterbitkan oleh penerbit yang sama yang berjudul MWC NU Menggugat
Aqidah Sesat NU. Hal ini sangat disayangkan karena mengancam ukhuwah
NU secara khusus dan ukhuwah islamiyyah secara umum. Diperlukan
ketegasan yang nyata dari jajaran structural NU yang lebih tinggi untuk
menindaklanjuti para warganya yang mengancam ukhuwah terlebih lagi
beberapa oknum warga NU yang bertindak provokatif dan meninggalkan
prinsip-prinsip aswaja. Hal ini jelas dibutuhkan untuk menumbuhkan persepsi
bahwa NU merupakan organisasi yang tidak hanya besar, tetapi juga
tanggap dan tegas secara cerdas. Respon-respon untuk tindakan semacam
ini tidak cukup dengan menulis buku-buku counter yang banyak tetapi juga
dengan sikap dan tindakan seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa
jajaran cultural dan sturktural NU misalnya dengan memberikan pengajian
kefiqhan dan debat ilmiah secara terbuka. Namun, upaya ini harus dilakukan
secara merata dan menyeluruh di setiap tingkatan dan daerah NU. Tentu
saja hal ini membutuhkan tidak hanya keilmuan semata, tetapi juga motivasi
dan keberanian yang tinggi tanpa mengancam ukhuwah dan tanpa
meninggalkan prinsip-prinsip aswaja.
13. Perbaikan akhlaq dan pergaulan di kalangan pelajar dan kaum muda
NU.
Ketika era semakin berkembang pesat, tidak hanya teknologi saja yang
mengglobal, tetapi juga karakteristik berpikir dan budaya dari tempat asal
tekonologi tersebut. Hal ini memungkinkan terjadinya gerusan budaya local
dan local wisdom Indonesia yang banyak sesuai dengan prinsip aswaja. Pada
akhirnya, etika bersikap dan bergaul akan semakin menipis dan pudar.
Fenomena seperti ini merupakan fenomena yang sangat ironis mengingat NU
9

tidak hanya bergerak di bidang pendidikan dan keagamaan saja tetapi juga
bergerak di bidang akhlaq dan etika. Banyak para kaum muda dan pelajar
NU di berbagai daerah yang kehilangan etika dan mencerminkan rendahnya
akhlaq yang disebabkan oleh gaya hidup yang semakin modern. Fenomena
semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari NU, terutama
kalangan structural NU. Pondok yang tersebar luas dan merata di berbagai
pedesaan perlu dimaksimalkan lagi untuk memberikan perannya di dalam
memperbaiki akhlaq masyarakat. Peran kyai juga lebih ditonjolkan lagi
mengingat karakter kyai yang tidak hanya pandai mengaji, tetapi juga bijak
dan berakhlaq mulia yang harus dijadikan tauladan di setiap daerah. Oleh
karena itu, diperlukan peran aktif dari para kyai dan santri untuk tetap
mempertahankan etika dan akhlaq yang mulia di tengah arus globalisasi ini.
Selain itu, saya pernah menemui karakter santri yang memudahkan
(jawa : nggampangke) ibadah dengan dalil Alloh Maha Tahu. Hal ini kurang
bijak jika dilakukan oleh santri yang notabene merupakan kalangan yang
tidak hanya tahu tetapi juga paham mengenai keagamaan dan ibadah
(meskipun tidak bijak juga jika dilakukan oleh orang biasa non santri).
Mengetahui dan memahami secara mendalam seharusnya lebih membuat
diri seorang santri semakin rajin dan tidaknggampangkemasalah keagamaan
dan ibadah. Apalagi santri menjadi role model kaum terpelajar dan harus
bisa menjadi contoh bagi masyarakat.
14. NU harus mengelola kegiatan-kegiatan dengan baik di setiap
tingkatan.
Sebagai sebuah organisasi yang besar, NU membutuhkan orang-orang
dengan skill manajemen organisasi yang tinggi. Tidak hanya dibutuhkan di
dalam merapikan dan menyolidkan jajaran structural NU, tetapi juga untuk
mengelola kegiatan dan program kerja dengan baik. Kegiatan yang
merupakan realisasi program kerja harus dikelola oleh NU dengan baik agar
kegaiatan tersebut terkendali dan terarah sehingga efek positif dapat
dirasakan oleh semua kalangan yang membutuhkan. Pada setiap kegiatan
dan organisasi, juga dibutuhkan tingkat koordinasi dan komunikasi yang
tinggi, apalagi pada organisasi sebesar NU. Kegaiatan-kegiatan yang
diadakan juga harus dikoordinasikan dan dikomunikasikan tidak hanya
dengan structural NU setempat, tetapi juga dengan structural NU yang lebih
tinggi. Hal ini bukan hanya sekedar bentuk pertanggungjawaban kepada
structural NU yang lebih tinggi, tetapi juga memungkinkan pengawasan dari
structural NU yang lebih tinggi sehingga kegiatan yang diadakan akan
semakin berkualitas. Jika koordinasi kurang, maka jajaran structural NU yang
lebih tinggi akan tidak mengetahui structural NU yang lebih rendah mana
saja yang program kerjanya terlaksana dengan baik dan structural NU yang
lebih rendah mana saja yang program kerjanya tidak terlaksana, sehingga
jajaran structural NU yang lebih tinggi harus menegur dan mengetahui
permasalahan yang terjadi yang menyebabkan program kerja dapat
terlaksana dengan baik dan tidak terlaksana. Di sinilah peran structural NU
yang lebih tinggi tersebut untuk membantu jajaran structural NU yang lebih
rendah di dalam kegiatan salah satunya, sehingga kegiatan-kegaiatan NU
akan berkualitas dan NU tidak akan diklaim sebagai The Silence Majority.
Selain itu, jangan sampai juga organisasi sebesar NU memiliki orsi kegiatan
10

yang berefek pada diri sendiri lebih besar daripada kegiatan yang berefek
pada masyarakat luas. Jangan sampai juga terlena atas keberhasilan masa
lalu yang akan membuat warga NU sekarang membanggakan nenek
moyangnya dan tidak lagi berkarya.
15. Membangkitkan semangat untuk senantiasa memperkokoh NU.
Semangat dan motivasi diperlukan untuk setiap sesuatu yang
membutuhkan perjuangan di dalam mencapai goal(tujuan). Semangat di
dalam mempertahankan NU dapat dilakuakn dengan berbagai cara sesuai
kadar kemampuan masing-masing warga NU. Yang jelas, jangan sampai
organisasi sebesar NU kehilangan semangat terutama semangat
memperkokoh NU dan semangat senantiasa berjuang untuk kemashlahatan
ummat. Semangat ini bisa dibangun dengan berbagai macam cara. Misalnya
dengan membaca buku-buku keNUan yang berisi profil para tokoh NU dan
keberhasilan-keberhasilan NU sehingga memotivasi untuk selalu berkarya
lewat NU. Selain itu, peka terhadap realitas juga akan menimbulkan
semangat dan motivasi, seperti misalnya melihat realitas bahwa aswaja dan
NU semakin tergerus oleh kalangan radikalispuritan yang gigih
menyuarakan visi dan misinya memurnikan agama Islam serta mengkafirkan
ummat Islam yang tidak sepandangan dengan mereka, melihat realitas
bahwa ternyata masalah kebodohan, keterbelakangan, kesejahteraan,
pendidikan, akhlaq, ekonomi, dan sebagainya masih menjadi masalah serius
yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan khusus. Semangat dan
motivasi keNUan juga dapat ditumbuhkan ketika pelatihan kader dan
reorganisasi yang disisipkan di setiap materi yang diberikan. Namun,
menimbulkan semangat dan motivasi tanpa menjaganya merupakan
tindakan yang kurang berkualitas sehingga menjaga motivasi dan semangat
juga merupakan suatu hal yang tidak kalah penting dari memunculkan
semangat dan motivasi itu sendiri.
16. Mengadakan relasi dengan penerbit ternama untuk menerbitkan
buku-buku keNUan.
Relasi dengan penerbit terutama penerbit yang bonafide dan ternama
merupakan sebuah langkah penting di dalam mempublikasikan dan
mendistribusikan pemikiran-pemikiran, gagasan-gagasan, dan karya-karya
warga NU. Terutama sekarang NU dihadapkan dengan pertarungan media
dengan kaum radikalispuritan yang mendominasi media, terutama buku
dan penerbit. Penerbit yang menjadi relasi juga jangan sampai hanya
memikirkan untungrugi, tetapi juga mempertimbangkan pengorbanan
terhadap NU sehingga personal approach dibutuhkan di dalam hal ini.
Sehingga, buku-buku keNUan, ke-aswaja-an, dan kemadzhaban Syafii dapat
diterbitkan secara luas dan merata serta dicetak berulang kali.
17. Perkuat aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dan madzhab Syafiiyyah.
Tidak semua kalangan santri atau warga Indonesia yang memiliki
amaliyyah-amaliyyah seperti NU bersedia diafiliasikan dengan NU karena NU
merupakan organisasi, sedangkan amaliyyah-amaliyyah tersebut tidak
terikat organisasi, tetapi terikat oleh madzhab. Sehingga kalangan madzhab
secara umum dan kalangan Syafiiyyah secara khusus, yang tidak tergabung
ke dalam NU, juga perlu memperkuat aqidah ahlussunnah wal jamaah dan
pengetahuan tentang kemadzhaban sehingga tidak mudah terpengaruh dan
11

memiliki benteng pertahanan yang kuat dari serangan kalangan radikalis


puritan.
Dibutuhkan ijin dari Alloh SWT, doa dari ummat, dan upaya dari seluruh
Aswaja dan NU di Indonesia untuk teap melestarikan amaliyyah-amaliyyah
Aswaja dan madzhab yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah. Insya Alloh,
dengan itu semua, semoga NU, Ahlussunnah wal Jamaah, dan madzhab
(terutama madzhab Syafii) akan terus bercahaya dan menancap kuat di
hati, pikiran, dan sikap para warganya yang setia. Jangan sampai kebathilan
yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran dan kebaikan yang tidak
terorganisir. Bravo NU!! Bravo Aswaja!! Bravo Syafiiyyah!!Bravo IKSADA
Allhu Akbar!!
I
Ahlus Sunnah Wal Jamaah
A. Devinisi Ahlis-Sunnah wal-Jamaah
1. Ahlun
Dalam
kitab Al-Munjid
fil-Lughah
wal-Aalam,
kata
"ahl"
mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat,
"ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika
dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada AlQamus al-Muhith.
2. As-Sunnah
Menurut Abul Baqa dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "assunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, aththariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabiah dan asy-syariah. Yakni, jalan atau
sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara, as-Sunnah ialah
sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana
dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun
persetujuan Nabi SAW.
Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam.
Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa
perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, AsSunnah Al-Filiyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan
pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah
at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang
didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam
tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan
perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah).
2. Al-Jamaah
Menurut Qamus Al-Munjid, kata "al-jamaah" berarti segala sesuatu
yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mujam al-Wasith, al-jamaah
adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "aljamaah" secara syara ialah kelompok mayoritas dalam golongan
Islam.

12

Dari pengertian di atas, maka makna Ahlussunnah wal jamaah dalam


sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem
pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil
Al-Quran dan Hadits dari pada dalil akal, sebagaimana pernyataan Syekh
Abu al-Fadl ibn Syekh Abdus Syakur al-Senori dalam kitab karyanya AlKawakib al-Lammaah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli al-Sunnah wa alJamaah (kitab ini telah disahkan oleh Muktamar NU ke XXlll di Solo Jawa
Tengah) menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok
atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw dan
thoriqoh para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq
batin (tasawwuf). Syekh Abdul Qodir al-Jilani mendefinisikan Ahlussunnah
wal jamaah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa
yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, prilaku, serta
ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah
adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi
SAW pada masa Khulafa ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah
Allah.
Secara historis, para imam Aswaja dibidang aqidah telah ada sejak
zaman para sahabat Nabi SAW sebelum munculnya paham Mutazilah. Imam
Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib RA, karena
jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wadu wa al-Waid dan
pendapat Qodariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Dimasa
tabiin ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk
mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti Umar bin Abd al-Aziz dengan
karyanya Risalah Balighah fi Raddi ala al-Qodariyah. Para mujtahid fiqh
juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang pahampaham diluar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya Al-Fiqhu alAkbar, Imam Syafii dengan kitabnya Fi Tashihi al-Nubuwwah wa al-Raddi
ala al-Barohimah.
Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh
Abu Hasan al-Asyari (260 H 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan
paham Mutazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa aqidah Aswaja
secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya
paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asyari,
tetapi beliau adalah salah satu diantara imam yang telah berhasil menyusun
dan merumuskan ulang doktrin paham aqidah Aswaja secara sistematis
sehingga menjadi pedoman aqidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi
menjadi bagian dari disiplin ilmu keIslaman. Dalam hal aqidah pengertiannya
adalah Asyariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar al-Haytami
berkata: Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud
adalah pengikut rumusan yang di gagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asyari
dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah madzhab empat,
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghozali,
Abu Yazid al-Bisthomi, Imam al-Junaydi dan ulama-ulama lain yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jamaah.

13

Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil
tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari
kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Diantara
teks-teks Hadits Aswaja adalah:



.







Dari Abi Hurayrah RA. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani
menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan.
Semuanya masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat: Siapakah
mereka wahai Rasulullah? Rasulullah SAW menjawab: Mereka adalah yang
mengikuti aku dan para sahabatku..HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu
Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) seperti yang tertera
dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah
Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya.
B. Ruang Lingkup Aswaja
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka
ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek
aqidah, fiqh, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa
aspek yang paling krusial diantara tiga aspek diatas adalah aspek aqidah.
Aspek ini krusial karena pada saat Mutazilah dijadikan paham keagamaan
Islam
resmi
pemerintah
oleh
penguasa
Abbasiyah,
terjadilah
kasus mihnah yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam.
Ketika Imam al-Asyari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiranpemikiran teologi Islamnya sebagi koreksi atas pemikiran teologi Mutazilah
dalam beberapa hal yang dianggap bidah atau menyimpang, maka dengan
serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya
banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan
kelompok Asyariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asyari.
Ditempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam
Abu Manshur al-Maturidi ( W. 333 H) yang secara garis besar rumusan
pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asyariyah,
sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai Imam penyelamat
aqidah keimanan,karena karya pemikiran dua imam ini tersiar keseluruh
belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi SAW serta petunjuk
para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi
yang sepaham yaitu Imam al-Thohawi (238 H 321 H) di Mesir, akan tetapi
karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama
menjadikan rumusan aqidah Imam Asyari dan Maturidi sebagai pedoman
aqidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mutazilah yang karena
metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdimu al-Aql ala alNash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bidah,
14

maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut


sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya
telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum
terinstitusikan dalam bentuk madzhab. Karena itu secara historis, term
aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini.
Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa Ali bin Abi
Thalib KW tetapi dari segi fisik dalam bentuk madzhab baru terbentuk pada
masa al-Asyari, al-Maturidi dan al-Thahawi.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi
menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal aqidah pengertiannya
adalah Asyariyah atau Maturidiyah, dalan fiqh adalah madzhab empat dan
dalam tasawuf adalah al-Ghozali dan ulama-ulama yang sepaham.
Semuanya menjadi diskursus Islam paham Sunni.
Ruang lingkup yang kedua adalah syariah atau fiqh, artinya paham
keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah. Sama
pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar
keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting
dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan
tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai
seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah SWT, dan
sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan
sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun
sosial. Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh
jumhur ulama bersumber dari empat madzhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii
dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya
tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab
diatas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya,
yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Quran, Hadits, Ijma
dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam
lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdimu
al-Nash ala al-Aql (mengedepankan daripada akal).
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana
ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang
dirumuskan oleh Imam al-Ghozali, Yazid al-Busthomi dan al-Junayd alBaghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham. Ruang lingkup ketiga ini
dalam
diskursus
Islam
dinilai
penting
karena
mencerminkan
faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang
Islam menggambarkan syariah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan
iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia
sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena
ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain. Ini yang sering
disebut dengan insan kamil. Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi
tidak menjalankan syariat, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada
gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan
buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini
bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya
sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang
kedua, dalam membentuk insan kamil.
15

Pada dasarnya tidak ada perbedaan secara prinsipil diantara kelompok


dan madzhab dalam Islam.
Pertama, dalam hal sumber ajaran Islam, semuanya sama-sama
meyakini al-Quran dan al-sunnah sebagai sumber utama ajaran Islam.
Kedua, para ulama dari masing-masing kelompok tidak ada yang
berbeda pendapat mengenai pokok-pokok ajaran Islam, seperti keesaan
Allah SWT, kewajiban shalat, zakat dan lain-lain. Tetapi mereka berbeda
dalam beberapa hal diluar ajaran pokok Islam, lantaran berbeda didalam
manhaj bepikirnya, terutama diakibatkan oleh perbedaan otoritas akal dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan teks-teks sunnah.
Masing masing firqah dalam pemikiran Islam, memiliki manhaj sendirisendiri. Mutazilah disebut kelompok liberal dalam Islam. Keliberalan
Mutazilah, berpangkal dari paham bahwa akal sebagai anugerah Allah SWT,
memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan
Allah SWT dan hal-hal yang dianggap baik dan buruk. Sementara bagi
kelompok Asyariyah, akal tidak sanggup untuk mengetahui hal tersebut,
kecuali ada petunjuk dari naql atau nash. Kelompok Maturidiyah sedikit lebih
menengah dengan pernyataanya, bahwa perbuatan manusia mengandung
efek yang disebut baik atau buruk, apa yang dinyatakan oleh akal baik, tentu
ia adalah baik, dan sebaliknya, akan tetapi tidak semua perbuatan manusia
pasti sesuai dengan jangkauan akal untuk menilai baik dan buruknya. Dalam
keadaan seperti ini, maka baik dan buruk hanya dapat diketahui melalui naql
atau nash.
Jika manhaj-manhaj ini dihubungkan dengan aqidah, maka peran akal
dan naql berkaitan dengan masalah-masalah ketuhanan, jika dikaitkan
dengan masalah fiqh, maka peran akal dan naql berhubungan dengan
perbuatan manusia (mukallaf), dan jika dikaitkan dengan akhlaq atau
tasawuf, maka akal dan naql berhubungan dengan hubungan spiritual antara
manusia dengan tuhannya. Baik dalam ruang lingkup aqidah, fiqh dan
tasawuf, Aswaja memiliki prinsip manhaj taqdimu al-nash ala al-naql. Maka
paham keagamaan Aswaja dengan manhaj seperti itu selalu berorientasi
mengedepankan nash daripada akal. Berbeda dengan paham Mutazilah,
meskipun sama-sama mengacu pada nash, Aswaja tidak terlalu mendalam
dalam menggunakan pendekatan akal, sehingga tidak memberikan akses,
bahwa nash dalam agama harus sejalan dengan makna yang ditangkap oleh
akal, tetapi akal hanyalah menjadi alat bantu untuk memahami nash yang
karena itu penafsiran nash agama tidak selalu harus sejalan dengan akal.
Meskipun dengan pertimbangan yang matang sekalipun, akal seringkali
salah daya tangkapnya.
C. Madzhab Ahlissunnah Wal Jama'ah
Madzhab dalam bidang fiqh berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah
bin Abi Sufyan sampai sekitar awal abad ke-2 Hijriyah. Rujukan dalam
menggali hukum suatu permasalahan masih tetap sama yaitu, Al Quran,
Sunnah Nabi dan Ijtihad para ahli fiqh. Pada masa itu kedudukan ijtihad
sebagai metode penggalian hukum semakin kokoh dan diterima oleh semua
komponen masyarakat.

16

Jumhur al ulama sepakat mengatakan bahwa madzhab saat itu ada 13


madzhab ahlissunnah wal jama'ah yaitu :
1. Madzhab Sufyan bin 'Uyainah (198 H.) di Makkah
2. Madzhab Maliki (179 H.) di Madinah
3. Madzhab Hasan Bashri (110) di Bashrah
4. Madzhab Abu Hanifah (80-150 H.) di Kufah
5. Madzhab Sufyan al Tsauriy (161 H.) di Kufah
6. Madzhab Auza'iy (157 H.) di Syam
7. Madzhab Syafi'i (150-204 H.) di Mesir
8. Madzhab Laits bin Sa'ad (175 H.) di Mesir
9. Madzhab Ishaq bin Rohawaih (238 H.) di Naisabur
10.
Madzhab Abu Tsaur (240 H.) di Baghdad
11.
Madzhab Ahmad bin Hambal (241 H.) di Baghdad
12.
Madzhab Daud al Dzahiriy (270 H.) di Baghdad
13.
Madzhab Muhammad Ibnu Jarir al Thobariy (310 H.) di Baghdad
Dari sekian madzhab yang ada hanya empat yang masih eksis sampai
sekarang, yaitu : Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i dan
Madzhab Ahmad bin Hambal, adapun madzhab-madzhab yang lainnya masih
dapat kita jumpai qoul-qoulnya dalam kitab-kitab seperti hilyah al ulama fi
ma'rifah aqwal al fuqoha' karya Imam al Qoffal, bidayah al Mujtahid karya
Ibnu Rusyd, al Muhallakarya Ibnu Hazm, Rohmah al Ummah karya Abu
Abdilllah Shodr al Din al Dimasyqi, Nail al Author karya al Syaukani, bahkan
dalam kitab-kitab tersebut seringkali kita jumpai qoul-qoul Shahabat dan
ulama-ulama tabi'in.
Kelahiran beberapa madzhab tersebut menunjukkan perkembangan
hukum Islam pada masa itu. Hal ini disebabkan munculnya beberapa
problem di tengah-tengah masyarakat akibat meluasnya kekuasaan Islam
sehingga menuntut untuk menugaskan para ulama ke wilayah-wilayah yang
telah berhasil dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Dan masa ini dikenal dengan
masa pembukuan ('ashru al tadwin) dalam berbagai disiplin ilmu
D. Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia
Berkembangnya Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia berbarengan
dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di
pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan
eksistensi Ahlussunnah wal Jamaah. Namun, Ahlussunnah wal Jamaah yang
dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya
tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu
belum berkembang organisasi.
Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jamaah di Indonesia dengan
karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada
tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang
secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
paham keagamaan yang dianutnya.
KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah
merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jamaah dalam kitab al-Qnn al17

Assiy li Jamiyyah Nahdlah al-Ulam. Al-Qnn al-Assiy berisi dua bagian


pokok, yaitu :
1) Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, yang memuat tentang
kategorisasi sunnah dan bidah dan penyebarannya di pulau Jawa,
dan
2) Keharusan mengikuti mazhab empat,
3) Karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran,
lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan
lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafun al-shlih
(generasi terdahulu yang salih).
4) Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jamaah, KH. M. Hasyim Asyari
dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyt,
mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu
tidak disukai. Menurut syara', sunnah adalah sebutan bagi jalan
yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan
oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para
sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab Uddah
al-Murd, menurut syara', bid'ah adalah munculnya perkara baru
dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan
bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya.
5) Yang menarik dalam Qnn Assiy adalah bahwa KH. M. Hasyim
Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua
muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah
mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai
bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan
mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i
dalam risalahnya Tathr al-Fu'd min Danas al-'Itiqd, KH. M. Hasyim
Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum
muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan
sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera
dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana.
6) Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jamaah
tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif
di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan
warga NU, Ahlussunnah wal Jamaah mengalami kontekstualisasi
yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah
wal Jamaah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham
atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.
Titik tolak dari paham Ahlussunnah wal Jamaah terletak pada prinsip
dasar ajaran Islam yang bersumber kepada Rasulullah dan para sahabatnya.
Ada beberapa tokoh-tokoh NU yang menafsirkan paham Ahlussunnah wal
Jamaah, di antaranya adalah

18

KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam
Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith
Muzadi, dan KH. Tolchah Hasan.
Oleh para ulama NU, Ahlussunnah wal Jamaah dimaknai dalam dua
pengertian :Pertama, Ahlussunah Wal Jamaah sudah ada sejak zaman
sahabat nabi dan tabi'in yang biasanya disebut generasi salaf. Pendapat ini
didasarkan pada pengertian Ahlussunah Wal Jamaah, yakni mereka yang
selalu mengikuti sunnah Nabi Saw. dan para sahabatnya. Kedua, pendapat
yang mengatakan bahwa Ahlussunah Wal Jamaah adalah paham
keagamaan yang baru ada setelah munculnya rumusan teologi Asy'ari dan
Maturidi dalam bidang teologi, rumusan fiqhiyyah mazhab empat dalam
bidang fikih serta rumusan tashawuf Junayd al-Bagdadi dalam bidang
tashawuf .
7) Pengertian pertama sejalan dengan sabda Nabi Saw.: Hendaklah
kamu sekalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan sunnah alkhulaf al-rsyidin yang mendapat petunjuk (HR. at-Tirmidzi dan alHakim). Dalam hadits tersebut, yang dimaksud bukan sahabat yang
tergolong al-khulaf al-rsyidn saja, tetapi juga sahabat-sahabat
lain, yang memiliki kedudukan yang penting dalam pengamalan dan
penyebaran Islam.
Nabi Saw. bersabda: Sahabat-sahabatku seperti bintang (di atas langit)
kepada siapa saja di antara kamu mengikutinya, maka kamu telah mendapat
petunjuk. (HR. al-Baihaqi).
Sesudah genersi tersebut, yang meneruskan ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah adalah para tabiin (pengikut sahabat), sesudah itu dilanjutkan oleh
tabiit-tabiin (generasi sesudah tabiin) dan demikian seterusnya yang
kemudian dikenal sebagai penerus Nabi, yaitu ulama.
Nabi Saw. bersabda: Ulama adalah penerang-penerang dunia,
pemimimpin-pemimpin di bumi, dan pewarisku dan pewaris nabi-nabi (HR.
Ibn Ady)
8) Itu sebabnya, paham Ahlussunnah wal jamaah, sesungguhnya
adalah ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin,
dan generasi berikutnya. Pengertian ini didukung oleh KH. Achmad
Siddiq yang mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah
pengikut dari garis perjalanan Rasulullah Saw. dan para pengikutnya
sebagai hasil permufakatan golongan terbesar umat Islam
9) Pengertian ini dipertegas lagi oleh KH. Saefudin Zuhri yang
mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah adalah segolongan
pengikut sunnah Rasulullah Saw. yang di dalam melaksanakan
ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktekkan oleh
jama'ah (sahabat Nabi). Atau dengan kata lain, golongan yang
menyatukan dirinya dengan para sahabat di dalam mempraktekkan
ajaran-ajaran Nabi Muhammad Saw., yang meliputi akidah, fikih,
akhlaq, dan jihad.
10) Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, makna
Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan NU lebih menyempit lagi,
19

yakni kelompok atau orang-orang yang mengikuti para imam


mazhab, seperti Maliki, Hanafi, Syafii, dan Hanbali dalam bidang
fikih; mengikuti Abu al-Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi
dalam bidang tauhid, dan Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali dalam
bidang tashawuf.
11) Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah wal
Jamaah. Hal ini bukan berarti NU menyalahkan mazhab-mazhab
mutabar lainnya, melainkan NU berpendirian bahwa dengan
mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU
akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem
bermazahab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan,
mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam,
supaya tetap tergolong Ahlussunnah wal Jamaah.
12) Di luar dua pengertian di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan
pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah wal Jamaah adalah
orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasardasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya,
Ahlussunnah wal Jamaah harus diletakkan secara proporsional,
yakni Ahlussunnah wal Jamaah bukan sebagai mazhab, melainkan
hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir tertentu) yang
digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in
yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam
menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian, hal itu bukan
berarti bahwa Ahlussunnah wal Jamaah sebagai manhaj al-fikr
adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosiopolitik yang melingkupinya.
13) Sejak berdirinya, NU telah menetapkan diri sebagai jamiyah yang
berakidah Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam Muqaddimah
Qnn Assiy-nya, pendiri jamiyyah NU, KH. M. Hasyim Asyari
menegaskan, Hai para ulama dan pemimpin yang takut pada Allah
dari kalangan Ahlussunnah wal Jamaah dan pengikut imam empat,
kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup
sebelum kalian. Dari sini, kalian harus melihat dari siapa kalian
mencari atau menuntut ilmu agama Islam. Berhubung dengan cara
menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi
pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu
agama Islam. Oleh karena itu, janganlah memasuki rumah kecuali
melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak
melalui pintunya maka pencurilah namanya! Bagi NU, landasan
Islam adalah al-Quran, sunnah (perkataan, perbuatan dan
taqrr/ketetapan) Nabi Muhammad Saw. sebagaimana telah
dilakukan bersama para sahabatnya dan sunnah al-khulaf alrasyidn, Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn
Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Dengan landasan ini, maka bagi NU,
Ahlussunnah wal Jamaah dimengerti sebagai para pengikut sunnah
Nabi dan ijma para ulama. NU menerima ijtihad dalam konteks
20

bagaimana ijtihad itu dapat dimengerti oleh umat. Ulama pendiri NU


menyadari bahwa tidak seluruh umat Islam dapat memahami dan
menafsirkan ayat al-Quran maupun matn (isi) hadits dengan baik.
Di sinilah peran ulama, yang sanadnya (mata rantai) bersambung
sampai ke Rasulullah Saw., diperlukan untuk mempermudah
pemahaman itu.
Dalam menggunakan landasan itu, ada tiga ciri utama Ahlussunnah wa
al-Jamaah yang dianut NU, :pertama, adanya keseimbangan antara dalil
aqliy (rasio) dan dalil naqliy (al-Quran dan al-Hadits), dengan penekanan
dalil aqliy ditempatkan di bawah dalil naqliy. Kedua, berusaha sekuat tenaga
memurnikan akidah dari segala campuran akidah di luar Islam. Ketiga, tidak
mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang
yang karena sesuatu sebab belum dapat memurnikan akidahnya.
Dalam hal tashawuf, NU berusaha mengimplementasikan mn, islm
dan ihsn secara serempak, terpadu dan berkesinambungan. Berlandaskan
tashawuf yang dianut, NU dapat menerima hal-hal baru yang bersifat lokal
sepanjang dapat meningkatkan intensitas keberagaman. Dengan tashawuf
yang dianut, NU juga berusaha menjaga setiap perkembangan agar tidak
menyimpang dari ajaran Islam.
E. BUDAYA AHLIS-SUNNAH WAL-JAMAAH
Berbaur dan bertebarnya berbagai kultur, menjadikan pemandangan
semu (pseudo) antara kultur yang sebenarnya ajaran Rasulullah SAW dan
kultur yang muncul setelah Rasulullah SAW wafat sehingga muncul berbagai
pertentangan. Sepertinya yang satu sebagai pembela dan lainnya sebagai
penentang. Satunya merasa tersingkir dan yang lainnya merasa
memdominasi. Terlepas dari praduga dan pretensi di atas, Ahlussunnah walJamaah tetap mempunyai karakteristik yang menonjol diantara modelmodel /type-type kultur lain yang muncul karena proses sejarah misalnya.
Atau sengaja dilahirkan oleh suatu golongan untuk mempertahankan
otoritasnya.
Ciri-ciri spesifik yang menonjol dan dipertahankan Ahlussunnah walJamaah adalah banyak sekali. Sehingga ciri-ciri tersebut menjadi tanda
khusus yang membedakan Ahlussunnah dan lainnya.
Namun sebelum sampai pada penjabaran budaya Ahlussunnah, perlu
sekali diketahui bentuk-bentuk tradisi masyarakat yang tidak mencerminkan
budaya Ahlussunnah, agar dihindari oleh warga Ahlussunnah. Di antarnya
adalah:
1. Mengagung-agungkan berbagai kesenian yang munkar, seperti seni
musik, seni rupa, wayang, kethoprak, ludruk,seni tari, dsb.
2. Mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengkaji pengetahuan
ilmu umum sampai menelantarkan pendidikan agama yang
merupakan bekal untuk meraih kesejahteraan dunia akhirat
3. Semaraknya Musabaqoh Tilawatil Quran dengan menekankan model
irama yang menghilangkan ketajwidan al-Quran dan at-Tadabbur.
Dan celaka lagi musabaqoh tersebut dijadikan sebagai sarana untuk
ikhtilath bainar rijaal wan nisaa/ ajang menampilakan alunan suara
wanita
21

4. Ditinggalkannya pelatihan diri dan perlombaan yang mengarah pada


persiapan membela agama dan negara, seperti latihan naik kuda,
memanah (munadlolah) dan lain-lain
5. Terlalu menghabiskan waktu untuk memperhatikan perlombaan yang
sifatnya hanya gerak badan saja dan hura-hura, sampai
mengenaympingkan urusan sholat, seperti sepak bola dan lain-lai
Sedangkan budaya yang merupakan ciri khas Ahlussunnah adalah:
1. Meramaikan bulan suci Romadlon dengan pengkajian kitab-kitab
Hadits, Tafsir maupun lainnya serta bertadarus al-Quran dan sholat
Tarawih
2. Menjalankan qunut subuh biarpun terdapat khilafiyyah antara para
Ulama dalam masalah tersebut
3. Menempatkan putra-putri sunniyyin di pondok-pondok pesantren
maupun madrasah diniyyah untuk mengkaji dan menghidupkan ilmu
agama
4. Adanya beberapa thoriqoh demi taqorrub ilalloh, namun dengan
syarat tidak terjadi ikhtilath antara lelaki dan perempuan atau
fanatik berlebihan
5. Memperhatikan jamaah sholat fardlu di Masjid dan surau-surau pada
awwal waktu, dan harus ikhlas serta khusyu didalam menjalankanya
6. Ziarah kubur Auliya untuk bertawassul dengan tanpa adanya hal-hal
munkar, Tahlilan, Berzanjenan dan manaqiban, namun dengan
syarat tidak berlebihan dalam Itiqodnya pada syekh Abdul Qodir,
seperti membaca dengan serentak Syekh Abdul Qodir Waliyulloh
setelah membaca dua kalimat Syahadat. Dan amalan-amalan di atas
tidaklah budaya Syiah, sebab ziarahnya orang syiah tidak memakai
bacaan ayat-ayat al-Quran, juga tidak membaca tahlil tasbih
tahmid, bisanya cuma memberi kata-kata pujaan berlebihan pada
Imam-imam mereke. Dan dalam berzanji maupun diba disebutkan
pujian terhadap sahabat Nabi SAW. Di samping itu, Syekh ad-DzibaI
mempunyai kitab hadits bernama Taisirul Wushul yang di dalamnya
disebutkan fadloilus shohabat, dan shohabat Abu Bakar ditempatkan
pada peringkat pertama. Sedangkan Qoshidah
itu adalah milik al-Habib Abdulloh al-Haddad yang telah kami
nukilkan aqidahnya yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah.
7. Menyantuni anak yatim, faqir miskin maupun para janda yang punya
anak banyak, serta melindungi mereka dari penindasan
8. Bagi alumni pesantren hendaknya sering sowan kepada gurunya
untuk konsultasi dengan memohon petunjuk di dalam menjalankan
dawahnya. Demikian pula bagi para kiainya hendaknya
mengunjungi / mengecek mereka; apakah benar-benar sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik.
9. Takbiran pada malam hari raya ddengan tanpa diikuti penabuhan
beduk. Sebab mengiringi dzikrulloh dengan tabuhan adalah bidah.
Apalagiaalatul malaahi
10.
Mempermudah urusan Haji dan Umroh sehingga tidak
menimbulkan keresahan dikalangan kaum Muslimin

22

11.
Mengadakan bahtsul masail dengan dihadiri tokoh yang benarbenar ahli dalam bidang agama. Mengamalkan ruyatul hilal untuk
mengetahui awwal Romadlon dan Syawwal
12.
Mendirikan paguyuban keluarga demi mempererat persaudaraan
13. Menghafalkan al-Quran dengan memperhatikan tajwidnya, dan lain
sebagainya
semoga menambah pengetahuan dan pencerahan warga NU secara
umum, aamiin
II
Stop Menuduh Bid'ah
A. Bid'ah sebuah kata sejuta makna
Sunnah dan bidah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan
dalam memahami ucapan-ucapan Rasulullah saw. sebagai Shohibusy-Syara
(yang berwenang menetapkan hukum syariat). Sunnah dan bidah masingmasing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang
satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang
yang menetap- kan batas pengertian bidah tanpa menetapkan lebih dulu
batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak
dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalildalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bidah.
Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu
mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan.
Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulullah
saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan
soal bidah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir
ra. bahwa Rasulullah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerahmerahan dan dengan suara keras bersabda: Amma badu, sesungguhnya
tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Quran) dan petunjuk (huda) yang
terbaik ialah petunjuk Muhammpstrongad saw. Sedangkan persoalan yang
terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan
ialah bidah, dan setiap bidah adalah sesat. (diketengahkan juga oleh Imam
Bukhori hadits dari Ibnu Masud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa
yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun
juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul
dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi
sedikit pun juga (Shohih Muslim VII hal.61). Selain hadits ini masih beredar
lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Ibnu Masud dan dari Abu Hurairah [ra].
23

Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah


pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; Pengertian
berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas
bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulullah saw., berhadap-hadapan dengan
bidah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan
petunjuk Rasulullah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan
kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan
(sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah,
sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bidah
.
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Quran Bab Sunan
hal.245 mengatakan: Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu
berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulullah saw. Berarti Jalan Rasulullah saw.
yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat
diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. Contoh firman Allah SWT.
dalam Surat Al-Fatah : 23 : Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu.
Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syariat sekalipun
berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak
berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada
keridhoan Allah SWT. Demikianlah menurut penjelasan Ar-Raghib AlAshfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidhaus Shiratul Mustaqim hal.76
mengata- kan: Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku
dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat
kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang
banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan
maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam
tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa
riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah,
dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga
mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulullah saw. dalam
menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu
persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak
diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orangorang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap
berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar
kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulullah saw.
dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan
orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat
mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw.
mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Mana yang
baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan
Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan
24

Sunnah Rasulullah saw., itulah yang kita namakan Bidah. Ini semua baru
dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang
sunnah dan mana yang bidah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang
dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulullah saw. termasuk
kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan
oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui
bagaimana cara Rasulullah saw. membiarkan atau menerima kenyataan
yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang
dibiarkan Rasulullah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun
yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh
beliau saw. Pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu
juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh
beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak
sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan
dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan,
bahwa sesuatu yang diminta oleh syara baik yang bersifat khusus maupun
umum, bukanlah bidah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak
diperintah- kan secara khusus oleh Rasulullah saw.!
Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang
menunjukkan bahwa Rasulullah saw. sering membenarkan prakarsa baik
(umpama amal perbuatan, dzikir, doa dan lain sebagainya) yang diamalkan
oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para
sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran
dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan
kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan
oleh Rasulullah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman
pada firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj:77: Hendaklah kalian berbuat
kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masingmasing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena
agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah
ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh
para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan
sunnah Rasulullah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan
dengan syariat. Jika menyalahi ketentuan syariat maka prakarsa itu tidak
dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan
syariat, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.,
dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bidah
menurut pengertian istilah syara. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah,
sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut Bidah hanya menurut
pengertian bahasa, karena apa saja yang baru diadakan disebut dengan
nama Bidah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bidah itu hanya satu saja dengan
berdalil sabda Rasulullah saw. Setiap bidah adalah sesat (Kullu bidatin
25

dholalah), serta tidak ada istilah bidah hasanah, wajib dan sebagainya.
Setiap amal yang dikategorikan sebagai bidah, maka hukumya haram,
karena bidah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerjakan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada haditshadits lain
(keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan
sikap Rasulullah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal
kebajikan tertentu (yang baru diadakan) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah
wafatnya Rasulullah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. Aisyah ra,
Khalifah Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalanamalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulullah saw. dan mereka
kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bidah (baca uraian
selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan
bahwa sebutan bidah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata
bidah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bidah
itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bidah menjadi
beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafii tentang pemahaman bidah ada dua riwayat yang
menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nuaim;

,
















.

Bidah itu ada dua macam, bidah terpuji dan bidah tercela. Bidah
yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bidah yang terpuji sedangkan
yang menyalahi sunnah, maka dialah bidah yang tercela
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafii :












,

.

Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara


baru yang menyalahi Al-Quran, Hadits, Atsar atau Ijma. Inilah bidah
dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung
kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan
tadi, maka bidah yang seperti ini tidaklah tercela.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bidah yang baik dan terpuji
dan ada pula bidah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan
ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafii itu. Bahkan banyak lagi
yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu
Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu
Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bidah itu adalah segala
praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah
muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski
namanya bidah, namun dari segi ketentuan hukum syariat,, hukumnya
tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada
bidah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
26

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai
berikut: Pada asalnya bidah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan
tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara bidah itu dipergunakan
untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela.
Yang tepat bahwa bidah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang
dianggap baik menurut syara, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk
diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara, maka dia menjadi jelek.
Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang
bidah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama
pakar berikut ini
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii Amalil
Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; AzZarqooni dalam Syarah al Muwattho ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam AlQowaaid ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori dalam Syarhul
Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan
masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang
tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidh itu dholalah/sesat
dan tidak mengakui adanya bidh hasanah/mahmudah, tetapi mereka
sendiri ada yang membagi bidh menjadi beberapa macam. Ada bidh
mukaffarah (bidh kufur), bidh muharramah (bidh haram) dan bidh
makruh (bidh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidh
mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syarit, atau
seolah-olah bidh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki
Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul
Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid
Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantaranya Imam Nawawi dalam
Syarah Muslim jilid 6/154pen.) bidah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bidah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan
agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu bagi
siapapun yang ingin memahami Quran dan Hadits dengan baik dan
benar.
2. Bidah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum
muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan
diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang
pada masa pertumbuhan Islam belum pernah dilakukan.
3. Bidah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang
bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Quran
dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bidah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi
warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan),
memakai kopyah, memakai pakaian batik dan lain sebagainya.
5. Bidah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil
umum hukum syariat dan tidak mengandung kemaslahatan yang
dibenarkan oleh syariat.

27

Bila semua bidah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau


haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang
belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulullah saw. semuanya
dholalah atau haram, misalnya :
a. Pengumpulan
ayat-ayat
Al-Quran,
penulisannya
serta
pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang
dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin
Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk
menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayatayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Quran
yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b. Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum
muslimin dalam shalat tarawih bermamum pada seorang imam
adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : Nimatul
Bidah Hadzihi/Bidah ini sungguh nikmat.
c. Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan
sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada
zaman Rasulullah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai
dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai
titel dibelakang namanya.
d. Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun
rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun
penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan
sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi
hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e. Tambahan adzan sebelum khotbah Jumat yang dilaksanakan pada
zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan
dengar pada waktu sholat Jumat baik di Indonesia, di masjid Haram
Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini
dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat
Islam.
f. Menata ayat-ayat Al-Quran dan memberi titik pada huruf-hurufnya,
memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubunya dan
tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat
Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g. Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah
SWT. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus
meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin
pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang
penggunaan pesaw.at-pesaw.at tempur, tank-tank raksasa, pelurupeluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bidah/masalah yang baru seperti
mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal,
memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan
sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering
mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah
28

dilakukan pada masa hidup- nya Rasulullah saw. serta para pendahulu kita
dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal
peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulullah saw. atau para
sahabat dan tabiin umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina
dan tenda-tenda yang pakai full ac sehingga orang tidak akan kepanasan,
nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina
atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain
sebagainya.
B. Bid'ah Hasanah dalam Pandangan Imam Syafi'i
Legalitas Bidah Hasanah tidak pernah menjadi permasalahan dan
perdebatan sebelum datang nya Wahabi, keberagaman penjelasan para
ulama tentang Bid'ah bukan karena perselisihan dalam memahami hakikat
Bidah, tapi karena kekayaan ilmu yang dimiliki oleh para ulama, tapi ketika
bahasa para ulama tersebut dipahami oleh kaum yang sempit pemahaman,
mulailah benih-benih perselisihan muncul dan alangkah menyesal ketika
kebodohan tersebut dijadikan senjata untuk membidah-sesatkan amalan
yang telah dilegalisasi oleh syara melalui dalil-dalil dhanni atau ijtihadi, dan
akhirnya kata Bid'ah menjadi senjata untuk memecah-belah ummat ini.
1. Bagaimana pandangan Al-Imam asy-Syafii tentang Bidah Hasanah ?
Imam Syafii Rahimahullah berkata :






:



:











Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua macam :Pertama:
Perkara baru yang menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma atau menyalahi Atsar,
perkara baru semacam ini adalah bidah yang sesat (Bidah Dholalah).
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi satu pun dari
al-Quran, Sunnah, maupun Ijma, maka perkara baru seperti ini tidak tercela
(Bidah Hasanah).
(Diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam
kitab Manaqib asy-Syafii Jilid 1- Halaman 469).
Pernyataan Imam Syafii di atas adalah kelanjutan dari pemahaman
Imam Syafii terhadap Hadits larangan Bidah, bukan malah dihantamkan
dengan Hadits larangan Bidah, maka dapat dipahami bahwa Imam Syafii
tidak otomatis menganggap setiap perkara baru dalam Agama itu Bidah
Dholalah, tapi setiap perkara baru ada dua kemungkinan yaitu apabila
bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka itu Bidah
Dholalah dan inilah Bidah yang dilarang dalam Hadits Setiap Bid'ah sesat.
Sementara bila perkara baru dalam Agama itu tidak bertentangan
dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma maka inilah Bidah Hasanah
dan ini tidak termasuk dalam Bidah yang terlarang dalam Hadits Kullu
Bidatin Dholalah.
Sangat jelas penjelasan Imam Syafii tentang legalitas Bidah Hasanah,
batasan Bidah Dholalah adalah bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah,
Atsar dan Ijma, selama sesuatu yang baru dalam Agama itu tidak
bertentangan dengan 4 batasan tersebut, maka itu bukan Bidah Dholalah
dan tidak termasuk menambah atau mengada-ngada syariat baru, karena
29

batasan Bidah Dholalah bukan pada tidak ada nash yang shorih, atau pada
adakah rasul dan para sahabat telah melakukan nya.
2. Memahami Perkataan Imam Syafii Dalam Pembagian Bidah



baru


dua


ada
Perkara
Maksudnya : semua perkara baru baik Ibadah atau bukan Ibadah, baik
Aqidah atau bukan Aqidah terbagi kepada dua macam, poin yang perlu di
ingat adalah Imam Syafii sedang memisah dan memilah antara dua macam
perkara baru yang tentu saja perkara tersebut tidak di masa Rasulullah dan
para sahabat.
=

salah satunya adalah perkara baru yang menyalahi Kitab (Al-Quran),


atau Sunnah (Hadits), atau Atsar, atau Ijma.
Maksudnya : yang pertama adalah perkara baru yang menyalahi AlQuran, As-Sunnah, Atsar dan Ijma, poin penting di sini adalah Yukhalifu
atau menyalahi jadi perkara baru itu sesat bukan karena semata-mata ia
baru ada dan belum ada di masa rasul dan sahabat, tapi karena menyalahi 4
perkara di atas.

adalah


maka perkara baru ini
Bidah
Maksudnya : perkara baru yang menyalahi Al-Quran atau menyalahi AsSunnah atau menyalahi Atsar atau menyalahi Ijma, maka inilah Bidah
Dholalah yang terlarang dalam Hadits larangan Bidah, Bidah Dholalah
bukan sesuatu yang tidak tersebut secara khusus dalam Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma, tapi harus diperiksa dulu apakah ia menyalahi
atau justru sesuai dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma.

yang kedua, perkara baru yang baik lagi tidak menyalahi bagi salah
satu dari ini (Al-Quran, As-Sunnah, Atsar, dan Ijma)
Maksudnya : yang kedua adalah perkara baru yang baik dan tidak
menyalahi satupun dari Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma,
bukan maksud baik itu hanya dianggap baik, tapi baik di sini adalah tidak
menyalahi 4 perkara tersaebut, dan poin penting di sini juga pada Tidak
menyalahi jadi perkara baru tidak otomatis Bidah dan Sesat, tapi ketika ia
menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut, maka otomatis sesat, dan bila
tidak menyalahi salah satu dari 4 perkara tersebut maka otomatis tidak
sesat, baik dinamai dengan Bidah Hasanah atau Bidah Lughawi atau
dengan bermacam nama lain nya.

tersebut

tidak
dan perkara baru
Maksudnya : perkara baru yang tidak menyalahi Al-Quran atau AsSunnah atau Atsar atau Ijma adalah Bidah yang tidak tercela atau di sebut
juga dengan Bidah Hasanah.

3. Bidah Hasanah itu Syari atau Lughawi ?


Ini bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan, tidak berpengaruh
apapun terhadap legalitas Bidah Hasanah, bahkan yang lebih bodoh lagi
adalah mempermasalahkan adakah Bid'ah Hasanah ?,ulama pun berbeda
pendapat dalam hal ini, tapi satu tujuan, ini bukan alasan untuk mengingkari
Bidah Hasanah dalam Agama, karena walaupun Bidah Hasanah itu Lughawi
30

atau Syari tetap saja maksudnya adalah perkara baru yang tidak
bertentangan dengan Al-Quran atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma,
permasalahan ini hanya karena berbeda dalam memaknai Bidah pada
Syara.
Maksud Bidah pada Syara menurut Imam Nawawi adalah :

mengadakan perkara baru yang belum ada di masa Rasulullah SAW,


dan ia terbagi kepada hasanah (baik), dan qabihah (buruk).
Atas definisi Bidah pada syara menurut Imam Nawawi di atas, maka
Bidah Hasanah adalah satu pembagian dari Bidah Syari, bukan Bidah
Lughawi, kerena sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah dinamakan
Bidah, tapi ada dua kemungkinan, bila sesuai dengan dalil-dalil syari maka
itu Bidah Hasanah, dan bila menyalahi dalil-dalil syari maka itu Bidah
Qabihah atau Bidah Dholalah.
Maksud Bidah pada Syara menurut Ibnu Rajab adalah :



perkara baru yang tidak ada dasar dalam syariat yang menunjuki atas
nya, dan adapun perkara baru yang ada dasar dari syara yang menunjuki
atas nya, maka ia bukan Bidah pada Syara, sekalipun Bidah pada Lughat.
Atas definisi Bidah pada Syara menurut Ibnu Rajab, maka Bidah
Hasanah adalah bukan pembagian dari Bidah pada Syara, tapi Bidah
Hasanah adalah Bidah Lughawi, karena maksud Bidah pada Syara yang
seperti ini tidak mungkin terbagi kepada Hasanah (baik), sesuatu yang tidak
ada dasar dari Syara otomatis Buruk atau sesat.
Maka sekalipun berbeda cara memahami Bidah pada Syara dan bereda
dalam mengkategorikan Bidah Hasanah, tapi tidak berpengaruh pada
legalitas Bidah Hasanah dalam Agama, ini bukan alasan mengingkari Bidah
Hasanah, apalagi menjadikan sebagi alasan untuk membidahkan amalanamalan yang tidak ada di masa para salafus sholeh, tapi ada dasar dari
syara dan tidak menyalahi dalil-dali syari.
Kebesaran nama Imam Syafii tidak sanggup mereka tantang
pernyataan
sikap
Imam
Syafii
secara
langsung,
tapi
mereka
mempermainkan pendapat Imam Syafii agar sesuai selera mereka dan
cocok dengan kesalahpahaman mereka, mereka beralasan bahwa Bidah
Hasanah yang dimaksud oleh Imam Syafii adalah Bidah Lughawi, untuk
tetap bisa membidah-sesatkan amalan seperti Tahlilan, Yasinan, Maulidan
dan sebagai nya.
Padahal alasan itu tidak ada hubungan dengan pembagian Bidah
Hasanah dari Imam Syafii, karena sekalipun kita maksudkan dengan Bidah
Lughawi, tetap saja yang dimaksud Bidah Hasanah oleh Imam Syafii adalah
perkara baru dalam Agama yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, AsSunnah, Atsar, dan Ijma, inilah yang perlu digarisbawahi, bahwa Bidah
Hasanah adalah sesuatu yang baru (tidak ada di masa rasulullah dan para
sahabat) tetapi tidak bertentangan dengan Al-Quran, As-Sunnah, Atsar dan
Ijma, biarpun tidak ada dalil yang shorih.
C. Bid'ah Menurut Aswaja
31

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama dalam


mendefinisikan bidah. Perbedaan cara pendekatan para ulama disebabkan,
apakah kata bidah selalu dikonotasikan dengan kesesatan, atau tergantung
dari tercakup dan tidaknya dalam ajaran Islam. Sebab menurut bahasa, arti
bidah adalah: sesuatu yang asing, tidak dikenal pada zaman Rasulullah
SAW. Pada intinya pengertian bidah yang sesat secara sederhana adalah:
segala bentuk perbuatan atau keyakinan yang bukan bagian dari ajaran
Islam, dikesankan seolah-olah bagian dari ajaran Islam, seperti membaca
ayat-ayat al-Quran atau shalawat disertai alat-alat musik yang diharamkan,
keyakinan kaum Mutazilah, Qodariyah, Syiah, termasuk pula paham-paham
Liberal yang marak akhir-akhir ini, dan lain-lain. Imam Izzuddin bin Abdus
Salam menyatakan: Apabila pengertian bidah ditinjau dari segi bahasa,
maka dapat terbagi menjadi lima hukum. A. Haram, seperti keyakinan kaum
Qodariyah, Mutazilah. B. Makruh, seperti membuat lukisan-lukisan dalam
masjid. C. Wajib, seperti belajar ilmu tata bahasa arab (nahwu). D. Sunnah,
seperti membangun pesantren, madrasah. E. Mubah, seperti jabat tangan
setelah shalat. Walhasil, kata Imam Izzuddin. Segala sesuatu kegiatan
keagamaan yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, hukumnya
tergantung dari tercakupnya pada salah satu kaidah hukum Islam, haram,
makruh, wajib, sunnah atau mubah.
Kelompok Wahabi dan yang semisal sering mengangkat Hadits berikut
ini sebagai dasar atas kekeliruan amalan Ahlussunnah wal jamaah:

:
.
Dari Aisyah RA, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tiada perintah kami
atasnya, maka amal itu ditolak HR. Muslim.
Hadits yang semisal ini sering dijadikan dalil untuk melarang semua
bentuk perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi SAW.
Padahal yang dimaksud tidaklah seperti itu. Para ulama menyatakan, bahwa
yang dilarang dalam Hadits itu adalah membuat-buat hukum baru yang tidak
pernah dijelaskan dalam al-Quran ataupun Hadits, baik secara eksplisit
(jelas) atau implisit (isyarat), kemudian diyakini sebagai suatu bentuk ibadah
murni kepada Allah SWT seolah-olah bagian dari ajaran agama. Karena itu
ulama membuat beberapa kriteria dalam persoalan bidah ini.
Pertama, jika perbuatan itu memiliki dasar yang kuat dalil-dalil syari,
baik yang parsial (juzi) atau umum, maka bukan tergolong bidah. Bila tidak
ada dalill yang dapat dibuat sandaran, itulah bidah yang dilarang.
Kedua, memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama salaf (ulama
pada abad l, ll dan lll H.), jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki
landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan
itu bukan tergolong bidah.
Ketiga, dengan jalan qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan
beberapa amaliyah yang telah ada hukumnya dari nash al-Quran dan
Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu
tergolong bidah muharromah. Apabila memiliki kemiripan dengan yang
wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
32

Hadits lain yang sering dijadikan dalil atas sesatnya semua perbuatan
yang tidak dikenal pada masa Rasulluah SAW adalah:

: ,
.

Dari Abdullah bin Masud. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:


Ingatlah, berhati-hatilah kalian, jangan sampai membuat hal-hal baru.
Karena perkara yang paling jelek adalah membuat hal baru . dan setiap
perbuatan yang baru itu adalah bidah. Dan semua bidah itu sesat. HR.
Ibnu Majah.
Dalam Hadits ini Rasulullah SAW menggunakan kalimat kullu (semua),
yang secara tekstual seolah-olah diartikan semuanya atau seluruhnya.
Sebenarnya kalimat kullu tidak selamanya berarti keseluruhan atau semua,
adakalanya berarti sebagian. Seperti dalam ayat al-Quan:

Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. Al-Anbiya:30.
Meskipun ayat ini menggunakan kalimat kullu, namun tidak berarti
semua benda yang ada dunia ini diciptakan dari air. Buktinya ayat al-Quran
yang lain berikut ini:

Dan Allah SWT menciptakan jin dari percikan api yang menyala. QS.
Ar-Rahman:15.
Maka demikian pula dengan Hadits diatas. Walaupun menggunakan
kalimat kullu, bukan berarti seluruh yang tidak ada pada masa Nabi SAW
dilarang dan sesat. Ini dibuktikan, karena ternyata para sahabat juga
melaksanakan perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW masih
hidup. Misalnya usaha menghimpun dan membukukan al-Quran,
mengumpulkan jamaah tarawih menjadi satu didalam masjid, dan lain-lain.
Nah, kalau kalimat kullu diatas diartikan keseluruhan, yang berarti semua
hal-hal yang baru itu sesat dan berdosa, berarti para sahabat telah
melakukan kesesatan dan perbuatan dosa secara kolektif (bersama).
Padahal, sejarah telah membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang
pilihan yang tidak diragukan lagi keimanan dan ketaqwaannya. Bahkan
diantara mereka sudah dijamin sebagai penghuni surga. Maka, sungguh
tidak dapat diterima akal, kalau para sahabat Nabi SAW yang begitu agung
tidak mengetahuinya, apalagi tidak mengindahkan larangan Rasulullah SAW.
III
IJTIHAD, MADZHAB, TAQLID, DAN TALFIQ
A.

IJTIHAD
Ijtihad telah dilakukan pada masa Rasululah SAW. Beliau pernah
mengutus Muadz bin Jabal berangkat ke Yaman untuk mendakwahkan Islam.
Saat itu -dengan maksud menguji- beliau bertanya kepada Muadz tentang
bagaimana kelak dia menggali hukum untuk disampaikan kepada umat.

33

:







- -

.

.




:

:

.- -
.


:

:




.
.


:
:










:





Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal bahwa ketika Rasulullah SAW
mengutusnya ke Yaman beliau bertanya, Apabila muncul suatu perkara,
bagaimana engkau memutuskan hukumnya? Muadz menjawab, Aku
putuskan dengan berdasarkan Kitab Allah. Beliau bertanya, Bagaimana
jika engkau tidak mendapatkannya dari Kitab Allah? Muadz menjawab,
Maka aku putuskan berdasarkan Sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi,
Bagaimana jika engkau tidak mendapatkan keputusannya dalam Sunnah
Rasulullah? Muadz menjawab, Aku berijtihad dengan menggunakan
pendapatku dan aku tidak akan mundur. Mendengar itu Rasulullah
menepuk dada Muadz seraya berkata, Segala puji bagi Allah yang telah
memberi taufik kepada utusan Rusulullah sehingga membuat ridha
Rasulullah.
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya bahkan disunnatkannya
berijtihad. Ada banyak ayat Al Quran dan hadits yang menunjukkan
pentingnya ijtihad.
Ijtihad juga dipandang sebagai suatu tindakan terpuji, apapun hasilnya.
Hal ini ditegaskan dalam hadits :

Dari Amr bin Al Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
Apabila saat hakim memutuskan hukum dia berijtihad, kemudian hasilnya
benar, maka dia mendapat pahala dua. Dan apabila hasilnya salah maka dia
mendapat pahala satu.
Hadits ini secara jelas menyatakan bahwa hasil ijtihad mempunyai dua
kemungkinan, yaitu benar dan salah. Dan keduanya sama-sama
mendapatkan pahala dari Allah.
Selanjutnya perbedaan yang muncul dari ijtihad para mujtahidin adalah
merupakan suatu rahmat dan bukan sebagai sebab munculnya pertentangan
dan perpecahan umat Islam.
KH Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa hadits di atas menggunakan
kata Hakim, yang artinya orang yang mengerti hukum, dan bukan
menggunakan kata Rajul yang artinya orang secara umum. Ini artinya
adalah bahwa yang berhak melakukan ijtihad adalah orang yang mengerti
hukum.
Amat disayangkan apabila ada seseorang memahami Al Quran dan
hadits dari terjemahan -karena tidak menguasai bahasa Arab dan ilmu
pendukung lainnya dengan baik- kemudian mengklaim mampu melakukan
ijtihad. Padahal sebenarnya dia hanya melakukan taqlid buta terhadap
penerjemah buku-buku yang dipedomaninya itu lantaran dia sendiri tidak
mampu mengkritisi dan menilai benar-salahnya hasil terjemahan tersebut.
Pengertian ijtihad yang kami maksud di sini tidak lain adalah proses
penggalian hukum syariat dari dalil-dalilnya yang rinci dalam Al Quran,
34

hadits, Ijma, Qiyas dan dalil lainnya. Imam As Suyuthi menyatakan, Ijtihad
adalah mengerahkan kemampuan untuk menghasilkan hukum.
Oleh karena itu tidak semua orang mampu melakukan ijtihad, karena
harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan menggali hukum dari Al Quran, yaitu
memahami ayat-ayat terkait hukum, diantaranya mengetahui sebab
turunnya ayat (Asbabun Nuzul), Nasikh-Mansukh, Am-Khash, MujmalMubayyan, Muhkan-Mutasyabih dan lain sebagainya.
2. Mengetahui secara mendalam hadits-hadits, terutama yang berkaitan
dengan hukum, latar belakang munculnya hadits (Sababul Wurud) dan
pengetahuan tentang para perawi (Ilmu Rijal)
3. Mengetahui mana hukum yang telah menjadi Ijma dan mana yang
diperselisihkan oleh para ulama
4. Menguasai Qiyas dan mampu menerapkannya secara benar dalam
menelurkan hukum
5. Menguasai bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya secara detail, seperti
Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain sebagainya, disamping kaiah-kaidah
Ushul Fiqh
6. Memahami tujuan dasar syariat Islam secara hakiki
7. Menguasai metodologi yang representative dalam menggali hukum
8. Memiliki ketulusan hati dan akidah yang lurus dengan tidak berambisi
mencari popularitas, kedudukan maupun materi dunia. Niatnya sematamata demi Allah SWT dan mencari solusi hukum bagi kemaslahatan
umat manusia.
Melihat persyaratan-persyaratan di atas tentu sulit menemukan orang
yang memenuhi seluruhnya. Masing-masing orang tentu memiliki kelebihan
dan kekurangan. Ada yang hanya memenuhi sebagian, dan ada yang
memenuhi lebih lengkap. Oleh karena itu para mujtahid terbagi dalam
beberapa tingkatan sebagai berikut:
1. Mujtahid Mutlaq atau Mustaqil (Mandiri) yaitu ulama yang melakukan
ijtihad dan merumuskan sendiri kaidah-kaidah penggalian hukumnya.
Termasuk dalam tingkatan ini adalah keempat Imam Madzhab, yaitu
Abu Hanifah (80-150 H), Malik bin Anas (93-179 H), Imam Syafii (1502104 H) dan Ahmad bin Hambal (164-241 H).
1. Mujtahid Muntasib (bernisbat pada Mujtahid Mutlaq), yaitu ulama yang
mengikuti metode imam panutannya dalam menggali hukum berbagai
bidang. Misalnya adalah Al Muzaniy dan Al Buwaithiy di lingkungan
madzhab Syafii dan Muhammad bin Al Hasan dan Abu Yusuf di
lingkungan madzhab Hanafi. Mereka juga disebut sebagai Mujtahid
Mutlaq (Tidak Mandiri).
2. Mujtahid Muqayyad (Terbatas), yaitu para ulama yang menggali hukum
pada kasus-kasus yang belum diuraikan oleh imam panutannya.
Misalnya adalah Al Karkhiy, As Sarkhasiy, Al Bazdawiy, Abu Ishaq Asy
Syiraziy dan lain sebagainya.
3. Mujtahid Madzhab atau Fatwa, yaitu ulama yang menerapkan metode
penggalian hukum imam panutannya dan hanya memilah-milah mana
yang Shahih dan mana yang Dhaif dari pendapat imam panutannya itu.

35

Misalnya adalah Al Ghazali dan Al Juwainiy di lingkungan madzhab


Syafii.
4. Mujtahid Murajjih, yaitu ulama yang memilah-milah pendapatpendapat suatu madzhab dengan mengambil mana yang paling unggul
dan sesuai dengan tuntutan kemashlahatan umat. Misalnya adalah Ar
Rafii dan An Nawawi di lingkungan madzhab Syafii.
Permasalahan lain adalah bahwa ada sementara orang yang
berpendapat bahwa saat ini pintu ijtihad telah tertutup. Menanggapi
pendapat itu kita perlu merujuk kembali bahwa ijtihad adalah proses
penggalian hukum dari Al Quran, Hadits dan dalil lainnya. Karena itu tentu
pintu ijtihad masih terus terbuka. Apalagi perkembangan jaman demikian
pesat, sehingga para mujtahid membutuhkan ilmu-ilmu pendamping lainnya
dalam memecahkan problematika kontemporer, hingga kita yakin bahwa
pada setiap jaman terdapat seorang mujtahid yang mampu berijtihad
memecahkan problematika hukum umat. Suatu jaman tidak pernah kosong
dari adanya mujtahid, kecuali jika Kiamat telah tiba.
B.

MADZHAB
Dari segi bahasa Madzhab artinya adalah jalan. Sedangkan menurut
istilah,
madzhab
adalah
sekumpulan
hukum
permasalahan furuiyah (cabang) yang ditetapkan dan dipilih oleh imam
Madzhab dan berbeda dengan imam lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, madzhab tidak terbentukdari hukumhukum pasti (qathiy) yang telah disepakati para ulama, misalnya wajibnya
shalat 5 waktu, keharaman berzina dan lain sebagainya. Madzhab muncul
dan terbentuk dari kasus-kasus dimana mengenainya para ulama berbeda
pendapat, lalu dijadikan pegangan para pengikut masing-masing. Jadi,
madzhab adalah hasil kajian komprehensif yang dilakukan oleh para ulama
untuk mengetahui hukum Tuhan dalam Al Quran, hadits dan dalil lainnya.
Semula madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas pada empat
madzhab saja. Beberapa ulama juga memiliki madzhab, misalnya Sufyan Ats
Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Rahawaih, Dawud Adz Dzahiri dan Al
Auzai. Lalu mengapa madzhab-madzhab yang diamalkan oleh para ulama
Ahlus Sunnah wal Jamaah terbatas hanya pada madzhab empat saja?
Sebenarnya hal itu lebih disebabkan oleh peranan murid-murid yang
membukukan dengan baik madzhab yang ditetapkan oleh imam mereka,
hingga faliditas dan ke-mutawatiran-nya terjamin. Disamping itu, kesahihan
madzhab juga dinilai dari sisi metode pengalian hukumnya, apakah dapat
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah ataukah tidak.
Imam Sayyid Alawi As Saqqaf menjelaskan bahwa murid-murid Imam
Syafii menegaskan bahwa tidak boleh hukumnya bertaklid kepada selain 4
imam. Alasan mereka, karena tidak ada jaminan bahwa suatu pendapat
memang benar-benar merupakan pendapat imam yang bersangkutan, akibat
tiadanya sanad yang menjamin terhindarnya penyimpangan dan pemalsuan.
Berbeda halnya dengan 4 madzhab tersebut, dimana para imamnya
mengerahkan tenaga dalam menerbitkan pendapat dan benar atau
tidaknya pendapat itu darinya. Karena itu para pengikutnya merasa aman

36

dari adanya penyimpangan dan pemalsuan serta mengetahui mana


pendapat yang Shahih dan mana yang Dhaif.
Watu terus berjalan dan probematika kehidupan berkembang dengan
pesat, hingga para ulama pesantren secara terus-menerus melakukan
usaha-usaha mengembangkan cara bermadzhab. Perubahanpun menjadi hal
yang tak terhindarkan agar fiqh dapat terus memberikan pemecahan
masalah dan kesulitan dalam masyarakat. Karena itu dibutuhkan pendekatan
baru demi mewujudkan prinsip bahwa Islam selalu sesuai dengan
perkembangan waktu dan tempat. Diantara usaha para ulama tersebut
adalah menggunakan pendekatan Fiqh Sosial sebagai suatu usaha untuk
mengembangkan cara bermadzhab. Dari yang semula bermadzhab
secara Qouli(tekstual) kepada bermadzhab secara Manhaji (metodologis)
dalam Fiqh, sebagaimana yang digagas oleh Dr. KH Muhammad Ahmad
Sahal Mahfudh.
Sesuai hasil halaqah yang diselenggarakan Pusat Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat (P3M) terdapat beberapa karakteristik konkrit
dalam Fiqh Sosial tersebut. Diantara karakteristik itu adalah:
a. menafsirkan teks-teks fiqh secara kontekstual,
b. meningkatkan cara bermadzab yang semula tekstual menjadi
bemadzhab secara Manhaji(metodologis),
c. melakukan pemilahan ajaran agama secara mendasar dengan
membedakan mana ajaran pokok (Ushuli) dan mana ajaran cabang
(Furui)
d. dan
mengenalkan
metodologi
filosofis
terutama
dalam
permasalahan sosial-budaya.
Usaha-usaha tersebut hanya terbatas untuk mengatasi masalahmasalah sosial (hablun min an Nas) dan tidak pada hubungan antara hamba
dengan Tuhan (hablun min Allah), sebab bidang yang terakhir ini menuntut
totalitas ketundukan dan kepasrahan hamba. As Syathibi menyampaikan
kaidah, Bagi mukallaf, dalil pokok dalam ibadah adalah penghambaan dan
tanpa mempertimbangkan maksud dan tujuan. Sedangkan dalil pokok dari
adat kebiasaan adalah mempertimbangkan maksud dan tujuan.
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan beberapa hal:
1. Madzhab adalah suatu jalan pemikiran yang ditempuh oleh para
mujtahid karena adanya perbedaan pendapat antar mereka
2. Umat Islam tidak terikat pada madzhab tertentu saja. Mereka
memiliki kebebasan penuh dalam memilih madzhab yang dinilai
cocok
3. Madzhab-madzhab yang berhak diikuti terbatas hanya pada 4
madzhab, yaitu Hanafi, Maliki,Syafii dan Hambali
4. Umat Islam harus mengembangkan cara bermadzhab yang dapat
menjamin kemaslahatan masyarakat terutama dalam masalah
sosial.
C.

37

TAQLID

Taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang dengan tanpa bisa


membuktikan
benar-salahnya pendapat itu, meskipun mengetahui
sepenuhnya bahwa bertaklid padanya boleh.
Hukum Taqlid adalah haram bagi mujtahid dan wajib bagi selain
mujtahid. As Suyuthi mengatakan, Manusia itu ada yang mujtahid dan ada
yang tidak. Yang tidak mujtahid wajib baginya bertaqlid, baik dia orang
awam maupun orang alim/pandai. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika


kamu tidak mengetahui
Jadi kewajiban bertaqlid tidak hanya berlaku bagi orang awam saja,
tetapi juga bagi orang alim yang mengetahui dalil, selama dia belum
mencapai tingkat mujtahid, karena kemampuannya masih sebatas
mengetahui dalil dan tidak sampai mengaplikasikan metodologi dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan penggalian hukum. Jadi orang alimpun
selama belum mencapai tingkat berijtihad sama saja dengan orang awam
dalam kewajiban bertaqlid.[14]
Jadi, tidak semua taqlid itu tercela. Yang tercela hanyalah taqlid buta
dimana seseorang menerima pendapat begitu saja tanpa memahami dan
berusaha mengetahui dalilnya. Sedangkan mengenai taqlidnya orang alim
yang belum mencapai tingkat ijtihad, maka hal itu adalah terpuji, bahkan
wajib. Dan itu lebih baik daripada terus berijtihad padahal dirinya sendiri
tidak mampu.
Taqlid adalah hal pasti dan tak terhindarkan dilakukan oleh setiap umat
Islam, setidaknya ketika mulai mengamalkan ajaran-ajaran Islam, misalnya
meletakkan kedua tangan di dada pada waktu shalat dan mengangkat kedua
tangan ketika Takbiratul Ihram. Dia tetap melakukan hal itu meskipun belum
mengetahui benar-salah dalil yang mendasarinya. Lalu ketika dia
mengetahui argumentasi dan dalil pada waktu kemudian maka saat itu
berarti dia telah keluar dari lingkaran taqlid buta. Meskipun demikian tetap
saja dia seorang yang bertaqlid karena masih belum mengetahui dalil secara
rinci, paling tidak bagaimana cara menggali hukum. Masih saja dia mengikuti
metode dari seorang imam mujtahid.
Pada kenyataannya bertaqlid banyak terjadi dalam berbagai bidang
kehidupan. Misalnya ketika seorang dokter menuliskan resep bagi pasien,
maka selanjutnya pasien itu merujuk ke apotek, bukannya meracik sendiri
obat-obatan itu. Cukup baginya membeli produk dari suatu pabrik obat yang
ia anggap terjamin. Demikian juga guru mata pelajaran Geografi ketika
menjelaskan kepada murid-muridnya bahwa bumi itu bulat. Dia hanya
mengikuti pandangan Galileo Galilei dan Thomas Copernicus, bukannya
mengkaji dan menelitinya sendiri secara langsung.
Mungkin muncul pertanyaan, bagaimana dengan pernyataan Imam Abu
Dawud yang meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Janganlah
engkau bertaqlid kepadaku, juga kepada Malik, Asy Syafii, Al Auzai maupun
Ats Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.
Mari kita cermati sungguh-sungguh pernyataan di atas. Kepada
siapakah Imam Ahmad berkata. Dia berkata kepada Imam Abu Dawud,
penyusun kitab Sunan Abi Dawud yang menghimpun 5.284 hadits berikut
38

sanadnya, bukan kepada orang awam. Maka tidak aneh jika Imam Ahmad
mengatakan demikian kepada Abu Dawud, yang memiliki kemampuan
berijtihad.
Mengharuskan orang awam yang merupakan mayoritas umat Islamuntuk berijtihad sendiri-sendiri sama dengan menuntut hal di luar
kemampuan mereka. Dan itu mustahil, sebab minat masing-masing mereka
pada satu bidang ilmu berbeda satu sama lain. Sedangkan yang menekuni
ilmu-ilmu agama jumlahnya relatif sedikit. Jadi bagi yang tidak
berkesempatan mengkaji ilmu-ilmu agama wajib baginya bertanya dan
bertaqlid kepada yang menekuninya.
Al Quran memerintahkan agar ada sekelompok orang dari umat Islam
yang berangkat memperdalam agama dan ilmu syariat agar kelak mereka
dapat memberi peringatan dan menyampaikan fatwa yang benar. Dan itu
tidak ditujukan kepada semua umat Islam.

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya


(ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya
Bahkan sekalipun para Sahabat Rasulullah dianugerahi kecerdasan dan
daya ingat yang kuat serta tabiat yang baik, hasilnya mereka berbeda-beda
dalam menerima ilmu-ilmu syariat. Ada yang menjadi mujtahid dan
menyampaikan fatwa dan ada yang bertaqlid. Rasulullah SAW mengutus
beberapa orang Sahabat berangkat ke beberapa daerah untuk menyebarkan
Islam dan menangani berbagai masalah, baik dalam bidang peibadatan,
muamalah maupun masalah sosial lainnya. Merekapun kemudian
menerangkan keharaman dan kehalalan suatu perkara, dan kemudian fatwa
mereka itu dikuti oleh umat.
Sedangkan mengenai istilah Ittiba ada sementara ulama yang
membedakannya dengan Taqlid. Namun sebenarnya tidak ada perbedaan
antara keduanya. Keduanya memiliki arti dan maksud yang sama.
D.

TALFIQ
Menurut bahasa Talfiq artinya melipat atau merangkap. Sedangkan
menurut syariat, Talfiq adalah melakukan suatu ibadah atau muamalah
secara rangkap yaitu dengan menyomot pendapat-pendapat dari madzhab
yang berlainan sehingga muncul suatu praktik yang keluar dari madzhabmadzhab itu.
Contoh:
1. Seseorang melakukan wudlu dengan mengikuti madzhabSyafii, yaitu
dengan mengusap sebagian kepala (kurang dari ), kemudian
menyentuh wanita lain (ajnabiyah). Kemudian dia melaksanakan shalat
dengan mengikuti madzhab Abu Hanifah yang berpendapat bahwa
bersentuhan dengan wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudlu. Maka
praktek demikian disebut Talfiq, sebab dia menggabungkan pendapat
Syafii dan pendapat Abu Hanifah dalam masalah wudlu, dimana
39

akhirnya yang dilakukannya itu keluar dari kedua madzhab itu. Di satu
sisi bersentuhan kulit dengan ajnabiyah menurut Syafii membatalkan
wudhu dan di sisi lain menurut Abu Hanifah berwudlu tidak sah hanya
dengan mengusap sebagian kepala.
2. Seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepala atau dengan
tanpa menggosok-gosok anggota wudlu karena mengikuti madzhab
Syafii. kemudian dia menyentuh anjing dengan mengikuti madzhab
Maliki yang berpendapat bahwa anjing adalah binatang suci. Maka
shalat yang dilakukannya tidak sah dalam pandangan kedua madzhab
tersebut, sebab di satu sisi menurut Maliki berwudlu tidak sah tanpa
mengusap seluruh kepala serta menggosok-gosok anggota wudlu, dan
di
sisi
lain
menurut
Syafii
anjing
adalah
termasuk
najis Mughalladhah(berat). Jadi apabila dia melaksanakan shalat maka
shalatnya tidak sah dalam pandangan madzhab-madzhab tersebut.
Talfiq sebagaimana kami sebutkan haram dilakukan. Dan tujuan
pelarangan ini adalah agar seseorang tidak mencari yang serba mudah dan
mempermainkan hukum.
Demi menghindarkan talfiq yang terlarang itu dalam mencari solusi
hukum perlu dilakukan pemilihan hukum-hukum dari madzhab tertentu dari
keempat madzhab, dimana madzhab tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi keindonesiaan. Misalnya dengan memilih madzhab Syafii dalam
bidang shalat mulai dari syarat, rukun hingga yang membatalkan- dan
memilih
madzhab
Abu
Hanifah
dalam
masalah-masalah
sosial
kemayarakatan. Dengan demikian disamping Talfiq dapat dihindarkanhukum-hukum yang telah dirumuskan para ulama madzhab itu dapat
diterapkan dan tidak hanya tertulis dalam lembar-lembar kitab saja
IV
PUJIAN SETELAH ADZAN
Sejak zaman hadulu, di sebagian masjid atau mushalla di Jawa ada
kebiasan yang tidak dilakukan di masjid atau mushalla lain, yaitu setelah
adzan shalat maktubah dibacakan pujian berupa dzikir, doa, shalawat nabi
atau syair-syair yang islami dengan suara keras. Beberapa menit kemudian
baru iqamat. Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan bahkan dipertentangkan
apakah kebiasaan tersebut mempunyai rujukan dalil syari? Dan mengapa
tidak semua kaum muslimin di negeri ini melakukan kebiasaan tersebtu?
Dengan munculnya pertanyaan seperti itu warga Nahdliyin diberi pengertian
untuk menjawab : Apa pujia itu? Bagaimana historisnya? Bagaimana tinjauan
hukum syariat tentang pujian? Dan apa fungsinya?
A. Pengertian Pujian dan Historisnya
Pujian bersal dari akar kata puji, kemudian diberi akhiran an yang
artinya : pengakuan dan penghargaan dengan tulus atas kebaikan/
keunggulan sesuatu. Yang dimaksud dengan pujian di sini ialah serangkaian
kata baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Daerah yang berbentuk
syair berupa kalimat-kalimat yang isinya mengagungkan asma Allah, dzikir,

40

doa, shalawat, seruan atau nasehat yang dibaca pada saat di antara adzan
dan iqamat.
Secara historis, pujian tersebut berasal dari pola dakwah para wali
songo, yakni membuat daya tarik bagi orang-orang di sekitar masjid yang
belum mengenal ajaran shalat. Al-hamdulillah dengan dilantunkannya pujian,
tembang-tembang/syair
islami
seadanya
pada
saat
itu
secara
berangsur/dikit demi sedikit, sebagian dari mereka mau berdatangan
mengikuti shalat berjamaah di masjid.
B. Pujian Ditinjau dari Aspek Syariat
Secara tekstual, memang tidak ada dalil syari yang sharih (jawa :
ceplos) mengenai bacaaan pujian setelah di kumandangkannya adzan, yang
ada dalilnya adalah membaca doa antara adzan dan iqamat. Sabda Nabi
SAW :

Artinya :
Doa yang dibaca antara adzan dan iqamat itu mustajab (dikabulkan
oleh Allah). Maka berdoalah kamu sekalian. (HR. Abu Yala)
Kemudian bagaimana tinjauan syariat tentang hukum bacaan pujian di
masjid atau mushalla seperti sekarang ini? Perlu diketahui, bahwa membaca
dzikir dan syair di masjid atau mushalla merupakan suatu hal yang tidak
dilarng oleh agama. Pada zaman Rasulullah SAW. para sahabat juga
membaca syair di masjid. Diriwayatkan dalam sebuat hadits :








:





.
.

Artinya :
Dari Said bin Musayyab ia berkata : suatu ketika Umar berjalan
bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di
masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab : aku melantunkan
syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia dari pada
kamu, kemudian dia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan
perkataannya, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan
ruh al-qudus. Abu Hurairah menjawab : Ya Allah, benar (aku telah
mendengarnya). (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Sehubungan dengan riwayat ini syaikh Ismail Az-Zain dalam kitabnya
Irsyadul Mukminin menjelaskan : Boleh melantunkan syair yang berisi pujipujian, nasehat, pelajaran tata karama dan ilmu yang bermanfaat di dalam
masjid.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub hal 179
: juga menjelaskan

.










Artinya :

41

Adapun membaca shalawat dan salam atas Nabi SAW. setelah adzan
(jawa : Pujian) para masyayikh menjelaskan bahwa hal itu hukumnya sunat.
Dan seorang muslim tidak ragu bahwa membaca shalawat dan salam itu
termasuk salah satu cabang ibadah yang sangat besar. Adapun
membacanya dengan suara keras dan di atas menara itu pun tidak
menyebabkan keluar dari hukum sunat.
C. Pujian Ditinjau dari Aspek Selain Syariat
Apa yang dilakukan para wali di tanah jawa mengenai bacaaan pujian
ternyata mempunyai banyak fungsi. Fungsi-fungsi itu antara lain :
1. Dari sisi syiar dan penanaman akidah.
Karena di dalam bacaan pujian ini terkandung dzikir, seruan dan
nasehat, maka hal itu menjadi sebuah syiar dinul islam dan strategi yang
jitu untuk menyebarkan ajaran Islam dan pengamalannya di tengah-tengah
masyarakat.
2. Dari aspek psikologi (kejiwaan).
Lantunan syair yang indah itu dapat menyebabkan kesejukan jiwa
seseorang, menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Amaliyah
berupa bacaaan pujian tersebut dapat menjadi semacam persiapan untuk
masuk ke tujuan inti, yakni shalat maktubah lima waktu, mengahadap
kepada Allah yang Maha Satu.
3. Ada lagi manfaat lain, yaitu :
Untuk mengobati rasa jemu sambil menunggu pelaksanaan
shalat berjamaah;
Mencegah para santri agar tidak besenda gurau yang
mengakibatkan gaduhnya suasana;
Mengkonsentrasikan para jamaah orang dewasa agar tidak
membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu sahalat
jamaah dilaksanakan.
Dengan beberapa alasan sebagaimana tersebut di atas, maka membaca
pujian sebelum pelaksanaan shalat jamaah di masjid atau mushalla adalah
boleh dan termasuk amaliyah yang baik, asalkan dengan memodifikasi
pelaksanaannya, sehingga tidak mengganggu orang yang sedang shalat.
Memang soal terganggu atau tidaknya seseorang itu terkait pada kebiasaan
setempat. Modifikasi tersebut misalnya : dengan cara membaca bersamasama dengan irama yang syahdu, dan sebelum imam hadir di tempat shalat
jamaah.
Dalam berdakwah para ulama yang bijaksana selalu berusaha
menggunakan strategi agar dakwahnya dapat menyentuh hati. Diantara
startegi yang digunakan adalah membaca syair-syair berisi pujian, dzikir dan
nasehat-nasehat agama sebelum pelaksanaan shalat jamaah. Hal itu
dimaksudkan untuk membangkitkan semangat dan menyentuh perasaan
melalui keindahan syair-syair yang dikumandangkan, sehingga orang merasa
nyaman berada di masjid dan tidak berbicara yang tanpa guna.
Diantara dalil yang bisa digunakan adalah apa yang dilakukan penyair
Hassan bin Tsabit yang menyenandungkan syair-syair pujiannya di dalam
masjid di hadapan Rasulullah SAW dan para Sahabat.

42

Dari Said bin Musyayyab, dia berkata, Pada suatu saat Umar berjalan
bertemu Hasan bin Tsabit yang sedang melantunkan sebuah syair indah di
masjid, lalu Umar menegurnya, namun Hasan menjawab, Aku telah
melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seseorang yang lebih
mulia daripada kamu. Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hasan
melanjutkan perkataannya, Bukankah kamu telah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, jawablah dariku, Ya Allah, mudah-mudahan Engkau
menguatkannya dengan Ruh Al Qudus? Umar menjawab, Ya Allah, benar
(aku sudah mendengarnya).
Jadi bila membaca syair seperti tersebut dengan suara keras di masjid
boleh, maka membaca dzikir tentu lebih boleh.
Akan tetapi membaca dzikir dengan suara keras tersebut diperbolehkan
selama tidak menggangu orang yang sedang shalat, apalagi shalat fardlu,
sebagaimana disebutkan hadits:

Janganlah orang yang membaca Al Quran dari kalian mengganggu


orang yang shalat dari kalian.
Kalau semua masalah tentang pujian sudah demikian jelasnya, maka
tidak perlu ada label BIDAH DLALALAH dari pihak yang tidak
menyetujuinya.
V

DIBAAN DAN SHALAWATAN


A. Pengertian Dibaan
Sebagaimana kita ketahui, bahwa para ulama salaf banyak sekali yang
menulis kitab, buku atau tulisan singkat yang berisi bacaan shalawat. Hal itu
dilakukan untuk mewujudkan sebuah bukti kecintaan mereka kepada Nabi
yang disanjungnya. Bacaan shalawat yang berbentuk buku atau kitab antara
lain : shalawat Dala'il, shalawat Bakriyah, shalawat Diba'iyyah dan lain-lain.
Sedangkan yg berbentuk tulisan singkat antara lain shalawat Nariyah,
shalawat Rajabiyah, shalawat Munjiyat, shalawat Fatih, shalawatSaadah.
shalawat Badriyah dan lain- lain.
Dari sekian banyak kitab yang berisi bacaan shalawat tersebut ada yang
paling terkenal dan sering dibaca yang diadakan oleh warga Nahdliyyin,
antara lain adalah shalawat Dibaiyyah.
Jadi pengertian Dibaan adalah : membaca kitab yang berisi bacaan
shalawat dan riwayat hidup Nabi secara singkat yang ditulis oleh Syaikh
Abdurrahman ad-Dibai.
B. Hukum Membaca Diba'iyyah dan Shalawatan

43

Membaca shalawat Dibaiyyah atau shalawat yang lain menurut


pendapat yang tersohor di kalangan Jumhurul Ulama adalah sunnah
Muakkadah. Kesunatan membaca shalawat ini didasarkan pada beberapa
dalil, antara lain:
a. Firman Allah SWT.

Artinya :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk
Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
sampaikanlan salatu penghormatan kepadanya. (QS. AI-Ahzab : 56)
b. Sabda Nabi SAW.:
[ ] .
Artinya :
Bershalawatlah kamu untukku, karena membaca shalawat untukku
bisa mengahapus dosamu dan bisa membersihkan pribadimu. (HR. lbnu
Majah)
c. Sabda Nabi SAW. :
[ ] .
Artinya:
Hiasilah tempat-tempat pertemuanmu dengan bacaan shalawat
untukku, karena sesungguhnya bacaan shalwat untukku itu menjadi cahaya
bagimu pada hari kiamat. (HR. Ad-Dailami).

C. Fadlilah Membaca Shalawat


Seseorang yang ahli membaca shalawat akan diberi anugerah oleh
Allah, antara lain :
a. Dikabulkan doanya


[ ] .

Artinya:
Setiap doa adalah terhalanh, sehingga dimulai dengan memuji
kepada Allah dan bershalawat kepada Nabi, kemudian baru berdo'a dan
akan dikabulkan doa itu. (HR. Nasai).
b. Peluang untuk mendapat syafa'at Nabi pada hari kiamat.
b. Dihilangkan kesusahan dan kesulitannya.
c. Dan lain-lain.

D. Cara Membaca Dibaiyyah dan Shalawat Nabi


Dibaca dengan kesungguhan dan keikhlasan hati serta diiringi rasa
hormat dan mahabbah/cinta kepada Rasulullah SAW.
Jelas sekali dalalah ayat Al-Quran dan Hadits Nabi tersebut bahwa kita
sebagai ummat Muhammad diperintahkan untuk membacakan shalawat
kepada Nabi SAW. dengan tujuan untuk mengagungkannya sekaligus
mengharapkan barokahnya sewaktu kita masih hidup di dunia dan agar
mendapat syafaatul udzma ketika kita berada di alam mahsyar kelak.

44

VI

BERSHADAQAH DAN BERTAHLIL UNTUK MAYIT


A. Pengertian Shodaqoh untuk Mayit
Shodaqoh untuk mayit adalah suatu istilah yang disebut juga oleh orang
jawa selametan, yaitu dengan cara menghidangkan makanan dan
minuman dengan niat bersedekah yang lazimnya dikaitkan dengan
pembacaan tahlil setelah wafatnya seseorang.
B. Pengertian Bertahlil/Tahlilan
Bertahlil atau dalam bahasa Iawa disebuttahlilan, pada hakekatnya
adalah pembacaan kalimat thayyibah, tasbih, tahmid, istighfar, sebagian
ayat-ayat Al-Qur'an dan shalawat Nabi yang
kemudian
diakhiri
dengandoa/permohonan ke hadirat Allah SWT. agar semua amalan/bacaan
kita tersebut diterima di sisiNya, kemudian Allah berkenan melimpahkan
pahala dari amalan-amalan tersebut kepada mayityang kita tahlilkan.
C. Bermanfaatkah Pahala Sedekah atau Tahlil/ Do'a bagi Si Mayit?
Jika ada orang bertanya : Mungkinkah sedekah dan bacaan tahlil/doa
itu bermanfaat untuk mayit? padahal Allah telah berfirman :

Artinya:
Dan bahwasanya manusia tidak akan mendapatkan pahala melainkan
dari usaha yang telah dikerjakan. (QS. An-Najm : 39)

Kalau sudah jelas demikian masalahnya, mengapa kita masih juga


bersedekah atau bertahlil untuk orang yang mati? toh ... hanya sia-sia
amalan kita tersebut?
Maka untuk menjawab pertanyaan itu, mari bersama-sama kita kaji
keterangan di bawah ini,baik yang bersumber dari Al-Quran, al-Hadits atau
fatwa ulama.
a. Firman Allah SWT.

Artinya :
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka berkata : Hai Tuhan
kami, beri ampulah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dahulu dari kami. (QS. Al-Hasyr : 10)
b.

Firman Allah SWT.

Artinya :
Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin, laki-laki dan perempuan. (QS. Muhammad : 19
c.
45

Firman Allah SWT.

Artinya :
Ya Tuhanku! ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke
rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan
perempuan. (QS. Nuh : 28)

Ketiga ayat di atas, jelas menunjukkan bahwa do'a dan istighfar dari
seorang yang masih hidup dapat berguna untuk orang yang telah mati dari
kalangan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.
d. Hadits Nabi SAW.

:

[ ] . :
Artinya :
Dari Aisyah ra. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW.
bahwasanya ibuku telah mati secara mendadak, dan saya mengira andaikan
dia sempai berbicara (sebelum mati) pasti dia bersedekah. Adakah dia
memperoleh
pahala
andaikan
saya
bcrsedekah untuknya? Jawab
beliau : ya. (Muttafaq Alaih)
e. Syaikh Abdul Wahhab asy-Syaroni memberikan keterangan dalam
kitabnya Mizan Kubra :

.
[1/218 ] .
Artinya:
Dan teluh sepakat para ulama bahwa bacaan istighfar dan doa untuk
mayit, sedekah, memerdekakan budak, menghajikannya, semua dapat
bermanfaat untuknya.Demikianlah yang saya temukan di antara masalahmasalah hukum yang telah disepakati oleh para imam madzhab yang
empat.
Bersedekah adalah termasuk tindakan yang disyariatkan agama dan
berpahala. Bersedekah juga mencerminkan kepedulian sosial antar umat
Islam. Dalam hadits Amr bin Abasah disebtkan:

Aku bertanya, Apa Islam itu? Beliau menjawab, Berkata yang baik
dan memberi makan.
Sedekah juga dapat berupa bacaaan tasbih, takbir, tahmid dan tahlil.
Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:




[2]












Sekelompok orang Sahabat Rasulullah bertanya kepada beiau, Wahai
Rasulullah, orang-orang kaya itu bias pergi dengan membawa pahala.
Mereka shalat sebagaimana kai shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami
juga berpuasa. Namun mereka bias bersedekah dengan kelebihan harta
mereka? Beliau menjawab, Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian
46

apa yang bias kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih


adalah sedekah. Setiap bacaan takbir adalah sedekah. Setiap bacaan tahmid
adalah sedekah. Dan Setiap bacaan tahlil adalah sedekah.
Termasuk dalam hadits dia atas adalah bersedekah atas nama orang
yang telah meninggal. Sedekah ini adalah boleh. Pada masa Rasulullah SAW
sedekah tidak hanya teratas pada makanan saja, bahkan kebun kurma dan
segala sesuatu yang nilainya mahal lalu pahalanya dihadiahkan kepada
orang yang telah meninggal. Dalam hadits disebutkan:

Dari Ibnu Abbas dia berkata, Seorang laki-laki bertanya kepada


Rasululah, Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal. Apakah akan
bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas nama dia? Beliau menjawab,
Ya, benar Laki-laki itu berkata, Aku memiliki sebuah keranjang. Maka aku
persaksikan kepada engkau bahwa aku mensedekahkannya atas nama dia.
Bahkan sedekah yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah
meninggal termasuk amal mulia. Dari sekian banyak bentuk sedekah yang
paling utama diantaranya adalah memerdekakan budak, sedekah,
memintakan ampunan dan mendoakannya serta menghajikannya. Membaca
Alquran dengan tanpa upah dan menghadiahkan pahala bacaan itu kepada
mayit juga dapat sampai.
Sedangkan mengenai anggapan bahwa suguhan makanan kepada
orang yang hadir dalam tahlilan selama 7 hari berturut-turut sepeninggal
mayit adalah tradisi agama Hindu dan Budha adalah angapan keliru. Yang
benar adalah bahwa tradisi ini jika dipilah-pilah masing-masing sebagai
menyuguhkan makanan, majlis dzikir dan mendoakan mayit adalah hal yang
dianjurkan syariat. Sedangkan melaksanakannya pada hari-hari tertentu
misalnya hari ketujuh, keempat puluh, keseratus, keseribu dan setiap tahun
dan seterusnya hanyalah adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan
syariat.
Bahkan ImamAhmad bin Hambal menyebut itu sebagai tradisi salaf
yang sunat dipraktekan
Dalil seperti di atas itulah yang dijadikan rujukan/referensi oleh kaum
Ahlussunnah wal Jamaah untuk keyakinan mereka bahwa menghadiahkan
pahala bacaan Al-Quran, dzikir, shalawat, atau sedekah itu bisa sampai dan
bermanfaat bagi mayit. Dan semua hal tersebut sudah barang tentu atas izin
Allah SWT.

Adapun ketentuan hukum yang ada pada ayat 39 An-Najm tersebut


adalah berlaku bagi umat Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Sedangkan bagi umat
Muhammad, mereka bisa mendapat pahala dari amalnya sendiri dan bisa
juga mendapat pahala dari amal orang lain. Hal ini sesuai dengan bunyi ayat
sebelumnya :




Artinya :
47

Apakah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaranlembaran


Musa?Dan
lembaran-lembaran
Ibrahim
yang
selalu
menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain, Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm : 36-39)
Pemahaman yang demikian ini sesuai dengan keterangan dalam kitab
tafsir Khozin juz IV hal. 268 :


[6/268 ] .

Artinya :
Adapun yang demikian itu adalah bagi kaum Ibrahim dan kaum Musa.
Sedangkan untuk umat ini (umat Muhammad SAW), maka mereka dapat
memperoleh pahala dari perbuatannya sendiri dan pahala dari amal
kebajikan orang lain.

Ada juga penafsiran versi lain mengenai ayat 39 surat an-Najm tadi,
yaitu menurut as-Syaikh Ibnul Qoyyim al-Jauziyah yang dikutip dan
diterjemahkan oleh al-Mukarrom KH. Muhyiddin Abd. Shomad dalam bukunya
Hujjah NU hal 85, sebagai berikut :
Jawaban yang baik tentang ayat ini, bahwa menusia dengan amalnya
sendiri dan juga karena pergaulannya sendiri dan juga karena pergaulannya
yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman,
melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik serta menyintai
sesama. Maka semua teman, keturunannya dan keluarganya tentu akan
menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah
meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya
sendiri.
Berdasarkan keterangan yang akurat dari beberapa dalil syari di atas,
warga kita pasti bisa menjawab pertanyaan dari si penanya dengan jawaban
tegas bahwa :
a. Menghadiahkan pahala amal kebaikan kepada ahli kubur yang samasama muslim, baik ada hubungan kekerabatan atau tidak antara yang
menghadiahkan dengan si mayit yang di hadiahi, itu menurut doktrin
Ahlussunnah wal Jamaah bisa sampai pada mayit tadi;
b. Ukhuwwah Islamiyah itu tidak terputus karena kematian. Oleh
karenanya menolong ahli kubur dengan doa yang diwujudkan dalam
bentuk tahlilan dan sebagainya itu akan manfaat bagi mereka.
VII
PERINGATAN HAUL
A. Pengertian Haul
Haul dalam pembahasan ini diartikan dengan makna setahun. Jadi
peringatan haul maksudnya ialah suatu peringatan yang diadakan setahun
sekali bertepatan dengan wafatnya seseorang yang ditokohkan oleh
masyarakat, baik tokoh perjuangan atau tokoh agama/ulama kenamaan.
48

B. Tujuan Diadakannya Peringatan Haul


Peringatan haul ini diadakan karena adanya tujuan yang penting yaitu
mengenang jasa dan hasil perjuangan para tokoh terhadap tanah air, bangsa
serta umat dan kemajuan agama Allah, seperti peringatan haul wali songo,
para haba'ib dan ulama besar lainnya, untuk dijadikan suri tauladan oleh
generasi penerus.
C.

Rangkaian Kegiatan yang dilaksanakan dalam Acara Haul


a. Ziarah ke makam sang tokoh dan membaca dzikir, tahlil, kalimah
thayyibah serta membaca Al-Quran secara berjamaah dan doa bersama di
makam;
b. Diadakan majlis ta'lim, mau'idzoh hasanah dan pernbacaan biografi
sang tokoh/manaqib seorang wali/ulama atau habaib;
c. Dihidangkan sekedar makanan dan minuman dengan niat
selamatan/shodaqoh anil mayit.
D.

Hukum Mengadakan Peringatan Haul


Selama dalam peringatan haul itu tidak ada hal yang menyimpang dari
tujuan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi atau yang difatwakan oleh
para ulama, maka haul hukumnya jawaz(boleh). Jadi, salah besar jika ada
orang yang mengatakan bahwa secara mutlak peringatan haul itu hukumnya
haram atau mendekati syirik.
E.

Dalil diperbolehkannya Peringatan Haul


Berikut ini ada beberapa dalil syari yang berkaitan dengan masalah
peringatan haul dengan serangkaian mata acaranya.
a. Hadits riwayat Imam Waqidi sebagaimana yang tersebut dalam
kitab Nahjul Balaghoh hal. 399


. :
.
[]
Artinya:Adalah Rasulullah SAW. berziara ke makam syuhada Uhud
pada setiap tahun. Dan ketika beliau sampai di lereng gunung Uhud beliau
mengucapkan dengan suara keras semoga kesejahteraan dilimpahkan
kepada kamu berkat kesabaranmu, maka alngkah baiknya tempat
kesudahan. Kemudian Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan
juga melakukan seperti tindakan Nabi tersebut.
b.

Hadits riwayat Imam Thabrani dan Imam Baihaqi :


[ ] .
Artinya :
Tiada suat kaum yang berkumpul dalam satu majelis untuk berdzikir
kepada Allah kemudian mereka bubar sehingga diundangkan kepada
49

mereka bubarlah kamu, sungguh Allah telah mengampuni dosa-dosamu


dan kejahatan-kejahatanmu telah diganti dengan kebaikan-kebaikan. (HR.
Thabarani dan Baihaqi)
c. Hadits riwayat Imam Dailami :


158 : ] [ .

Artinya :Menyebut-nyebut para Nabi itu termasuk ibadah, menyebutnyebut para shalihin itu bisa menghapus dosa, mengingat kematian itu
pahalanya seperti bersedekah dan mengingat alam kuburitu bisa
mendekatkan kamu dari surga. (HR. Dailami)
d. Fatwa Ulama (Syaikh Abdur Rahman al-Jaziri) dalam kitabnya alfiqih ala madzahibil arbaah :


[1/540 ] .

Artinya :Sangat dianjurkan bagi orang yang berziarah kubur untuk


bersungguh-sungguh mendoakan kepada mayit dan membaca Al-Quran
untuk mayit, karena semua itu pahalanya akam bermanfaat bagi mayit.
Demikian itu menurut pendapat ulama yang paling shahih.
Memang begitulah doktrin Ahlussunnah wal Jamaah tentang ziarah
kubur dan haul. Kedua-keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak
cabang amalan qurbah yang dianjurkan dalam agama. Namun dibalik itu ada
hal yang patut disayangkan karena di dalam pelaksanaannya sering terjadi
kemaksiatan yang sangat mencolok yang dilakukan oleh warga kita sewaktu
menghadiri acara tadi, yakni berbaurnya kaum laki-laki dan perempuan
dalam satu tempat : di sarean sewaktu mereka berziarah kubur, berjubeljubel dalam satu ruangan sewaku hadir pada acara haul atau berjejal-jejal
dalam satu kendaraan (truk) yang mengangkat sewaktu mereka berangkat
dan pulang dari tempat acra dll.
Maka alangkah bijaknya jika masing-masing oknum, baik panitian atau
warga yang hadir mau memperhatikan fatwa ulama klasikk yang menaruh
rasa saying kepada umat dengan maksud agar amaliyh mereka ini tidak
tercemar denan noda-noda kemaksiatan.
Tersebut dalam kitab Al-Fatawil Kubro juz II hal 24 :

)(

... : )(
:
.

.
Artinya :Syaikh Ibnu Hajar ditanya tentang ziarah kubur para wali pada
saat tertentu dan menuju ke kuburan itu, apakah itu diperbolehkan,
sedangkan di situ terjadi banyak mafsadah/kemaksiatan, seperti berbaurnya
kaum laki-laki dan perempuan, menyalakan lampu dalam jumlah yang
banyak dan lain sebaigainya. Beliau menjawab : ziarah kubur para wali
adalah suatu amal kebaikan yang dianjurkan .. sampai kata-kata kiyai
mushonnif : apa yang diisyaratkan oleh si penanya berupa tindakan bidah
50

atau hal-hal yang diharamkan, jangan menjadi sebab ditinggalkannya


kebaikan tersebut. Bagi seseorang tetaplah melakukannya dan ingkar/benci
terhadap
pelanggaran
dan
menghilangkannya,
kalau
memang
memungkinkan. Para fuqaha menyebutkan mengenai thawaf sunat apalagi
thawaf wajib agar dilakukan walaupun di situ ada banyak perempuan
demikian pula lari-lari kecil. Namun mereka memerintahkan agar menjauh
dari para perempauan tersebut. Demikian pula ziarah kubur tetap dilakukan
akan tetapi jauhilah (berdesak-desakan dengan) kaum wanita dan cegahlah
dan kalau bisa hilangkanlah hal-hal yang diharamkan seperti keterangan
yang telah lewat.
F.

Subtansi Haul Ulama


Tujuan 'mengenang' kembali seorang ulama dalam biografi ataupun

tradisi yang sering dilakukan oleh warga Nahdliyin dalam mengadakan haul
ulama dengan menyebutkan kisahnya selama hidupnya adalah untuk
'meneladani keshalehannya'. Hal ini sudah dilakukan sejak zaman sahabat:




















(1195 )






"Diriwayatkan dari Sa'd bahwa Abdurrahman bin Auf suatu hari disuguhi
makanan. Ia berkata: "Mush'ab bin Umair telah terbunuh, ia lebih baik
dariku, tak ada yang dapat dibuat kafan untuknya kecuali kain selimut.
Hamzah juga telah terbunuh, ia lebih baik dariku, tak ada yang dapat dibuat
kafan untuknya kecuali kain selimut. Sungguh saya kuatir amal kebaikankebaikan

kami

segera

diberikan

di

kehidupan

dunia

ini".

Kemudian

Abdurrahman bin Auf menangis" (Riwayat Bukhari No 1195)


Dalam hal ini al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari ahli hadis:
















(354 /7 )
"Ibnu Baththal telah berkata: Dalam riwayat ini dianjurkan menyebut
kisah-kisah orang saleh dan kesederhanannya terhadap duniawi. Tujuannya
agar tidak cinta dunia" (Fathul Bari 7/354)
Abdullah Ibn Mubarak berkata:






) :
















} :




(











: { ]











51







...[120




(28 /5 )



Abdullah bin Mubarak berkata: "Sejarah orang-orang shaleh adalah
salah satu pasukan Allah, yang dapat mengokohkan hati hamba-hamba
Allah. Sebagaimana dalam firman Allah: Dan semua kisah dari rasul-rasul
Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan
hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta
pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hud: 120]
Seseorang butuh untuk berkunjung kepada sosok manusia yang dapat
membuatnya menangis. Jika tidak menemukannya di kalangan yang masih
hidup, maka pelajarilah dari sejarah orang-orang yang telah wafat" (Syaikh
Hasan asy-Syanqithi)
Dalam riwayat hadis disebutkan:





:







.( )







Disebutkan dalam sebuah hadis bahwa: "Mengingat para Nabi adalah
bagian dari ibadah. Mengingat orang shaleh menjadi sebab terhapusnya
dosa. Mengingat mati adalah sedekah. Dan mengingat kubur dapat
mendekatkan kalian ke surga" (HR Dailami, sanadnya dlaif)
Sufyan bin Uyainah berkata:





(
"Mengingat orang shaleh menjadi sebab turunnya rahmat" (Sufyan bin
Uyainah dikutip oleh Ibnu Jauzi dalam Muqaddimah Shifat ash-Shafwah)
Ibnu Taimiyah juga berkata:















(269 /2 )




"Orang-orang beriman merasakan nikmat dengan mengenal Allah dan
mengingat-Nya, bahkan mereka merasa nikmat dengan mengingat para
Nabi dan orang Shaleh. Karenanya ada ungkapan 'Mengingat orang shaleh
menjadi sebab turunnya rahmat'. Hal ini disebabkan adanya semangat di

52

dalam

hati

untuk

mencintai

kebaikan,

termotifasi

dan

rasa

senang

terhadapnya" (Ibnu Taimiyah, kitab ash-Shafadiyah 2/269)


VIII
TALQIN MAYIT
Sebetulnya masalah TALQIN dengan segala macam persoalannya itu
sudah dikupas oleh para ulama mutaqaddimin atau ulama mutaakhirin
dalam berberapa kitab/karya tulisnya dan selalu diamalkan oleh kaum
Ahlussunnah wal Jamaah secara turun temurun.
Akan
tetapi
amaliyah
warga
kita
tadi
menjadi
terancam
kelangsungannya sejak munculnya gerakan yang dimotori oleh kaum wahabi
yang sangat berlebihan dalam usaha memurnikan ajaran Islam, sampaisampai mereka itu melarang amalan-amalan umat Islam yang
bersifat furuiyah, misalnya : tahlilan, bancakan, dan talqin untuk mayit.
Di bawah ini uraian
Ahlussunnah wal Jamaah.

yang

sebenarnya

tentang

Talqin

menurut

A. Pengertian Talqin
Menurut bahasa, talqin artinya : mengajar, memahamkan secara lisan.
Sedangkan menurut istilah, talqin adalah : mengajar dan mengingatkan
kembali kepada orang yang sedang naza atau kepada mayit yang baru saja
dikubur dengan kalimah-kalimah tertentu.
B. Hukum Talqin
Orang dewasa atau anak yang sudah mumayyiz yang sedang naza
(mendekati kematian) itu sunat ditalqin dengan kalimat syahadat, yakni
kalimat laa ilaaha illallah. Dan sunat pula mentalqin mayit yang baru
dikubur, walaupun orang itu mati syahid, apabila meninggalnya sudah
baligh, atau orang gila yang sudah pernah mukallaf sebelum dia gila.
Mungkinkah Mayit yang Sudah dikubur Bisa Mendengar Ucapan Orang
yang Mentalqin?
Di Indonesia memang ada sebagian umat Islam yang tidak setuju mayit
ditalqin. Alasan mereka, menurut akal kita mayit yang sudah ada di kuburan
itu tidak mampu lagi mendengarkan ucapan orang yang ada di alam
dunia. Mereka mengemumakan dalil dari Al-Qur'an


[80 : ]
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati
mendengar (QS. An-Naml : 80)

53



[22 : ]
Artinya :
Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam
kubur dapat mendengar(QS. Fathir : 22)

Kepada mereka perlu kita beri pengertian mengenai hal yang berkenaan
dengan masalah Talqin.
a. Di
dalam
ajaran
Islam
itu
ada
hal-hal yang
berdasarkan tauqifi (petunjuk dari Nabi). Artinyawalau pun secara rasional
hal itu tidak mungkin terjadi, namun karena Nabi SAW. memberi petunjuk
bahwa hal tersebut bisa terjadi, maka kita wajib menerimanya.
[ ]

Artinya :
Semua hal/ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. maka hal itu harus
dibenarkan dan diterima.
b. Kedua ayat yang meraka kemukakan, itu tidak menerangkan
tentang larangan talqin mayit, akan tetapi berisi keterangan bahwa orang
kafir itu telinga hatinya sudah mati, berpaling/tidak menerima apa-apa yang
didakwahkan oleh Nabi kepada mereka.
Uraian ini sesuai dengan keterangan yang ada dalam kitab Tafsir Munir :

:
].
[2/133

Artinya :
Firman Allah yang artinya : sesungguhnya kamu tidak dapat
menjadikam orang-orang yang mati mendengar dan tidak pula menjadikan
orang yang tuli mendenganr panggilan, apabila mereka telah
berpaling jelasnya karena kaum kuffar sudah berpaling dari apa yang
didakwahkan kepada mereka, maka mereka itu seperti orang yang sudah
mati.

:
[2/202 ] .

Artinya:
Firman Allah yang artinya : dan kamu sekali-kali tidak sanggup
menjadikau orang yang di alam kubur dapat mendengar jelasnya : hai
Muhanunad, makhluk yang paling mulia, kamu tidak bisa memberi
pengertian kepada orang yang seperti mayit yang ada dalam kubur.
Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW. tidak dapat memberi petunjuk
kepada orang-orang musyrikin yang telah mati hatinya.
Dalil-Dalil Tentang Disunatkannya Talqin
a. Dalil tentang disunatkannya mentalqin kepada seseorang yang
sedang naza adalah hadits Nabi SAW. seperti yang ditulis oleh sayyid Bakri
dalam kitab Ianatut Thalibin juz II hal. 138 :
54


: :
.
Artinya :
Disunatkan mentalqin orang yang akan meninggal walaupun masih
mumayyiz menurut pendapat yang kuat dengan kalimat syahadat, karena
ada hadits Nabi riwayat Imam Muslim talqinlah orang Islam di antara kamu
yang akan meninggal dunia dengan kalimah La Ilaha Illallah dan hadits
shahih Barang siapa yang paling akhir pembicaraannya itu La Ilaha Illallah,
maka dia masuk surga, yakni bersama orang-orang yang beruntung.

b. Sedangkan dalil disunatkannya talqin mayit yang baru dikubur


adalah :
Firman Allah, seperti keterangan dalam kitab Ianatut Thalibin juz II
hal. 140

) (
[ 55 : ]
.
Artinya:
Disunatkan mentalqin mayit yang sudah dewasa walaupun mati syahid
setelah sempurna penguburannya. Hal yang demikian ini karena firman
Allah : dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan
itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman (QS. Ad-Dzariyat : 55). Dan
seorang hamba sangat membutuhkan peringatan adalah saat-saat seperti
ini.

Hadits riwayat Thabarani :



.

.
.
Artinya :
Apabila salah seorang di antara saudaramu telah meninggal dan
penguburannya telah kamu sempurnakan (ditutup dengan tanah), maka
berdirilah salah seorang di penghujung kuburnya, dan berkatalah : hai fulan
bin fulanah maka dia bisa mendengarnya. Kemudian berkatalah hai fulan
bin fulanah maka dia duduk dengan tegak. Berkatalah lagi hai fulan bin
fulanah maka dia berkata berilah saya petunjuk, semoga Allah memberi
rahmat kepadamu. Akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti. Seterusnya
katakanlah kepadanya ingatlah apa yang kamu pegangi sewaktu keluar
dari alam dunia, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, dan bahwa kamu rela
Allah sebagai Tuhan kamu, Islam sebagai agamamu, Muhammad sebagai

55

Nabi mu dan Al-Quran sebagai imam mu. Maka sesungguhnya malaikat


Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan mereka berdua.

Hadits Nabi sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Ianatut


Thalibin :

:
[2/140 ] .
Artinya :
Disunatkan mentalqin mayit setelah sempurna penguburannya, karena
ada hadits : Ketika mayit telah ditempatkan di kuburnya dan temantemannya sudah pergi meninggalkannya sehingga dia mendengar suara
sepatu mereka, maka datanglah dua malaikat kepadanya.

Dari keterangan ayat dan hadits Nabi tersebut, kita bisa menyimpulkan :
1. Talqin setelah mayit dikubur itu bermanfaat bagi si mayit.
2. Mayit yang ada dalam kubur bisa mendengar ucapan orang atau
suara-suara yang ada di alam dunia ini.
3. Karena jelas ada dalil yang menganjurkan, maka hukum talqin
adalah sunat tidak bidah dan tidak dilarang seperti apa yang
dituduhkan oleh kaum wahabi.
IX
Menyuguhkan Makanan Pada Tamu Yang Bertakziyah
Menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakziyah hukumnya
boleh. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:

Seseorang bertanya kepada Rasulullah, Islam seperti apa yang paling


baik? Beliau menjawab, Yaitu jika engkau memberi makan dan
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun tidak engkau
kenal.
Al Ahnaf bin Qais menyebutkan bahwa ketika Umar bin Al Khatthab
ditikam (yang kemudian menjadi sebab kematiannya), dia memerintahkan
Shuhaib untuk shalat bersama orang-orang sebanyak tiga kali. Umar juga
memerintahkan menyuguhkan makanan.
Demikian juga hadits :

:
.

.-
.
Dari seorang Anshar, dia berkata, Kami keluar bersama Rasulullah
dalam rangka mengantar satu jenazah. Lalu aku lihat beliau sedang berada
di atas kubur- berpesan pada pengggali kubur, Lebarkanlah dari arah
kedua kakinya. Lebarkanlah dari arah kepalanya. Setelah beliau pulang
seorang utusan istri si Mayit mengundang beliau. Beliau penuhi undangan
itu. Kamipun menyertai beliau. Kemudian disuguhkan makanan. Beliau
56

meletakkan tangan kemudian orang-orang juga meletakkan tangan, lalu


mereka semua makan.
Hadits ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diundang istri atau
keluarga mayit. Kemudian beliau bersama para Sahabat berkumpul di rumah
duka. Saat itu adalah setelah penguburan mayit. Beliau dan yang lain makan
makanan yang disuguhkan. Rasulullah SAW juga memerintahkan
memberikan makanan itu kepada para tawanan perang, sebab beliau juga
khawatir dagingnya membusuk.
Berdasarkan hadits di atas hukumnya boleh keluarga orang yang
meninggal menyuguhkan makanan atau mengundang orang untuk
berkumpul di rumahnya, apalagi jika yang diundang adalah orang-orang fakir
miskin. Kecuali apabila diantara ahli waris terdapat anak yang masih kecil,
maka jangan sampai untuk keperluan itu diambilkan dari harta peninggalan
orang yang meninggal.
Berdasarkan apa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW tersebut
menyuguhkan makanan kepada tamu yang bertakiyah hukumnya boleh.
X
WALIMATUL HAMLI
Di kalangan masyarakt jawa khususnya yang ada di pedesaan masih
dilestarikan suatu tradisi apabila si perempuan hamil maka keluarganya
mengadakan selamatan/walimahan, mereka menyebutnya tingkepan,
sementara para santri menyebutnya walimatul hamli.
Kata tingkepan/tingkep berasal dari bahasa daerah/jawa : sing dientienti wis mathuk jangkep(yang ditunggu-tunggu sudah hampir sempurna).
Waktu pelaksanaan selamatan tingkepan ini antara daerah satu dengan
daerah lain tidak sama. Di sebagian daerah dilaksanakan pada saat usia
janin empat bulan, sedangkan di daerah lain dilaksanakan pada saat usia
janin tujuh bulan. Dalam upacara tingkepan yang mereka anggap sakral itu
dihidangkan beberapa jenis menu makanan khas, di samping itu disajikan
juga secama sesajen yang beraneka ragam.
Apakah upacara tingkepan (walimatul hamli) ini termasuk salah satu
amalan sunnah atau tidak? Ada dalil dari hadits nabi atau pendapat ulama
salaf atau tidak? Persoalan inilah yang menjadi faktor penyebab timbulnya
pro dan kontra antara kelompok muslim yang satu dengan kelompok muslim
yang lain. Sebagian dari kelompok muslim di Indonesia ada yang apriori,
tidak mau malakukan bahkan ada yang bersikap ekstrim menolak dan
berusaha untuk memberantasnya. Mereka berargumentasi bahwa tradisi
tersebut termasuk adat istiadat jahiliyah (salah satu peninggalan Budha
klasik). Oleh karena itu tidak pantas hal tersebut diamalkan oleh umat
muslim. Mereka mengemukakan sebuah dalil berupa hadits Nabi saw. :
















. .






5
Artinya :
Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga :
1. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram;

57

2. Orang yang sudah memeluk Islam, akan tetapi masih mengamalkan


tradisi kaum jahiliyah;
3. Orang yang menuntut darah orang lain agar orang lain itu dialirkan
darahnya (yakni menuntut hukum bunuh tanpa alasan yang benar).
Adapun kelompok sunni (umumnya warga nahdliyin) menyikapi budaya
tingkepan ini dengan fleksibel/lentur, mau menerima tidak apriori mau
melakukan bahkan melestarikannya, namun tidak serta-merta menerimanya
secara total, akan tetapi bertindak selektif, yang dilihat bukan tradisi atau
budayanya tetapi nilai-nilai yang dikandungnya.
Sebagaimana di sebut di awal bahwa dalam upacara tingkepan
-biasanya dilakukan oleh orang awam- itu ada hidangan khusus dan ada lagi
sajian lain. Jika hal itu tidak dipenuhi -menurut kepercayaan mereka- akan
timbul dampak negatif bagi ibu yang sedang hamil atau janin yang
dikandungnya. Hidangan atau sajian dimaksud antara lain :
1. Nasi tumpeng;
2. Panggang ayam;
3. Buceng/nasi bucu tujuh buah;
4. Telur ayam kampung yang direbus tujuh butir;
5. Takir pontang yang berisi nasi kuning;
6. Nasi liwet yang masih dalam periok;
7. Rujak, yang bahannya dari beraneka ragam buah-buahan;
8. Pasung yang dibungkus daun nangka;
9. Cengkir (buah kelapa gading yang masih muda).
10. Sehelai daun talas yang diberi air putih;
11. Seser (alat jaring untuk menangkap ikan);
12. Sapu lidi;
13. Pecah kendi di halaman rumah;
14. Dan lain-lain.
Dengan melihat praktek dalam acara tingkepan yang demikian itu,
maka wajarlah kiranya ada kelompok yang besikeras, seratus persen
menolaknya.
Bagi kelompok yang setuju, tidak langsung menolaknya, akan tetapi
dengan sikap selektif dan akomodatif, mereka menerima pelaksanaan acara
selamatan tingkepan asalkan di dalamnya tidak ada hal-hal yang
berseberangan dengan syariat (hal yang haram) dan tidak pula merusak
akidah (berbau syirik).
Shahibul walimah seharusnya mengerti bahwa :
1. Semua yang dihidangkan, baik yang berupa makanan yang dimakan
di tempat atau yang berupa berkatan jangan diniati yang bukan-bukan, akan
tetapi berniatlah menjamu para tamu dan bersedekah dengan harapan
semoga dengan wasilahshadaqah ini, Allah SWT. memberikan keselamatan
kepada segenap anggota keluarga, khususnya janin yang berada dalam
kandungan serta sang suami dan isteri yang sedang mengandung (selameto
ingkang dipun kandut, selameto ingkang ngandut lan selameto ingkang
ngandutaken).
Bagi kita semua pasti sudah sama-sama faham bahwa yang namanya
shadaqah dengan segala macam bentuknya asalkan dengan niat yang ikhlas
dan bahan-bahannya halal, secara umum Rasulullah SAW. sangat
58

menganjurkannya dan beliau jelaskan pula fadlilahnya, sebagaimana sabda


beliau :
a. Hadits riwayat Imam Rafii :





) .






(264 :
Artinya :
Setiap sesuatu itu ada alat pencucinya, pencuci untuk rumah/tempat
tinggal adalah menjamu para tamu. (HR. Imam Rafii).
b. Hadits riwayat Imam Thabarani :

Artinya :
Besedekah itu bisa menutup tujuh puluh macam pintu keburukan.
(HR. Imam Thabarani).
c. Hadits riwayat imam Khatib :

Artinya :
Bersedekah itu bisa menolak tujuh puluh macam mala petaka/bala.
(HR. Imam Khatib)
2. Walimatul
hamli/selamatan
tingkepan
adalah
salah
satu
wujud tahadduts bin nimahyakni memperlihatkan rasa syukur atas
kenikmatan/
kegembiraan
yang
dianugerahkan
oleh
Allah
SWT.
berupa jabang bayi yang berada dalam janin yang selama ini menjadi
dambaan pasangan suami dan isteri.
Ulama salaf memfatwakan : setiap ada suatu kenikmatan/kegembiraan
disunatkan mengadakan selamatan/bancaan mengundang sanak tetangga
dan teman-teman sebagaimana yang ditulis oleh syaikh Abd. Rahman AlJuzairi dalam kitabnya al-fiqhu alal madzahibil arbaah juz II hal. 33 :

Artinya :
Ulama Syafiiyyah (pengikut madzhab Syafii) berpendapat :
disunatkan membuat makanan dan mengundang orang lain untuk makanmakan, sehubungan dengan datangnya suatu kenikmatan/kegembiraan,
baik itu acara temantenan, khitanan, datang dari bepergian dan lain
sebagainya.

Wal-hasil, para warga yang hendak mengadakan walimatul hamli sudah


barang tentu harus menata hatinya dengan niatan yang benar dan
mempunyai sikap arif dan bijak dalam memilih dan memilah di antara
beberapa hidangan dan sajian tersebut, mana yang bisa diselaraskan
dengan syariat dan mana yang tidak, mana yang masih dalam koridor
akidah islamiyah dan mana yang tidak.
XI
TRADISI RUAWATAN
A. Pengertian Ruwat/Ruwatan
Kata ruwat mempunyai arti terlepas (bebas) dari nasib buruk yang
akan menimpa.
59

Ruwatan atau meruwat berarti upaya manusia untuk membebaskan


seseorang yang menurut kepercayaan akan tertimpa nasib buruk, dengan
cara melaksanakan suatu upacara dan tata cara tertentu.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat (jawa: Gugon Tuhon) bahwa
sebagian orang yang mempunyai kriteria tertentu itu dalam hidupnya di
dunia ada yang akan tertimpa nasib buruk.
B. Asal Muasal Adanya Ruwatan
Dalam cerita pewayangan ada seorang tokoh yang bernama "BETHORO
GURU" atau "SANG YANG GURU", dia beristrikan dua orang istri. Dari istri
pademi dia menurunkan seorang anak laki-laki bernama WISHNU. setelah
dewasa Wishnu menjadi orang yang berbudi pekerti baik, sementara dari
istri selir dia juga menurunkan seorang anak laki-laki bernama BETHORO
KOLO. Setelah dewasa Bethoro Kolo menjadi orang jahat, konon kesurupan
setan. Dia sering mengganggu jalma manusia untuk dimakan. Maka sang
ayah memberi nasehat ''Jangan semua jalma kamu mangsa, akan tetapi
pilihlah jalma seperti dibawah ini:
1. Untang-Anting yakni anak tunggal laki-Iaki.
2. Unting-Unting yakni anak tunggal perempuan.
3. Kedono-Kedini yakni dua anak laki-Iaki dan perempuan.
4. Kembang Sepasang yakni dua anak perempuan.
5. Uger-Uger Lawang yakni dua anak laki-laki.
6. Pancuran Keapit Sendang yakni tiga anak, perempuan, laki-laki dan
perempuan.
7. Sendang Keapit Pancuran yakni tiga anak, laki-laki, prempuan dan
laki-laki.
8. Cukit-Dulit yakni tiga anak laki-Iaki.
9. Sarombo yakni empat anak laki-Iaki.
10. Pandowo yakni lima anak laki-laki.
11. Gotong Mayit yakni tiga anak perempuan.
12. Sarimpi yakni empat anak perempuan.
13. Ponca Gati yakni lima anak perempuan.
14. Kiblat Papat yakni empat anak laki-laki dan perempuan.
15. Pipilan yakni lima anak, empat perempuan dan satu laki-laki.
16. Padangan yakni lima anak, satu perempuan em pat laki-laki.
17. Sepasar yakni Lima anak laki-laki dan perempuan.
18. Pendowo Ngedangno yakni tiga anak laki-laki dan satu
perempuan.
Dalam metos orang Jawa, cerita diatas secara turun temurun masih
diyakini kebenarannya, sehingga menurutShohibur riwayah agar Bethoro
Kolo yang jahat itu tidak memangsa jalma seperti tersebut diatas, dicarikan
solusi yaitu harus diadakan "RUWATAN" untuk anak yang bersangkutan.
C. Acara "Ruwatan" Dalam Tradisi Jawa
Ruwatan yang diyakini oleh kebanyakan orang jawa sebagai solusi agar
jalma/anak yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, adalah suatu
upacara yang acaranya sebagai berikut:
a. Mengadakan pagelaran wayang;
60

b. Sebagai pemandu pagelaran ini, dipilih seorang "DALANG SEJATI";


c. Lakon yang dipentaskan, lakon khusus "MURWO KOLO";
d. Menyajikan sesaji khusus untuk memuja Bethoro Kolo;
e. Pada acara pamungkas ruwatan, ki Dalang Sejati membacakan
mantra-mantra dengan iringan gamelan, langgam dan gending tertentu.
Konon mantra-mantra tersebut untuk tolak balak (mengusir BETHORO KOLO
yang jahat itu).
D.
Acara Ruwatan yang Islami.
Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus
berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali
di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang
menyimpang dari syariah, dan ada juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah.
Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan cara mewarnai
budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.
Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah
wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru,
yaitu :

Amalan yang asalnya berbau Khurafat (Gugon Tuhon) diarahkan


kepada perilaku yang bertendensi kepada syariah;

Amalan yang asalnya berbau syirik, diarahkan kepada Tauhid;

Amalan yang asalnya berbau bidah, diarahkan kepada Sunnah.


Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk
melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syariah
dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain
:
a. Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b. Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c. Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga
yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia
dan akhirat;
d. Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan
kepada para peserta upacara ruwatan.
E.

Hukum Ruwatan
Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang
tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum
muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada
unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan
mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan
selamatan ala kadarnya?
Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:
a. membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar
tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari
bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan
dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya "Idlohu
Mafahimis Sunnah" menerangkan :

61

.






.





11 :
Artinya :
" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an
karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta
bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan
orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan
menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan
orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus
kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta
memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan
kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan
terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah
menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu
sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali
sandal. Adapun orang tersebut sebelum berdoa membaca surat Yasin atau
membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan
amal shalih dan tawassul dengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini
disepakati oleh para ulama.
Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga
meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:






.












.












.....















. 317

Artinya:
''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at
kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya,
ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut AL
MUIMMAH. Ditanyakan : apa itu Al-Muimmah Ya Rasul ? Rasu!ullah
menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di
dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut
juga AD-DAFI'AH dan Al-QODLIYAH. Ditanyakan : bagaimana demikian itu
Ya Rasul ? Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala
keburukan
dan
meyebabkan
tercapainya
segala
hajat
bagi
pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja
62

yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin


memilih membacanya dengan berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau
empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu karena adanya
penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan dibaca berulangulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita dan menjadi
lunaklah tabi'atnya.
b. Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon
kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang
besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan
oleh Rasulullah SAW.
Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :



.










:






.

13 .




Artinya:
''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku
perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah
memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan
duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk
berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian
memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan
tali sandalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah)
akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan
kepadaKu.
c. Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para
peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung
banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang
bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara
bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi
SAW bersabda :


. .







190
Artinya:
'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah). HR.
Khotib
Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin,
shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk
rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa
juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada
Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika
dimaksud untuk menyembah selain Allah.
Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam
hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :










.









.









Artinya:

63

''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan


mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin,
maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila
ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan
mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan
kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan
(dzabhi).
XII

TRADISI KUPATAN

A. Pengertian Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut
dengan sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan
bhada kupat. Kata Bhada di ambil dari bahasa Arab bada yang artinya :
sudah. Sedangkan riyoyo berasal dari bahasa Indonesia ria yang artinya
riang gembira atau suka cita. Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata
lebar yang berarti selesai. Maksud kata lebar di sini adalah sudah
selesainyanya pelaksanaan Ibadah pusasa dan memasuki bulan
Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut riyaya karena umat
Islam merasa bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran
menyandang predikat kembali ke fitrah/asal kesucian.
Adapun ketupat adalah makanan khas yang bahannya dari beras
dibungkus dengan selongsong yang terbuat dari janur/daun kelapa yang
dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada
umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim bersamaan dengan hari ke
delapan yang biasa di sebut dengan KUPATAN atau RIYAYA KUPAT.
B. Asal Usul Tradisi Kupatan
Rasanya amat sangat sulit menemukan kajian ilmiyah tentang
sejarah/asal muasal kupat. Namun menurut berbagai sumber, masyarakat
jawa mempercayai bahwa sunan Kalijaga adalah orang yang berjasa dalam
hal mentradisikan kupat beserta makna filosofis yang terkandung dalam
makanan khas ini.
Secara filosofis, makanan khas Kupat ini memiliki banyak makna. Di
antara makna itu adalah :
a. Kata kupat berasal dari bahasa jawa ngaku lepat (mengakui
kesalahan). Ini suatu isyarat bahwa kita sebagai manusia biasa pasti pernah
melakukan kesalahan kepada sesama. Maka dengan budaya kupatan
setahun sekali ini kita diingatkan agar sama-sama mengakui kesalahan kita
masing-masing, kemudian rela untuk saling memaafkan. Nah, dengan sikap
saling memaafkan, dijamin dalam hidup ini kita akan merasakan kedamaian,
ketenangan dan ketentraman.
b. Bungkus kupat yang terbuat dari janur (sejatine nur), ini
melambangkan kondisi umat muslim setelah mendapatkan pencerahan
cahaya selama bulan suci Ramadlan secara pribadi-pribadi mereka kembali
kepada kesucian/jati diri manusia (fitrah insaniyah) yang bersih dari noda
serta bebas dari dosa.
64

c. Isi kupat yang bahannya hanya berupa segenggam beras, namun


karena butir-butir beras tadi sama menyatu dalam seluruh slongsong janur
dan rela direbus sampai masak, maka jadilah sebuah menu makanan yang
mengenyangkan dan enak dimakan. Ini satu simbol persamaan dan
kebersamaan persatuan dan kesatuan. Dan yang demikian itu merupakan
sebuah pesan moral agar kita sama-sama rela saling menjalin persatuan dan
kesatuan dengan sesama muslim.
C. Bidah Dlalalah kah Tradisi Kupatan?
Meskipun riyoyo kupat sudah menjadi tradisi turun temurun dan
dilakukan di berbagai daerah, namun bukan berarti semua umat muslim mau
melakukannya. Ada yang menganggapnya bidah dan bahkan menuduh
sesat, karena termasuk mengada-ada dalam masalah ibadah.
Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawwal) semua orang Islam diharamkan
berpuasa. Pada hari berikutnya orang Islam sangat dianjurkan (sunnah
muakkadah) untuk melakukan puasa selama enam hari, baik secara
langsung dan berurutan, sejak tanggal dua Syawwal atau secara terpisahpisah asalkan masih dalam lingkup bulan Syawwal. Sabda nabi SAW :


).














(307

Artinya :
Barang siapa berpuasa Ramadlan kemudian mengikutinya dengan
puasa enam hari di bulan syawwal, maka yang demikian itu seperti puasa
setahun. (HR. Imam Muslim)

Setelah puasa Syawwal, tidak ada tuntutan menyelenggarakan tradisi


tertentu. Maka ketika ada tradisi riyoyo kupat pada tanggal 8 Syawwal, hal
itu disebut bidah (suatu hal yang baru). Di sinilah terjadi perbedaan persepsi
di antara umat muslim. Sebagian ada yang mau melakukannya dan sebagian
yang lain ada yang tidak mau. Sumbernya adalah interpretasi makna bidah
itu sendiri, serta status amaliyah tradisi riyoyo kupat.
Pertama, pendapat yang mendifinisikan bidah secara mutlak, yaitu
segala hal yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sesuatu yang
ada kaitannya dengan ibadah dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi
adalah bidah dan haram dilakukan. Nah, karena tradisi kupatan
dikategorikan sebagai ibadah mahdlah (ritual murni) yang terikat dengan
tata cara yang didasarkan atas tauqif (jawa : piwulang) dari nabi. Maka hal
itu dianggap mengada-ada dan itu bidah. Setiap bidah adalah dlalalah.
Sabda Rasulullah SAW. :



).









(296

Artinya :
Barang siapa mengada-ada di dalam urusan agama kita ini, sesuatu
yang tidak bersumber darinya, maka hal itu ditolak (HR. Imam Baihaqi)
Dan sabda Rasulullah SAW. :



. .








) .






(87

65

Artinya :
Jauhilah hal-hal baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya hal
tersebut adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi) yakni kamu sekalian harus menjauhi dan mewaspadai perkaraperkara baru dalam agama.
Kedua, pendapat yan mengklasifikasi bidah menjadi dua : bidah
hasanah (baik) dan bidah sayyiah (buruk). Karena tradisi kupatan
dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdlah (ritul tidak murni) yang
perintahnya ada, tetapi teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi,
maka tradisi itu dianggap sebagai amrun mustahsan (sesuatu yang dianggap
baik).
Pendapat kedua ini bukannya mengingkari dua hadits yang dipedomani
pendapat pertama, akan tetapi memahami hadits tersebut dengan
pemahaman yang lebih luas. Maksudnya tidak semua didah itu dlalalah
(sesat) akan tetapi ada bidah itu yang hasanah (bagus) yaitu suatu hal baru
yang tidak merusak akidah dan tidak menyimpang dari syariat.
As-Syaikh as-sayyid Muhammad Alawi dalam kitabnya al-ihtifal bidzikro
maulidin nabi menyatakan :

Artinya :
Imam Syafii berpendapat bahwa amalan apa saja yang baru diadakan
dan amalan itu jelas menyimpang dari kitabullah, sunnah rasul, ijmaus
shahabah atau atsaratut tabiin, itulah yang dikategorikan bidah
dlalalah/sesat atau tercela. Sedangkan amalan baik yang baru diadakan dan
tidak menyimpang dari salah satu dari empat pedoman di atas, maka hal
tersebut termasuk hal yang terpuji.

Kemudian dalam kitab yang sama beliau (sayyid Muhammad Alawi)


menyimpulkan pendapat Imam Syafii tersebut sebagai berikut :

Artinya :
Jadi setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syari dan
mengadakannya tidak ada maksud menyimpang dari aturan syariat serta
tidak mengandung kemunkaran, maka hal itu termasuk ad-din (urusan
agama).

Dengan demikian, menempatkan hukum riyoyo kupat harus dilihat dari


substansi masalahnya, yakni ajaran silaturrahim, saling memaafkan dan
pemberian shadaqah/sedekah yang mana hal tersebut perintahnya ada
dalam dalil syari, sementara teknisnya bisa dilakukan dengan beragam cara.
Dalil syari tentang silaturrahim antara lain : hadits riwayat Tirmidzi :
Artinya :
66

Amal kebajikan yang paling cepat mendapatkan pahala adalah


ketaatan dan silaturrahim.
Dalil syari tentang memberikan maaf antara lain QS. An-Nur 22 :

.22 : .















Artinya :
Dan
hendaklah
mereka
memaafkan
dan
berlapang
dada,
apakah kamu tidak ingin Allah akan mengampunimu? Dan Allah adalah
maha pengampun lagi maha penyayang. (QS. An-Nur : 22)
Dalil syari tentang memberikan sedekah antara lain :
.




Artinya :
Bersedakahlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma (HR.
Ibnu Mubarak).
Hadits riwayat Ibnu Ady :


.







Artinya :
Hendaklah kamu sekalian satu sama yang lain saling memberikan
hadiah berupa makanan, karena yang demikian itu bisa melapangkan
rizkimu (HR. Ibnu Ady)
Wal-hasil, tradisi kupatan tidak bisa disebut sebagai bidah atau
tambahan dalam beribadah. Tradisi kupatan adalah budaya lokal yang
memiliki keterkaitan dengan syariat Islam. Maka dari itu kupatan tidak bisa
dihukumi sebagai penyimpangan, apalagi tindakan sesat (dlalalah).
XIII
Ngalap Berkah
Fatwa haram, bidah bahkan syirik dalam masalah mencari berkah
(tabarruk, ngalap berkah) kembali ramai didengungkan oleh mereka yang
mengaku paling sehat dari penyakit TBC (Takhayyul, Bidah dan Churafat)
ketika makam Gus Dur ramai diziarahi, bahkan ada beberapa peziarah yang
mengambil tanah di area makam tersebut. Sebagaimana yang disebarkan
oleh Ust Hartono Jais dan kawan-kawannya yang sebenarnya tidak memiliki
kapasitas dalam masalah ini, dan hanya bertaklid buta kepada Syaikh Bin
Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Albani dan sebagainya.
Ulama-ulama mereka dengan membabi-buta menvonis syirik kepada
semua bentuk tabarruk, dengan tanpa sedikitpun mendudukkan makna
tabarruk secara proporsional maupun mengungkap dalil dan argument
tabarruk yang sudah dilakukan sejak Rasulullah Saw masih hidup.
A. Makna Berkah dan Mencari Berkah
al-Barakat dan derivasinya memiliki
berkembang. Sedangkan Tabarruk adalah

makna

bertambah

dan

: . :
)13/408 : (
: : .
mencari berkah terhadap sesuatu, mencari
metodenya (Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab 13/408)
67

tambahan

dengan

B. al-Quran Tak Menafikan Berkah


Di dalam al-Quran banyak disebutkan kalimat berkat dengan berbagai
macam kalimat bentukannya. Ini menunjukkan bahwa ada banyak sosok
maupun tempat yang diberkahi oleh Allah. diantaranya:

Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku
berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup (Maryam: 31)

Kami limpahkan keberkatan atasnya (Ibrahim) dan atas Ishak (ashShaffaat: 113)

(Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu,


hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah" (Huud:
73)
1. tempat-tempat yang diberkati dalam al-Quran ::

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat


beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi
dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (Ali Imraan: 96)



Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al Masjidil haram ke Al Masjidil aksa yang telah Kami berkahi
sekelilingnya (al-Israa: 1)

Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Lut ke sebuah negeri (Palestina)


yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia (al-Anbiyaa: 71)

Dan Kami jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri (Yaman)


yang Kami limpahkan berkat kepadanya, (Saba: 18)
2. benda-benda ciptaan Allah juga dianugerahi keberkahan dalam alQuran:

. kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara,


yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya (anNuur: 35)

Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah)
pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu. (al-Qashash:
30)

Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya (berkah)
. (Qaaf: 9)


68

sesungguhnya Kami menurunkannya (al-Quran) pada suatu malam


yang diberkahi (ad-Dukhaan: 3)
C. Mencari Berkah Telah Dilakukan Sejak Masa Nabi Terdahulu
Tepatnya adalah Nabi Yaqub As ketika ditimpa penyakit tak bisa melihat
lantaran lama berpisah dengan putranya, Nabi Yusuf. Untuk mengobatinya
ternyata Nabi Yaqub maupun Nabi Yusuf tidak langsung berdoa kepada
Allah, dan Allah juga kuasa jika langsung menyembuhkannya. Namun
kesembuhan itu melalui proses berkah sebagaimana diabadikan dalam alQuran:

Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia
ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali. (Yusuf: 93)
Tampak jelas sekali bahwa Allah menjadikan kesembuhan itu melalui
berkah baju gamis Nabi Yusuf.
Makam Nabi Yunus juga dijadikan tempat mencari berkah Allah:

.
: .
. -
)
(271 / 8 -
Desa Hulhul antara Quds dan Khalil ada makam Yunus As. Para
penduduknya mencari berkah disana dan meyikini makamnya Nabi Yunus
(adz-Dzahabi, Tarikh al-Islam 8/271)
D. Mencari Berkah Di Masa Hidup Rasulullah Saw

1. Rambut Rasulullah




- -





(3212 )





Rasulullah r menyuruh tukang pangkas rambutnya, untuk mencukur
rambut bagian kanan dan kirinya, lalu rambut-rambut itu dibagi-bagikannya
kepada para sahabat (HR Muslim No 3212)





.
- )

(279 / 4
Sahabat Khalid bin Walid t bertabaruk dengan rambut ubun-ubun
Rasulullah r, ditaruh di dalam kopiahnya (songkok). Kholid berkata: Saya
tidak pernah mendatangi perang dengan membawa songkok tersebut (yang
berisi
rambut
Rasulullah),
kecuali
setiap
peperangan saya

69

selalu diberi kemenangan (HR Thabrani dan Abu Yala, para perawinya
)adalah perawi hadis sahih
2. Air Ludah Rasulullah

- -











) 70 (2731







Miswar dan Marwan berkata: Demi Allah Setiap Rasulullah rberdahak,
pasti dahak beliau jatuh ke tangan salah seorang sahabat, lalu ia gosokkan
)ke wajah dan kulitnya. (HR Bukhari No 70 dan 2731



-



- -




-

) (688






Diriwayatkan dari Aisyah bahwa bayi-bayi didatangkan kepada
RAsulullah Saw kemudian beliau mendoakan berkah dan memamah
)makanan kepada mereka (HR Muslim No 688



. .
) - / 2 (37
Para sahabat y bertabaruk dengan air sumur Budhaah di Madinah,
)yang pernah diludahi oleh Nabi r (HR Thabrani, para perawinya terpercaya














(
)


.









) 4328 (6561

Rasulullah Saw menyuruh kepada Abu Musa dan Bilal untuk mengambil
tempat air, lalu beliau membasuh kedua tangan dan wajahnya dan
memuntahkan air kumur ke wadah tersebut dan beliau bersabda: Minumlah
oleh kalian, siramkan ke wajah dan leher kalian, dan bersenanglah.
Kemudian dua sahabat itu melakukannya (HR Bukhari 4328 - Muslim
)No 6561


) - / 1 (300




al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Tujuan diatas karena adanya berkah dari
)ludah Rasulullah yang mengandung berkah (Fath al-Baari 1/300
3. Keringat Rasulullah Saw





- -









-





.


) (6201




Sahabat Ummu Sulaim mengambil keringat Nabi r dan menaruhnya ke
dalam botol, sebagai minyak wangi. Setelah ditanya oleh Rasulullah, Ummu
Sulaim menjawab: Ini adalah keringatmu. Kami jadikan minyak wangi kami.
)Dan keringat itu adalah minyak yang paling harum (Muslim No 6201
4. Air Sisa wudlu Rasulullah
Hadis yang menjelaskan masalah ini sangat banyak sekali, diantaranya:













- -



)











187 (1151

70

Rasulullah mendatangi kami di Hajirah, kemudian beliau disediakan air


wudlu dan beliau berwudlu, kemudian para sahabat mengambil sisa wudlu
)beliau (HR Bukhari 187 dan Muslim 1151
5. Tempat Minum Rasulullah Saw

(












)
Dari Kabsyah al-Anshariyah bahwa Rasulullah e datang kepadanya dan
di sebelahnya atau tempat air minum yang digantung, kemudian beliau
meminum-nya dengan posisi berdiri. Kabsyah lalu memotong (bekas) tempat
minum Rasulullah tersebut untuk mendapatkan berkah dari mulut
Rasulullah e. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi, ia berkata: Hadits ini Hasan
)Sahih Gharib
6. Kain Kafan Dari Rasulullah



- -
















-




.
.







- -







.


- -







) (2093

.








Rasulullah Saw diberi kain bergaris (burdah) oleh seorang wanita.
namun kain tersebut diminta oleh orang lain untuk dijadikan kafan bagi
)dirinya. Rasulullah memberikannya (HR Bukhari No 2093
7. Jubah Rasulullah Saw

:
:


:
: )

/ 1 (482
Seorang sahabat meminta potongan dari jubah Rasulullah Saw, beliau
memberinya. Muhammad bin Jabir berkata: Bapak saya menceritakan bahwa
potongan jugah tersebut kami cuci untuk orang sakit, mengharap
)kesembuhan darinya (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah 1/482
8. Air Seni Rasulullah Saw




.
)

- / 4 (20

71

Barokah, pelayan Ummu Salamah (istri Nabi r), bertabaruk dengan


menimun air seni Nabi r yang akan menjadi pelindungnya dari api neraka
(Diriwayatkan oleh Thabrani, para perawinya sahih)
E. Mencari Berkah Setelah Rasulullah Saw Wafat
Dalam masalah ini Imam Bukhari membuat Bab Khusus dari bendabenda peninggalan Rasulullah yang dicari berkahnya oleh para Sahabat,
bahkan para Khalifah yang mendapat jaminan masuk surga. Imam Bukhari
mencantumkan beberapa hadis terhitung dari No 3106 3112:




- 5
- -

(204 / 11 - ) .






Bab

yang yang menyebutkan tentang baju perang Nabi saw,


tongkatnya, pedangnya, tempat minumnya, dan cintinnya.dan yang dipakai
oleh para khalifah setelah beliau wafat,yang terdiri dari hal-hal yang tidak
disebut pembagiannya, juga tentang rambut Nabi saw, sandalnya, dan
wadah makanannya yang berupa benda-benda yang dicari berkahnya oleh
para sahabat dan lainnya setelah Nabi wafat (Shahih al-Bukhari: 11/104)
1. Asma Binti Abu Bakar dengan Jubah Nabi


(










)








.





-

( 5530 )
Asma binti Abu Bakar berkata: Jubah ini (pada mulanya) dipegang
oleh Aisyah sampai ia wafat. Setelah wafat saya ambil jubah tersebut.
Rasulullah ememakai jubah ini. Kami membasuhnya untuk orang-orang yang
sakit, kami mengharap kesembuhan melalui jubah tersebut. (HR. Abu
Dawud dan Muslim. Sedangkan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad
dijelaskan bahwa Rasulullah memakai jubah tersebut untuk menemui tamu
dan salat Jumat)
2. Ummi Salamah dengan Rambut Nabi Saw

-










-


- -





















(5896 )



Ummi Salamah memiliki rambut Rasulullah Saw. Jika orang yang
terkena penyakit, maka mendatang Ummi Salamah dengan membawa
wadah (untuk mengobati). dan saya melihat di dalamnya ada beberapa
rambut merah (HR Bukhari No 5896)
3 Muawiyah Dengan Jubah, Sarung, Serban dan Rambut Nabi
Saw

) (


(61 / 59 - )

72

Muawiyah memiliki gamis Rasulullah, sarungnya, serbannya dan


rambutnya. Muawiyah berwasiat agar benda-benda ia dijadikan kain kafan
)baginya (al-Hafidz Ibnu Asakir, 56/61
4. Muhammad bin Sirin Dengan Rambut Nabi Saw



- -







) (170





Saya berkata kepada Abidah bahwa kami memiliki rambut Rasulullah,
kami mendapatkannya dari Anas atau keluarga Anas. ia berkata: Sungguh
saya memiliki 1 helai rambut Rasulullah lebih saya senangi daripada dunia
)dan isinya (HR Bukhari 170
5. Umar bin Abd Aziz Dengan Tempat Minum Nabi Saw

- -



- -







- -






- -







.
.
.
















- -


.

.





- -


) 5637 ( 5354




Sahal bin Sad memiliki tempat minum yang pernah dipakai oleh Nabi.
kemudian (masa berikutnya), tempat minum itu diminta oleh Umar bin Abdul
)Aziz dan ia memberikannya (HR Bukhari 5637 dan Muslim 5354
6. Asma binti Yazid Dengan Sisa Minuman Nabi Saw

:
:
" : "

. :
) .
- / 4 (104
Sisa minuman Rasulullah saya gunakan untuk membasahi rambut
saya. Juga kami minumkan kepada orang-orang sakit, dan kami
meminumnya, untuk mengharap berkah (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Ishabah
)1/482
7. Anas bin Malik Dengan Tongkat Kecil Nabi Saw


) . - / 9 (109
Anas memiliki tongkat kecil dari Rasulullah Saw, ia memerintahkan
agar dikubur bersamanya (al-Hafidz Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah
)9/109
8. Imam Ahmad bin Hanbal Dengan Rambut Nabi Saw

73


:
). .
(2/357 : 337 / 11 -

Imam Ahmad diberi 3 helai rambut saat di penjara, itu adalah rambut
Rasulullah Saw. Imam Ahmad berwasiat agar ketika meninggal 2 rambut
diletakkan di matanya, 1 rambut lagi di mulutnya. maka wasiat itupun
dilakukan ketiaka ia wafat (al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar Alam anNubalaa 11/337 dan al-Hafidz Ibnu al-Jauzi dalam Shifat ash-Shafwah 2/357)
F. al-Hafidz Ibnu Hajar dan Istidlal Ngalap Berkah

- )






(278 / 1
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 166: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dari rambut Rasulullah Saw, dan bolehnya
mengoleksinya (Fath al-Baarii 1/278)

)





(145 / 2
al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 407: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan tempat-tempat yang dilakukan salat
olen Nabi Saw dan yang beliau injak (Fath al-Baarii 2/145)
(318 / 4 - )



al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 1198: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan peninggalan orang-orang shaleh
(Fath al-Baarii 4/318)

(386 / 10 - )


al-Hafidz Ibnu Hajar beristidlal dari hadis al-Bukhari No 3316: Hadis ini
diperbolehkan mencari berkah dengan makanan para wali dan orang-orang
shaleh (Fath al-Baarii 10/386)
G. Mencari Berkah Allah dengan Berziarah
1. Makam Rasulullah Saw

(3243 492 / 2 )

"Saya (Abdullah bin Ahmad) bertanya kepada Imam Ahmad tentang


seseorang yang memegang mimbar Nabi Saw, mencari berkah dengan
memegangnya dan menciumnya. Ia juga melakukannya dengan makam
Rasulullah seperti diatas dan sebagainya. Ia lakukan itu untuk mendekatkan
dir kepada Allah. Imam Ahmad menjawab: Tidak apa-apa" (Ahmad bin
Hanbalal-'lal wa Ma'rifat al-Rijal 3243)
Imam Nawawi menjelaskan tatacara dan etika dalam berziarah dan
bertawassul di makam Rasulullah Saw:

74

)















(274 / 8
"Kemudian hendaknya peziarah kembali ke tempat semula seraya
menghadap kearah Rasulullah Saw, bertawassul kepada beliau untuk dirinya
dan meminta syafaatnya kepada Allah. Dan diantara yang paling baik untuk
dibaca saat ziarah adalah bacaan dari al-Utbi sebagaimana disampaikan oleh
al-Mawardi, al-Qadi Abu al-Thayyib dan seluruh ulama Syafi'iyah, mereka
)semua menilainya baik" (Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' VIII/274









}






{





















:












...







...












) / 2








347 201 / 3
217 / 8 498
556 / 3 497 / 3
(30 / 5

"Golongan para ulama diantaranya Ibnu al-Shabbagh dalam kitab alSyamil, menyebutkan kisah yang masyhur dari 'Utbi. Ia berkata: Saya duduk
di samping makam Rasulullah Saw, kemudian datang seorang A'rabi dan
berkata: Salam sejahtera atasmu wahai Rasulullah. Saya mendengar bahwa
Allah berfirman: ""Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun
memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64). Saya datang kepadamu
dengan memohon ampun karena dosaku dan memohon pertolongan kepada
Tuhanku. Kemudian ia mengucapkan syair:
"Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
"Disana terdapat kesucian, kemurahan dan kemulian
Lalu A'rabi itu pergi. Kemudian saya tertidur dan bermimpi bertemu
Rasulullah Saw dan beliau berkata: Wahai 'Utbi, kejarlah si A'rabi tadi,
sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni
dosanya" (Tafsir Ibnu Katsir II/347, Tafsir al-Wasith karya Guru Besar al-Azhar,
Muhammad al-Thanthawi III/291, al-Majmu' VIII/217 dan al-Idlah 498 karya
Imam al-Nawawi, al-Mughni III/556 dan al-Syar al-Kabir III/497 karya Ibnu
)Qudamah al-Hanbali danKisyaf al-Qunna' V/30 karya al-Bahuti



(







)


75


) 265 / 5







694 / 3 1
45 / (390 / 12
"Dari Ali, ia berkata: Seorang A'rabi datang kepada kami setelah 3 hari
kami menguburkan Rasulullah Saw. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke
makam Rasulullah Saw dan menaburkan debu ke kepalanya sambil berkata:
Engkau berkata wahai Rasullah lalu kami mendengar perkataanmu. Engkau
menerima ajaran dari Allah, dan kami menerima darimu, dan diantara yang
diturunkan Allah kepadamu adalah: "Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah,
dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al-Nisa': 64).
Sungguh saya telah menganiaya diri sendiri dan saya datang kepadamu agar
engkau mohonkan ampunan bagiku. Lalu laki-laki A'rabi itu dijawab dari
dalam makam Rasullah Saw bahwa: Kamu telah diampuni" (Tafsir al-Qurthubi
V/250,al-Bahr al-Muhith III/694 karya Abu Hayyan, Khulashat al-Wafa I/45
karya al-Sumhudi dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XII/390 karya Shalihi al)Syami



121 / 3 473 / 31
(818
"Ibnu al-Muqri berkata: Saya berada di Madinah bersama al-Hafidz alThabrani dan al-Hafidz Abu al-Syaikh. Waktu kami sangat sempit hingga
kami tidak makan sehari semalam. Setelah waktu Isya' tiba, saya
mendatangi makam Rasulullah, lalu saya berkata: Ya Rasulallah, kami lapar.
Al-Thabrani berkata kepada saya: Duduklah, kita tunggu datangnya rezeki
atau kematian. Saya dan Abu al-Syaikh berdiri, tiba-tiba datang laki-laki
Alawi (keturunan Rasulullah Saw) di depan pintu, lalu kami membukakan
pintu. Ternyata ia membawa dua orang budaknya yang membawa dua
keranjang penuh dengan makanan. Alawi itu berkata: Apakah kalian
mengadu kepada Rasulullah Saw? Saya bermimpi Rasulullah dan
menyuruhku membawa makanan untuk kalian" (Diriwayatkan oleh al-Hafidz
al-Dzahabi
dalam Tadzkirah
al-Huffadz III/121
dan Siyar
A'lam
alNubala' XXXI/473, dan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Wafa' bi Ahwal al)Musthafa 818





























76


)










284 / 4 2632
(161 / 66 281 / 1
"Abu al-Khair al-Aqtha' berkata: Saya datang ke kota (Madinah)
Rasulullah Saw dalam keadaan lapar dan saya menetap selama lima hari.
Lalu saya datang ke makam Rasulullah Saw, saya mengucap salam pada
Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar, dan saya berkata: Wahai Rasulullah, Saya
bertamu kepadamu malam ini. Lalu saya agak menjauh dan tidur di belakang
mimbar. Maka saya bermimpi melihat Rasulullah Saw, Abu Bakar berada di
sebelah kanan beliau, Umar di sebelah kiri beliau dan Ali berada di depan.
Lalu Ali membangunkan saya dan berkata: Bangun, Rasulullah telah datang.
Saya bangun dan mencium beliau. Beliau memberi roti pada saya dan saya
makan separuhnya. Saya pun terbangun, ternyata di tangan saya ada
separuh roti tadi" (al-Hafidz al-Dzahabi dalam Tarikh al-Islam 2632, Ibnu alJauzi dalamShifat al-Shafwah IV/284, al-Hafidz al-Sulami dalamThabaqat alShufiyah I/281 dan Ibnu 'Asakir dalam Tarikh Dimasyqi 66/161)








(49 / 1 )

2. Makam Para Ulama dan Auliya'


Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para
ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh
memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:




:









( /) ( ) .



( //) ( /)
. . :
Dari Ibn Abbas radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: Berkah Allah bersama orang-orang besar di antara
kamu. (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nuaim dalam al-Hilyah (8/172), alHakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya dalam al-Mukhtarah
(64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari,
dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits


tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa taala dari
orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka.
Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama,
atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam
segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.
Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah
subhanahu wa taala adalah ziarah makam para nabi atau para wali.
Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam
kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan
77

berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari


barokah dari Allah subhanahu wa taala dengan cara berziarah ke
makam para wali.
Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk,
maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu
wa taala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa taala.
Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu
syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Quran maupun dari
hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-Iraqi
berkata ketika menguraikan maksud hadits:

u








:















:

.




Sesungguhnya Nabi Musa u berkata, Ya Allah, dekatkanlah aku
kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Demi Allah, seandainya aku ada
disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di
tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.
Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-Iraqi
berkata:

.



Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orangorang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi
wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa u yaitu
pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau.
Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi
shallallahu alaihi wa sallam. (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).
Pada dasarnya ziarah kubur itu sunnat dan ada pahalanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:










.(/)

.


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Dulu aku
melarang kamu ziarah kubur. Sekarang ziarahlah. (HR. Muslim). Dalam
satu riwayat, Barangsiapa yang hendak ziarah kubur maka ziarahlah,
karena hal tersebut dapat mengingatkan kita pada akhirat. (Riyadh alShalihin [bab 66]).
Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan
bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul?
Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan
mendapat berkah dari Allah subhanahu wa taala dengan berziarah ke
makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah
ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan
demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang

78

yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah
subhanahu wa taala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:






:




.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Para nabi itu
hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat. (HR. al-Baihaqi
dalam Hayat al-Anbiya, [1]).
Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang
telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits
berikut ini:

.




Dari Abdullah bin Masud radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda: Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian
berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih
baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian
ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan
memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku
memintakan ampun kalian kepada Allah. (HR. al-Bazzar, [1925]).
Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur
mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan
Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa
para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para
peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah
disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

) .




.(/
Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf)
adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar
jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau
makam orang-orang saleh, juga Said bin al-Musayyab mendengar
adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam
peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan
yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari
hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa
yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi
shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada

79

beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi


Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi
Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa dengan
masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak
sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui
peristiwa-peristiwa seperti ini. (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha al-Shirath
al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).
Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa
sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir
al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya alBidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

/ ) .








: . :/
/ / /
./
Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan
Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar
mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan
kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu
Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-Amasy, dari Abu Shalih,
dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab,
bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah
Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
mengatakan: Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk
umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa. Kemudian
orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan beliau berkata kepadanya: Sampaikan salamku kepada
Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan
katakan
kepadanya
bersungguh-sungguhlah
melayani
umat.
Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan
apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar
menangis dan mengatakan: Ya Allah, saya akan kerahkan semua
upayaku kecuali yang aku tidak mampu. Sanad hadits ini shahih. (AlHafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami
al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah
juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr

80

dalam al-Istiab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn
Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).
Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita
pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu anhu
tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian
ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu
anhu, ternyata Umar radhiyallahu anhu tidak menyalahkannya.
Sayidina Umar radhiyallahu anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu,
Perbuatanmu ini syirik, atau berkata, Mengapa kamu pergi ke makam
Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan
beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu. Hal ini menjadi
bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah
ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi
sahabat, tabiin dan penerusnya
H. Makam Ulama atau auliya yang sering diziarahi dengan tujuan
tabarruk antara lain :
a) Makam Imam Abu Hanifah














)











(519 / 2 123 / 1
"Dari Ali bin Maimun, ia berkata: Saya mendengar Syafi'i berkata bahwa:
Saya mencari berkah dengan mendatangi makam Abu Hanifah setiap
hari. Jika saya memiliki hajat maka saya salat dua rakaat dan saya
mendatangi makam Abu Hanifah. Saya meminta kepada Allah di dekat
makam Abu Hanifah. Tidak lama kemudian hajat saya dikabulkan" (al-Hafidz
Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad I/123 dan Ibnu Abi Wafa
dalam Thabaqat al-Hanafiyah II/519)
b) Makam Yahya bin Yahya

(1756 261 / 11
"al-Hakim berkata: Saya mendengar Abu Ali al-Naisaburi berkata bahwa
saya berada dalam kesulitan yang sangat berat, kemudian saya bermimpi
melihat Rasulullah Saw seolah beliau berkata kepada saya: Pergilah ke
makam Yahya bin Yahya, mintalah ampunan dan berdolah kepada Allah,
maka hajatmu akan dikabulkan. Pagi harinya saya melakukannya dan hajat
saya dikabulkan" (al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib XI/261 dan
al-Hafidz al-Dzhabi dalam Tarikh al-Islam 1756)
c) Makam Ma'ruf al-Kurkhi

81


)












2 404 / 13 343 / 9
(324 /
"Diriwayatkan dari Ibrahim al-Harabi, ia berkata: Makam Ma'ruf al-Kurkhi
adalah laksana obat yang mujarab. Yang ia maksud terkabulnya doa orang
yang membutuhkan di dekat makam tersebut. Sebab tempat-tempat yang
diberkati diharapkan doanya terkabulkan, sebagaimana doa saat waktu
sahur dan setelah salat lima waktu dan di masjid. Bahkan doa orang yang
membutuhkan dikabulkan di tempat manapun" (al-Hafidz al-Dzahabi
dalam Siyar A'lam al-Nubala' IX/343 danTarikh al-Islam XIII/404, dan Ibnu alJauzi dalam Shifat al-Shafwah II/324)
!

(











)


47 / 1 )


(232 / 5
"Penduduk Baghdad meminta hujan kepada Allah dengan pelantara
Ma'ruf al-Kurkhi, dan mereka berkata: Makam Ma'ruf adalah obat yang
mujarab. Abdurrahman al-Zuhri berkata: Makamnya dikenal untuk
terkabulnya kebutuhan. Dikatakan bahwa barangsiapa membaca al-Ikhlas
100 kali di dekat makam Ma'ruf al-Kurkhi dan meminta kepada Allah, maka
Allah mengabulkannya. Begitu pula di makam Asyhab dan Ibnu Qasim, murid
Imam Malik. Keduanya dimakamkan di satu tempat di Qarafah Mesir. Konon
peziarahnya jika dating ke dua makam tersebut dengan menghadap kiblat
dan berdoa kepada Allah, maka akan dikabulkan dan sudah terbukti mujarab.
Saya sudah menziarahinya dan membaca al-Ikhlas 100 kali di dekatnya, saya
berdoa kepada Allah dengan harapan sesuatu yang menimpa saya hilang,
dan ternyata hilang" (Ibnu al-Mulaqqin dalam Thabaqat al-Auliya' I/47 dan
Ibnu Khalkan dalam Wafiyat al-A'yan V/232)
d). Makam Musa bin Ja'far al-Kadhim


(120 / 1 )



"Diriwayatkan dari Ali al-Khallal (pemuka Madzhab Hanbali), ia berkata:
Saya tidak pernah mengalami masalah lalu saya datang ke makam Musa bin
Ja'far dan bertawassul dengannya, kecuali Allah memudahkan kepada saya
hal-hal yang saya inginkan" (al-Hafidz Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh
Baghdad I/120)
e). Makam Ali bin Musa al-Ridla


82


)
















(339 / 7
"Abu Bakar bin Muammal berkata: Kami berangkat bersama pemuka
ahli hadis Abu Bakar bin Khuzaimah dan rekannya, Abu Ali al-Tsaqafi, beserta
rombongan guru kami untuk berziarah ke makam Ali bin Musa al-Ridla di
Thus. Abu Bakar bin Muammal berkata: Saya melihat ke-ta'dzim-an belia
(Ibnu Khuzaimah) terhadap makam itu dan sikap tawadlu' terhadapnya dan
doa beliau yang begitu khusyu', sampai membuat kami bingung" (al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib VII/339)
Imam Syafii Meminum Air Cucian Jubah Imam Ahmad

( 400 / 1 )-
(265 / 1 )-
: :
: .

: .
: :
: ! :
:
:
: : .

:
: . :
. : .
Ibnu Jawzi menuturkan sebuah kisah: bahwa pada suatau malam,
Imam SyafiIbermimpi bertemu Rasulullah saw. dan memerintahnya agar
menyampaikan salam beliau kepada Imam Ahmad ibn Hanbal. Kesokan
harinya, Imam SyafiImemerintahkan Rab- murid beliau- agar membawakan
surat menemui ImamAhmad ibn Hanbal. Rab bergegas pergi menuju kota
Baghdad dan menyerahkansurat tersebut, setelah membacanya, Ahmad
meneteskan
air
mata.
Rabibertanya
kepadanya,
Ada
apa
di
dalamnya wahai Abu Abdillah? Ahmad menjawab Beliau menyebut bahwa
beliau melihat nabi dalam mimpi dan berkata kepadanya, Tulislah surat
kepada Abu Abdillah Ahmad ibn Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya!
Dan katakan, Engkau akan diuji dan dipaksa mengatakan bahwa Alquran
itu makhluq, maka jangan engka turuti permintaan mereka, Allah
akan meninggikan derajatmu sebagai panutan di setiap masa hingga hari
kiamat. Rabi berkata, Aku berkata, Ini kabar gembira. Lalu Ahmad melepas
baju dalamnya yang menyentuh badannya dan menyerahkannya kepadaku,
akumengambilnya dan akupun pulang menuju negeri Mesir bersama surat
jawabanAhmad. Setelah aku serahkan kepadanya, ia bertanya, Apa yang ia
berikankepadamu? Aku menjawab, baju gamis yang langsung menyentuh
badannya SyafiI berkata kepadaku, Aku tidak ingin merampasnya darimu,
83

tapi basahi dia dan serahkan kepadaku sisa air cuciannya agar aku juga
dapat mendapat berkahsepertimu. Maka, kata rabi, Aku mencucuinya, dan
aku bawakan sisa aircuciannya kepadanya aku telakkan di botol, aku
menyaksikan
beliau
setiap
harimengambil
sedikit
air
darinya
dan mengusapkannya ke wajah beliau, untukmengambil keberkahan dari
Ahmad ibn Hanbal. (Manaqib Ahmad ibn Hanbal: 455 dan Al Bidayah wa
an Nihayah; Ibnu Katsir,10/331 dari al Baihaqi)

XIV
MEMPERINGATI ULANG TAHUN KELAHIRAN
Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang
didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan
yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana
yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang
lain, di antaranya :
a. Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.
b. Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
c. Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
d. Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
e. Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane
bayi.
f. Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.
Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang
anaknya. Mereka menyebutnya bancaan tiron. Sebagian warga kita ada
yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan
upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.
Pertanyaan penting yang perlu dijawab sehubungan dengan masalah ini
adalah :
a. Apakah
ada
dasar
berupa
dalil
dari
syara
mengenai
acara peringatan hari ulang tahun kelahiran?
b. Kalau tidak ada, bagaimana hukumnya orang Islam mengadakan
acara ulang tahun itu?
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini
dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam
selamatan
itu
ada
unsur-unsur
kebaikan,
di
antaranya:
menyampaikan tahniah/ucapan
selamat
kepada
sesama
muslim,
mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana
sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendoakan si anak semoga
menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang
bertentangan dengan syariat Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara mengenai peringatan
ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan
masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan
bahwa sewaktu sahabat Kaab bin Malik menerima kabar gembira dari nabi
saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah
menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahniah).
84

Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun


adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya,
namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya.
Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran
kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat
permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syiar
orang-orang non muslim atau syiar orang fasik.
Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan
dari kitab al-iqna juz I hal. 162 :

.






Artinya :
Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari
salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang
tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh
banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang
masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat,
menurut pendapat kami, tahniah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bidah,
Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa
tahniah itu disyariatkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu
bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : Maa ruwiya fii qaulin nas dan
seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang dlaifdlaif. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang
tahniah. Secara umum, dalil dalil tahniahbisa diambil dari adanya anjuran
sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan
kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga
dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Kaab bin
Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat,
ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap
kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk
menyampaikan ucapan selamat kepadanya.
XV
Kupas Tuntas Legalitas Tawassul
Banyak kita dapati orang bertanya-tanya tentang masalah tawassul.
Masalah ini sebenarnya sudah dibahas secara tuntas oleh para ulama sejak
dahulu dan diabadikan dalam kitab-kitab mereka. Namun sayangnya, di
zaman ini banyak orang jahil berfatwa di sana-sini tanpa ilmu, bahkan tak
85

sedikit yang mengkafirkan sesama muslim secara massal karena


permasalahan yang sebenarnya tidak sampai level takfir. Lalu bagaimana
sebenarnya?
Tulisan ini berusaha memaparkan penjelasan secara ringkas beserta
dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah beserta nukilan-nukilan perkataan para
ulama Ahlussunnah tentang masalah tawassul demi menyingkap kabut yang
selama ini menyelimuti akal sebagian orang.
Apa itu tawassul?
Tawassul secara bahasa artinya mendekat (taqarrub) atau menjadikan
sesuatu sebagai perantara untuk mendekatkan diri ke sebuah tujuan
tertentu. Secara istilah, tawassul berarti menjadikan sesuatu sebagai
perantara menuju Allah SWT untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Perantara
itu disebut wasilah. (lihat: Lisanul Arab, Asasul Balaghoh dan Tartib Qamus
Al Muhith: wa-sa-la)
Firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah


wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada
jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 35)
Tawassul juga bisa bermakna mendekatkan diri kepada Allah dengan
perantara doa dari orang lain, misalnya kita mengatakan kepada seseorang,
Mohon doakan saya. Berarti kita sedang bertawassul kepada Allah dengan
doa orang itu.
Tawassul juga bisa bermakna berdoa kepada Allah secara langsung
dengan menyertakan wasilah dalam doa. Wasilah itu bisa berupa hal-hal
berikut ini:
1.
Amal shalih, seperti shalat, puasa, haji dan lain-lain. Misalnya kita
mengatakan, Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan
shalat, puasa dan haji yang aku lakukan, berikanlah aku kesembuhan.
2.
Nama-nama Allah yang indah (asmaul husna) dan sifat-sifatNya yang
tinggi (shifatul ulya), misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan
perantaraan nama-namaMu yang mulia dan indah dan dengan sifat-sifatMu
yang agung dan tinggi, berikanlah kami hujan.
3.
Nama-nama para nabi dan orang-orang shalih terdahulu misalnya, Ya
Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantaraan nabi-nabiMu yang
Engkau muliakan dan orang-orang shalih yang Engkau cintai serta waliwaliMu yang Engkau istimewakan, berikanlah kami keselamatan.
4.
Arsy (kerajaan) Allah, misalnya, Ya Allah, aku memohon kepadaMu
dengan keagungan ArsyMu, berikanlah kami rezeki.
Mengapa harus bertawassul dan apa hukumnya?
Perlu diketahui bahwa bertawassul tidaklah wajib. Seandainya
seseorang ingin berdoa kepada Allah secara langsung tanpa menjadikan
sesuatu apapun sebagai perantara, maka hal itu tak mengapa. Namun,
sebagai makhluk yang penuh dengan dosa dan kemaksiatan, kita
membutuhkan perantara yang dapat mengantarkan kita kepada tujuan kita,
Allah SWT. Perantara itu bisa berupa amal shalih atau doa orang shalih yang
masih hidup, sehingga kita sering meminta doa dari orang-orang yang kita
anggap shalih dengan harapan agar Allah berkenan mengabulkan doanya.
86

Bukan karena kita tidak percaya diri dengan doa kita, tapi untuk lebih
menguatkan doa itu agar lebih mudah diijabah oleh Allah. Hal ini lumrah
dilakukan oleh setiap muslim.
Dalam ayat yang kita sebutkan di atas, Allah SWT memerintahkan kita
untuk mencari perantara agar dapat mempermudah jalan untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Ibnu Taimiah menganggap bertawassul dengan keimanan dan amal
shalih sebagai sebuah kewajiban bagi setiap muslim, baik ketika Rasulullah
SAW masih hidup maupun setelah beliau wafat, karena menurutnya,
seseorang tak dapat selamat dari api neraka kecuali dengan keimanan dan
amal shalih. Oleh karena itu, bertawassul dengan kedua hal itu adalah wajib
hukumnya. (Qaidah Jalilah hal. 5, Mausuah Fiqhiyah Kuwaitiyah)
Dalam Al Quran, Allah juga memuji hamba-hambaNya yang bertawassul
kepadaNya.

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari wasilah


(jalan) kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat
(kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al
Israa: 57)
Sejak zaman Nabi SAW hingga berabad-abad setelahnya, umat Islam
terbiasa dengan amalan yang dinamakan tawassul tersebut tanpa ada
pengingkaran dari seorang pun. Mereka terbiasa mencari-cari wasilah
(perantara) yang dianggap dapat mengantarkan doa mereka kepada Allah,
misalnya dengan mendatangi orang shalih yang masih hidup untuk dimintai
doa, atau yang sudah mati untuk mengambil berkah kuburannya, atau bisa
juga menyertakan nama-nama orang shalih dalam doa mereka, misalnya,
Ya Allah, dengan kemuliaan Fulan, kabulkanlah doa kami.
Dalil Tawassul
Berikut ini dalil-dalil mengenai disyariatkannya tawassul.
Tawassul Dengan Nama Allah (Asmaul Husna)
Allah berfirman, Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orangorang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka
kerjakan. (QS Al Araaf: 180)
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk bertawassul dengan asmaul
husna.
Dalam hadis riwayat Anas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah SAW
mengajarkan doa berikut ini:

Wahai Tuhan Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya), dengan rahmatMu aku memohon pertolongan. (HR. Tirmidzi, Nasai,
Ibnus Sunni, Hakim, Baihaqi dalam Syuabul Iman dan Dhiya. Lihat: Al Jami
Al Kabir)
Di antara doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW adalah:

87




(Ya Allah), aku memohon kepadaMu dengan setiap nama yang Engkau
miliki, yang dengannya Engkau namai diriMu sendiri, atau yang Engkau
turunkan di dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang
dari hambaMu, atau yang Engkau istimewakan dalam ilmu ghaib milikMu.
(HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Hakim dari Ibnu Masud. Lihat: Al
Jami Al Kabir)
Dalam hadis riwayat Imran bin Hushain ia berkata: aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda:

Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada


Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum
yang membaca Al Quran lalu mereka meminta kepada manusia dengan Al
Quran itu. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman.
Lihat: Al Jami Al Kabir)
Tawassul Dengan Amal Shalih
Para ulama telah bersepakat (ijma) bahwa tawassul dengan amal shalih
diperbolehkan. Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata al-wasilah
dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa: 57 dengan amal shalih.
Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih
dahulu sebelum disebutkan doa:

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada


Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Ayat itu memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang
beramal shalih telebih dahulu.
Serupa dengan ayat itu ada ayat-ayat berikut ini:

(Yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami


telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari
siksa neraka, (QS. Ali Imran: 16)



Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel)
berkatalah dia: Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk
(menegakkan agama) Allah? Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia)
menjawab: Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman
kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orangorang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa
yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu
masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi
(tentang keesaan Allah).
Dalam hadis riwayat Buraidah bahwa Rasulullah SAW pernah
mendengar seorang lelaki berdoa:

88

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dengan (kesaksian)


bahwa Engkau adalah Allah, tiada tuhan selain Engkau, Tuhan Yang Tunggal
dan segala sesuatu bergantung kepadaNya, Yang tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dan tak ada satu pun yang setara denganNya.
Lalu Rasulullah SAW bersabda:

Sungguh kau telah memohon kepada Allah dengan perantara
namaNya yang paling agung, yang jika Dia diminta dengan nama itu Dia
pasti memberi, dan jika dipanggil dengan nama itu Dia pasti menjawab.(HR.
Abu Daud, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Majah, Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam hadis riwayat Abdullah bin Umar tentang tiga orang yang
terjebak dalam gua juga disebutkan tawassul dengan amal shalih. Hadis itu
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim sebagai berikut:
Rasulullah SAW bersabda: Ketika tiga orang pemuda sedang berjalan,
tiba-tiba turunlah hujan lalu mereka pun berlindung di dalam sebuah gua
yang terdapat di perut gunung. Sekonyong-konyong jatuhlah sebuah batu
besar dari atas gunung menutupi mulut gua yang akhirnya mengurung
mereka. Kemudian sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:
Ingatlah amal saleh yang pernah kamu lakukan untuk Allah, lalu mohonlah
kepada Allah dengan amal tersebut agar Allah berkenan menggeser batu
besar itu. Salah seorang dari mereka berdoa: Ya Allah, sesungguhnya dahulu
aku mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia, seorang istri dan
beberapa orang anak yang masih kecil di mana akulah yang memelihara
mereka. Setelah aku mengandangkan hewan-hewan ternakku, aku segera
memerah susunya dan memulai dengan kedua orang tuaku terdahulu untuk
aku minumkan sebelum anak-anakku. Suatu hari aku terlalu jauh mencari
kayu (bakar) sehingga tidak dapat kembali kecuali pada sore hari di saat aku
menemui kedua orang tuaku sudah lelap tertidur. Aku pun segera memerah
susu seperti biasa lalu membawa susu perahan tersebut. Aku berdiri di
dekat kepala kedua orang tuaku karena tidak ingin membangunkan
keduanya dari tidur namun aku pun tidak ingin meminumkan anak-anakku
sebelum mereka berdua padahal mereka menjerit-jerit kelaparan di bawah
telapak kakiku. Dan begitulah keadaanku bersama mereka sampai terbit
fajar. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap
keridaan-Mu, maka bukalah sedikit celahan untuk kami agar kami dapat
melihat langit. Lalu Allah menciptakan sebuah celahan sehingga mereka
dapat melihat langit. Yang lainnya kemudian berdoa: Ya Allah, sesungguhnya
dahulu aku pernah mempunyai saudara seorang puteri paman yang sangat
aku cintai, seperti cintanya seorang lelaki terhadap seorang wanita. Aku
memohon kepadanya untuk menyerahkan dirinya tetapi ia menolak kecuali
kalau aku memberikannya seratus dinar. Aku pun bersusah payah sampai
berhasillah aku mengumpulkan seratus dinar yang segera aku berikan
kepadanya. Ketika aku telah berada di antara kedua kakinya (selangkangan)
ia berkata: Wahai hamba Allah, takutlah kepada Allah dan janganlah kamu
merenggut keperawanan kecuali dengan pernikahan yang sah terlebih
dahulu. Seketika itu aku pun beranjak meninggalkannya. Jika Engkau
89

mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mencari keridaan-Mu, maka


ciptakanlah sebuah celahan lagi untuk kami. Kemudian Allah pun membuat
sebuah celahan lagi untuk mereka. Yang lainnya berdoa: Ya Allah,
sesungguhnya aku pernah mempekerjakan seorang pekerja dengan upah
enam belas ritel beras (padi). Ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya,
ia berkata: Berikanlah upahku! Lalu aku pun menyerahkan upahnya yang
sebesar enam belas ritel beras namun ia menolaknya. Kemudian aku terus
menanami padinya itu sehingga aku dapat mengumpulkan beberapa ekor
sapi berikut penggembalanya dari hasil padinya itu. Satu hari dia datang lagi
kepadaku dan berkata: Takutlah kepada Allah dan janganlah kamu
menzalimi hakku! Aku pun menjawab: Hampirilah sapi-sapi itu berikut
penggembalanya lalu ambillah semuanya! Dia berkata: Takutlah kepada
Allah dan janganlah kamu mengolok-olokku! Aku pun berkata lagi
kepadanya: Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, ambillah sapi-sapi
itu berikut penggembalanya! Lalu ia pun mengambilnya dan dibawa pergi.
Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu untuk mengharap
keridaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sedikit celahan lagi yang tersisa.
Akhirnya Allah membukakan celahan yang tersisa itu.
Tawassul Dengan Nabi SAW
Tawassul dengan Nabi SAW bisa bermakna seseorang memohon kepada
Nabi SAW agar mendoakan dirinya, atau bisa juga berdoa kepada Allah
dengan menyertakan nama beliau dalam doa. Adapun yang pertama, yaitu
memohon doa dari Nabi SAW, hal itu sering dilakukan oleh para sahabat
ketika beliau masih hidup. Hal itu disinggung dalam Al Quran:

Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang


kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima
tobat lagi Maha Penyayang. (QS. An Nisaa: 64)
Dalam sunnah pun hal itu sering disinggung. Dalam hadis Utsman bin
Hunaif disebutkan bahwa seorang buta memohon kepada Nabi agar
mendoakan dirinya supaya diberi kesembuhan. Lalu beliau menyuruhnya
berwudhu lalu berdoa dengan doa sebagai berikut:

Ya Allah, sungguh aku memohon kepadaMu dan aku menghadapkan


wajahku kepadaMu dengan perantaraan NabiMu Muhammad, Nabiyyur
Rahmah. Wahai Muhammad, sungguh aku menghadapkan wajahku dengan
perantaraanmu kepada Tuhanku tentang hajatku ini agar Dia memenuhinya.
Ya Allah, maka jadikanlah ia pemberi syafaatku. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Hakim)
Hadis riwayat Anas bin Malik:
Bahwa seorang sahabat memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu
searah dengan Darulqada. Pada waktu itu Rasulullah saw. sedang berdiri
berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah saw. sambil berdiri, lalu
berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan
terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan.
90

Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya dan berdoa: Ya Allah,


turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya
Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Kata Anas: Demi Allah, di langit kami
tidak melihat mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak
ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami
untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul
mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu
menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari
sedikit pun pada hari Jumat berikutnya. Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat
berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika
Rasulullah saw. sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil
berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata
pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah
berkenan menghentikannya. Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan
berdoa: Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas
gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh
pepohonan. Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar
matahari. (Shahih Muslim No.1493)
Tawassul Dengan Nabi SAW Setelah Beliau Wafat
Para ulama bersepakat bahwa tawassul dengan Nabi SAW ketika beliau
masih hidup adalah diperbolehkan. Namun mereka berbeda pendapat
mengenai tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat. Mayoritas
(jumhur) ulama membolehkannya, di antaranya adalah Malikiyah, Syafiiyah,
Mutaakhirin Hanafiyah dan Mazhab Hambali, sedangkan sebagian Hanabilah
tidak memperbolehkannya. Berikut ini rinciannya:
1. Pendapat Malikiyah
Al Qasthallani berkata: Telah diriwayatkan bahwa Imam Malik ketika
ditanya oleh Abu Jafar Manshur Al Abbasi, Khalifah kedua Bani Abbas,
Wahai Abu Abdillah (Imam Malik), apakah saya harus menghadap Rasulullah
lalu berdoa atau menghadap kiblat lalu berdoa?
Imam Malik menjawab, Mengapa kau memalingkan wajahmu darinya
(Rasulullah) padahal ia adalah wasilah (perantara)mu dan wasilah bapakmu
Adam AS kepada Allah pada hari Kiamat? Menghadaplah ke arahnya, lalu
minta kepada Allah dengannya, Dia akan menjadikannya pemberi syafaat
bagimu.
Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Al Hasan Ali bin Fihr dalam
kitabnya, Fadhoil Malik (keutamaan-keutamaan Malik) dengan sanad yang
tak ada masalah. Juga disebutkan oleh Al Qadhi Iyadh dalam kitabnya AsySyifa melalui jalurnya dari para pembesar masyayikhnya yang terpercaya.
2. Pendapat Syafiiyah
Imam Nawawi berkata mengenai adab ziarah kubur Nabi SAW,
Kemudian orang yang berkunjung itu menghadapkan wajahnya ke arah Nabi
SAW lalu bertawassul dengannya dan memohon syafaat dengannya kepada
Allah. (Al Majmu8/274)
Izzuddin bin Abdissalam berkata, Sebaiknya hal ini hanya berlaku untuk
Rasulullah SAW saja karena beliau adalah pemimpin Bani Adam (manusia).
As Subki berkata, Disunnahkan bertawassul dengan Nabi SAW dan
meminta syafaat dengannya kepada Allah SWT.
91

Dalam Ianat at Thalibin disebutkan, Aku telah datang kepadamu


dengan beristighfar dari dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada
Tuhanku.
(Lihat: Faidhul
Qadir 2/134/135, Ianat
at
Thalibin 2/315, Muqaddimah At Tajrid Ash Sharih tahqiq Dr Musthofa Dib Al
Bugho)
3. Pendapat Hanabilah
Ibnu Qudamah berkata dalam Al Mughni, Disunnahkan bagi yang
memasuki masjid untuk mendahulukan kaki kanan kemudian anda masuk
ke kubur lalu berkata Aku telah mendatangimu dengan beristighfar dari
dosa-dosaku dan memohon syafaat denganmu kepada Allah.
Demikian pula dalam Asy Syarhul Kabir.
4. Pendapat Hanafiyah
Adapun Hanafiyah, para ulama Mutaakhirin mereka telah membolehkan
bertawassul dengan Nabi SAW.
Al Kamal bin Al Humam berkata dalam Fathul Qadir tentang ziarah
kubur
Rasulullah
SAW,
kemudian
dia
berkata
pada
posisinya: Assalamualaika ya rasulallah (salam bagimu wahai Rasulullah)
dan memohon kepada Allah hajatnya dengan bertawassul kepada Allah
dengan Hadrat NabiNya SAW.
Pengarang kitab Al Ikhtiyar menulis, Kami datang dari negeri yang
jauh dan memohon syafaat denganmu kepada Rabb kami kemudia
berkata: dengan memohon syafaat dengan NabiMu kepadamu.
Hal yang senada juga disebutkan dalam kitab Maraqi Al Falah dan Ath
Thahawi terhadap Ad Durrul Mukhtar dan Fatawa Hindiyah, Kami telah
datang mendengar firmanMu, menaati perintahMu, memohon syafaat
dengan NabiMu kepadaMu.
5. Pendapat Imam Syaukani
Imam Syaukani berkata, Dan bertawassul kepada Allah dengan para
nabiNya dan orang-orang shalih. (Tuhfatu Adz Dzakirin karangan Syaukani
37)
6. Pendapat Ibnu Taimiah
Ibnu Taimiah berpendapat bahwa bertawassul dengan zat Nabi SAW
tidak diperbolehkan, karena menurutnya tawassul dengan Nabi SAW
mengandung 3 kemungkinan. Pertama, tawassul dengan iman dan islam,
yaitu beriman kepada Nabi Muhammad SAW dan menaatinya, ini hukumnya
boleh. Kedua, tawassul dengan doa Nabi SAW, ini juga boleh sebagaimana
Umar bin Khattab bertawassul dengan Nabi SAW dan paman Nabi,
maksudnya yaitu dengan doa mereka berdua. Ketiga, tawassul dalam arti
bersumpah dan meminta dengan zat Nabi SAW, ini yang tidak boleh.
Munaqasyah (Adu Argumentasi)
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 432 hadis no. 963
disebutkan:


:
*

*

92

Abdullah bin Dinar berkata, Saya mendengar Ibnu Umar


mempresentasikan syair Abu Thalib, Semoga awan putih disiramkan dengan
pertolongan wajahnya. Untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi
janda janda.
Dari sanad yang muallaq dari Ibnu Umar, ia berkata, Sering saya
mengingat perkataan seorang penyair sambil saya melihat wajah Rasulullah
memohon hujan, dan beliau tidak turun sehingga tiap-tiap saluran (selokan)
mengalir, Semoga awan putih disiramkan (dijadikan hujan dengan
pertolongan) wajahnya, untuk menolong anak-anak yatim dan melindungi
para janda. Syair itu adalah perkataan Abu Thalib.
Dari hadis di atas, jelas bahwa dahulu sebagian sahabat berdoa kepada
Allah sambil membayangkan wajah Rasulullah SAW dengan harapan agar
doanya dikabulkan. Ini adalah salah satu bentuk tawassul, yaitu dengan
menjadikan bayangan wajah Rasulullah SAW sebagai perantara (wasilah)
dikabulkannya doa.
Dalam Shahih Bukhari Bab Istisqa juz 1 hal. 342 hadis no. 946 juga
disebutkan:


:
.

Anas bin Malik mengatakan bahwa Umar bin Al Khatthab apabila terjadi
kemarau panjang, dia selalu memohon hujan dengan wasilah (perantaraan)
Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata, Ya Allah, sesungguhnya kami
dahulu selalu bertawassul dengan Nabi kami, kemudian Engkau turunkan
hujan. Sesungguhnya kami sekarang bertawassul dengan paman Nabi kami,
maka berilah kami hujan. Anas berkata, Lalu mereka diberi hujan.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari berkomentar:





Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul (mengambil
perantara) dengan Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi
untuk berdoa memohon hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya
mereka melakukan kedua-duanya, yaitu memohon hujan kepada Allah
sambil menjadikan Nabi SAW sebagai perantara. Ibnu Rusyaid berkata,
Mungkin yang dimaksud oleh penulis (Imam Bukhari) dalam menulis
judulnya adalah beliau ingin berargumen dengan metode Al-Awla. Artinya,
jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara beliau, maka
lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk permintaan. (Fathul
Bari 2/495)
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa dahulu Umar bin Khattab
bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, dengan harapan agar doanya
mudah dikabulkan. Beliau menyebutkan nama Rasulullah kemudian Abbas
dalam doanya. Ini juga merupakan salah satu bentuk tawassul, yaitu
menyertakan nama orang shalih dalam doa.
93

Dalam hadis riwayat Anas disebutkan doa Nabi SAW untuk Fathimah
binti Asad:



Ampunilah dosa ibuku, Fathimah binti Asad,
bimbinglah dia mengucapkan hujjahnya, luaskankah tempat masuknya,
dengan perantara hak NabiMu dan para Nabi yang sebelumku,
sesungguhnya Engkau Yang Paling Pemurah. (HR. Thabrani dan Abu Nuaim,
di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh
)Ibnu Hibban, selebihnya perawinya adalah perawi shahih
Dalam Sunan Ibnu Majah juz 1 hal. 256 hadis no. 778 disebutkan:

.
. :
)
.
. .
.
( .
.

Artinya:
Abu Said Al Khudri berkata: Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa
keluar dari rumahnya menuju salat lalu berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku
memintamu dengan perantara orang-orang yang meminta dan dengan
perantara hewan-hewan ternak inidst.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad juz 3 hal.
21 hadis no. 11172:

Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa salah seorang sahabat mulia,
yaitu Abu Said Al Khudri bertawassul dengan manusia dan hewan-hewan
ternak sebagai perantara dikabulkannya doa.
Dalam hadis riwayat Utsman bin Hunaif juga disebutkan bahwa
Rasulullah SAW mengajari salah seorang sahabat yang buta untuk membaca
doa berikut ini:




Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan aku
menghadapkan wajahku kepadaMu dengan Nabiku Muhammad, Nabiyur
Rahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan wajahku
94

kepada Allah denganmu, supaya mengabulkan hajatku atau hajatku kepada


Fulan atau hajatku dalam urusan ini dan itudst.
Hadis di atas diriwayatkan oleh:
1. Imam Bukhari dalam Tarikh Kabirnya secara ringkas.
2. Imam Tirmidzi dalam Jaminya lalu beliau berkomentar, Ini adalah
hadis shahih gharib yang tidak kami ketahui kecuali melalui jalur
ini. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
3. Ibnu Majah dalam Bab Shalat Hajat dari Sunnah-Sunnahnya dan
dishahihkan oleh Abu Ishaq. Syaikh Albani juga menshahihkannya.
4. Imam Nasai dalam kitabnya, Amalul Yaumi wal Lailah.
5. Imam Abu Nuaim dalam kitabnya, Marifatus Shahabah.
6. Imam Baihaqi dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah.
7. dll.
Hadis ini dishahihkan oleh sejumlah huffazh yang setidaknya jumlah
mereka mencapai 15 orang, sebagaimana disebutkan oleh Imam Muhammad
Zahid Al Kautsari dalam kitabnya Muhiqqu At Taqawwul. Mereka adalah At
Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thabrani, Abu Nuaim, Al Baihaqi, Al
Mundziri, dll. Bagi yang ingin meneliti sanad hadis ini silahkan baca buku
yang saya tunjukkan tersebut.
Dalam hadis di atas, jelas sekali bahwa Rasulullah mengajarkan doa
yang berisi tawassul kepada beliau. Mengkhususkan doa tersebut untuk
sebelum Rasulullah SAW meninggal merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216, Imam Suyuthi menukil hadis
dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya,Dalailun Nubuwwah:

:

:

Ibnu Abbas berkata: Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum
diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon
kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, Ya Allah,
sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan (perantara)
kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka. Lalu
mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni
Muhammad, telah datang, mereka ingkar
Dari hadis di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak
sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadis di atas juga menjadi dalil
diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.
Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 1 hal 216,
Imam Suyuthi menukil hadis lain dari penulis yang sama dan kitab yang
sama:

:


:

95

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Mustadrak Al Hakim juz 2 hal 298
hadis no. 3042:



:
:
:

] [
:

Hadis serupa juga diriwayatkan dalam Dalailun Nubuwwah Imam
Baihaqi juz 1 hal 461 hadis no. 411:

: :
: :
:

:
. :
.
: ) (1
:
Dalam kitab Dalailun Nubuwwah Imam Baihaqi juz 8 hal. 91 hadis no.
2974 disebutkan:

:

:
:

. : .
:

Malik Ad Dar berkata: Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin
Khattab, lalu datanglan seorang lelaki ke kubur Nabi SAW lalu berdoa:
Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu,
sesungguhnya mereka telah binasa. Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah
SAW dalam mimpinya. Beliau bersabda, Datanglah kepada Umar lalu
sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian
akan diberi hujan. Katakan juga: hendaknya kalian..dst. lalu lelaki itu
mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar
pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali
dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Al Hafizh Ibnu Katsir menshahihkan hadis ini dalam kitabnya, Al Bidayah
wan Nihayah juz 7 hal. 105, beliau berkata:
.
Sanad hadis ini
96

Hadis yang sama juga diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
juz 6 hal. 236 hadis no. 32002:







Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani juga menshahihkan hadis ini dalam
Fathul Bari juz 2 hal. 495, beliau berkata:





Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu
Shalih dari Malik Ad Dardst.
Hadis ini juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya, Tarikh
Kabir, secara ringkas.
Tawassul Salafus Shalih
Sebagian orang mengira bahwa tawassul tidak pernah dicontohkan oleh
para salafus shalih. Berikut ini beberapa nukilan tentang tawassul salafus
shalih.
Imam Syafii Bertabarruk di kuburan Imam Abu Hanifah
Dalam kitab Tarikh Baghdad karangan Al Khathib Al Baghdadi yang
sangat populer itu, disebutkan dengan sanad shahih bahwa Imam Syafii
sering datang ke kuburan Imam Abu Hanifah untuk mengambil berkahnya
(tabarruk). Berikut ini teksnya:








Di sebelah timur terdapat kuburan Al Khaizuran, di dalamnya terdapat
kuburan Muhammad bin Ishaq penulis Sirah, dan kuburan Abu Hanifah
Numan bin Tsabit, Imamnya ahli rayi Ali bin Maimun berkata: Saya pernah
mendengar Asy Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar mengambil
berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah, aku datang ke kuburannya
setiap hari, yakni sebagai peziarah, jika aku memiliki keinginan
(hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan
memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya dipenuhi
hajatku. (Tarikh Baghdad 1/123)
Dalam kitab yang sama juga disebutkan:

97

:





Bab: Berita tentang kuburan-kuburan Baghdad yang dikhususkan untuk
para ulama dan ahli zuhud di sebelah Barat. Di puncak kota terdapat
kuburan-kuburan Quraisy. Di dalamnya dimakamkan Musa bin Jafar bin
Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Ali bin Abi Thalib dan sejumlah tokohtokoh pembesar bersamanya Ahmad bin Jafar bin Hamdan Al QathiI
berkata: Aku pernah mendengar Al Hasan bin Ibrahim Abu Ali Al Khilal
berkata: Tak pernah aku ditimpa kesusahan kemudian aku
mendatangi kuburan Musa bin Jafar lalu aku bertawassul
dengannya kecuali Allah memudahkan apa yang aku inginkan.
(Tarikh Baghdad 1/120)
Dalam Manasik Imam Ahmad riwayat Abu Bakr Al Maruzi juga
disebutkan tawassul dengan Nabi SAW. Redaksi tawassul itu disebutkan oleh
Abul Wafa bin Aqil, salah seorang pembesar ulama mazhab Hambali secara
panjang lebar dalam kitab Tadzkirohnya. Al Hafizh Abdul Ghaniy Al Maqdisi
juga pernah mengusap kuburan Imam Ahmad demi memperoleh
kesembuhannya. Dan masih banyak lagi bukti-bukti sejarah bahwa tawassul
dengan orang mati sudah dipraktekkan oleh kaum muslimin sejak dahulu
kala tanpa ada pengingkaran dari seorangpun. Apakah kita berani memvonis
mereka semua kafir, syirik, penyembah berhala dan kubur?
Syubhat dan Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat seputar tawassul beserta jawabannya.
Syubhat pertama: Tawassul dengan orang mati tidak boleh
Sebagian orang menuduh orang yang melakukan tawassul dengan
orang mati sebagai penyembah berhala, musyrik, dan lain-lain. Mereka
membedakan antara tawassul dengan orang yang masih hidup dengan yang
sudah mati. Mereka lalu menakwilkan hadis-hadis yang secara jelas, tegas
dan lugas menyebutkan bolehnya bertawassul dengan orang yang sudah
mati. Sebenarnya mereka tak memiliki sandaran yang kuat kecuali hadis
Umar bin Khattab yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagaimana telah
disebutkan di atas. Namun mereka menafsirkannya dengan penafsiran yang
kurang tepat dan menakwilkan teks tersebut dengan penakwilan yang tidak
pada tempatnya.
Di antara penafsiran tersebut adalah, menganggap bahwa Umar bin
Khattab bertawassul dengan Abbas, paman Nabi, disebabkan Nabi telah
meninggal dunia. Ini adalah penafsiran batil sebagaimana akan kita jelaskan
nanti. Adapun penakwilan mereka adalah, menakwilkan perkataan Umar,
Dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami dan Sekarang kami
bertawassul dengan paman Nabi kami, mereka menyisipkan tambahan kata
yang tidak semestinya disisipkan, yaitu kata doa sehingga bunyi perkataan
Umar menjadi, Dahulu kami bertawassul dengan (doa) Nabi SAW dan
Sekarang kami bertawassul dengan (doa) paman Nabi. Jadi, mereka
98

menganggap bahwa Umar bertawassul dengan doa Nabi dan doa Abbas,
bukan dengan zat mereka berdua.
Adapun penafsiran mereka bahwa Umar bertawassul dengan Abbas
dikarenakan Nabi telah meninggal dunia, ini merupakan penafsiran yag tak
berdasarkan dalil, karena kata kunna (dahulu kami selalu) bermakna
istimrar (berkelanjutan), artinya dahulu mereka selalu bertawassul dengan
Nabi, baik sebelum meninggal maupun setelah meniggal. Kemudian baru
ketika datang musim paceklik (Tahun Ramadah), mereka memanggil paman
Nabi untuk bertawassul dengan beliau, karena peristiwa tersebut terjadi
pada Tahun Ramadah. Mengkhususkan makna dahulu kami selalu dengan
dahulu (sebelum mati) kami selalu merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Jadi, tidak ada penunjukkan sama sekali bahwa tawassul yang dilakukan oleh
para sahabat hanya ketika Nabi belum meninggal saja.
Hadis ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan orang yang
lebih rendah kedudukannya (paman Nabi) di samping orang yang lebih tinggi
kedudukannya (Nabi SAW). Namun kendatipun demikian, Umar tetap
menyebutkan nama Rasulullah SAW dalam doanya, baru kemudian
menyebutkan nama paman Nabi setelah itu. Itulah maksud perkataan Ibnu
Rusyaid, Jika mereka dahulu meminta kepada Allah dengan perantara
beliau, maka lebih layak lagi jika mereka mendahulukan beliau untuk
permintaan.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Umar adalah disebabkan oleh
kedudukan Abbas di sisi Nabi, yaitu kedekatan hubungan kekerabatannya
dengan Nabi, sehingga bertawassul dengannya sama dengan bertawassul
dengan Nabi sendiri.
Adapun penakwilan bahwa yang dimaksud tawassul dengan Nabi dan
Abbas di situ adalah tawassul dengan doa mereka, ini adalah penakwilan
batil. Karena tawassul tidak selalu bermakna memohon doa. Memang
adakalanya seseorang memohon doa kepada orang lain untuk dirinya, tapi
ini bukan satu-satunya makna tawassul sebenarnya. Oleh karena itu, Al
Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani ketika mengomentari hadis di atas beliau
berkata, Perkataan Umar bahwa mereka dahulu selalu bertawassul dengan
Nabi SAW tidak berarti bahwa mereka meminta Nabi untuk berdoa memohon
hujan untuk mereka, karena mungkin juga artinya mereka melakukan keduaduanya, yaitu memohon hujan kepada Allah sambil menjadikan Nabi SAW
sebagai perantara.
Artinya, tawassul yang dilakukan oleh Umar adalah tawassul dengan zat
Nabi dan zat paman Nabi, bukan dengan doa mereka. Mengkhususkan
makna tawassul hanya dengan doa merupakan pengkhususan tanpa dalil.
Syubhat kedua: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis
Malik Ad Dar munkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam Tarikhnya.
Jawabnya, memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada. Imam
Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya, bahkan dalam
kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang panjang, lalu
menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan tambahan itu sudah
disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya
99

dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir. Jadi,
tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar, pasti para hafizh
sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada kita.
Syubhat ketiga: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan
oleh Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi.
Jawabnya, tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut majhul. Bahkan biografi perawi bernama Malik Ad Dar itu disebutkan
dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah Ibnu Hajar. Jika memang majhul,
tidak mungkin Dua Hafizh itu berani menshahihkan sanadnya.
Syubhat keempat: Bertawassul dengan orang mati merupakan
perbuatan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam QS Az
Zumar: 3.
Jawabnya, mari kita baca tafsir ayat itu dengan cermat. Ibnu Katsir
berkata dalam tafsirnya, Sesungguhnya yang telah menggiring mereka
(musyrikin) ke arah penyembahan berhala itu adalah karena mereka
menjadikan berhala-berhala yang diukir serupa malaikat menurut keyakinan
mereka, sebagai sesembahan, mereka menyembah berhala-berhala itu
sebagai bentuk penyembahan terhadap malaikat agar para malaikat itu
dapat menolong mereka di sisi Allah nanti.
Pernyataan Ibnu Katsir di atas jelas menunjukkan bahwa sejak awal
orang musyrik memang tidak menyembah Allah saja, melainkan juga
menyembah malaikat yang diukir menjadi berhala-berhala itu. Inilah yang
dinamakan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan sesembahan lain.
Berbeda dengan tawassul, orang yang bertawassul memohon kepada Allah
dengan menjadikan benda lain sebagai perantara. Oleh karena itu, Umar
mengawali doanya dengan kata, Ya Allah.
Lalu apakah masalah tawassul ini sampai pada level takfir?
Mari kita simak nasihat Ibnu Taimiah. Setelah menyebutkan perbedaan
pendapat dalam masalah ini beliau berkata:






:








.

:

{





}



Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil
pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya,
karena masalah ini adalah masalah khilafiyah, dalil-dalilnya tidak jelas dan
terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara
yang sudah maklum (diketahui) merupakan bagian dari agama secara pasti
atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma) atau
semisal itu. (Majmu Fatawa 1/106)
Analisa Hadis Malik Ad Dar Tentang Tawassul
Naskah Hadis
100







Telah mengabarkan kami Abu Muawiyah dari Al Amasy dari Abu Shalih
dari Malik Ad Dar ia berkata ia dahulu adalah bendahara Umar untuk urusan
logistik,
ia
berkata:
Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglan
seorang lelaki ke kuburan Nabi SAW lalu berdoa: Wahai Rasulullah, mintalah
hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa.
Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya. Beliau
bersabda, Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan
beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga:
hendaknya kalian bersikap bijaksana, hendaknya kalian bersikap bijaksana.
Lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya
tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata, Ya Rabb, aku tidak akan
berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Studi Sanad
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf
(6/236 no. 32002), Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah (8/91 no. 2974) dan
Al Khaliliy dalam Al Irsyad (1/313-314). Tentang riwayat Al Baihaqi, Ibnu
Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (7/105) berkata, Sanad hadis ini
shahih. Sedangkan tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari (2/495) berkata, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad
shahih dari riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Dar. Imam Bukhari dalam At
Tarikh Al Kabir (7/204 no. 1295) meriwayatkan dari Malik bin Iyadh bagian
akhir hadis ini, yaitu perkataan Umar, Ya Rabb, aku tidak akan berpaling
kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya.
Kesimpulan Hukum
Para ulama bersepakat mengenai bolehnya bertawassul dengan Nabi
SAW, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat berdasarkan
atsar di atas dan hadis-hadis lainnya. Baca: Kupas Tuntas Masalah
Tawassul
Syubhat Beserta Jawabannya
Berikut ini syubhat-syubhat yang beredar tentang hadis Malik Ad Dar
beserta jawabannya.
Syubhat pertama: Di dalam riwayat tersebut terdapat perawi mudallis
bernama Al Amasy dan dia meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal an
(dari). Padahal, seorang mudallis tidak diterima hadisnya kecuali jika ia
berkata haddatsana (ia telah memberitahu kami), akhbarona (ia telah
mengabarkan kami) dan semisalnya, bukan qola (ia telah berkata) atau
an (dari), karena kemungkinan ia mengambil hadis itu dari perawi dhaif
sehingga dapat menjadikan hadis itu menjadi lemah sebagaimana telah
maklum dalam Mustholahul Hadis.
101

Jawaban: Benar bahwa Al Amasy adalah seorang mudallis. Akan tetapi,


tidak semua ananahnya ditolak. Ananah Al Amasy dari Abu Shalih
diterima dan dianggap muttashil oleh para ulama. Ini adalah satu
kekhususan dan keistimewaan ananah Al Amasy dari Abu Shalih. Oleh
karena itu, Imam Bukhari memasukkannya dalam Shahihnya.
Syubhat kedua: Tidak diketahui apakah Abu Shalih pernah mendengar
hadis dari Malik Ad Dar atau tidak, karena Malik Ad Dar tidak diketahui kapan
tahun wafatnya.
Jawaban: Pernyataan tersebut keliru, sebab penyimakan Abu Shalih dari
Malik Ad Dar telah diketahui oleh para ahli hadis. Al Khalili berkata,
Dikatakan bahwasannya Abu Shalih As Sammaan telah mendengar hadis ini
dari Malik Ad Dar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsalkannya. (Al Irsyaad: 1/313). Pernyataan Al Khalili tersebut jelas
menunjukkan bahwa penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar adalah maruf
dan tidak diragukan lagi. Yang diragukan adalah penyimakannya tentang
hadis ini, bukan penyimakan secara umum dalam hadis-hadis lain.
Perhatikan kata hadis ini dalam pernyataan Al Khalili di atas, kata tersebut
mengkhususkan keumuman penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad Dar dalam
hadis-hadis lain. Lagipula, Abu Shalih bukan seorang mudallis yang suka
mengecoh orang lain dengan kata an untuk hadis yang tidak ia dengar,
sebagaimana kebiasaan para mudallisin.
Syubhat ketiga: Abu Shalih membawakannya dengan ananah,
sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat tersebut terputus (munqathi).
Jawaban: Pernyataan itu juga keliru. Kemungkinan terputus itu sangat
kecil bahkan mendekati nol, karena Abu Shalih bukan seorang mudallis.
Riwayat ananah dipermasalahkan jika berasal dari perawi yang mudallis.
Jadi ananah Abu Shalih diterima dan dianggap muttashil karena Abu Shalih
tsiqoh. Imam Bukhari juga memasukkan ananah Abu Shalih ke dalam
Shahihnya sebagaimana ananah Al Amasy dari Abu Shalih.
Syubhat keempat: Orang yang mendatangi kubur Nabi SAW itu tidak
diketahui identitasnya (mubham).
Jawaban: Kemubhaman orang tersebut tidak berpengaruh apa-apa,
karena yang menjadi hujjah adalah sikap (taqrir) Umar. Beliau tidak
mengingkari perbuatan lelaki tersebut. Seandainya perbuatan itu keliru,
pasti Umar sudah mengingkarinya.
Syubhat kelima: Malik Ad Dar bukan termasuk sahabat.
Jawaban: Tidak berpengaruh apakah dia sahabat atau bukan, karena
yang menjadi hujjah adalah sikap Umar terhadap perbuatan orang yang
menemuinya itu.
Syubhat keenam: Tambahan ziarah ke kuburan Nabi dalam hadis Malik
Ad Dar mungkar karena tidak disebutkan oleh Imam Bukhari dalam
Tarikhnya.
Jawabnya: Memang tambahan itu tidak disebutkan oleh Imam Bukhari
dalam Tarikhnya, namun bukan berarti tambahan itu tidak ada atau
mungkar. Imam Bukhari sering meringkas hadis-hadis yang diriwayatkannya,
bahkan dalam kitab Shahihnya beliau sering meringkas riwayat yang
panjang, lalu menyebutkan selengkapnya di tempat lain. Sedangkan
tambahan itu sudah disebutkan dalam riwayat Imam Baihaqi dan Ibnu Abi
102

Syaibah dan sanadnya dinilai shahih oleh Dua Hafizh, yaitu Ibnu Hajar dan
Ibnu Katsir. Jadi, tambahan itu shahih. Jika memang tambahan itu munkar,
pasti para hafizh sekaliber mereka berdua akan menerangkannya kepada
kita.
Syubhan ketujuh: Ibnu Hajar tidak menshahihkan sanad hadis itu secara
keseluruhan, melainkan hanya sampai Abu Shalih saja.
Jawaban: Ini adalah sebuah kecerobohan dan tuduhan yang tidak benar
terhadap Ibnu Hajar. Pernyataan Ibnu Hajar diselewengkan dari makna
sebenarnya. Seandainya sanad itu hanya shahih sampai Abu Shalih saja,
pasti pernyataan Ibnu Hajar adalah seperti ini, dengan sanad shahih
sampai Abu Shalih, bukan dengan sanad shahih dari riwayat Abu
Shalih. Kata dari riwayat hanyalah penjelasan mengenai sumber riwayat
itu, bukan pembatasan bahwa yang shahih hanya sampai Abu Shalih saja.
Berbeda dengan kata sampai yang menunjukkan pembatasan. Hal itu
maklum diketahui oleh siapapun yang pernah membaca Fathul Bari secara
keseluruhan dan mengamati istilah-istilah yang digunakan oleh Ibnu Hajar di
dalamnya.
Syubhat kedelapan: Malik Ad Dar adalah majhul karena didiamkan oleh
Imam Bukhari dan Abu Hatim Ar Razi dan tidak diketahui kejujuran dan
kekuatan hafalannya.
Jawabnya: Tidak semua perawi yang didiamkan oleh kedua imam itu
disebut majhul. Ketidaktahuan bukan tanda ketiadaan mutlak. Ketidaktahuan
seseorang dikalahkan oleh pengetahuan orang lain. Bahkan biografi perawi
bernama Malik Ad Dar itu disebutkan dalam Thabaqat Ibnu Saad dan Ishabah
Ibnu Hajar. Mengenai kejujurannya, dua di antara Khulafaurrasyidin, yaitu
Khalifah Umar dan Ustman, telah mempercayainya sebagai bendahara
logistik. Sungguh keterlaluan jika ada orang yang meragukan sosok yang
dipercaya
Analisa: Hadis Utsman bin Hunaif Tentang Tawassul
Permasalahan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat menjadi
perdebatan panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Jumhur ulama
membolehkannya, Ibnu Taimiah melarang sebagian dan membolehkan
sebagian, sedangkan Al Albani melarang seluruhnya. Masing-masing
pendukung membela pendapatnya serta melemahkan pendapat lainnya.
Salah satu dalil yang membolehkan adalah hadis yang diriwayatkan oleh
Utsman bin Hunaif tentang seorang buta yang mendatangi Nabi SAW untuk
minta didoakan, kemudian Nabi SAW mendoakan untuknya dan akhirnya ia
bisa melihat. Dalam lafal doa tersebut terdapat tuntunan bertawassul
dengan Nabi SAW. Dalil kedua lebih tegas lagi, hadis yang juga diriwayatkan
oleh Utsman bin Hunaif setelah Nabi SAW wafat tentang seorang lelaki yang
mendatangi Utsman bin Affan untuk suatu keperluan namun ia diabaikan,
setelah itu ia mendatangi Utsman bin Hunaif (perawi hadis), kemudian oleh
Utsman bin Hunaif, lelaki itu diberi saran untuk melakukan amalan yang
dahulu diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada orang buta, lalu keinginan
lelaki itu pun terkabul, hadis ini menjadi dalil terkuat bagi pendapat yang
membolehkan tawassul dengan Nabi SAW setelah beliau wafat, dengan
alasan bahwa hadis itu diriwayatkan setelah Nabi SAW wafat dan yang
meriwayatkannya adalah perawi yang sama dengan hadis pertama yang
103

disepakati kesahihannya oleh kedua belah pihak. Namun, dalil kedua ini
dipermasalahkan kesahihannya oleh Al Albani, kendatipun sejatinya tidak
ada yang perlu dipermasalahkan, sebab hadis itu juga disahihkan oleh salah
seorang perawinya sebagaimana akan kita bahas.
Berikut ini penjelasan mengenai kedua hadis di atas beserta takhrij dan
statusnya. Semoga dengan penjelasan ini kita dapat melihat permasalahan
ini dengan jernih, objektif dan jauh dari fanatisme kelompok tertentu.
Selamat membaca.
Hadis ke-1
Naskah Hadis
Redaksi dalam Musnad Ahmad:















Redaksi dalam Sunan At Tirmidzi:

:






Redaksi dalam Sunan An-Nasai:

:




:




104

Redaksi dalam Sunan Ibnu Majah:

:
.
. . .
.
.
Redaksi dalam Shahih Ibn Khuzaimah:

: :
:
: :
Dari pernyataan Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa tindakan sebagian
orang jahil yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan
semacam ini tidaklah dapat dibenarkan. Hal itu tak lain disebabkan oleh
ketidakmampuan dirinya dalam mendatangkan argumentasi ilmiah yang
mampu bertahan di panggung dialog dan diskusi. Akhirnya, mereka
menggunakan senjata ampuh untuk melumpuhkan lawan diskusinya yaitu
dengan menjatuhkan vonis kafir, stempel bidah, cap musyrik dan
sebagainya.
Penutup
Demikianlah ringkasan penjelasan mengenai masalah tawassul. Bagi
yang ingin memperdalam dan menelaah lebih lanjut mengenai masalah ini
silahkan baca kitab Muhiqqu At Taqawwul fi Masalati At Tawassul karangan
Syaikh Imam Muhammad Zahid Al Kautsari (semoga Allah merahmati
beliau). Kitab ini sudah dicetak, disebarluaskan dan dijual secara bebas di
toko-toko buku di Timur Tengah. Penulisnya adalah salah seorang ulama
yang hidup di zaman Kekhalifahan Turki Utsmani, seorang ahli hadis, fikih,
ushul dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Anda juga bisa mendapatkan
keterangan mengenai masalah ini dalam kitab Mausuah Fiqhiyah
Kuwaitiyah (Ensiklopedi Fiqh Kuwait). Wallahu alamu bis showab.
XVI

Bantahan Atas Argumen Lemah Dan Syubhat Wahabi


Dalam Hal Tawassul Melalui Orang Yang Telah Mati !!?

105

Salah satu landasan kaum Wahabi yang dijadikan dalil untuk melarang
tawassul adalah bahwa tawassul disamakan dengan meminta kepada orang
yang telah mati, dan hal itu adalah perbuatan syirik. Untuk memperkuat
pemahamannya mereka sodorkan surat an Naml ayat 80:


"Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang yang mati mendengar
dan tidak pula menjadikan orangyang tuli mendengar panggilan apabila
mereka sudah berpaling."
Ayat diatas menyamakan kaum musyrikin dengan orang yang telah
mati. Apabila orang yang mati tidak mampu mendengar ajakan kebenaran
maka hal itu juga tidak akan didengar oleh kaum musyrikin. Apabila orang
yang telah mati dan orang yang tuli mampu mendengar otomatis kaum
musyrikinpun juga akan mampu mendengar seruan.
Dalil lain yang disodorkan oleh kaum wahabi adalah surat Fathir ayat
22 :


"Dan tiadalah sama orang yang hidup dan orang yang mati. Allah
menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah
engkau menjadikan orang yang di dalam kubur itu bisa mendengar."
Dengan ayat diatas kaum wahabiyyin berkeyakinan bahwa memohon
sesuatu kepada orang mati sama maka hukumnya sama dengan memohon
sesuatu kepada benda mati.
Guna menangkis pendapat yang lemah dan syubhat diatas maka kita
sampaikan bahwa sangat disayangkan kelompok Wahabi dengan
gampangnya mendistorsi makna ayat suci al-Quran. Ayat-ayat yang
dijadikan argumentasi tersebut sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
tubuh tanpa nyawa yang terbaring dikubur sudah tidak bisa lagi memahami
sesuatu.
Sedangkan dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permohonan
kita kepada tubuh yang sudah tidak mempunyai nyawa, namun kepada ruh
pemilik jasad tersebut yang sudah hidup di alam kubur (barzakh). Dan
dengan jelas Quran menyatakan, mereka itu hidup.
Ringkasnya, kita bertawassul kepada mereka yang dinyatakan hidup
oleh Quran, bukan kepada benda mati.
Golongan wahabi menganggap bahwa sesudah manusia mati, ruh akan
stagnasi seiring sirnanya tubuh kasarnya. Oleh sebab itu, mereka menolak
dengan keras adanya kehidupan ruh para nabi dan lainnya sesudah
kematian mereka.
Mereka juga menyatakan jika seseorang telah mati tidak bisa beramal
lagi sebab amalnya telah terputus selain tiga hal. Maka kita jawab : itu
maksudnya mereka tidak bisa beramal dalam arti tidak menerima taklif
hukum sehingga tidak bisa mendapatkan pahala. Buktinya dalam Hadits
106

shahih para Nabipun melakukan shalat dikubur mereka. Ini membuktikan


bahwa mereka bisa beramal walau tanpa beban taklif.
Sehingga dalam Hadits/atsar shahihpun Nabi Saw yang sudah wafat
juga mampu mendo'akan kepada Allah bagi Umatnya yang saat itu
kekeringan sehingga diturunkannyalah hujan oleh Allah dengan sebab ada
seorang sahabat yang telah melakukan tawassul dengan Nabi yang sudah
wafat.
Para ulama aswaja menolak pandangan Ibnu Taimiyah dan Muhamad bin
Abdul Wahab yang mengingkari bolehnya tawassul dengan orang yang dekat
dengan Allah sesudah matinya.
Kholil Ahmad dari madzhab Hanafi mengatakan:
"Kami dan para ulama kami meyakini bahwa diperbolehkan
bertawassul dalam berdoa dengan para Nabi, solihin, auliya dan syuhada
baik ketika mereka masih hidup maupun sesudah meninggal.
Dan pendapat diatas juga disepakati oleh mayoritas umat Islam, hanya
wahabi dan variannyalah yang menyelisihinya.
Semoga petunjuk Allah atas mereka !!.
XVII
Manaqib
-A. Pengertian
Secara bahasa manaqib berarti meneliti, menggali secara istilah
diartikan sebagai riwayat hidup seseorang yang berisikan tentang budi
pekertinya yang terpuji ahhlaknya yang baik karomahny dan sebagainya
yang patut dijadikan suri tauladan. Maksud dari menjalankan manaqib
diantarnya untuk beertawasul, untuk memperoleh berkah, untuk lebih
mengenal orang sholih dan lebih mencintanya.
B. Dalil-dalil manaqib
Sebenarnya manaqib itu ada dalam Alquran seperti manaqib, ashabul
kahfi, Manaqib Raja Dzul Qurnain, Manaqib Lukman dan lain sebagainya.
Adapun dalil yang digunakan hujjah untuk memperbolehkan praktek
manaqib yaitu dalam kitab Bughyat al_Mustarsyidin, hlm. 97.

Tersebut dalam surat atsar: Rosululloh pernah bersabda: Siapa


membuat sejarah orang mukmin( yang sudah meninggal ) sama saja

107

menghidupkan kembali; siapa memmbacakan sejarahnya seolah-olah ia


sedang, siapa yang mengunjunginya, Alloh akan memberikan surga.
Dalam kitab Jalauzh Zhulam alaAqidatul awam dijelaskan















) .




Ketahuilah seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan
dan kebaikan, agar ia mencari berkah dan anugrah, terkabulnya doa dan
turunnya rahmat didepan para wali, di majelis-majelis dan kumpulan mereka,
baik masih hidup ataupun sudah mati, dikuburan mereka ketika mengingat
mereka, dan ketika orang banyak berkumpul dalam b erziarah kepada

mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka.

108

109

110

111

You might also like